Mertuaku datang tiba-tiba, dia bawa hadiah yang luar biasa untuk anak kesayangannya. Suamiku yang dokter itu senang, sampai aku tersingkirkan. Kuberi pilihan sederhana, sebelum mereka semua kena akibatnya. Tapi, hadiah yang dibawa mertuaku malah banyak tingkah!
View More“Baumu busuk sekali, Riska. Bikin mual. Begini caramu menyapa mertuamu?”
Aku tidak bisa langsung menjawab, sebab napasku masih tersengal akibat lari pontang-panting dari rumah di ujung kompleks setelah mendapatkan kabar bahwa ibu mertuaku datang.
Sejak pagi aku sudah ada di sana, ikut kegiatan sosial berkat undangan tetangga yang tinggal di seberang rumah. Oleh karena itu, aku tidak tahu kalau ibu Bang Fahri bertamu.
Saking panik dan buru-burunya, aku bahkan nyaris tertabrak motor. Untungnya, aku berhasil menghindari, tapi akibatnya, aku justru jatuh ke selokan hingga pulang dengan celana basah dan bau.
“Kamu ini, diajak bicara malah diam. Ngaku saja, kamu tidak suka ya Ibu kemari!?” kata ibu mertua lagi. “Tahu mertuamu mau datang tapi malah keluyuran. Ibu sampai harus tunggu berjam-jam di depan rumahmu macam pengemis! Masih untung Fahri bisa angkat telepon Ibu.”
“B-bukan begitu, Bu.” Napasku masih tersengal. “Aku benar-benar tidak tahu kalau Ibu mau datang. Kalau aku tahu–”
“Halah, alasan! Enggak tahu bagaimana? Ibu sudah telepon Fahri, sudah bilang kalau Ibu bakalan ke rumah. Kamu mau buat Ibu menyalahkan putraku sendiri?” Ibu mertuaku menyela. “Sudahlah! Kalau emang tidak suka, bilang saja!”
Semua omelan itu beliau katakan padaku yang masih berdiri di depan rumah.
Diam-diam kulirik Bang Fahri yang diam saja, tidak ada pembelaan darinya sama sekali. Padahal, saat berpamitan tadi, Bang Fahri memang tidak membahas apapun soal ibunya yang akan datang.
“Maaf, Bu, tadi aku diajak ikut diskusi soal perayaan acara tujuh belasan. Jadi buat Ibu menunggu lama.” Akhirnya, setelah berhasil mengatur napas, aku mencoba menjelaskan sesantun mungkin. “Ayo masuk dulu, Bu. Aku buatkan minuman–”
“Ngapain!?” pekik ibu mertua. Ia sontak menjepit hidungnya dengan jijik saat aku mengambil satu langkah mendekat. “Tidak sudi aku minum minuman kalau kamu masih bau comberan begini! Memang dasar orang kampung!”
Deg.
Sikap ibu mertua terlihat seakan-akan aku sejenis wabah penyakit. Namun, aku berusaha menepis hinaannya itu dengan pemikiran bahwa ibu mertua sedang emosi.
“Maaf, Bu, tadi aku jatuh ke selokan karena nyaris keserempet motor. Nanti aku ganti baju dulu ya.” Aku berkata dengan sabar.
“Goblok banget istrimu, Fahri. Haduh, Ibu capek ngomong sama dia.” Ibu mertua angkat tangan. ”Sudah, sana suruh istrimu minggir.”
Beliau berbalik, kemudian melangkah pergi.
Di antara rombongan yang datang, ibu mertua membawa dua orang, anak gadisnya yang masih kuliah serta seorang perempuan cantik yang tidak memakai jilbab. Dia menggerai rambut panjangnya, kacamata hitam bertengger di atas kepalanya. Bahkan, kuku jari dan kakinya berkuteks.
Aku mengikuti mereka di belakang, tapi dengan segera dicegat oleh Bang Fahri sampai-sampai tanpa sengaja aku menyenggolnya hingga meninggalkan noda cokelat yang menempel di kemeja putihnya.
“Argh, Riska ... kamu ini bagaimana sih!? Lihat ini, gara-gara kamu!” protes Bang Fahri seraya mengusap bagian depan bajunya yang terkena noda. “Aku nanti masih harus ketemu pasien. Sekarang jadi bau kayak kamu.”
Aku sedikit terkejut karena Bang Fahri meninggikan suaranya.
“M-maaf, Bang.”
“Ck. Sudah, masuk lewat pintu belakang sana. Kotor begitu kok mau masuk dari pintu depan,” ucap Bang Fahri. “Beberes sedikit, lalu ambilkan Ibu minuman dan camilan.”
Setelah mengatakan itu, tanpa menunggu responsku, Bang Fahri langsung berbalik, menyusul ibu mertua. Ditinggalkannya tiga koper di luar, tidak ada yang berniat mengambil.
Terpaksa aku turun tangan, mendorong satu per satu ke dalam rumah.
“Riska, mana minumannya?” teriak Bang Fahri ketus dari ruang tamu saat aku hendak membersihkan diri.
Aku mengiakan. Tidak ingin membuat mereka menunggu, aku batal mandi. Akhirnya aku hanya mencuci kaki dan berganti pakaian.
Kutepis dulu segala perasaan sakit hati, lalu menyiapkan minuman dan camilan di nampan untuk kubawa ke depan.
Aku berjalan perlahan dengan nampan berisi empat gelas es teh dan dua piring kukis beda rasa. Terdengar sayup-sayup candaan mereka semua dari arah depan, sungguh menyenangkan, hangat, dan tenteram.
“Iya, Fahri. Apa lagi kalau bukan itu. Ibu sengaja jauh-jauh bawa Ninik kemari ya karena itu.”
“Bu, jangan buru-buru begitu, mungkin Fahri belum siap ....”
“Ih, Ninik! Fahri itu dokter, seharusnya dia menikahnya dengan perempuan seperti kamu. Bukannya Ibu enggak suka sama Riska, tapi dia kampungan banget dari dulu. Enggak tahu namanya fashion, tidak punya duit juga!”
Deg!
“Astagfirullah!” Aku berseru kaget.
Buru-buru aku melangkah ke depan. Nampan berisi gelas dan piring itu kuletakkan usai menghela napas dalam. Aku harus tenang, harus tenang ....
“Eh, Ris!” Ibu mertua berseru. Wajahnya santai, tidak terlihat terkejut meski baru saja menggores hatiku.
“Iya, Bu.”
“Duduk, Ris? Ibu mau bicara.” Ibu mertuaku menunjuk kursi di dekatnya.
Sebab, saat aku mengerlingkan mata, perempuan bernama Ninik itu menempati sofa di sebelah Bang Fahri. Bahkan, pria itu tidak merasa keberatan duduk berdekatan dengan perempuan yang tidak halal untuknya.
Sebenarnya, apa yang telah terjadi? Harusnya bukan begini.
Bang Fahri tidak pernah cerita soal ibu mertua dan yang lainnya akan datang. Kalau tahu, sudah pasti akan kumasakkan yang enak-enak dan rumah kurapikan, aku juga tidak akan pergi rewang.
“Bicara saja, Bu.” Aku menyahut, masih lembut.
Kutuntun diri menuju sofa sesuai arahan ibu mertua. Beliau tiba-tiba saja menatapku sinis, mungkin kesal atau apa ... entahlah. Selama menikahi anaknya, aku tidak pernah lagi bertemu beliau selain dari telepon dan video call, itu juga tidak jauh-jauh dari berbagai komentar dan peraturan yang ingin ditekankannya dalam rumah tanggaku.
Tapi, tiba-tiba saja ibu mertuaku menutup hidung. Wajahnya langsung merah dan bibirnya mencebik. Sadar diri, aku mengendus badan, seluruh tubuh bau keringat, pakaian lecek dan kumal, bahkan sedikit amis serta bau busuk bekas selokan.
“Riska, bisa enggak kamu mandi dulu?” ujar Bang Fahri padaku dengan intonasi ketus.
“Maaf, Bang ... aku mandi setelah ini, ya? Ada yang mau Ibu bicarakan denganku,” lirihku malu.
Aku serba salah saat ini, ingin pamit mandi tapi sudah terlanjur duduk, ingin tetap di sini tapi malah jadi bulan-bulanan Bang Fahri. Ya Allah, aku harus bagaimana ini ....
“Istrimu tidak becus, Fahri. Ibu lihat rumah kalian juga jelek begini, kusam, kuno, ketinggalan jaman banget. Ini pasti seleranya Riska, kan? Harusnya kamu minta Ibu ke sini buat ngurus dan atur rumah ini, Fahri!” tutur ibu mertua yang membuatku semakin tertunduk.
“Iya, Bu. Itulah, Bu ... entah apa kerjanya Riska selama ini! Padahal kerja juga tidak, di rumah saja, tapi rumah malah berantakan, kuno dan jadul Bu!” sambung Bang Fahri.
Aku tidak menduga jika Bang Fahri akan bicara begini. Bukankah dia juga tahu kalau kami harus berhemat hingga belum bisa membeli perabotan rumah tangga yang baru dan bagus? Ini semua masih bawaan dari rumah saat dibeli.
“Hah, sudahlah! Besok biar Ibu dan Ninik saja yang handle. Bikin sakit mata kalau terus-terusan lihat rumah begini,” sambung ibu mertua sembari mengitari rumah dengan matanya.
Cercaan mereka datang bertubi-tubi. Aku tidak mengerti kenapa mereka bersikap begini. Bukankah harusnya kami saling beramah-tamah? Ini pertemuan pertama setelah sekian lama.
“Maksudnya bagaimana, Bu? Ke-kenapa Ibu atau dia yang akan mengatur rumah kami?” tanyaku terbata seraya menunjuk Ninik.
Perasaanku berombak, jadi tidak karuan. Kenapa Bang Fahri begitu riang, lalu ibu mertua dan Salma seakan tidak keberatan dengan sikap Bang Fahri dan perempuan asing itu?
“Ris, kamu tahu sendiri kan, kalau Fahri itu Dokter, sedangkan kamu cuma ibu rumah tangga. Kamu juga tidak kuliah, kerja serabutan dengan gaji tidak seberapa.” Ibu mertua mengalihkan topik.
Dua tangannya terlipat di dada. Dia juga memandangku sebelah mata.
Untungnya, aku sudah cukup menempa diri selama ini. Cibiran begini tidak akan membuatku runtuh.
“Ya, Bu ... lalu?”
“Ibu mau Ninik jadi istrinya Fahri!”
Aku tiba di rumah saat matahari sudah menguning. Perasaanku tidak karuan bukan karena berhasil melarikan diri pagi tadi tanpa kehilangan motor, melainkan karena pertanyaan besar terus bermunculan soal Bang Zul. Tidak bisa kupungkiri kalau aku mulai curiga dengan pria itu. Terlalu banyak hal aneh yang dilakukan olehnya setelah aku mengutarakan niat untuk membeli sebuah peternakan di kota. Tapi, saat ini aku belum punya kesempatan untuk mencari tahu atau membicarakannya secara langsung dengan Bang Zul.Saat aku tiba di teras rumah, terdengar dari dalam suara tangisan dan rengekan yang persis seperti bocah. Lalu, bersahut-sahutan dengan teguran dari ibu mertua. Di antara suara-suara itu tidak terdengar Ninik atau Bang Fahri.“Sudah, jangan nangis lagi. Kalau perempuan itu pulang akan Ibu marahi dia!” balas ibu mertuaku. Walau belum masuk ke dalam rumah, aku tahu tangisan itu terjadi karena aku membawa motor ke peternakan. Mungkin dia kesal sebab tidak bisa membawa motor ke sekolah, ata
“Kenapa? Kamu cemburu karena aku nyebut soal pria itu?” terka Kak Nah padaku sembari menyikut punggungku.“Tidak, bukan begitu, Kak. Pertanyaan Kakak itu membuatku berpikir hal yang sama. Sudah dua pria dalam hidup kita digoda oleh Ninik dan mereka langsung terpedaya dengan kecantikan perempuan itu. Bagaimana kalau Ninik dan Bang Zul bertemu nanti?”“Bagaimana apanya? Ya tinggal kamu usaha dong supaya mereka nggak ketemu. Dari pada mengobati seseorang yang sudah sakit, lebih baik mencegah. Apalagi pria bernama Zul itu adalah teman dari masa kecilmu, kan? Kalau kamu yang bicara dengannya, pasti dia akan dengar,” jelas ke arah lagi. “Emangnya kamu Rela Kalau pria sebaik itu diambil oleh Ninik? kalau itu sampai terjadi, berarti ada tiga orang dalam hidupmu yang direbut oleh perempuan itu. pertama suamimu sendiri, kedua pacar sahabatmu sendiri, dan ketiga Teman dari masa kecilmu sendiri.”Aku sepakat sekali dengan perempuan itu, benar-benar tidak ingin hal itu terjadi. Aku tidak rela Nin
Aku memilih melewati Ninik, enggan meladeninya lagi. Biarkan saja perempuan itu menjerit, memekik, atau menghancurkan dinding. Sebab, besok pagi aku punya misi penting. Setelah meninggalkan Ninik, aku masuk ke dalam rumah. Suasana sudah sangat sepi, ruang telivisi juga kosong. Orang-orang yang tadi duduk di atasnya kini tidak terlihat, mereka sudah masuk ke kamar dengan meninggalkan sampah, piring dan juga gelas di atas karpet. Hatiku meradang melihatnya, tapi saat ini aku hanya harus bertahan dan membiarkan mereka. Hal yang lebih penting untuk dilakukan itu besok pagi. Malam itu, aku tidur nyenyak dengan perasaan gembira. Ekspresi Ninik yang kesal, serta perdebatan yang kudengar saat rebahan di ranjang, mengantarku ke dalam mimpi indah yang damai. Lalu, pagi tiba. Aku bergegas bangun lebih cepat dari biasanya, salat Subuh, memakai pakaian, menyiapkan kebutuhan seharian, lalu mengisi ransel dengan BPKB motor serta STNK-nya. Untung saja dua buku ini masih aku yang simpan, jadi Bang
Pria itu malah tertawa. Dia langsung membuka dompet, mengeluarkan dua lembar uang seratusan yang tersimpan rapi di dalamnya. Diserahkannya uang itu pada Kak Nah dengan setengah membentak. Aku tersinggung, hendak menegurnya. Tapi Kak Nah mencegah, tangannya terlentang di depanku, menahanku. “Oke, anggap kita tidak pernah bertemu!“ Kak Nah memutus hubungannya dengan pria itu. Membuatku menelan ludah di sampingnya. Pria itu mencibir Kak Nah, mengatai Kak Nah tidak tahu diri. Padahal, untung saja perempuan sepertinya ada yang mau, tapi malah membuat masalah dan berakhir dengan perpisahan. “Tentu saja aku memilih pisah. Untuk apa hidup dengan pria busuk macam kamu?“ ujar Kak Nah. Kak Nah langsung menarikku, kami hendak berlalu. Namun, terhenti karena kami mendengar ucapan Ninik pada Pria itu. “Ah, makasih, ya? Aku kenyang.“ Aku menoleh, Ninik sudah bangun dari kursi. Dia sibuk membenarkan daster seksi yang dipakainya sejak siang. “Tentu, Nik. Kamu mau pesan apa lagi?“ Pria
Aku berusaha mengalihkan perhatian Kak Nah agar perempuan itu tidak berteriak. Jika hal itu terjadi, maka ketenangan di kafe ini akan rusak karena kami. “Itu si Pelakor, kan?” tanya Kak Nah padaku sembari menunjuk meja yang ada di serambi Cafe. Kami memilih meja yang ada di dalam Cafe agar bisa foto-foto dengan konsep estetik. Sedangkan di luar Cafe ada beberapa meja lain yang beratapkan pepohonan dan langit malam. Tinggal pilih mau duduk di mana. Untungnya jarak meja kami dengan meja yang ditempati oleh perempuan itu cukup jauh, ditambah lagi dia terlihat sangat bahagia dengan seseorang yang saat ini menemaninya. Karena itulah kehadiran kami tidak disadari olehnya. Beberapa kali aku melirik ke arahnya, tapi Kak Nah malah menatapnya terang-terangan. Meski sudah ku peringatkan, Kak Nah tetap tidak mundur. Bibirnya komat-kamit, mata perempuan itu bergetar, sepertinya Kak nah benar-benar tertarik dengan kehadiran Ninik di cafe ini. Pantas Ninik belum pulang ke rumah, ternya
“Tidak ada yang minta pendapatmu, paham?” sergah ibu mertua padaku meski orang yang aku ajak bicara bukanlah dirinya. “Aku juga tidak minta pendapat Ibu, karena ini adalah motorku. Tapi aku minta kalian jangan bersikap semena-mena hanya karena aku tidak melawan selama ini. Kalian tidak punya hak untuk mengambil motor milikku,” jelasku pada ibu mertua dan Bang Fahri. Namun ibu mertua malah mencibir. Perempuan itu tidak peduli dengan semua kata yang aku ucapkan barusan. Dia malah sibuk melihat motor baru yang dibawa oleh Bang Fahri. Motor itu berwarna hitam, ukurannya sangat besar, jauh lebih besar daripada motor miliknya kemarin apalagi dibandingkan motorku. Terlihat sangat nyaman untuk dikendarai apalagi digunakan saat perjalanan jarak jauh.Mendadak, aku juga ingin punya kendaraan seperti milik Bang Fahri. Terlihat cukup nyaman digunakan saat bolak-balik dari rumah ke peternakan.“Kamu lihat ini? Kamu lihat motor bagusnya Fahri?” Ibu mertua mencibirku.“Sudahlah Bu, tidak perlu b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments