Share

6. Jangan Tinggalkan Aku

Kedua tangan Amarise terlipat di dada dengan sorot tajam ke arah pria yang baru turun dari SUV hitam miliknya. “Kamu menipuku? Ini hampir larut malam dari perjanjian terakhir yang kita sepakati di pesan tadi. Apalagi aku merasa kesal karena ponselmu tidak aktif. Kamu benar-benar membuatku marah sekaligus khawatir,” ucap Amarise bersitatap dengan Nic di pintu utama yang menjulang tinggi.

“Kamu sangat mencemaskanku, hm?” bibir Nic mengulas senyum jahil.

Ia dengan mesra menarik pinggang Amarise, lalu membubuhkan satu kecupan singkat di kening. “Maafkan aku. Daya ponselku habis dan aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan.”

Amarise berusaha mengendalikan dirinya mendapati suara lembut dari permintaan maaf Nic. Bahkan, pelukan dan ciuman mesra itu harus ia artikan sebagai bentuk rasa saya pada keponakan. “Janji tidak akan mengulanginya?”

Jari kelingking Amarise terulur dengan menampilkan sorot penuh harap dibalik bibir yang mencebik menahan kesal. Sisi hatinya sangat luruh melihat paras tampan dan teduh Nic sedekat ini. Ia juga tidak ingin terburu-buru melepas pelukan Nic.

“Janji,” sahut Nic membuat mereka tertawa kecil dengan tautan jari.

“Omong-omong, aku melihatmu pergi tidak memakai pakaian ini. Kamu membeli pakaian baru?” tanya Amarise menelisik pakaian Nic setelah pelukan mereka terurai.

“Aku memiliki beberapa pakaian ganti saat tidak sempat pulang ke mansion,” jelas Nic, lalu mengerling penuh arti.

Punggung lebar Nic sedikit menunduk, mensejajarkan wajah keduanya yang membuat Amarise salah tingkah. “Kenapa?” cicitnya hampir saja ingin membuang pandangan, jika Nic tidak segera menahan dagu Amarise.

“Apa kehadiranku sangat berpengaruh di pikiranmu, Rishi? Kamu sangat ingat apa yang aku pakai dan apa yang kujanjikan. Apa mungkin pesonaku sangat kuat bagi perempuan muda sepertimu?”

Amarise gelagapan. Ia menggeleng ragu seraya menurunkan jepitan jemari Nic. “Aku melakukan tugasku sebagai keponakan, tidak lebih,” balasnya menekan tiap kata.

“Benarkah? Tapi melihatmu sudah menyambutku di depan pintu, aku merasa seperti disambut seorang istri. Dia berusia cukup muda dan bisa membuatku hampir kehilangan kendali karena malam ini memakai camisole,” jelas Nic membuat Amarise hampir bersemu, saking malu dengan pernyataan Nic.

Tapi pikiran Amarise tidak sepenuhnya mencerna jika ia memang terburu-buru menuruni anak tangga, mendapati Nic pulang. Ia justru dengan cepat menuruni pandangan, lalu sepersekian detik terbelalak melihat penampilannya sendiri.

Kedua tangan itu langsung menyilang di depan dada, memelototi dirinya memakai gaun satin seksi.

“Kamu sangat cantik dan memesona. Lekuk tubuhmu hampir membuat tanganku hampir ramah menjamah,” bisik Nic di telinga Amarise, tidak lupa dengan tawa jahil yang terus berkembang.

“Nic!” pekik Amarise menatap tajam sekaligus menutupi rasa malunya.

“Ada apa, Sayang?”

Tubuh Amarise menggigil merasakan getaran manis itu. Dibandingkan ia terus berdiam, perempuan itu memilih berlari memasuki ruangan luas tersebut. Ia mengumpati diri setelah berada di kamar. “Sial! Ini karena kamu terlalu bersemangat menyambut Nic pulang, Amarise!”

Nic tersenyum manis melihat sikap lucu Amarise. Kaki panjang itu segera menaiki anak tangga, berjalan menuju kamarnya dengan mengembalikan atmosfer berdebar.

Pria itu sudah mengganti pakaian terlebih dahulu sebelum sampai di mansion. Ada dua kemungkinan yang terus berkecamuk jika ia pulang. Sang Mama dan Amarise akan mencurigainya. Itu sebabnya, Nic mengganti dengan kaus santai agar semua rahasianya berjalan rapi.

“Rishi? Kamu sudah tidur?”

Nic berinisiatif mengetuk pintu kamar Amarise setelah membersihkan wajah dan mengganti dengan setelan piama panjang. Ia tahu suaranya tidak akan didengar oleh ruangan kedap suara, tapi ketukan itu bisa saja diterima Amarise.

Sebelah alis Nic terangkat melihat Amarise keluar menggunakan piama, menutupi lekuk tubuh dan dada sintal beberapa menit lalu.

“Ada apa?” tanyanya dengan wajah tertekuk. Jelas saja, ia masih malu dan menutupi hal tersebut dengan bertanya malas.

Nic mendengkus geli seraya melipat kedua tangan di dada. “Apa tidak bisa kamu menggunakan camisole lagi? Aku menyukai bentuk tubuhmu dan ya, bagian di sana,” jahil Nic menyorot tubuh depan Amarise.

Kedua tangan Amarise menyilang depan dada, lalu memberikan tatapan sinis. “Jangan berpikiran mesum! Aku bisa mengadukanmu pada Bibi Gabriela!” tukasnya tajam, membawa Nyonya Isaac dalam obrolan mereka.

“Aku hampir saja lupa, jika Mamaku sudah berada di pihakmu sekarang. Dia terlihat bahagia saat aku membawamu ke hadapannya. Kamu sangat beruntung dari sekian banyak perempuan yang dekat denganku, lalu mencoba mengambil perhatian Mama dan semuanya tidak ada yang berhasil.”

Bulu mata lentik Amarise mengerjap. Dengan lampu temaram di dalam mansion, cukup menyamarkan rona merah di kedua pipi Amarise. Ia berdebar dan merasa bisa berbangga diri. “Aku tahu kamu pria yang sangat tampan dan memesona. Tapi tidak perlu membicarakannya di depanku.”

Seringai Nic terulas sempurna. “Cemburu?”

“Tidak,” sanggahnya angkuh dibalas kekehan Nic.

“Sepertinya kamu tidak sedang mengantuk. Bisakah kita bicara di dalam?”

Belum sempat Amarise menjawab, Nic begitu santai melangkahkan kaki panjangnya memasuki kamar Amarise. Perempuan itu menganga sempurna sekaligus mulai merasakan desiran—gairah hanya melihat punggung lebar Nic.

Aku satu kamar dengan Nic? Berdua saja?!

Hampir saja Amarise menahan napas dengan segala pikiran liar, jika Nic tidak segera berbalik dan memberikan tatapan penuh tanya. “Bagaimana dengan pecundang itu? Apa dia masih menghubungimu sebagai kekasih?”

Amarise mengangguk pelan dan mendapati tatapan tegas dari Nic. “Kamu meninggalkan nomor baru padanya?”

“Tidak. Aku sudah membuang nomor lamaku dan dia tidak mengetahui nomor baruku di Amerika.” Amarise membiarkan Nic mengambil duduk di pinggir ranjang.

Amarise mengutak atik ponsel dan mendekati Nic, lalu mengulurkannya dan memperlihatkan deretan pesan dari akun media sosial Amarise. “Baru saja aku melihat pesan yang ditinggalkan pria berengsek itu.”

Manik coklat Nic membaca saksama pesan dari ‘Dion Arjuna’, mengatakan ponsel Amarise tidak aktif juga menyampaikan kerinduannya.

Ia tersenyum sinis. “Dia sangat tidak tahu diri,” sindir Nic menggulir banyaknya pesan dan berharap dibalas Amarise. Sayangnya, perempuan itu hanya membaca tanpa membalas satupun pesan.

“Bahkan, seleramu sangat tidak bagus, Rishi. Aku jauh lebih tampan dibandingkan dia.”

Bibir Amarise mengerucut. Itu sudah sangat telak dan merupakan fakta yang tidak dapat diganggu gugat. Paras pria yang duduk di depannya ini sangat memesona, dewasa, mapan dan apa pun yang diidamkan banyak kaum hawa, Nicholas Isaac memilikinya.

Apalagi pria ini tidak kaku dan mampu meluluhkan perasaan juga tubuh Amarise dengan pelukan dan senyum teramat manis.

“Jadi, apa kamu ingin pulang ke Indonesia?” tanya Nic mendongak, menatap lekat Amarise sesuai permintaan Dion tertera di sana.

Perempuan itu mengambil napas sejenak dan mengembuskan perlahan. “Aku akan tetap pulang, tapi bukan karena permintaannya. Bagaimanapun aku besar di sana dan beberapa aset tersisa yang harus tetap aku perhatikan. Tidak banyak, tapi itu kenangan terbaik dari orangtuaku,” jelas Amarise.

Nic mengangguk paham. “Kemarilah,” titah Nic menepuk sisi ranjang.

“Kamu tidak akan pernah meninggalkanku, kan?”

Tiba-tiba saja pertanyaan itu tercetus dan berasal dari lubuk hati Amarise. Ia mengatakan dengan suara nyaris bergetar dan menyorot penuh harap, jika Nic tidak akan meninggalkan Amarise.

Ia sudah sangat terluka dan dijatuhkan sedalam lautan, mengetahui perselingkuhan sahabat dan kekasih. Kesedihan itu berkali lipat karena momen yang menyakitkan saat harus ditinggal mati orangtua Amarise.

Pelupuk mata Amarise berair saat manik mereka bersitatap. “Aku sangat mengharapkanmu, Nic. Tolong, jangan tinggalkan aku,” lirih Amarise.

“Perhatianmu, kebaikanmu dan orangtuamu sangat membuatku nyaman,” tambah perempuan itu dan merasakan pelukan hangat Nic.

Ia memeluk erat pria dewasa yang mengusap puncak kepala, lalu membubuhkan satu kecupan di kening. “Aku tidak akan meninggalkanmu, Rishi.”

... karena kehadiranmu sangat membantuku menjalin cinta dengan kekasih hatiku. Jadi, aku tidak akan pernah dicurigai lagi oleh orangtuaku yang tetap memertahankan mantan istri dari sepupuku sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status