“Benar, Nona. Tuan Muda Lucas meminta Anda segera datang ke paviliun!” Peter berkata dengan raut wajah seriusnya.Alih-alih langsung membalas, Chelsea malah menghempaskan cekalannya dari rambut Ariella dengan kasar. Nyaris saja kepala pelayan itu menghantam dinding koridor, tapi beruntung tangannya segera menyangga ke tembok tersebut.Disertai manik binarnya, Chelsea pun berdehem, lalu bergumam pelan. “Kira-kira Kak Lucas ingin membicarakan apa, ya? Apa dia sudah memaafkan aku?”Dirinya menyelipkan anakan rambut ke balik telinga, lalu menatap Peter.“Kenapa Kak Lucas memanggilku ke paviliun? Paviliun kan sangat sepi. Apa Kak Lucas ingin membicarakan hal serius padaku?” tanyanya menyidik penasaran.“Mohon maaf, saya kurang tahu, Nona. Tuan Muda sendiri yang akan memberitahu Anda,” sahut Peter datar.Chelsea mengibaskan rambut panjangnya, lalu membalas, “yah … lebih baik aku segera menemuinya. Aku tidak mau membuat Kak Lucas menunggu lama.”Wanita itu melirik Ariella sekilas. Sambil mema
“Aku memang ingin menghubungimu, kebetulan kita bertemu di sini. Bisa kita bicara sebentar, Luke?” tutur Belatia saat keluar dari lift. Sejak menghilangnya Giselle, Lucas memang jarang berinteraksi lagi dengan wanita paruh baya itu. Apalagi Lucas malah menikahi wanita lain. “Aku tahu kau pasti sibuk, tapi ini tidak akan lama,” sambung Ibu Giselle itu membujuknya. “Baiklah, kita bisa bicara di restoran depan.” Lucas membalas sopan. Senyum Belatia mengembang. Dia lantas beranjak lebih dulu, lalu Lucas mengikutinya dari belakang. Mereka duduk di salah satu bangku restoran PeterSoul itu. Sementara Peter, kini bersiaga tak jauh dari sana. “Apa yang ingin Bibi bicarakan?” Lucas buka suara setelah duduk di kursinya. Belatia tersenyum getir, lalu bergumam pelan. “Sayang sekali, padahal kau hampir memanggilku Ibu.” “Saya mohon maaf karena belum bisa menemukan Giselle. Tapi Bibi jangan terlalu khawatir. Saya akan terus membantu mencarinya,” ujar Lucas memicu Belatia menatapny
‘Sialan! Kenapa dia muncul di sini?!’ Matthias membatin penuh umpatan. Bodyguard Baraheon di hadapannya menjulurkan wajah, berusaha melihat siapa saja yang ada di dalam mobil. Namun, Matthias langsung menghadangnya, bahkan mendorong dada lelaki tersebut. “Aish, sial! Kenapa kau repot sekali?!” tukas Matthias merapatkan alisnya. “Aku hanya datang meminta uang pada kakakku. Sekarang aku mau pergi minum bersama teman-temanku. Kau puas?!” “Tapi kenapa Anda membawa mobil ke depan rumah kaca, Tuan?” Bodyguard tadi terus menyidik. Matthias yang geram seketika merengkuh kerah bodyguard tersebut dan mencengkeramnya erat. Dengan sorot mata tajamnya, pemuda itu pun mengancam. “Kalau kau terus menghalangiku, aku bisa memukulmu, sialan!” Belum sampai sang bodyguard menjawab, seorang teman Matthias membuka jendela mobil dan menjulurkan kepalanya keluar. “Oi, kacung kolot! Cepat menyingkir! Kenapa kau mau tahu urusan anak muda, hah?!” pekiknya amat geram. Bodyguard tadi memicing
WARNING: Chapter ini mengandung adegan dewasa!“Kau sudah bangun, Sayang?” tutur Pemuda yang masih sibuk mengikat tangan Ariella ke atas ranjang.Dia pun mundur usai memastikan ikatannya kuat. Tangannya bertumpu di sebelah kepala Ariella, hingga posisinya mengungkung wanita itu.“Hah!”Ariella melebarkan irisnya begitu melihat topeng kelinci putih dengan mulut berdarah yang menyeramkan. Bahkan pemuda tersebut hanya memakai celana jeans, hingga membuat dada bidangnya terpampang.“Apa kau sudah siap? Kita akan bersenang-senang.” Pemuda bertopeng kelinci itu berujar.Suara asingnya, sungguh membuat sensasi tegang merayapi tubuh Ariella.Wanita itu bergidik ngeri, seraya berkata dengan terbata. “Mi-minggir, tolong pergi dariku!”Dia hendak bangun, tapi sialnya kedua tangan wanita itu terikat ke atas ranjang dengan tali.‘Hah! Ti-tidak, aku harus bagaimana?’ batin Ariella panik dalam hati.Dirinya semakin buncah saat menyadari bahwa seragam pelayan hitam putihnya, kini berubah menjadi ling
“Brengsek! Apa yang terjadi?!” Matthias memaki geram.Temannya yang berambut pirang melepas topeng kelincinya, lalu menimpali, “apa mungkin ada masalah dengan listriknya?”Dia dan pemuda yang memiliki tindik di bawah bibir itu saling berpandangan. Padahal seingat mereka sudah memastikan listriknya baik-baik saja.“Aish, sialan! Apa karena ini gedung tua, jadi listriknya sering terganggu?” desis si pirang mematikan kameranya.Ya, sebab percuma terus merekam karena ruangan ini jadi gelap. Meski ada jajaran lilin ganja, tapi cahaya yang dihasilkan tidak maksimal.“Harusnya kau pastikan semuanya dengan benar. Kau terlalu ceroboh, jadi semuanya kacau seperti ini!” tukas pemuda bertindik tadi.“Cih, sialan! Kenapa kau malah menyalahkanku, bajingan?! Kau sendiri, apa yang kau kerjakan?!” Teman Matthias yang berambut pirang menyahut kesal.Pemuda bertindik melepas topeng dan melemparnya kasar ke lantai.Dengan dada berselimut emosi, dirinya lantas mendengus sengit. “Kau pikir aku hanya bersant
“Kau mau kabur?!” Matthias berkata tajam seiring langkahnya yang memicu Ariella mundur.“Aku sudah susah-susah membawamu ke sini. Mana bisa kau pergi begitu saja!”Pemuda itu langsung melayangkan gamparan tangannya ke wajah Areilla, sampai-sampai wanita tersungkur ke lantai.“Hah ….” Ariella memegangi pipinya yang berdenyut panas.Belum sempat berpaling, tiba-tiba saja Matthias merengkuh rambutnya yang terurai dan lantas menyeret Ariella menuju ranjang.“Ahh … le-lepaskan saya, Tuan Muda!” Wanita itu mengerang kesakitan.Namun, Matthias sama sekali tak menggubrisnya. Dia memicing ke arah temannya yang baru memunguti lilin.Bahkan dengan emosi, Matthias mendengus geram. “Kenapa kau tidak becus menjaga jalang lemah ini, hah?! Kau mau dia kabur dan mengacaukan segalanya?!”“Tapi kau berhasil menangkapnya, ‘kan? Lagi pula dia tidak akan bisa kabur juga,” sahut temannya yang memicu emosi Matthias membengkak.“Brengsek! Kalau dia tidak bisa kabur, kenapa talinya sampai lepas? Apa yang kau la
“Lihat! Wanita itu di sana!” Teman Matthias yang bertindik menyeru keras. Dia menunjuk Ariella yang tertegun di depan mobil beberapa meter di sana. “Jangan berani kabur, jalang sialan!” Ya, beruntung mobil tadi berhenti tepat sebelum menabrak Ariella. Namun, karena terkejut dan berpikir akan tertabrak, Ariella masih membeku di posisinya. Dan sial, tanpa sempat kabur, kedua teman Matthias sudah lebih dulu mencekalnya. “Tertangkap juga kau, dasar pelacur!” cecar pemuda berambut pirang begitu merengkuh lengan Ariella. Wanita itu menoleh buncah seraya berusaha menampik cengkeraman itu. “Hah! Ti-tidak, tolong lepaskan. Jangan bawa saya!” Ariella memberontak hebat, tapi pemuda yang lain langsung menahan sebelah tangannya. Mereka berusaha keras menyeret Ariella menuju gedung tua tadi, tanpa peduli kaki Ariella yang terluka. “Tolong! Si-siapapun tolong saya!” Ariella berteriak keras sambil menoleh ke arah mobil tadi. Dia berharap siapapun orang itu, bisa membantu dirinya. Atau se
“Bagun!” Lucas memerintah dengan tatapan dinginnya. Namun, Ariella yang masih tak percaya pria itu muncul di sini, hanya mengerjap bingung. Dia mendongak, menatap sang suami yang berdiri penuh wibawa. “Kau tuli? Atau kau mau tetap di sini?!” Lucas kembali mendecak tanpa ekspresi. Saat itulah Ariella menyadari, bahwa pria itu memanglah suaminya. Dengan manik berkaca-kaca, wanita tersebut berkata, “Tu-tuan Muda, bagaimana Anda bisa ada di sini?” “Aku tidak mengulangi ucapanku untuk kedua kali, jadi tinggallah di sini!” tukas Lucas yang lantas berniat pergi. Tapi belum sampai pria itu melangkah, Ariella lebih dulu merengkuh kakinya. Bahkan dia mencekalnya kuat seolah tak ingin ditinggalkan sendiri. “Tidak! Mo-mohon bawa saya bersama Anda, Tuan Muda!” tutur wanita itu penuh harap. “Tolong, saya tidak mau kembali ke tempat itu bersama mereka. Tolong jangan tinggalkan saya.” Manik hazelnya berkaca-kaca, bahkan dadanya bergemuruh buncah, sungguh takut jika Lucas pergi ta
Jatuhkan Senjatamu Dan Berlututlah! “Brengsek!” Lelaki rambut ikal itu mengumpat saat timah panas tenggelam di lengannya. Ya, tanpa diduga, dari depan seseorang menembaknya saat mengejar Ariella. Bahkan beberapa orang tampak berlari ke arahnya. “Sialan! Siapa para bajingan itu?!” cecar lelaki rambut ikal tadi. Dia buru-buru merogoh pistol dari selipan pinggangnya. Baru saja mengacungkan senjata api tersebut, sejumlah orang berjas hitam sudah mengepung. Dari bros di sisi kirinya, jelas bahwa mereka bodyguard setia Lucas. Benar, setelah mati-matian melacak posisi van hitam yang membawa Ariella, Peter akhirnya berhasil menemukan titik lokasi di kawasan danau De Forte. Dia dan beberapa bawahannya langsung melesat ke sana. Sementara Lucas sedang menyusul dari rumah sakit. “Jatuhkan senjatamu dan berlututlah!” dengus Peter saat berjalan di tengah orang-orang itu. Alih-alih menurut, lelaki rambut ikal tadi justru terkekeh sinis. Tatapannya memindai beberapa orang berjas hitam tersebut.
“Siapa kalian? Kenapa membawaku ke sini?!” Ariella mendengus dengan leher tegang.Dadanya bergemuruh was-was saat lelaki di hadapannya menyeringai sengit.“Siapa yang menyuruh kalian?!” Ariella kembali bertanya lebih waspada. “Biarkan aku pergi, maka aku akan memberikan apapun yang kalian inginkan!”Alih-alih menanggapi, lelaki gempal itu malah terkekeh.“Aish, sial! Jalang ini sangat cerewet padahal akan segera mati!” decaknya penuh tekanan.Tanpa segan dia merengkuh lengan Ariella, berniat menariknya keluar.“Lepas! Apa yang kau inginkan?!” Ariella menampik keras.Tangan yang lain segera meraih heels di sebelah kakinya, lantas mengayunkan bagian yang lancip ke bahu lelaki tersebut. Sialnya, lelaki itu bisa membaca gerakan Ariella, hingga berhasil menahan pergelangannya.“Hah?!” Iris Ariella kembali melebar.Dia hendak menarik tangannya, tapi cengkraman lelaki gempal itu amat kuat.“Brengsek! Kau pikir bisa menyerangku?!” sentak laki-laki tadi marah.Ariella merontak seraya mendecak,
‘Tidak ada?!’ batin Lucas saat tak mendapati Ariella di sana.Irisnya memindai sampai ke bangku belakang, tapi sang wanita tak nampak. Hanya ada Giselle yang kini terkulai lemas di kursi kemudi.“Luke? Kaukah itu?” tutur Giselle terdengar lemah.Gelenyar darah mengucur dari keningnya. Dia perlahan mengerjap, coba menjernihkan pandangan saat melihat wajah Lucas di luar jendela.“Luke ….” Wanita itu kembali merintih, berharap Lucas segera meraihnya.Namun, ketika membuka pintu, Lucas malah bertanya, “di mana Ariella?!”Giselle mendengarnya dengan jelas. Dan itu kian membuat emosinya meradang perih.‘Sial! Di saat aku terluka parah, bagaimana bisa kau mencari jalang itu?!’ geming Giselle menelan saliva dengan berat.“Bukankah kau bersama Ariella? Di mana dia?” Lucas terus mendesaknya.Akan tetapi Giselle tetap bungkam. Dengan keadaan ini, dirinya bisa mudah berpura-pura dungu. Bahkan detik selanjutnya dia kembali memejam selaras kesadarannya yang hilang.Lucas yang melihatnya, semakin men
‘Brengsek!’ Giselle memaki geram begitu melihat Peter keluar dari Rolls Royce hitam di sana.Terlebih saat lelaki itu membuka pintu belakang untuk Lucas. Amukan Giselle kian membengkak, menyadari Lucas bergegas meninggalkan kantor demi bertemu Ariella.‘Aku tidak akan membiarkan ini!’ batin Giselle penuh tekad.Dia lekas mengunci pintu saat Ariella hendak keluar. Disertai tatapan geram, Giselle langsung menyalakan mesin mobilnya.“Apa yang Anda lakukan? Biarkan saya keluar!” decak Ariella melirik sinis.Giselle tak menggubris. Dia justru menginjak pesal gas hingga mobilnya melesat pergi sebelum Lucas melihatnya. “Nona Giselle! Sebenarnya apa yang Anda lakukan?!” Ariella memicing geram.Namun, lawan bincangnya tetap bungkam sambil mencengkram kemudi lebih erat. Bahkan Giselle tak segan memacu mobil putihnya lebih kencang.Ariella menghela napas panjang sambil berujar, “apa Anda setakut itu Tuan Lucas memilih saya?!”“Tutup mulutmu, jalang sialan!” Giselle menyambar penuh tekanan. “Kau
“Dasar berandal! Kau tidak tau tentang itu?!” Richard mencibir sengit.Terlebih saat Lucas menatap tajam dan terkesan menuntut penjelasan, sungguh menebalkan asumsi Richard.“Katakan, Ayah!” decak Lucas kian mendesak.“Ayah bertemu Pelayan itu di rumah sakit. Dia bersama gadis kecil yang sekilas mirip denganmu!”Sahutan Richard semakin memicu Lucas tertegun.Jika ayahnya menyebut ‘pelayan’, maka jelas itu Ariella Edelred. Dan ini bertepatan dengan suara anak kecil yang Lucas dengar saat menelepon wanita tersebut. Panggilan ‘mommy’ kala itu masih terngiang jelas di telinga Lucas.‘Ariella dan Damien tidak menikah. Jika dia benar-benar punya anak, bisa saja itu darah dagingku!’ batin Lucas menyimpulkan.“Anehnya wanita itu tidak mengenali Ayah. Dia buru-buru pergi saat Ayah bertanya mengenai anak perempuannya!” Richard kembali berujar sambil menuatkan tangan. “Ayah tidak peduli tentang ibunya. Jika benar itu cucuku, dia harus kembali ke ranah keluarga Baratheon. Kau mengerti?!”Ya, sejak
“Secil! Apa yang kau katakan? Kau tidak boleh bicara begitu pada pada Ava!” Nicholas membentak marah.Dia tahu bocah perempuan dengan cardigan pink itu sangat angkuh dan sering menganggu teman-teman lain. Jika Ava menjadi targetnya juga, maka Nicholas jelas tidak terima.“Apa yang salah? Aku hanya bertanya padanya. Ava tinggal menjawab saja, punya Ayah atau tidak!” Secil berujar sambil melipat tangan dengan sombongnya.Saat itula, Laura-teman Secil yang memegang loliop juga berkata, “Secil benar. Ava saja tidak tau Papa Day. Itu aneh. Apa selama ini dia tidak pernah merayakan Papa Day di rumah?”“Ava, jangan-jangan kau memang tidak punya Ayah, ya? Mommy bilang anak yang tidak punya orang tua itu bermasalah. Dan kau sering membolos!” tutur Secil dengan sorot penuh ejekan.Dia menoleh pada temannya sambil tertawa.Ava pun melangkah lebih dekat, lalu menjelaskan, “Ava tidak membolos, tapi—”“Menjauhlah dari Secil!” sentak Laura sambil mendorong Ava.Bocah itu nyaris saja terjungkal ke bel
“Paman Damien!” Ava memanggil riang sambil berlari ke arah pria itu.“Oho! Tuan Putri Ava!” Damien pun menangkap gadis kecil itu dan menggendongnya. “Ava rajin sekali pagi-pagi sudah rapi.”Bukannya menjawab, perhatian anak perempuan itu malah terpaku pada wajah Damien yang lebam.Sambil mengerjap bingung, dia pun bertanya, “apa orang jahat memukuli Paman? Wajah Paman pasti sakit.”“Paman memang habis melawan orang jahat, tapi Paman tetap menang karena berhasil mempertahankan milik Paman,” sahut Damien disertai senyum tipis.“Jadi orang jahat itu mau mencuri barang Paman Damien?” Ava menyahut cemas.Damien melirik Ariella, alih-alih langsung menimpali pertanyaan itu.Dengan ekspresi seriusnya, Damien pun berkata, “bukan barang, tapi hal paling berharga bagi Paman!”Ariella yang sejak tadi bungkam, sungguh tak menyangka Damien akan bicara seperti itu. Bukankah Damien marah padanya?“Ava tau? Paman akan tetap melindungi hal paling berharga itu dengan semua kekuatan Paman. Paman tidak aka
“Uhh … kau sudah bangun, Luke?” Giselle mendesah pelan saat membuka mata.Dirinya menggeliat, merebahkan kepala di dada Lucas selaras dengan tangannya yang memeluk pria itu kian erat.“Aku sangat lelah. Bisakah kita tidur lebih lama?” sambung wanita itu memejamkan mata lagi.Namun, Lucas yang risih seketika bangun. Rahangnya tampak mengetat, tampak menahan amukan.“Apa yang kau lakukan di sini?!” tanyanya tanpa menoleh sedikitpun.Giselle mengerjap heran. Dirinya ikut bangun sambil merengkuh selimut untuk menutupi tubuhnya yang tanpa busana.“A-apa maksudmu, Luke? Kau tidak mungkin lupa kalau selamam kita telah bercinta ‘kan?” sahut Giselle yang lantas meraih lengan pria itu.Lucas sekejap membuang pandangan dengan tangan mengepal geram. Mau dipikir bagaimanapun, dirinya dan Giselle sangat mustahil. Sialnya dia tak bisa membantah karena tidak ingat apapun.Sang wanita menggelayut manja di lengan pria itu sembari berbisik, “apa yang kau pikirkan? Ini bukan masalah besar. Kita memang aka
“Luke, buka pintunya. Aku tau kau ada di dalam. Cepat buka. Kenapa kau menghindariku?!” tukas Giselle dari luar. Begitu siuman di rumah sakit, Giselle langsung menanyakan Lucas. Meski Belatia marah habis-habisan karena dia bertindak gila, tapi Giselle tetap keras kepala. Apalagi dia telah mengetahui hubungan Lucas dan Ariella. Mana mungkin dirinya diam saja? “Luke, bicaralah sekali saja padaku. Aku mohon temui aku, Luke!” Giselle terus berujar penuh harap. Sementara di dalam, Lucas hanya bungkam dengan keringat yang mengebaki dahi dan tengkuknya. Sensasi panas pun menjalar ke seluruh tubuh, membuatnya tak karuan. ‘Brengsek!’ batin Lucas mengumpat tajam saat kepalanya bertambah pening. Irisnya melayap ke sekitar dan terpaku pada wine yang tadi disesapnya. Saat itulah Lucas bisa menerka bahwa anggur tersebut yang membuatnya kacau seperti ini. ‘Hah, sial! Apa sejak awal ini rencanamu, Ariella?!’ geming Lucas dengan rahang mengeras. Dia semakin kesal sebab meminumnya setelah