Share

Bab 4 - Hati yang Diam

Aвтор: Rizki Adinda
last update Последнее обновление: 2024-10-15 15:19:15

"Arum… kalau kamu harus memilih, apa kamu akan memilih keluarga atau cinta?"

Suara Ratna menggema di ruangan kerja Arum sore itu. Mata Ratna menatap sahabatnya dengan penuh kekhawatiran, namun Arum tak segera menjawab. Ia hanya terdiam, membolak-balik buku catatan di meja, mencoba menghindari tatapan Ratna yang seolah menyelidiki.

Mendengar pertanyaan itu, Arum menghela napas pelan. Pertanyaan itu—sesederhana dan seserius apapun—adalah pertanyaan yang menghantui dirinya sejak pertemuan terakhirnya dengan Rendra.

"Aku… aku belum tahu, Na," jawab Arum akhirnya, mengakui ketidakpastian yang mengusik hatinya. "Aku tahu aku punya tanggung jawab pada keluarga, apalagi setelah Mama tidak ada. Tapi…"

"Tapi kamu juga mencintainya, kan?" sela Ratna, suaranya pelan namun sarat makna.

Arum menunduk, dan Ratna tak perlu mendengar jawabannya untuk tahu apa yang dirasakan sahabatnya. Ratna tahu lebih dari siapa pun bagaimana beratnya posisi Arum, terjebak di antara cinta dan keluarga.

Namun, di dalam hatinya, Ratna menyimpan sesuatu yang tak pernah ia katakan—sesuatu yang selama ini ia jaga erat, tersembunyi di balik senyum hangat dan perhatian yang ia berikan untuk Arum.

Ratna telah mencintai Rendra sejak mereka remaja, namun ia tak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. Melihat Arum dan Rendra semakin dekat sejak kepulangan Rendra, membuatnya tak berdaya, seolah hatinya sendiri tersayat.

Namun Ratna selalu memilih diam, memilih berada di samping Arum tanpa membiarkan perasaannya diketahui.

Ia tak ingin membuat Arum merasa bersalah, dan terlebih lagi, ia tahu bahwa Rendra tak pernah menatapnya seperti ia menatap Arum. Baginya, cinta itu cukup ia pendam, meski menyakitkan. Ratna hanya ingin melihat sahabatnya bahagia, meski itu berarti ia harus mengorbankan perasaannya sendiri.

"Arum, kalau kamu memang mencintainya, jangan ragu untuk memperjuangkannya," kata Ratna lembut, suaranya penuh keikhlasan yang tulus. "Terkadang, memilih sesuatu yang kita inginkan itu lebih baik daripada mengorbankan semuanya untuk orang lain."

Arum menatap Ratna dengan terkejut, lalu tersenyum penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Ratna. Kamu memang selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik."

**

Sementara itu, di rumah Santoso, Rendra duduk di ruang kerja yang sunyi, tatapannya kosong menatap jendela. Pikirannya melayang pada Arum, dan semakin lama ia mencoba melupakan perasaan itu, semakin kuat perasaannya mengikat.

Ia tahu bahwa keputusan untuk mempertahankan hubungannya dengan Arum bukanlah hal yang mudah, namun ia juga tahu bahwa mencintai Intan hanya demi kepentingan keluarga akan menghancurkan keduanya.

Namun, di tengah kegalauannya, tiba-tiba ponsel Rendra berbunyi. Nama Fajar tertera di layar, dan tanpa berpikir panjang, Rendra mengangkatnya.

"Rendra, kau di mana?" suara Fajar terdengar tegas. "Aku butuh bantuanmu. Ini soal Ratna."

Mendengar nama Ratna disebut, Rendra langsung merasa ada sesuatu yang tidak biasa. “Ada apa dengan Ratna?”

“Dia… dia sedang mengalami masa sulit. Kurasa kau perlu berbicara dengannya. Kamu kenal Ratna lebih lama daripada aku, mungkin dia akan lebih terbuka padamu,” kata Fajar. Meski suara Fajar terdengar biasa, ada nada khawatir yang tak bisa disembunyikan.

"Baiklah, aku akan coba bicara dengannya," kata Rendra, lalu mengakhiri panggilan. Pikirannya berputar, tak pernah menyangka bahwa Ratna mungkin juga menyimpan beban yang selama ini tak ia ketahui.

Tak lama kemudian, Rendra menghubungi Ratna dan mengajaknya bertemu. Ratna, meskipun terkejut, setuju. Mereka memilih sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat yang nyaman dan sepi.

**

Setelah duduk di meja kafe itu, Rendra menatap Ratna yang tampak gelisah. Meski Ratna berusaha menyembunyikan perasaannya, Rendra bisa melihat bahwa ada sesuatu yang membuat sahabatnya itu tertekan.

"Ratna, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut.

Ratna tersenyum kecil, namun senyum itu terlihat rapuh. "Aku baik-baik saja, Rendra. Terima kasih sudah mau bertemu."

Rendra hanya mengangguk, menunggu Ratna melanjutkan. Namun, Ratna tampak ragu, seolah tak tahu bagaimana harus memulai. Suasana hening, hingga akhirnya Ratna menghela napas panjang dan menatap Rendra dengan mata yang penuh keraguan.

“Aku hanya ingin kamu tahu, Rendra… bahwa kadang, ada cinta yang harus rela diam,” katanya akhirnya, suaranya bergetar. “Kadang, cinta itu cukup hanya ada di hati, tanpa harus dimiliki.”

Rendra tertegun, merasakan ada kedalaman yang tak ia mengerti dari kata-kata Ratna. Ia mendengarkan dengan seksama, namun dalam hatinya, ia merasakan kesedihan yang sulit ia jelaskan.

“Aku tahu kamu dan Arum punya perasaan yang kuat,” lanjut Ratna, meski ia berusaha keras agar suaranya tetap stabil.

“Dan meski aku ingin mendukung kalian, aku… aku tak bisa menahan perasaan ini. Bukan berarti aku ingin merusak apapun di antara kalian, tapi aku ingin kamu tahu bahwa… aku pernah mencintaimu, Rendra.”

Kata-kata itu terucap dengan pelan namun jelas. Rendra terdiam, merasakan gelombang emosi yang mendadak melingkupinya. Ia tak pernah menyangka bahwa Ratna—sahabat yang selalu ada untuknya dan Arum—menyimpan perasaan seperti itu.

Ratna menunduk, merasa malu dan gugup. Ia tak pernah berencana untuk mengungkapkan perasaannya, namun saat ini ia tahu bahwa ia perlu melepaskannya agar ia bisa benar-benar merelakan Rendra dan Arum tanpa beban.

"Ratna…" Rendra berkata pelan, mencoba mencari kata yang tepat. "Aku… aku tak pernah tahu."

Ratna tersenyum getir, mengusap matanya yang berkaca-kaca. “Aku tahu. Itu sebabnya aku selalu diam. Aku tak ingin merusak apapun di antara kita.”

Rendra merasa bersalah, tapi ia juga tak ingin membuat Ratna merasa lebih terluka. Ia menatapnya dengan lembut, berusaha memahami bagaimana beratnya menyimpan perasaan seperti itu.

“Terima kasih sudah memberitahuku, Ratna,” kata Rendra dengan penuh ketulusan. “Aku sangat menghargai kejujuranmu. Dan aku… aku sangat menghargai dirimu sebagai sahabat yang selalu ada.”

Ratna tersenyum kecil, mencoba menahan air matanya. “Aku hanya ingin kamu bahagia, Rendra. Jika bersama Arum bisa membuatmu bahagia, aku… aku akan mendukungmu.”

Keduanya terdiam, membiarkan perasaan itu mengalir di antara mereka tanpa kata. Bagi Ratna, pertemuan ini adalah langkah terakhir untuk benar-benar melepaskan perasaannya. Ia tahu bahwa Rendra mencintai Arum, dan meski hatinya terluka, ia ingin sahabatnya bahagia.

**

Setelah pertemuan itu, Ratna pulang dengan hati yang lebih ringan. Ia telah mengucapkan sesuatu yang selama ini ia simpan sendiri, dan meskipun rasa sakitnya belum sepenuhnya hilang, ia merasa lebih ikhlas.

Ratna tahu bahwa cinta tak harus memiliki, dan ia memilih untuk melanjutkan hidupnya dengan menerima kenyataan itu.

Di malam yang sunyi itu, Ratna duduk di kamarnya yang penuh dengan lukisan dan kain-kain batik yang ia buat sendiri. Ia mengambil kuas dan mulai melukis, menuangkan perasaannya dalam sapuan warna yang lembut. Baginya, seni adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka yang ada di hatinya.

Namun, ketika ia tengah asyik melukis, pintu kamarnya diketuk. Ia membuka pintu dan menemukan kakaknya, Yudhistira, berdiri di sana, menatapnya dengan penuh perhatian.

"Kamu baik-baik saja, Ratna?" tanya Yudhistira dengan nada lembut.

Ratna tersenyum, meski ada air mata yang menetes di pipinya. “Aku baik-baik saja, Mas. Hanya… akhirnya aku bisa melepaskan sesuatu yang selama ini kutahan.”

Yudhistira mengangguk, lalu merangkul adiknya dengan penuh kasih. “Kamu kuat, Ratna. Apa pun yang kamu pilih, aku akan selalu ada untukmu.”

Di dalam pelukan kakaknya, Ratna merasa ada kehangatan yang ia butuhkan, sebuah dukungan yang membuatnya merasa tak sendirian. Ia tahu, meski hatinya terluka, ia memiliki keluarga dan teman-teman yang peduli padanya.

**

Di tempat lain, Rendra duduk di kamarnya, memikirkan pertemuannya dengan Ratna. Ia merasa bersalah sekaligus berterima kasih pada Ratna. Ia sadar bahwa Ratna adalah sosok yang begitu tulus dan berani, yang rela melepaskan perasaannya demi melihat kebahagiaan orang lain.

Namun, di tengah perasaan itu, Rendra tahu bahwa ia juga harus segera membuat keputusan—apakah ia akan tetap melanjutkan rencana pernikahannya dengan Intan, ataukah ia akan memperjuangkan cintanya pada Arum.

Dan di saat itulah, Rendra menyadari bahwa waktu untuk mengambil keputusan itu semakin dekat. Di tengah perasaan yang campur aduk, ia tahu bahwa hidupnya akan berubah tak lama lagi.

Dan keputusan yang ia ambil akan menentukan jalan hidupnya—dan juga hidup orang-orang yang ia cintai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hati yang Terikat Takdir   Chapter 100 - Cinta yang Terlahir Kembali

    “Arum, apakah kamu yakin sudah siap?” suara lembut Rendra terdengar, suaranya mengandung keraguan sekaligus harapan. Mereka berdiri di sebuah taman kecil yang dikelilingi pohon-pohon berbunga, diapit oleh senja yang memancarkan cahaya keemasan.Arum mengangguk pelan, memandang Rendra dengan tatapan yang tenang namun sarat makna. “Aku siap, Rendra,” jawabnya dengan suara mantap. “Untuk segala hal yang telah kita lalui, dan apa pun yang akan datang.”Senja di taman itu menjadi saksi kehangatan dan kedamaian yang akhirnya bisa mereka raih. Hanya dihadiri keluarga terdekat dan sahabat-sahabat terbaik, mereka memutuskan untuk memperbarui janji pernikahan mereka dalam keheningan, jauh dari keramaian dan drama yang dulu pernah membayangi hubungan mereka.Di sudut taman, Ratna, yang hadir bersama Aldi, menatap Arum dengan senyum bangga di wajahnya. Aldi, yang berdiri di sebelahnya, menganggukkan kepala seolah ikut merasakan kebahagiaa

  • Hati yang Terikat Takdir   Chapter 99 - Kesuksesan Ratna

    "Arum, kamu datang juga akhirnya!" Suara Ratna terdengar penuh semangat saat melihat sahabatnya melangkah masuk ke galeri tempat pameran terbarunya. Ratna segera menghampiri Arum, memeluknya dengan erat."Aku kan sudah janji, Na. Aku ingin lihat langsung semua karya hebatmu ini," jawab Arum sambil tersenyum hangat, matanya penuh kekaguman melihat ruangan galeri yang dipenuhi karya-karya Ratna.Dinding-dinding galeri dihiasi dengan lukisan-lukisan batik kontemporer yang unik, setiap goresannya memancarkan ekspresi hati dan jiwa Ratna.Ratna tertawa kecil sambil memandangi Arum. “Akhirnya, aku bisa berdiri di sini, Arum. Setelah semua yang terjadi…,” suara Ratna melirih, mengingat perjalanan panjang dan penuh rintangan yang telah ia lalui.Arum menepuk lengan Ratna pelan, seolah ingin menguatkannya. “Kamu pantas mendapatkan ini semua, Na. Setiap kerja keras, setiap air mata. Aku bangga padamu,” kata Arum dengan tatapan yang tu

  • Hati yang Terikat Takdir   Chapter 98 - Awal yang Baru

    "Apakah kita benar-benar siap untuk ini, Ren?" Arum bertanya sambil menatap mata Rendra yang penuh keyakinan.Rendra menggenggam tangan Arum erat. “Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu, kan?”Mereka berdiri di depan rumah kecil yang baru saja mereka sewa. Rumah itu sederhana, jauh dari kemewahan yang pernah mereka bayangkan, tetapi terasa hangat.Hawa sore yang sejuk menyusup di antara dedaunan pohon mangga di halaman, membawa aroma tanah yang khas dan memberi suasana damai.Arum memandang rumah itu dengan senyum tipis. “Aku suka rumah ini, Ren. Sederhana, tapi terasa seperti rumah sungguhan.”Rendra tersenyum, menyadari bahwa itulah yang ia inginkan selama ini. Rumah kecil dengan Arum, bukan istana megah yang dipenuhi intrik dan beban masa lalu.“Kamu tahu, Arum, ini mungkin pertama kalinya dalam hidupku aku merasa benar-benar tenang. Tidak ada tekanan dari keluarga, tidak ada skandal, hanya...

  • Hati yang Terikat Takdir   Chapter 97 - Rekonsiliasi

    “Apakah kamu sungguh yakin, Arum?” Rendra menatap dalam mata Arum, seolah berusaha menemukan keyakinan di sana.Arum tersenyum lembut, menggenggam tangan Rendra. “Aku yakin, Rendra. Aku juga sudah lelah berlarut-larut dalam keraguan. Mungkin kita memang harus melalui semua ini untuk benar-benar mengerti apa artinya kebersamaan.”Rendra mengangguk pelan, mata cokelatnya berkedip-kedip menahan emosi. Mereka duduk berhadapan di taman kecil yang penuh kenangan, di mana mereka berkali-kali bertemu dan berkali-kali pula bertengkar.Namun, sore ini terasa berbeda. Udara sore terasa hangat, dan aroma bunga melati yang lembut memenuhi suasana.“Aku ingin kita mulai dari awal,” ucap Rendra dengan nada mantap. “Tanpa janji-janji besar. Cukup kita saling percaya dan berjalan bersama.”Arum merasakan haru mengalir di hatinya. Semua luka yang pernah ada, semua pertengkaran dan air mata, perlahan-lahan terasa memuda

  • Hati yang Terikat Takdir   Chapter 96 - Keputusan Arum

    “Kamu yakin, Arum?” Suara Dimas terdengar lembut, penuh perhatian. Mereka duduk di beranda rumah keluarga Arum, ditemani angin malam yang sejuk dan secangkir teh hangat di tangan masing-masing.Arum menatap secangkir teh di pangkuannya, jari-jarinya membelai pinggiran cangkir dengan gerakan pelan. “Aku... mungkin ini aneh, Om, tapi aku tetap merasa ada sesuatu di antara aku dan Rendra yang sulit aku lepaskan. Meskipun... semua hal yang terjadi membuatku bertanya-tanya.”Dimas mengangguk, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Kadang cinta memang tidak mudah, Arum. Hubungan yang paling berarti sering kali yang paling sulit dipertahankan. Tapi, yang penting, kamu tahu kenapa kamu memilih untuk bertahan.”Arum menatap jauh ke depan, pandangannya melewati taman kecil di halaman rumah yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni. Keindahan itu, sekilas, mengingatkan dirinya pada momen-momen indah yang pernah ia alami bersama Rendra.

  • Hati yang Terikat Takdir   Chapter 95 - Kemandirian Ratna

    “Aldi,” suara Ratna terdengar lembut, tapi tegas. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe kecil yang tenang, dikelilingi oleh keramaian orang-orang yang tenggelam dalam percakapan mereka masing-masing. Namun, di antara mereka berdua, suasana terasa begitu hening, hampir seolah waktu berhenti.Aldi menatap Ratna dengan cermat, wajahnya sedikit bingung. "Ada apa, Ratna? Kamu kelihatan... serius hari ini."Ratna tersenyum kecil, namun ada sedikit kesedihan dalam tatapannya. “Aku rasa kita perlu bicara. Tentang kita.”Mata Aldi memancarkan keterkejutan. "Maksudmu... hubungan kita?"Ratna mengangguk pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Selama ini, kamu selalu ada untukku, bahkan di saat aku merasa paling jatuh. Kamu memberi dukungan yang luar biasa, dan aku sangat menghargainya. Tapi...”Aldi meraih tangan Ratna, menggenggamnya dengan lembut. “Tapi apa, Ratna? Apa yang kamu rasakan?”Ratna menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberania

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status