Share

3.

"Tan, kita mau ke mana sih? Kita udah berjam-jam loh di perjalanan, belum nyampe-nyampe juga. Lo menyia-nyiakan waktu gue tau! Kalau gue di Apartemen sekarang, mungkin gue udah bisa selesain satu bab novel yang lagi gue tulis!" Ucap gue kesal, sekaligus memecah keheningan.

Jam 7 pagi tadi, tiba-tiba Tania udah nangkring di sofa ruang tengah apartement gue, katanya dia mau ngajak gue ke Bandung, sepagi ini. Dia gak bilang ngajakin gue buat survey lokasi, cari ide, refreshing atau ngajak liburan, seperti sebelum-sebelumnya. Dia cuman mau gue ikut sama dia katanya dengan buru-buru dan ya gue sampai gak sempet mandi. Lagian ngajak keluar kota dadakan banget. Seenggaknya kalau dia bilang dari kemaren atau pas malem, gue udah siap pas dia datang ke Apartement gue.

"Alhamdulillah nyampe juga."

Gue melirik Tania yang berada di belakang stir kemudi mobil yang sedang meregangkan tangannya. Mungkin dia pegel nyetir dari Jakarta ke Bandung, yaiyalah pasti.

Gue menepuk bahu Tania agak keras, menumpahkan rasa kesal dan bingung, karena sampai saat ini gue gak tahu dia mau ngapain, pake bawa gue segala lagi.

"Lo jauh-jauh ke sini cuman datang ke Caffe? Gila kali ya lo, di Jakarta masih banyak Caffe modelan kayak gini." Ketus gue pas tahu mobil Tania terparkir di depan Caffe.

"Sekarang lo benahin diri lo deh, terus nih pake minyak wangi gue."

"Dih emang kita mau ngapain? Lagian gue gak mandi juga wangi kok, gak perlu dah pake-pake minyak wangi, apalagi minyak wangi lo baunya nyegak banget dah."

Gue menutup mata dan meronta pas Tania nyemprotin minyak nyong-nyongnya seenak jidat. Gue mending bau asem bangun tidur dah, daripada bau minyak wangi Tania yang bukan selera gue banget. Aromanya terlalu feminim menurut gue.

"Apaan sih lo! Udah mah ngajak pergi maksa, sekarang seenaknya nyemprotin minyak wangi!"

Tania malah mengabaikan omongan gue, dan mulai turun dari mobil. Kalau bukan sahabat gue, udah gue tendang tuh orang, kesel banget kalau dia udah gak jelas kayak gini.

"Cepetan Turun!"

Gue mendengus kesal, mau gak mau akhirnya gue turun dan mulai mengekori Tania yang udah terlebih dahulu memasuki Caffe.

Gue mengerenyitkan dahi bingung saat melihat Tania duduk di meja yang udah ada orangnya, lalu dia basa-basi menyapa orang asing itu. Kenapa gue sebut orang asing, karena gue tahu teman, pacar, bahkan musuh Tania sekalipun, jadi ya orang yang lagi ngajak ngobrol Tania ya orang yang asing di mata gue.

Gue duduk tak jauh dari Tania, tanpa memperdulikan sekitar, gue segera membuka ponsel.

"Selamat pagi semuanya, semoga pada sehat dan bahagia ya!"

Gue mengalihkan pandangan gue dari ponsel ketika mendengar suara cowok yang agak familiar di telinga gue. Mata gue terpaku pada sosok cowok yang berdiri di panggung kecil dengan memegang mic. Di belakang cowok itu ada banner yang cukup besar yang menjelaskan bahwa acara ini adalah fanmeeting si artis cringe.

Anjir, kalau tahu Tania mau bawa gue ke sini, mendingan gue gak gubris permintaan Tania buat temenin dia ke sini. Mual banget rasanya perut gue pas liat idola si Tania lagi cengengesan jawab pertanyaan mc di panggung.

Gue menutup kuping pas cewek-cewek itu alay itu berteriak histeris ketika mendengar gombalan receh yang dilontarkan idolanya. Idih, bagus kali menurut dia gombalannya, menurut gue sih cringe dan alay parah ya kedengerannya.

Gue menatap Tania tajam, sedangkan orang yang gue tatap malah menatap idolanya dengan mata berbinar.

Gue mencondongkan tubuh gue ke arah Tania,

"Sialan lo, ganggu weekend gue cuman buat dateng ke acara gak jelas kayak gini. Tunggu hukuman dari gue ya Tania! Kalau--"

"Hei cewek yang lagi pake jaket abu, yang lagi bisik-bisik sama temennya, tolong naik ke panggung ya!"

Ucapan gue terhenti ketika omongan mc menggema, dan gue mulai merasa diliatin banyak orang. Gue celingak-celinguk kayak orang bodoh, karena orang-orang ternyata beneran lagi liat ke arah meja gue.

"Lo dipanggil buat maju ke depan."

Gue ingin mengamuk rasanya, ketika mendengar bisikan Tania. Tania sialan! Gue malah terjebak.

"Lo kali yang ditunjuk, maju sana!" Bisik gue dengan penuh penekanan.

"Hei! Jangan terus bisik-bisikan, sini maju!"

Gue menatap tajam mc yang mengeraskan suaranya.

"Lo yang disuruh maju, Thamina! Cuman lo yang pake jaket abu di meja ini."

Akhirnya gue pasrah, bangkit dari duduk dan mulai berjalan lunglai menuju panggung, di mana mc dan si artis songong itu berdiri.

Cewek-cewek di sekeliling gue ini malah makin berteriak histeris pas Gibran mengulurkan tangannya untuk membantu gue menaiki panggung. Cih, buaya juga dia ternyata.

Gue menggedikan bahu gue, lalu menaiki panggung tanpa menghiraukan bantuan dari si Gibran, yang tentu aja gak gue butuhin. Kalau pun gue butuh bantuan, ogah banget pegang-pegang tangan dia, najis.

"Wow! Seorang Gibran ditolak uluran tangannya."

Sorak-sorai semakin menggema di dalam Caffe ini ketika sang mc mengomentari atau mungkin menyindir tingkah gue. Tatapan tajam gue pertahankan, dan Gibran akhirnya menyadari arti tatapan gue.

"Sombong banget lo jadi cewek! Bersyukur harusnya lo dipanggil sama gue, tuh liat yang lain pada iri, pada mau gantiin posisi lo di sini!"

Gue memutar bola mata kesal.

"Dih, lo kira gue mau berdiri di sini? Kalau gak dipaksa ke sini, gue sih ogah."

Semua kaget mendengar ucapan gue, gue sih bodo amat, sekali-kali jatohin artis depan orangnya langsung kan sabi.

"Ada haters nyusup woy! Dih penguntit ya lo, niat banget datang ke fanmeeting suami gue!"

Gue menatap tajam ke arah seorang cewek yang berteriak dengan suara cemprengnya. Sorry ya, gue bukan haters yang kayak gitu. Gak perlu nguntit apalagi jadi stalker, dengan gampangnya orang-orang akan ngirimin video atau foto tentang kelakuan jelek si artis songong yang ada di depannya ini, gue cuman tinggal posting dan tambahin caption.

Gue meringis kesakitan saat pergelangan tangan gue dicekal erat.

"Kalau lo bukan fans gue, kenapa bisa di sini! Pergi lo! Jangan jadi pengacau acara intim gue sama fans gue!" Ucap Gibran dengan nada yang seperti mengancam. Dia kira gue takut diancam begitu? Mana ada!

Gue menyentak kasar tangan Gibran, akhirnya cekalan itu ke lepas.

Tanpa mengatakan sepatah kata, gue turun dari panggung lalu menyeret langkah gue menuju Tania. Di sana Tania udah nangis gak jelas, gak taulah kenapa dia nangis.

Sorak-sorai cewek-cewek alay mulai terdengar menggema menyoraki gue dan mengiringi langkah gue. Gue bodoamat, yang gue tuju saat ini cuman Tania. Gue mau nyeret dia pulang saat ini juga, titik.

"Ayo pulang!"

Tania menggelengkan kepalanya, mencoba melepaskan cekalan gue di tangannya.

"Lepasin tangan Tania! Dia mau have fun di sini, lo cuman rusakin acaranya!"

Gue menoleh ke belakang, menatap tajam Gibran yang ikut campur. Dari mana juga dia tahu si Tania.

"Lo yang ngajakin gue ke sini, Tan! Lo tahu dari awal gue benci sama si artis alay itu, tapi lo ajak gue ke sini tanpa ngasih gue info apapun. Sekarang lo gak mau pulang sama gue? Oke! Have fun sama idola tercinta lo itu!"

Bodo amat gue ngedrama, akar masalahnya emang Tania. Masalah di panggung pun sepele, tapi karena gue benci dan mual liat si Gibran, alhasil meledak emosi gue.

"Pulang lo sana! Gue ajakin lo ke sini buat buka mata hati lo untuk gak benci Gibran! Ternyata gue salah, Na! Sekarang terserah mau lo gimana, mau persahabatan kita selesaipun terserah! Mending sekarang lo pergi, semakin lama lo di sini, suasananya semakin rusak!"

Gue menatap Tania kecewa, jujur gak percaya dia bisa ngeluarin kalimat kayak gitu. Gue menyeret langkah dengan cepat setelah meraih tas selempang dan ponsel yang tergeletak di meja yang posisinya tak jauh dari Tania.

Mungkin inilah titik persahabatan gue sama Tania yang harus rusak cuman karena idola tercintanya itu. Oke kalau itu rencana Tania, gue bisa menjauhi dia dan gak perlu mendebat dia tentang idolanya.

***

Gue terduduk lemas di kursi peron kereta. Tangisan gak bisa gue hentikan.

Jujur aja sakit hati dan kecewa nyampur aduk gak berbentuk di hati gue. Bisa-bisanya hanya karena masalah sepele Tania ngomong kayak begitu. Padahal Tania tahu karakter dan sifat gue kayak gimana, dan dia malah milih idolanya itu. Oke gak papa, semuanya berakhir gak papa, gue kuat sendiri.

Gue menghela nafas, lalu mengusap air mata saat mendengar pengumuman bahwa kereta tujuan Jakarta akan segera datang.

Gue mulai memasuki kereta, lalu terduduk di kursi yang nomornya sama dengan tiket yang gue punya.

Gue menyandar di jendela kereta. Rasa sakit hatinya lebih dari sekedar diputusin pacar.

Gue mulai membuka galeri foto di ponsel. Menatap satu persatu foto gue dengan Tania di berbagai momen dan tempat yang berbeda.

Gue mulai merenung, semuanya memang berawal dari gue, tetapi orang-orang di sana juga memperkeruh semuanya.

"Maafin gue, Tan." Lirih gue.

Bersambung

(Selesai ditulis pada tanggal 21 Juni 2021, pukul 01.56 wib).

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status