“Aku sih gak senang kita lanjutin ini,” keluh salah satu rekan kelompokku. Aku hanya mendengarkan mereka dengan bosan.
“Coba kalo gak ada logo itu. Sekarang kita sudah diperhatikan sama semua dosen tekno,” keluh rekan kelompok yang lain. Aku juga tidak terlalu tertarik melanjutkan, tapi tidak ada salahnya dicoba. Siapa tahu bagus kan?
“Ini gara-gara kamu, Aristy!” tuduh salah satu anggota. Aku langsung berdiri dari tempat aku duduk. Dia ingin ribut? Akan aku berikan.
“Heh! Kemarin yang ngurus BMS dan kejar-kejaran buat setor itu aku ya!” balasku ketus. Terserah mereka akan memusuhiku setelah ini. Keterlaluan saja sekarang menyalahkanku. Kemarin-kemarin kalian pada nongki gak jelas abai sampai aku gelabakan jam 11 malam buat selesaikan BMS yang belum rampung. Mana ada tugas Studio juga. Sial emang!
“Tapi jangan anak tekkom itu juga kali!” balas anggota itu. Ketua kelompok kami terpaksa menengahi.
“Sudah-sudah. Kita juga nggak tahu kalau aplikasi dia semua terkenal di kalangan dosen-dosen tekno. Mending kita mulai lakukan apa yang kita bisa aja dulu,” sarannya seraya menengahi keributan. Aku dan anggota yang menuduhku itu hanya saling memalingkan badan karena emosi. Menyebalkan!
“Oke. Kita mulai coba bisnisnya di lapangan. Kan aplikasinya sudah siap secara penuh. Lagipula, semua sistem layanannya sudah diberikan kan?” tanya ketua. Aku menghadap ke arahnya.
“Aku sudah kasih di grup akses yang dia berikan. Itu sudah dapat semua pengaturan buat aplikasinya, lengkap. Masalahnya, kita gak ada yang paham cara pretelinnya,” jawabku. Anggota lain mengangguk setuju.
“Kalau gitu mungkin kita bisa ketemu sama dia? Kamu coba jelasin situasinya,” usul salah satu anggota. Ogah. Aku tidak berniat berurusan dengannya dalam hal perkuliahan seperti ini. Tapi, pilihan apa yang aku punya.
Dengan hembusan nafas berat, aku terima usulan itu. “Baiklah.”
“Makasih,” ucap sang ketua. Kami pun mencukupkan pertemuan pada hari itu dan membubarkan diri.
Aristy: Affa. Bisa ketemu nggak?
Akan memakan waktu menunggu dia membalas. Aku kembali bermalas-malasan di tempat aku tinggal ini. Pesan dari grup yang berisi keributan terus berlanjut, tapi aku lagi malas membuka grup. Ada pesan dari Aini juga.
Aini: Aku bingung Kak ☹
Aristy: Soal apa? Affa?
Aini: Ih. Kakak tau banget deh 😊
Aristy: Kek kamu gak bahas itu kalo ngobrol ke aku.
Aini: Iya deh Kak ☹ Maafkan Aini ☹
Aristy: Kenapa lagi?
Aini: Bingung aja kak.
Aristy: Bingung apa?
Aini: Kak Affa suka Aini gak sih? ☹ Dia balas lamban banget ☹
Sebenarnya, itu pertanda Affa tidak suka. Tapi, aku putuskan untuk tidak mengatakan demikian. Mengingat kita bicara orang dingin di grup, aku tidak tahu persis orangnya.
Aristy: Orang sibuk sepertinya.
Aini: Tapi kan kalo sibuk masih bisa balas chat dong ☹
Ini anak belum ngerti ya? Affa itu berbeda dengan orang lain yang aku kenal. Dia tipikal simpel. Kek kemarin waktu pesan. Dia minta spesifikasi aja trus kasih harga.
Aristy: Serius bisa nih bikin aplikasinya?
Affa: Bisa. Kasih detilnya aja.
[Aristy mengirim file]
Aristy: Ini.
Affa: Oke. Aku periksa dulu.
Affa: 400 ribu. Diskon dari 1.6 juta.
Aristy: Seriusan?
Affa: 400 ribu atau nggak?
Gak bisa nolak diskon sih. Anak mana yang mau nolak diskon harga?
Aini: Kak Aristy, kakak harus tau ih. Coba liat chat Aini.
[Foto]
Oke. Affa memang sangat tidak peka. Tapi, Aini masih saja memaksakan diri meski tahu Affa menyebalkan seperti itu.
Aristy: Dia gak suka diganggu. Emang orangnya dingin gitu.
Aristy: Coba kamu kurangi sedikit intensitasnya. Sekaligus coba buka percakapan kek.
Aini: Udah. Tapi gak mempan ☹
Aristy: Kita lanjut nanti. Mau lanjut gambar dulu.
Aku tidak melihat dia mencoba, tapi terserahlah. Ada pesan lain di daftar chatku, salah satunya dari teman sekolah Aini, Niqma.
Niqma: Kak, bisa bantu ini nggak?
Aristy: Aku jelek kimia. Coba tanya yang lain.
Niqma: Aku coba tanya yang lain, gak ada yang bisa. Kak Affa yang katanya bisa juga gak balas. Aku bingung kak.
Aristy: Aku masih sibuk sama gambaran, sama aku gak bisa fisika sayang ☹
Niqma: Yah, Kak Aristy ☹
Aristy: Maaf ya ☹
Niqma: Gpp kak. Makasih kak.
Aku pun menutup chat itu. Saat aku akan mematikan layar ponselku, balasan dari Affa muncul.
Affa: Kenapa?
Aku segera membuka chat itu dan menuliskan penjelasanku.
Aristy: Bukan aku sih, tapi kelompokku. Kami gak ada yang jago sama sistemnya, jadi kesulitan mau kembangin aplikasinya meski sudah diberi akses.
Affa: Begitu ya. Aku lagi sibuk sih, tapi aku bisa kasih orang buat ketemu plus bantu kelompok kalian. Ada biaya, tapi urusannya sama orangnya.
Affa: Namanya Dekker.
Dekker?
Affa: Nanti aku kasih kontaknya ke kamu.
Aristy: Mungkin ketua kelompokku aja yang ngomong.
Affa: Terserah. [Kontak: Muhammad Dekker]
Aristy: Makasih.
Aku pun meneruskan kontak itu ke grup kelompok. Biarkanlah mereka yang mengatur pertemuannya. Aku malas bertemu dengan orang yang aku tidak kenal. Lebih baik menyelesaikan tugas Studio yang harus segera kelar. Memang waktunya seminggu, tapi ini bukan tugas satu hari jadi. Selain itu, masih ada tugas lain yang perlu diselesaikan. Tidak ada waktu yang bisa disia-siakan lagi.
[Semua percakapan ponsel mulai bab ini di bold]
Jangan termakan oleh ilusi kebebasan yang palsu.“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Mas Azhar saat izin pamit hari itu. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Jangan terlalu banyak berkomentar, cukup akhiri saja.“Sama-sama Mas. Saya pulang dulu,” balasku dengan hormat. Beliau menganggukkan kepala dan mempersilahkanku pulang. Netra ini sempat memperhatikan perempuan yang menjadi asisten beliau, namun abaikan saja.Setelah aku tiba di rumah, baru aku lepaskan semua deru nafas yang tersembunyi. Pekatnya kegelapan yang menyelimut tempat itu seakan menelanku hidup-hidup. Menyebalkan sekali.“Berat sekali,” gumamku. Aku meletakkan laptopku di meja kamarku. Jam menunjukkan angka 9 malam, dan aku lelah. Ponselku berd
“Bosan!” keluhku kesal. Kenapa harus ada sekolah di hari sabtu sih.“Jangan ngeluh mulu ih. Dasar Aini,” komentar teman akrabku. Aku menatap kesal dengan komentarnya dan langsung menyerang balik.“Ya maaf ya Niqma, situ kan punya si Nata. Gak kek gue, jomblo!” ketusku seakan menyatakan itu seperti sebuah fakta. Temanku itu langsung memerah.“Jangan sembarangan sebut nama dia dong,” ucap Niqma dengan wajah memerah. Aku langsung menyerang berulang kali.“Nata Nata Nata Na-” Niqma segera menyumpal mulutku dengan tangannya. Dia menatapku tajam.“Jangan. Sebut. Nama. Dia,” tekannya pada setiap kata. Aku tersenyum sinis.“Cemburu?” sindirku. Niqma langsung berteriak
Feelings never matter. It never matters in the slightest. When you aim high, emotions are strains that hold your potential away.Sebuah pesan masuk kala aku dan Rahima sedang berbincang seraya menikmati makan sore kami di restoran. Pesan itu aku abaikan dan melanjutkan percakapan dengan Rahima.“Jadi, Rara setuju ikut dengan proyek Mas Arrow?” tanyaku. Rahima yang mendengar suara ponselku dari notifikasi tadi justru memintaku untuk merespons ponselku.“Cek ponselmu. Kali Prof mencari,” jawabnya. Aku melihat ke ponselku dan melihat pesan dari Aini. Aku tidak merespons dan menjawab sederhana.“Bukan chat penting. Kembali ke pertanyaan tadi, Rara setuju?” tanyaku. Rahima menganggukkan kepalanya. Dia tampak memainkan sedotan di gelasnya.
Jangan pernah memancing takdir untuk bermain denganmu.“Persiapan sudah beres kan?” tanyaku kepada May yang mengkoordinasikan persiapan lab. May menganggukkan kepalanya.“Ini Dik Zihan juga sudah datang. Haduh, cantiknya lagi. Mas Shad emang niat banget ya,” puji Yusuf yang melihat Zihan yang didudukkan oleh anak-anak lab di salah satu kursi lab. Ini emangnya acara nikahan ta?“Kamu dapat ide ini darimana? Aeon Raw?” tanyaku heran.“Oh. Ini soalnya Mas Shad aslinya mau bawa Zihan sama dia pas tiba nanti di FTEI. Kan gak nyangka aja dia bakal dikunci di lab yayang dia,” komentar May diikuti dengan cekikian. Aku melihat Zihan pasrah dengan perlakuan para asisten yang usilnya minta ampun.
Kata-kata adalah doa. Jangan bermain-main dengan doa.“Semoga Zihan tidak melihat ini,” ucapan itu aku rapalkan saat menyaksikan video itu. Namun, itu sepertinya sebuah wishful thinking. Takdir seakan meledekku. Apakah ini akibat perkataanku kemarin?“Gila sih, kalau gak diselamatin tuh Rahima bisa terluka,” komentar Zul. Iya, benar poin Zul. Cuma aku berharap justru Mas Faux yang menyelamatkan, bukan Mas Shad. Ini akan jadi buah bibir lintas fakultas, dan menjadi luka. Luka bagi Rahima, bagi Zihan.“Kenapa kamu tampak mikir keras?” tanya Zul kepadaku. Aku menggelengkan kepala.“Bukan apa-apa Zul. Hanya ada beban di benakku. Ya sudah, kita masih harus fokus dengan har
Waktu itu hanya mengajarkan tiga hal: lalu, kini, nanti. Masa lalu untuk dipelajari, masa kini untuk dijalani, masa nanti untuk diperjuangkan.Mars kebanggaan FTEI mengudara bebas kala para wisudawan berjalan menuju sebuah bendera yang menjadi simbol kebesaran FTEI. Satu mars terakhir dikumandangkan oleh pemimpin para wisudawan, yang diikut oleh semua mahasiswa dan wisudawan FTEI.Asap segera memenuhi tempat itu, menandakan perayaan. Sementara itu, bendera raksasa yang menghalau mereka langsung digulung ke atas, membukakan jalan. Penampilan dari mahasiswa baru segera mengikuti.Para wisudawan pun berlalu setelahnya menuju tempat duduk yang tersedia. Bersama kedua orang tua mereka. Beberapa dengan pendamping mereka. Aku melihat asisten-asisten lab perempuan membawakan Zihan dari X-106 ke bawah. Ya kan, aku gak habis pikir kok
Ada banyak persahabatan yang dirusak oleh cinta. Ada banyak ikatan yang retak karena cinta. Ada banyak luka yang tercipta karena cinta. Pertanyaannya, apakah ini salah cinta?Mutia: Maaf baru selesai, Affa. [Link]Aku membuka link yang dikirimkan oleh Mutia. Sepertinya anak ini tidak terlalu bisa memakai git. Ah tidak masalah. Aku harus selesaikan pekerjaan ini sebelum tidur.Membaca seluruh kode, database, dan sistem yang diberikan. Aku mencoba memutar otak untuk memastikan semuanya sesuai. Azan subuh berlalu kala aku masih sibuk dengan pekerjaanku. Hembusan berat keluar dari mulutku setelah selesai azan.“Salat dulu. Sepertinya setelah tidur hari ini saja,” gumamku. Aku mengakhiri pekerjaanku dan mengambil wudu, melaksanakan subuh, lalu bera
Kepercayaan, sekali retak, tidak bisa kembali ke bentuk awalnya.Aku tersenyum. Rasanya luar biasa setelah selama ini berjuang tanpa keyakinan bahwa ada yang benar-benar menyokongku diluar kehidupan laboratoriumku. Ini menunjukkan, terlepas alasan mereka, ada keinginan mereka untuk membantuku.“Heh, mereka sebegitunya peduli,” ucapku kepada diriku sendiri. Aku menyadari sesuatu, dan segera menggunakan ZLTS untuk memeriksa orang yang aku curigai. Aini dan Nuraini Agustina match.“Jadi, dia orangnya?” gumamku datar. Aku melihat ke arah perempuan itu sekilas, ZLTS menunjukkan foto dia, yang membuatku mengetahui yang mana Aini. Aku menutup aplikasiku.“Ah, setidaknya aku sudah tahu,” bisikku pelan. Aku