Share

Bab 8

Penulis: Affad DaffaMage
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-04 11:07:20

Semua orang punya kelebihannya dan kekurangannya sendiri.

Aku bukannya lari dari masalah logo itu. Aku hanya tidak ingin membuka luka yang telah ditutup rapat. Biarkan saja sejarah logo itu tenggelam, dan menjadi sebuah mitos yang tidak pernah dijelaskan. Lagipula, logo itu adalah simbol kegelapan negeri ini sekarang.

Kenapa kegelapan? Karena orang dibaliknya adalah cikal bakal keberadaan Azhar EduTech. Keberadaan orang-orang baru yang berkuasa dan memainkan kehidupan seperti pion. Aku pun melihat diriku demikian, hanyalah pion di tangan Mas Azhar dan Mas Arrow.

Subuh itu aku laksanakan dengan khidmat. Namun, rasanya seperti ada yang salah kala aku selesai.

“Jika aku menyelesaikan semua ini, maka sama saja aku berkontribusi membawa kegelapan yang ditutupi cahaya ke negeri ini. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan kedua seniorku itu. Tapi, aku tahu, mereka memegang terlalu banyak kunci yang aku tidak ingin terlalu dekat.”

Aku berjalan ke laptopku, dan terlihat semua proses untuk skripsiku telah selesai. Sepertinya minggu depan aku bisa mulai berfokus sepenuhnya hanya ke buku. Sebuah pesan masuk di grup skripsi untuk Prof Murfid.

Yusuf: Affa, kamu sudah kontak Prof Murfid?

Affa: Buat pekan depan?

Yusuf: Nggak, pekan kemarin! YA IYALAH MALIH!

Affa: Belum.

Mutia: Mohon bantuannya ya Affa. Kemarin aku coba hubungi untuk jadwal minggu depan tapi hanya dapat centang biru.

[Foto]

Affa: Jangan buang waktu kalian kontak beliau. Kalau nggak ada relasi secara proyek dengan beliau, biasanya begitu.

Mutia: Gimana sih caranya sepertimu Fa?

Affa: Maksudnya?

Mutia: Kamu pintar. Dosen-dosen banyak yang percaya ke kamu.

Affa: Aku musuh kalangan mahasiswa.

Yusuf: Jangan dibahas lagi dong.

Affa: Maksudku adalah gak ada yang sempurna.

Yusuf: GAK GITU JUGA!

Mutia: Maaf soal itu.

Affa: Tidak perlu. Aku hubungi sekarang.

Aku tutup chat itu dan segera menghubungi Prof Murfid.

Affa: Selamat pagi Prof Murfid. Mohon maaf mengganggu waktu bapak. Saya Affa Alif Karim mahasiswa skripsi bapak. Saya mohon izin bertanya mewakili teman-teman yang skripsi ke bapak, untuk konsultasi pekan depan bisa dilakukan kapan ya pak? Jika ada yang kurang berkenan, saya mohon maaf.

Affa: Izin melaporkan untuk progress saya Prof. Saat ini seluruh data telah selesai diproses. Saya harap saya bisa mengirimkan hasil dalam waktu dekat.

Aku menutup chat itu. Biasanya beliau mulai membalas jam 7 pagi. Sebuah notifikasi lain masuk ke ponselku. Nama Arrow terlihat jelas di layarku. Aku membuka pesan itu.

Arrow: Soal KP kemarin, aku masih belum dapat satupun aplikasi. Sudah disebarkan.

Affa: Mohon maaf mas. KP biasanya lamban di FTEI, dan saya yakin mas tahu.

Arrow: Apa koordinator susah?

Affa: Benar mas. Beliau sangat selektif dengan berkas KP.

Arrow: Padahal sudah sistem elektronik. Terkadang sistem tidak berguna dengan pemahaman manusia yang kurang.

Aku memutuskan untuk tidak berkomentar dan menutup chat itu. Mas Arrow akan mengoceh jika aku menanggapi.

“Waktunya memulai penghulu hari,” komentarku berdiri. Hari jum’at, atau dalam agama islam dikenal sebagai penghulu hari. Aku bersiap untuk berangkat dari tempat tinggal ke kampus. Rahima masih tidak pulang. Perempuan itu perlu sedikit istirahat. Aku pun berangkat ke kampus.

“Pagi Mas,” sapa beberapa junior bekas praktikum pemograman saat aku berjalan ke lab. Aku tidak menjawab. Mungkin, aku sudah terlalu tidak biasa dengan semua sapa ramah-tamah.

“Pagi sekali gan,” komentar Yusuf kala aku masuk lab. Aku mengabaikan dan langsung berjalan ke mejaku. Aku segera membuka tugas akhirku dan melanjutkan pembukuan yang aku harapkan selesai dalam dua pekan ke depan, sebelum sidang proposal satu bagi teman-teman yang baru mengambil skripsi.

“Kacang gan,” komentar Yusuf kesal. Aku mengabaikannya.

“Kacang mahal!” lanjut Yusuf. Oke. Dia mulai mengganggu. Aku tetap mengabaikannya.

“Kacang-” kalimat Yusuf terpotong oleh ketukan pintu lab. Mahasiswa luar lab?

“Karena kamu punya waktu teriak kacang, sebaiknya kamu yang buka,” komentarku balik. Yusuf mengeluh kesal, tapi dia tetap melakukannya.

“Assalamu’alaikum,” ucap seorang perempuan. Dari suaranya, dia bukan anak lab, maupun Zihan Azizah. Kenapa Zihan Azizah? Dia adalah satu-satunya anak non-lab yang sering ke sini saat Mas Shad belum lulus.

“Wa’alaikumussalam,” balasku dan Yusuf. Lab sepi di pagi hari, namun tidak pernah kosong. Aku melihat ke jadwal jaga, dan menyadari Dekker seharusnya juga hadir. Kenapa lagi tuh anak?

“Ada apa, Mutia?” tanya Yusuf. Aku bisa mendengar percakapan mereka dari posisiku.

“Perlu bantuan sama dataku,” jawab Mutia. Tidak ada percakapan untuk sesaat, sementara ketikanku terus berlanjut. Mutia melanjutkan kalimatnya, “Affa! Apa kamu sibuk?” tanyanya dengan suara keras.

Aku tidak menjawab, dan terus mengetikkan skripsiku. Ini cukup untuk menjelaskan bahwasanya aku sibuk, dan aku tidak ingin diganggu. Biasanya anak itu juga minta tolong Zul kalau masalah skripsi dia. Mungkin karena Zul baru hadir siang?

“Kamu keburu?” tanya Yusuf lagi. Aku tidak mendengar suara balasan dari Mutia. Ketikanku terus berlanjut.

“Oi! Kamu buku gak keburu kan!?” tanya ketus seorang Yusuf. Biasanya ini anak berisik, tapi gak pernah halangin aku skripsi deh. Kesal, aku berhenti mengetik.

“Apa!?” tanyaku ketus. Mutia tampak terkejut, dan dia sedikit mundur.

“Woi! Gak perlu galak juga kan!?” tanya Yusuf membela Mutia. Ini jadi drama, dan aku tidak suka drama. Bisakah Zul datang sebelum jum’atan?

“Hei!” suara tukang heboh Karim terdengar memasuki telingaku. Aku juga melihat Karim datang memasuki lab.

“Seenaknya ya sekarang masuk lab. Isi buku dulu. Aku layani,” ucapku kesal, tapi mengalah. Aku menatap ke arah Yusuf, “tutup pintu.”

Laki-laki itu menurut. Mutia dan Karim mengisi buku tamu.

“Oke, siapa yang perlu bantuan?” tanyaku. Mutia tampak diam, Karim menggelengkan kepala.

“Aku mau terima kasih aja Fa! Pak Zaharian terima hasil kelompok kami!” ucapnya bahagia. Aku tidak sedikitpun merasa puas. Lagipula, bantuanku tidak banyak. Proyek mereka itu masih lelucon dibandingkan apa yang diberikan Mas Azhar.

“Sama-sama,” balasku tanpa emosi. Karim tampak tidak suka, dan dia memberikan balasannya.

“Senyum dong. Semua ini berkat kamu!” puji Karim.

“Simpan pujianmu. Allah lebih pantas dipuji daripada aku,” komentarku. Karim mulai memasuki mode agamisnya dan sebelum dia membuat dialog ini menjadi lama, aku harus mengusirnya.

“Cukup kan? Mutia ada keperluan ke sini. Lain waktu kita bicara,” potongku sebelum Karim memulai ceramahnya. Karim pun menganggukkan kepala dan pergi, tentu sebelumnya sempat menyapa Mutia seraya pergi.

“Ada keperluan apa?” tanyaku kepada Mutia. Perempuan itu tampak ragu, dan hanya memutar dua jari telunjuknya. Namun, tas yang dia bawa cukup sebagai penjelasan.

“Bawa laptop?” tanyaku lagi. Mutia menganggukkan kepala. Dia meletakkan tasnya di meja sampingku, yang seharusnya dipakai oleh Zul, dan mengeluarkan laptopnya.

“Masalahnya apa?” tanyaku. Mutia menjelaskan kendala dari skripsi miliknya. Sangat berbau jaringan, dan itu menyebalkan. Aku lumayan paham jaringan, tapi tetap saja malas jika harus mengutak-atik area itu. Untungnya, sebagian lainnya adalah tentang data.

Sekitar 3 jam aku dan Mutia mencoba melakukan proses perbaikan terhadap skripsi dia. Banyak masalah dari ujung ke ujung, entah bagaimana Mutia bisa membuat kekacauan ini padahal Zul adalah tempat konsultasinya.

“Makasih banyak ya Fa!” ucap Mutia saat kami selesai membenahi skripsinya. Aku tidak memberikan balasanku.

“Sudah selesai kan?” tanyaku balik, “kalau sudah aku mau selesaikan milikku sebelum jum’at,” komentarku dingin. Mutia tampak sedikit terkejut, namun tetap tersenyum.

“Terima kasih,” ucapnya dan dia pun berpamitan, yang aku acuhkan. Saat perempuan itu sudah keluar dari lab, baru seorang Yusuf buka suara.

“Gila emang papa ketua. Gak luluh ama ciwi tercantik,” komentar Yusuf. Aku memutar bola mataku malas.

“Tapi kan Mas Affa bantuin tuh ciwi tiga jam,” komentar Siegfried. Yusuf menggelengkan kepala.

“Itu aku maksa dia,” ucap Yusuf, yang secara tidak langsung menyelamatkanku dari peluru para junior. Nicholas langsung masuk ke dalam pesta.

“Oh, berarti Mas Yusuf berani lawan Mas Affa demi Mba Mutia?” tanya Nicholas. Aku tertawa kecil. Rasakan!

“Nggak begitu!” kilah Yusuf, namun wajahnya memerah malu. Ah, apa mungkin dia memang suka Mutia? Tidak penting. Aku ingin kembali fokus dengan skripsiku. Sebuah notifikasi muncul di kanan layar.

Azhar: Kapan bisa ke kantor? Saya ingin briefing kamu.

Ah, menyebalkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hati Biru Affa   Epilog

    Dering ponsel di jam dua malam itu mengejutkanku dari tidur nyenyakku setelah perjalanan indah bersama Fafa, kekasihku. Aku melihat sebuah nama yang cukup familiar di ponselku.“Huh? Malam, Zul,” ucapku pelan seraya mengangkat panggilan itu. Kesadaranku masih sebelumnya pulih.“Fafa diserang Mut!” teriak Zul di saluran seberang, membuatku langsung mengerjap sepenuhnya ke dunia nyata.“Apa!? Serius Zul!” teriakku tidak percaya. Kalau ini lelucon, aku pastikan Zul akan ku blacklist.“Serius oi! Aku gak main-main ini! Langsung di RS X Harapan, segera!” Aku langsung menjatuhkan ponselku. Peristiwa macam apa ini?Dengan kepanikan, aku segera berganti pakaian. Terburu-buru, suara

  • Hati Biru Affa   Bab 25

    “Aku terlalu sibuk dengan luka yang ku biarkan menghancurkanku.”Selesai makan, Mutia membuka percakapan. Aku memberi isyarat privasi kepada para pelayan, yang diikuti dengan mereka keluar dari ruangan.“Jujur saja, aku masih terkejut, Fa,” ucap Mutia pelan. Dia tampak memilah kata-kata yang ingin dia lontarkan.“Kenapa?” tanyaku datar. Aku meletakkan kedua tangan di depan wajahku, seakan berpikir.“Soal pekerjaanmu. Kamu sungguh-sungguh bekerja di sana? Entah kenapa... rasanya aneh,” jawabnya ragu. Maksudnya meragukannya.“Bekerja di Azhar EduTech tidak masuk akal jika melihat sekilas dari fakta aku baru kuliahan. Tapi, lihat sendiri,” balasku se

  • Hati Biru Affa   Bab 24

    “Kepercayaan adalah benda termahal yang kita jual kepada orang lain.”“Selamat pagi, Affa,” ucap Mas Azhar kala aku tiba. Semua anggota lainnya sudah terkumpul, dan jam menunjukkan angka 7 lewat 58. Dua menit lagi.“Selamat pagi Pak. Selamat pagi rekan-rekan semua,” sapaku kepada semua rekan tim yang hadir. Mas Azhar pun memulai rapat pagi itu.Jam menunjukkan angkat 11 lewat 30 saat Mas Azhar memperkenankan kami istirahat. Aku membuka ponselku, dan melihat banyak pesan dari Mutia dan telepon tidak terangkat langsung masuk sebagai notifikasi.“Good job, jammer,” keluhku.Mutia: Say?Mutia:

  • Hati Biru Affa   Bab 23

    “Tanpa hati, semuanya akan menjadi berat.”“SERIUSAN!?” teriakan itu dilontarkan oleh May kala anak-anak lab menghubungi asisten yang sedang lomba itu. Aku melihat asisten lainnya hanya menganggukkan kepala. Jam menunjukkan angka 7 malam.“Heh. Ada yang video gak eh!?” tanyanya lagi. Yusuf langsung memberikan jawaban.“Sudah aku rekam,” jawab Yusuf setegar mungkin. Ayolah Suf. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak melihat kamu patah hati.“Widih. Mas Yusuf gapapa tuh?” sindir May langsung. Anak itu memang sangat frontal ya.“Tangguh dong,” balas Zul membantu Yusuf. Yusuf langsung memberikan tos kepada rekannya itu, yang dibalas dengan cepat oleh Zul.&

  • Hati Biru Affa   Bab 22

    “Semua pilihan yang kita ciptakan, akan memiliki konsekuensi. Kita yang melarikan diri dari kenyataan pun, sadar akan hal ini.”“Maaf... saya telat,” ucapku dengan nada rendah kala aku tiba di laboratorium. Kesulitan tidur tadi malam karena kaset memori peristiwa hari sabtu kemarin masih berputar di otakku.“Tidak apa, Fa,” ucap Mutia, mewakili kelompoknya. Aku melihat praktikan lainnya tampak berbisik kecil ke diri mereka masing-masing. Antara hinaan, ejekan, atau apalah itu, aku tidak peduli opini mereka.“Langsung masuk saja. Asistensinya di ruangan lab,” komentarku kepada mereka seraya membuka pintu laboratorium.“Assalamu’alaikum,” sapaku kala memasuki laboratorium. Balas

  • Hati Biru Affa   Bab 21

    Jangan lupa untuk selalu memakai wajah poker, seperti seorang Kaito Kid.“Hei Affa!” suara tinggi itu mengejutkanku, membuatku menghentikan langkah dan membalikkan wajah, untuk dihadiahi dengan sebuah bogem mentah di wajah.“Apaan sih, Aristy!?” tanyaku ketus. Aristy mencoba mengoreksi tangannya yang baru saja membogem mentah wajahku.“Egois sekali,” jawabnya dingin.“Apa yang egois? Toh benar saja toh?” tanyaku datar. Aristy menatapku tajam.“Egois bangke! Lu gak sadar kalau tuh cewek mewek gara-gara lu bangke!” balasnya ketus. Terus, masalahnya apa dengan itu?“Lalu?”“Kamu takut kehilangan kan? Sikapmu i

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status