Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu

Kau Duakan Aku, Kubuat Sengsara Hidupmu

last updateLast Updated : 2025-05-31
By:  BemineUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
1 rating. 1 review
73Chapters
3.5Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Mertuaku datang tiba-tiba, dia bawa hadiah yang luar biasa untuk anak kesayangannya. Suamiku yang dokter itu senang, sampai aku tersingkirkan. Kuberi pilihan sederhana, sebelum mereka semua kena akibatnya. Tapi, hadiah yang dibawa mertuaku malah banyak tingkah!

View More

Chapter 1

Bab 1

“Baumu busuk sekali, Riska. Bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?” 

Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab napasku masih tersengal akibat lari pontang-panting dari rumah di ujung kompleks setelah mendapatkan kabar bahwa ibu mertuaku datang.

Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan tetangga yang tinggal di seberang rumah. Oleh karena itu, aku tidak tahu kalau ibu Bang Fahri bertamu.

Saking panik dan buru-burunya, aku bahkan nyaris tertabrak motor. Untungnya, aku berhasil menghindari, tapi akibatnya, aku justru jatuh ke selokan hingga pulang dengan celana basah dan bau.

“Kamu ini, diajak bicara malah diam. Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu kemari!?” kata ibu mertua lagi. “Tahu mertuamu mau datang tapi malah keluyuran. Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis! Masih untung Fahri bisa angkat telepon Ibu.”

“B-bukan begitu, Bu.” Napasku masih tersengal. “Aku benar-benar tidak tahu kalau Ibu mau datang. Kalau aku tahu–”

“Halah, alasan! Enggak tahu bagaimana? Ibu sudah telepon Fahri, sudah bilang kalau Ibu bakalan ke rumah. Kamu mau buat Ibu menyalahkan putraku sendiri?” Ibu mertuaku menyela. “Sudahlah! Kalau emang tidak suka, bilang saja!”

Semua omelan itu beliau katakan padaku yang masih berdiri di depan rumah. 

Diam-diam kulirik Bang Fahri yang diam saja, tidak ada pembelaan darinya sama sekali. Padahal, saat berpamitan tadi, Bang Fahri memang tidak membahas apapun soal ibunya yang akan datang.

“Maaf, Bu, tadi aku diajak ikut diskusi soal perayaan acara tujuh belasan. Jadi buat Ibu menunggu lama.” Akhirnya, setelah berhasil mengatur napas, aku mencoba menjelaskan sesantun mungkin. “Ayo masuk dulu, Bu. Aku buatkan minuman–”

“Ngapain!?” pekik ibu mertua. Ia sontak menjepit hidungnya dengan jijik saat aku mengambil satu langkah mendekat. “Tidak sudi aku minum minuman kalau kamu masih bau comberan begini! Memang dasar orang kampung!”

Deg. 

Sikap ibu mertua terlihat seakan-akan aku sejenis wabah penyakit. Namun, aku berusaha menepis hinaannya itu dengan pemikiran bahwa ibu mertua sedang emosi.

“Maaf, Bu, tadi aku jatuh ke selokan karena nyaris keserempet motor. Nanti aku ganti baju dulu ya.” Aku berkata dengan sabar.

“Goblok banget istrimu, Fahri. Haduh, Ibu capek ngomong sama dia.” Ibu mertua angkat tangan. ”Sudah, sana suruh istrimu minggir.” 

Beliau berbalik, kemudian melangkah pergi. 

Di antara rombongan yang datang, ibu mertua membawa dua orang, anak gadisnya yang masih kuliah serta seorang perempuan cantik yang tidak memakai jilbab. Dia menggerai rambut panjangnya, kacamata hitam bertengger di atas kepalanya. Bahkan, kuku jari dan kakinya berkuteks.

Aku mengikuti mereka di belakang, tapi dengan segera dicegat oleh Bang Fahri sampai-sampai tanpa sengaja aku menyenggolnya hingga meninggalkan noda cokelat yang menempel di kemeja putihnya.

“Argh, Riska ... kamu ini bagaimana sih!? Lihat ini, gara-gara kamu!” protes Bang Fahri seraya mengusap bagian depan bajunya yang terkena noda. “Aku nanti masih harus ketemu pasien. Sekarang jadi bau kayak kamu.”

Aku sedikit terkejut karena Bang Fahri meninggikan suaranya.

“M-maaf, Bang.”

“Ck. Sudah, masuk lewat pintu belakang sana. Kotor begitu kok mau masuk dari pintu depan,” ucap Bang Fahri. “Beberes sedikit, lalu ambilkan Ibu minuman dan camilan.”

Setelah mengatakan itu, tanpa menunggu responsku, Bang Fahri langsung berbalik, menyusul ibu mertua. Ditinggalkannya tiga koper di luar, tidak ada yang berniat mengambil. 

Terpaksa aku turun tangan, mendorong satu per satu ke dalam rumah. 

“Riska, mana minumannya?” teriak Bang Fahri ketus dari ruang tamu saat aku hendak membersihkan diri.

Aku mengiakan. Tidak ingin membuat mereka menunggu, aku batal mandi. Akhirnya aku hanya mencuci kaki dan berganti pakaian.

Kutepis dulu segala perasaan sakit hati, lalu menyiapkan minuman dan camilan di nampan untuk kubawa ke depan. 

Aku berjalan perlahan dengan nampan berisi empat gelas es teh dan dua piring kukis beda rasa. Terdengar sayup-sayup candaan mereka semua dari arah depan, sungguh menyenangkan, hangat, dan tenteram. 

“Iya, Fahri. Apa lagi kalau bukan itu. Ibu sengaja jauh-jauh bawa Ninik kemari ya karena itu.”

“Bu, jangan buru-buru begitu, mungkin Fahri belum siap ....”

“Ih, Ninik! Fahri itu dokter, seharusnya dia menikahnya dengan perempuan seperti kamu. Bukannya Ibu enggak suka sama Riska, tapi dia kampungan banget dari dulu. Enggak tahu namanya fashion, tidak punya duit juga!”

Deg! 

“Astagfirullah!” Aku berseru kaget.

Buru-buru aku melangkah ke depan. Nampan berisi gelas dan piring itu kuletakkan usai menghela napas dalam. Aku harus tenang, harus tenang ....

“Eh, Ris!” Ibu mertua berseru. Wajahnya santai, tidak terlihat terkejut meski baru saja menggores hatiku.

“Iya, Bu.”

“Duduk, Ris? Ibu mau bicara.” Ibu mertuaku menunjuk kursi di dekatnya.

Sebab, saat aku mengerlingkan mata, perempuan bernama Ninik itu menempati sofa di sebelah Bang Fahri. Bahkan, pria itu tidak merasa keberatan duduk berdekatan dengan perempuan yang tidak halal untuknya.

Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Harusnya bukan begini. 

Bang Fahri tidak pernah cerita soal ibu mertua dan yang lainnya akan datang. Kalau tahu, sudah pasti akan kumasakkan yang enak-enak dan rumah kurapikan, aku juga tidak akan pergi rewang.

“Bicara saja, Bu.” Aku menyahut, masih lembut.

Kutuntun diri menuju sofa sesuai arahan ibu mertua. Beliau tiba-tiba saja menatapku sinis, mungkin kesal atau apa ... entahlah. Selama menikahi anaknya, aku tidak pernah lagi bertemu beliau selain dari telepon dan video call, itu juga tidak jauh-jauh dari berbagai komentar dan peraturan yang ingin ditekankannya dalam rumah tanggaku.

Tapi, tiba-tiba saja ibu mertuaku menutup hidung. Wajahnya langsung merah dan bibirnya mencebik. Sadar diri, aku mengendus badan, seluruh tubuh bau keringat, pakaian lecek dan kumal, bahkan sedikit amis serta bau busuk bekas selokan.

“Riska, bisa enggak kamu mandi dulu?” ujar Bang Fahri padaku dengan intonasi ketus.

“Maaf, Bang ... aku mandi setelah ini, ya? Ada yang mau Ibu bicarakan denganku,” lirihku malu.

Aku serba salah saat ini, ingin pamit mandi tapi sudah terlanjur duduk, ingin tetap di sini tapi malah jadi bulan-bulanan Bang Fahri. Ya Allah, aku harus bagaimana ini ....

“Istrimu tidak becus, Fahri. Ibu lihat rumah kalian juga jelek begini, kusam, kuno, ketinggalan jaman banget. Ini pasti seleranya Riska, kan? Harusnya kamu minta Ibu ke sini buat ngurus dan atur rumah ini, Fahri!” tutur ibu mertua yang membuatku semakin tertunduk.

“Iya, Bu. Itulah, Bu ... entah apa kerjanya Riska selama ini! Padahal kerja juga tidak, di rumah saja, tapi rumah malah berantakan, kuno dan jadul Bu!” sambung Bang Fahri.

Aku tidak menduga jika Bang Fahri akan bicara begini. Bukankah dia juga tahu kalau kami harus berhemat hingga belum bisa membeli perabotan rumah tangga yang baru dan bagus? Ini semua masih bawaan dari rumah saat dibeli.

“Hah, sudahlah! Besok biar Ibu dan Ninik saja yang handle. Bikin sakit mata kalau terus-terusan lihat rumah begini,” sambung ibu mertua sembari mengitari rumah dengan matanya.

Cercaan mereka datang bertubi-tubi. Aku tidak mengerti kenapa mereka bersikap begini. Bukankah harusnya kami saling beramah-tamah? Ini pertemuan pertama setelah sekian lama.

“Maksudnya bagaimana, Bu? Ke-kenapa Ibu atau dia yang akan mengatur rumah kami?” tanyaku terbata seraya menunjuk Ninik.

Perasaanku berombak, jadi tidak karuan. Kenapa Bang Fahri begitu riang, lalu ibu mertua dan Salma seakan tidak keberatan dengan sikap Bang Fahri dan perempuan asing itu?

“Ris, kamu tahu sendiri kan, kalau Fahri itu Dokter, sedangkan kamu cuma ibu rumah tangga. Kamu juga tidak kuliah, kerja serabutan dengan gaji tidak seberapa.” Ibu mertua mengalihkan topik.

Dua tangannya terlipat di dada. Dia juga memandangku sebelah mata.

Untungnya, aku sudah cukup menempa diri selama ini. Cibiran begini tidak akan membuatku runtuh.

“Ya, Bu ... lalu?”

“Ibu mau Ninik jadi istrinya Fahri!”

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Faisalicious
Keren banget thor ceritanya! Semangat nulisnya ya.... Jangan lupa buat tinggalin jejak juga ya di novel terbaruku, judulnya TULANG SUCI NAGA ABADI
2025-05-26 19:59:26
0
73 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status