Share

Bab 5. Kabar Bahagia Yang Menyakitkan.

"M-mas Arash lagi dinas ke luar kota, Bun ...." Hanum menggigit bibir bawahnya.

"Owh, begitu. Ya, sudah, Bunda akhiri dulu ya, nak. Jaga kesehatan, Bunda dan Ayah menyayangimu selalu. Assalamualaikum ...."

"Wa'alaikumsalam ...."

Tut ... Tut ... Tut

Panggilan pun berakhir.

Hanum diam sesaat, dia jadi teringat akan Bundanya-- Henna, wanita yang barusan menelpon. Wanita yang sangat menyayanginya, bahkan kasih sayang yang dia dapatkan dari wanita setengah baya itu lebih besar dari wanita yang melahirkannya.

Ya, Henna merupakan ibu tiri, istri pertama dari ayahanda tercinta. Marwan menikahi mamanya Hanum bukan karena wanita itu adalah wanita yang dia cinta, seperti kasus sang suami. Bukan. Bukan karena itu, melainkan paksaan dari Henna sendiri.

Henna memiliki masalah dengan kesuburannya, hingga membuat dia tak bisa melahirkan penerus keluarga.

Dulu, Hanum tidak menyukai istri kesayangan ayahnya tersebut, sebab Marwan selalu mencurahkan kasih sayangnya hanya untuk Henna, bahkan setelah mamanya Hanum-- Ros, melahirkan, perhatian Marwan tak berkurang barang sedikit pun terhadap wanita yang merelakan lelaki tercintanya menikahi wanita lain demi melanjutkan garis keturunan.

Marwan sering mengabaikan Ros, padahal wanita itu rela meregang nyawa hanya untuk melahirkan buah cinta mereka. Namun, tak jua membuat Marwan manjatuhkan hatinya kepada Ros, hingga membuat istri keduanya itu memendam kesakitan dengan menangis setiap hari. Hanum iba melihat sang mama selalu diabaikan, hingga kebencian terhadap Henna bersarang dalam hatinya.

Hanum tidak menunjukkan kebencian dengan berkata ketus atau menentang semua perkataan Santi, tidak. Hanum menunjukkan dengan mengabaikan, bahkan berpura-pura tidak mendengar setiap kata lemah lembut yang terlontar dari wanita bersahaja itu.

Sekarang, setelah apa yang menimpa dirinya, barulah Hanum menyadari betapa luas hati istri pertama ayahnya tersebut. Bisa menerima madunya bahkan merawat dirinya dengan limpahan kasih sayang. Rela mengorbankan kebahagiaannya demi sang suami bisa merasakan menjadi seorang lelaki seutuhnya.

"Maafkan Hanum, Bunda ...." Satu beningan meluncur begitu saja dari sudut indah netranya. Teringat akan perlakuan selama ini yang Hanum berikan kepada wanita setengah baya yang masih saja cantik rupanya.

***

Waktu cepat berlalu hingga tanpa terasa sudah seminggu saja terlewati. Hari demi hari berganti, tapi hati wanita yang tengah berbadan dua itu masih saja sama. Rapuh dan merasakan sesak yang teramat sangat.

Seminggu tak mendatap kabar dari Arash, membuat sesak yang dia rasa kian menjadi-jadi. Hanum tak tahan untuk tidak membuka akun sosmed sang suami. Mencari hal-hal apa saja yang sudah suaminya itu lewati dengan madunya, padahal hal itu bisa saja membuat luka dihatinya semakin terbuka lebar.

Tak ada pembaruan apapun di sana. Tak puas dengan yang apa dia dapatkan, Hanum mengetik nama wanita yang sekarang menyandang status yang sama dengan dirinya. Istri dari Arash Pramuda.

"Ya Allah, tebalkan rasa sabarku. Jangan biarkan rasa sakit dan cemburu menguasai hati dan fikiranku," lirihnya saat melihat akun sosmed sang madu. Terdapat foto ranjang besar yang ditutupi dengan alas berwarna putih, serta taburan kelopak mawar merah memenuhi ranjang. Tak lupa dua ekor angsa yang terbuat dari selimut, saling berhadap-hadapan. Kesan romantis begitu kental, membuat pikiran Hanum melanglang buana.

Perlakuan lembut dan hangat Arash yang biasa Hanum dapatkan selama ini menari di kepalanya, bukan karena wanita itu mengingatkannya, bukan. Hanya saja mengingat ******** yang selama ini dia dapatkan dari sang suami, juga diberikan oleh wanita lain.

Sakit, sesak dan perih, lagi-lagi memenuhi rongga dadanya.

"Kuat, Hanum. Kamu pasti kuat," gumamnya.

***

"Nak ..." pekik Henna yang melihat wanita cantik yang dia rawat sepenuh hati berdiri di depan pagar. Wanita setengah baya itu senang girang tak terkira.

Sama halnya dengan lelaki paruh baya yang terduduk di kursi roda. Pria itu menampilkan senyuman sempurna, pun ditemani dengan lelehan air mata di sudut matanya. Marwan bahagia. Tangannya terulur kedepan, tak sabar untuk mendekap sang putri tercinta.

"Hanum ...." Hanum dan Marwan bertukar pelukan setelah sebelumnya wanita cantik itu menyium punggung tangan Henna.

"Ayah terlihat semakin tampan saja," gurau Hanum setelah pelukan keduanya terurai.

"Hahahaha, kamu bisa saja, nak. Ayahmu ini sudah tua, sudah keriput. Tidak ada lagi bentuknya."

"Ish, kata siapa? Orang Ayah terlihat semakin gagah begini. Iya kan, Bun?"

"Iya, sayang. Ayahmu semakin tampan, begitu pun dengan putrinya, canti bak putri dongeng." Jika biasanya Hanum kesal mendengar pujian yang terlontar dari mulut Henna, maka tidak untuk sekarang. Hanum justru merasa senang.

"Bunda juga, cantik seperti permaisuri raja," sahut Hanum yang membuat Henna dan Marwan saling bersitatap, kaget dengan respon yang diberikan wanita cantik itu. Biasanya Hanum hanya akan diam.

"Bunda masak apa hari ini? Hanum kangen makan masakan Bunda." Wajah semringah Henna pancarkan, pun dengan Marwan. Pria tua itu menatap wajah sang putri dengan senyuman mengembang.

"Maaf, sayang. Hari ini bunda masak rendang karena ayahmu menginginkan makanan itu, andai Bunda tahu kamu datang hari ini, pastilah Bunda akan memasak makanan kesukaanmu," sahut Henna. Hanum tidak terlalu suka makanan dari olahan daging.

"Waaaah, enaknya. Dari semalam malahan Hanum kepengen banget makan rendang, alhamdulillah sekali Bunda masak rendang hari ini." Henna dan Marwan saling menatap dengan ekspresi kaget. Aneh sekali, pikir mereka.

"Yuk, masuk. Hanum udah laper banget, nih." Wanita hamil itu mengusap-ngusap perutnya yang masih rata.

Hanum mendorong kursi roda yang ditumpangi sang ayah, sedang Henna membawa koper kecil dan satu bingkisan berisi oleh-oleh.

"Suapi, Bun ..." rengek Hanum manja. Henna menyuapi Hanum dengan mata berkaca-kaca, pun sama halnya dengan wanita itu. Hanum mengunyah dengan sudut mata basah.

"Ada apa, nak? Mengapa kamu menangis, heum ... apa Arash menyakitimu?" Marwan mengusap sudut mata Putri satu-satunya itu menggunakan ibu jari dengan kening berkerut.

"Tidak, Ayah. Mas Arash sangat baik, Hanum menangis karena rendang ini terasa begitu lezat," balas Hanum dengan memaksakan tawa.

Meski jawaban Hanum terkesan aneh, tetapi Henna dan Marwan tak berniat menanyakan lebih lanjut.

Kurang lebih 2 Minggu lamanya Hanum berada di Yogyakarta, banyak sekali ilmu yang wanita itu pelajari, terutama tentang keikhlasan. Hanum pun bertekad mulai sekarang akan menerima pernikahan kedua sang suami dengan lapang dada. Dia ingin menjadi sosok Henna yang tangguh.

***

"Terimakasih sayang, terimakasih, nak," ujar sang mertua dengan mengelus puncak kepala Rasti. Melihat keakraban keduanya, membuat Hanum merasa tercubit.

'Mengapa semua berkumpul di rumahku?'

"Hanum ..." pekik sang mertua, sontak membuat para penghuni yang tengah mengerubungi Rasti, memandang kearah Hanum yang sedang berdiri di ambang pintu.

Termasuk dengan Arash, lelaki yang sudah sebulan ini tak dia jumpai, ataupun hanya sekedar bertukar kabar, juga menatap dirinya dengan pandangan tak terbaca.

"Sayang, kemarilah, nak. Lihatlah, ini." Sang mertua mengangkat benda pipih ke udara, agar Hanum yang berjarak satu meter darinya bisa melihat.

Tespack?

"Rasti hamil, sayang," ujarnya dengan berjingkrak senang.

Meski telah menyiapkan hati untuk mendengar kabar baik itu, tetap saja Hanum merasakan sakit.

"Rasti mengandung cucuku ...."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status