Di sebuah kota besar yang ramai di Indonesia, dua keluarga, Cahyaningtyas dan Santoso, dipersatukan oleh keadaan yang tak terduga. Arum Putri Cahyaningtyas dan Rendra Nugraha Santoso adalah sahabat masa kecil yang dulu pernah berjanji untuk selalu bersama. Namun, rangkaian pengkhianatan keluarga, rahasia masa lalu, dan cinta segitiga yang rumit, perlahan-lahan menguji kekuatan ikatan mereka. Kisah ini mengikuti nasib yang saling terhubung di antara keduanya, mengungkapkan bahwa bahkan hubungan yang paling kuat sekalipun bisa runtuh di bawah beban kebenaran yang tersembunyi. Saat mereka berusaha menavigasi cinta, patah hati, dan harapan dari keluarga, Arum dan Rendra dihadapkan pada pilihan sulit—apakah mereka harus mengikuti kata hati, atau tetap setia pada ikatan keluarga yang telah membesarkan mereka.
View More"Arum, kamu belum tidur juga?"
Suara lembut Bima, kakak Arum yang tengah mengintip dari ambang pintu, membuat Arum terlonjak. Di meja kamarnya, ia tengah sibuk menata laporan bulanan sekolah tempatnya mengajar. Raut lelahnya tak bisa disembunyikan, namun senyumnya tetap ia paksakan.
"Sebentar lagi, Mas," jawabnya pelan. Tatapannya kembali tertuju pada tumpukan kertas di hadapannya, tapi pikirannya melayang.
Malam itu, Arum tak sekadar bekerja. Ia mencoba melupakan rasa rindu akan kehadiran ibunya, sosok yang selama ini menjadi poros keluarganya.
Setelah ibunya meninggal setahun lalu, beban tanggung jawab terasa semakin berat di pundaknya. Bukan hanya sebagai guru di sekolah, tapi juga sebagai penopang keluarganya, menjaga dan merawat semuanya agar tetap utuh.
Bima mengangguk pelan, meski raut khawatir tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Kamu juga perlu istirahat, Rum. Jangan sampai sakit," nasihatnya, sebelum beranjak pergi.
Setelah Bima menutup pintu kamar, Arum melepaskan napas panjang. Sesaat, ia memejamkan mata, mencoba membendung perasaan yang tak pernah ingin ia ungkapkan—rasa lelah dan kesepian yang kadang-kadang begitu menyesakkan dada.
Keesokan harinya, Arum bangun lebih pagi dari biasanya. Pagi itu cerah, dan aroma kopi memenuhi dapur rumah keluarga Cahyaningtyas yang sederhana namun hangat. Ia duduk sendiri di meja dapur, menyeruput kopi sambil memandangi bunga-bunga yang perlahan mulai bermekaran di halaman.
"Arum!" Terdengar suara ceria dari luar pagar rumah mereka. Arum menoleh dan mendapati Ratna, sahabatnya, berdiri di sana, tersenyum sambil melambaikan tangan.
“Ratna! Sudah lama nggak main ke sini,” balas Arum, berusaha terdengar ceria.
Ratna mendekat, membawa sebuah keranjang kecil berisi kue bolu yang tampak masih hangat. "Buat kamu. Aku tahu kamu pasti sibuk, jadi sekalian bawain cemilan buatmu."
Arum tersenyum hangat. Meskipun Ratna dikenal sebagai sosok pendiam, dia selalu tahu cara membuat Arum merasa dihargai.
Mereka berdua duduk di beranda, mengobrol tentang kehidupan sehari-hari, namun, di sela-sela tawa kecil mereka, Arum tak bisa sepenuhnya mengalihkan pikirannya dari kenangan tentang masa kecilnya yang sering ia habiskan bersama Ratna dan Rendra.
"Aku dengar Rendra sudah kembali dari luar negeri, ya?" tanya Ratna tiba-tiba, membuat Arum tertegun.
Arum hanya mengangguk pelan. "Iya, dia kembali beberapa hari lalu. Tapi aku belum sempat bertemu. Ah, ya, mungkin dia sibuk."
Ratna memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Arum, seakan-akan ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi Ratna hanya tersenyum, paham bahwa ada hal-hal yang tak perlu ia desak dari sahabatnya.
"Kalau dia sudah kembali, mungkin kalian bisa mengulang janji kalian dulu, kan?" goda Ratna setengah bercanda.
Arum tersipu, namun ia menutupi rasa hangat di pipinya dengan menyeruput kopi lebih banyak dari biasanya. "Sudahlah, Ratna. Itu kan cuma janji anak kecil. Mana mungkin kita serius soal itu."
Namun, di dalam hati Arum, ia bertanya-tanya sendiri—apakah benar janji itu hanya janji anak kecil? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar nostalgia masa kecil mereka?
Di penghujung pagi, setelah Ratna pulang, Arum berangkat menuju sekolah. Selama perjalanan, pikirannya melayang ke masa-masa di mana ia dan Rendra masih bersama-sama di bawah sinar matahari yang terik, bermain di lapangan belakang sekolah dasar mereka.
Saat itu, mereka sering berjanji untuk selalu saling menjaga, tidak peduli seberapa jauh mereka terpisah.
Tapi sekarang, Rendra telah menjadi sosok yang berbeda. Ia sukses, berwibawa, seorang pria yang memiliki dunianya sendiri. Dunia yang mungkin tak lagi sama dengan dunia yang ditempati Arum.
**
Di sudut kota yang lain, Rendra duduk di balik meja kantornya yang megah, menatap keluar jendela besar yang memperlihatkan hiruk-pikuk kota. Ia baru kembali dari luar negeri setelah menyelesaikan pendidikannya di London dan kini tengah mengelola perusahaan keluarganya.
Namun, pikirannya tak sepenuhnya berada di tempat kerja; ada satu sosok yang mengusik hatinya sejak ia menjejakkan kaki di Indonesia.
Arum.
Nama itu terngiang di benaknya, mengingatkannya akan janji masa kecil mereka. Ia tahu, perasaannya terhadap Arum telah berubah seiring berjalannya waktu. Ia tak lagi melihat Arum sebagai sekadar teman masa kecil; ada sesuatu yang lebih kuat, sesuatu yang selama ini ia pendam.
Ponselnya berbunyi, menandakan pesan masuk dari sepupunya, Fajar.
Fajar: "Rendra, jangan lupa meeting keluarga malam ini. Ada yang perlu dibahas soal rencana pernikahanmu dengan Intan."
Rendra mendesah, menutup ponselnya dengan rasa berat. Pernikahan. Kata itu terlintas seperti bayangan gelap yang menggantung di atas hidupnya. Sesuatu yang tampaknya tak bisa ia hindari, meskipun hatinya tak pernah sejalan.
Sambil menghela napas, ia meraih jasnya dan beranjak keluar. Dalam benaknya, ia hanya punya satu tujuan sebelum menghadiri pertemuan keluarga malam itu.
Ia ingin bertemu Arum.
**
Ketika sore mulai merayap, Arum tengah beres-beres di ruang kelas setelah para muridnya pulang. Ia merasa sepi dan lelah, namun pada saat bersamaan, hatinya tenang. Mengajar selalu menjadi sumber kebahagiaan baginya.
“Arum.”
Suara yang ia kenal sangat baik itu membuatnya menoleh dengan cepat. Di ambang pintu, berdiri Rendra, dengan senyum yang ia kenal namun terasa lebih dewasa, lebih dalam.
“Rendra…” bisiknya, sedikit kaget namun senang. Ia terdiam sejenak, tak tahu harus berkata apa. Rendra melangkah mendekat, tatapannya hangat namun penuh makna.
"Sudah lama ya," ujar Rendra pelan, namun sorot matanya tetap tajam, seolah menelusuri wajah Arum, mencoba menemukan jejak masa lalu di balik mata lembutnya.
“Iya, sudah lama,” jawab Arum, mencoba tersenyum.
Mereka terdiam sejenak, hanya berdiri saling memandang. Waktu seakan berhenti, membiarkan keduanya terjebak dalam kenangan yang sama, dalam janji yang pernah mereka buat, dan dalam perasaan yang tak pernah benar-benar pudar.
Namun, tak lama kemudian, ponsel Rendra kembali berbunyi. Ia menghela napas, dan Arum bisa melihat keraguan di wajahnya.
“Maaf, aku harus pergi. Tapi… aku ingin bicara lagi sama kamu. Besok, mungkin?” Rendra berkata dengan nada penuh harap.
Arum mengangguk pelan. “Tentu, aku juga ingin dengar ceritamu.”
Setelah Rendra pergi, Arum hanya bisa berdiri, memandangi sosoknya yang perlahan menghilang di balik pintu kelas. Hatinya berdebar-debar, dan ia tahu, pertemuan ini akan membawa perubahan besar dalam hidupnya.
Di dalam hati, ia bertanya-tanya: apakah ini awal dari jawaban atas kerinduan yang selama ini ia simpan?
**
Di sisi lain, Rendra berjalan menjauh dengan perasaan campur aduk. Keluarganya sudah menunggu, rencana pernikahan dengan Intan yang tak diinginkannya semakin dekat, namun bayangan Arum dan perasaan yang ia miliki untuknya terus menghantui.
Ketika ia sampai di mobilnya, ponselnya berdering lagi.
Fajar: "Jangan terlambat, Rendra. Ada hal-hal yang keluarga besar perlu kamu pahami soal masa depan kita."
Malam itu, Rendra sadar, ia berdiri di persimpangan yang tak mudah. Di satu sisi, keluarga dan tanggung jawab yang selama ini ia pikul; di sisi lain, Arum dan janji masa kecil mereka yang begitu kuat mengakar.
Satu hal yang jelas baginya: hatinya terikat oleh takdir yang belum ia pahami sepenuhnya.
“Arum, apakah kamu yakin sudah siap?” suara lembut Rendra terdengar, suaranya mengandung keraguan sekaligus harapan. Mereka berdiri di sebuah taman kecil yang dikelilingi pohon-pohon berbunga, diapit oleh senja yang memancarkan cahaya keemasan.Arum mengangguk pelan, memandang Rendra dengan tatapan yang tenang namun sarat makna. “Aku siap, Rendra,” jawabnya dengan suara mantap. “Untuk segala hal yang telah kita lalui, dan apa pun yang akan datang.”Senja di taman itu menjadi saksi kehangatan dan kedamaian yang akhirnya bisa mereka raih. Hanya dihadiri keluarga terdekat dan sahabat-sahabat terbaik, mereka memutuskan untuk memperbarui janji pernikahan mereka dalam keheningan, jauh dari keramaian dan drama yang dulu pernah membayangi hubungan mereka.Di sudut taman, Ratna, yang hadir bersama Aldi, menatap Arum dengan senyum bangga di wajahnya. Aldi, yang berdiri di sebelahnya, menganggukkan kepala seolah ikut merasakan kebahagiaa
"Arum, kamu datang juga akhirnya!" Suara Ratna terdengar penuh semangat saat melihat sahabatnya melangkah masuk ke galeri tempat pameran terbarunya. Ratna segera menghampiri Arum, memeluknya dengan erat."Aku kan sudah janji, Na. Aku ingin lihat langsung semua karya hebatmu ini," jawab Arum sambil tersenyum hangat, matanya penuh kekaguman melihat ruangan galeri yang dipenuhi karya-karya Ratna.Dinding-dinding galeri dihiasi dengan lukisan-lukisan batik kontemporer yang unik, setiap goresannya memancarkan ekspresi hati dan jiwa Ratna.Ratna tertawa kecil sambil memandangi Arum. “Akhirnya, aku bisa berdiri di sini, Arum. Setelah semua yang terjadi…,” suara Ratna melirih, mengingat perjalanan panjang dan penuh rintangan yang telah ia lalui.Arum menepuk lengan Ratna pelan, seolah ingin menguatkannya. “Kamu pantas mendapatkan ini semua, Na. Setiap kerja keras, setiap air mata. Aku bangga padamu,” kata Arum dengan tatapan yang tu
"Apakah kita benar-benar siap untuk ini, Ren?" Arum bertanya sambil menatap mata Rendra yang penuh keyakinan.Rendra menggenggam tangan Arum erat. “Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu, kan?”Mereka berdiri di depan rumah kecil yang baru saja mereka sewa. Rumah itu sederhana, jauh dari kemewahan yang pernah mereka bayangkan, tetapi terasa hangat.Hawa sore yang sejuk menyusup di antara dedaunan pohon mangga di halaman, membawa aroma tanah yang khas dan memberi suasana damai.Arum memandang rumah itu dengan senyum tipis. “Aku suka rumah ini, Ren. Sederhana, tapi terasa seperti rumah sungguhan.”Rendra tersenyum, menyadari bahwa itulah yang ia inginkan selama ini. Rumah kecil dengan Arum, bukan istana megah yang dipenuhi intrik dan beban masa lalu.“Kamu tahu, Arum, ini mungkin pertama kalinya dalam hidupku aku merasa benar-benar tenang. Tidak ada tekanan dari keluarga, tidak ada skandal, hanya...
“Apakah kamu sungguh yakin, Arum?” Rendra menatap dalam mata Arum, seolah berusaha menemukan keyakinan di sana.Arum tersenyum lembut, menggenggam tangan Rendra. “Aku yakin, Rendra. Aku juga sudah lelah berlarut-larut dalam keraguan. Mungkin kita memang harus melalui semua ini untuk benar-benar mengerti apa artinya kebersamaan.”Rendra mengangguk pelan, mata cokelatnya berkedip-kedip menahan emosi. Mereka duduk berhadapan di taman kecil yang penuh kenangan, di mana mereka berkali-kali bertemu dan berkali-kali pula bertengkar.Namun, sore ini terasa berbeda. Udara sore terasa hangat, dan aroma bunga melati yang lembut memenuhi suasana.“Aku ingin kita mulai dari awal,” ucap Rendra dengan nada mantap. “Tanpa janji-janji besar. Cukup kita saling percaya dan berjalan bersama.”Arum merasakan haru mengalir di hatinya. Semua luka yang pernah ada, semua pertengkaran dan air mata, perlahan-lahan terasa memuda
“Kamu yakin, Arum?” Suara Dimas terdengar lembut, penuh perhatian. Mereka duduk di beranda rumah keluarga Arum, ditemani angin malam yang sejuk dan secangkir teh hangat di tangan masing-masing.Arum menatap secangkir teh di pangkuannya, jari-jarinya membelai pinggiran cangkir dengan gerakan pelan. “Aku... mungkin ini aneh, Om, tapi aku tetap merasa ada sesuatu di antara aku dan Rendra yang sulit aku lepaskan. Meskipun... semua hal yang terjadi membuatku bertanya-tanya.”Dimas mengangguk, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Kadang cinta memang tidak mudah, Arum. Hubungan yang paling berarti sering kali yang paling sulit dipertahankan. Tapi, yang penting, kamu tahu kenapa kamu memilih untuk bertahan.”Arum menatap jauh ke depan, pandangannya melewati taman kecil di halaman rumah yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni. Keindahan itu, sekilas, mengingatkan dirinya pada momen-momen indah yang pernah ia alami bersama Rendra.
“Aldi,” suara Ratna terdengar lembut, tapi tegas. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe kecil yang tenang, dikelilingi oleh keramaian orang-orang yang tenggelam dalam percakapan mereka masing-masing. Namun, di antara mereka berdua, suasana terasa begitu hening, hampir seolah waktu berhenti.Aldi menatap Ratna dengan cermat, wajahnya sedikit bingung. "Ada apa, Ratna? Kamu kelihatan... serius hari ini."Ratna tersenyum kecil, namun ada sedikit kesedihan dalam tatapannya. “Aku rasa kita perlu bicara. Tentang kita.”Mata Aldi memancarkan keterkejutan. "Maksudmu... hubungan kita?"Ratna mengangguk pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Selama ini, kamu selalu ada untukku, bahkan di saat aku merasa paling jatuh. Kamu memberi dukungan yang luar biasa, dan aku sangat menghargainya. Tapi...”Aldi meraih tangan Ratna, menggenggamnya dengan lembut. “Tapi apa, Ratna? Apa yang kamu rasakan?”Ratna menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberania
"Jadi... ini keputusanmu?" Suara Arga terdengar pelan namun penuh kepastian. Mereka berdua duduk di sebuah bangku di taman kota yang sepi, tempat di mana mereka sering berbincang saat masih remaja, ketika dunia terasa lebih sederhana.Arum menundukkan wajahnya, merasa berat hati untuk mengucapkan kata-kata itu, namun ia tahu bahwa ia harus jujur. "Iya, Ga. Aku... aku nggak bisa berpura-pura lagi. Aku sangat menghargai kamu, semua yang sudah kamu lakukan buat aku, tapi..."Arga tersenyum kecil, meski sorot matanya menyimpan luka yang dalam. "Tapi hatimu tetap untuk Rendra," potongnya, menyelesaikan kalimat yang mungkin sulit bagi Arum untuk diucapkan.Arum mengangguk perlahan. "Maaf... aku merasa begitu bersalah sama kamu. Kamu selalu ada, selalu mendukungku saat aku terpuruk, saat aku sendiri.""Arum," Arga memotong, suaranya terdengar lembut, namun tegas. "Kamu nggak perlu minta maaf. Aku tahu bagaimana perasaanmu dari awal, tapi aku selalu berharap bahw
"Arum..." Rendra menghela napas dalam, suara lembutnya nyaris tenggelam dalam keheningan sore yang menenangkan di taman kota. Ia menatap Arum dengan penuh harap, sementara gadis itu duduk di sebelahnya, tangan tertaut di pangkuannya, jelas menunjukkan kegugupan yang berusaha ia sembunyikan.Arum menunduk, melihat rerumputan yang bergoyang ditiup angin, mencoba menghindari tatapan Rendra. Ia tahu apa yang mungkin akan dikatakan Rendra. Di satu sisi, ada bagian dari hatinya yang ingin mendengarnya. Namun di sisi lain, ketakutan akan sakit yang sama terulang lagi membuatnya waspada."Aku tahu ini sulit bagimu," Rendra memulai lagi, nada suaranya penuh dengan kerendahan hati dan rasa bersalah yang selama ini tertahan. "Setiap kali melihatmu, aku sadar bahwa luka yang kuberikan masih membekas. Dan aku tahu, mungkin aku tak layak mendapatkan kesempatan kedua."Arum mengangkat wajahnya perlahan, menatap mata Rendra yang kini menunjukkan ketulusan yang dalam, jauh lebih
Arum duduk di teras rumahnya, memandangi langit sore yang mulai meredup. Di tangannya, secangkir teh hangat menemani keheningan pikirannya yang bimbang. Pesan dari Rendra semalam masih terngiang di kepalanya.Ia merasa bahwa setiap kata dalam pesan itu memancarkan ketulusan dan penyesalan yang dalam.Di sisi lain kota, Rendra memandang pantulan dirinya di cermin. Matanya menunjukkan kelelahan yang telah bersembunyi di balik ketenangannya selama ini. Kini, ia sadar bahwa tidak ada yang lebih penting daripada memulihkan kepercayaan Arum dan memperbaiki dirinya sendiri.Dengan tekad yang baru, Rendra turun ke ruang kerja kecilnya. Di sana, di tengah dokumen-dokumen dan berkas yang telah ia susun, ia memulai langkah pertama dalam menebus semua yang pernah ia rusakkan.Ia memutuskan untuk menyusun laporan penuh tentang setiap proyek keluarganya yang mencurigakan dan menyerahkannya ke pihak berwenang. Rendra sadar bahwa inilah satu-satunya cara untuk membuktika
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments