Sikap Allan terhadap Mimi, dengan menanyakan siapa cowok yang mengantarnya pulang, membuat Velia tidak jadi masuk ke dalam kamarnya. Dia menatap putranya yang tengah berhadapan dengan Mimi. Gadis itu terlihat kikuk dan takut-takut memandang Allan. Velia menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. "Tadi setengah lima sudah selesai, Kak. Kami mampir beli buku sebentar. Cuma itu, lalu diantar pulang." Mimi menjawab juga apa yang Allan tanyakan. Tidak kurang tidak lebih, Mimi sampaikan apa adanya. "Aku bukan maksud apa-apa, jika terjdi sesuatu denganmu, aku dan mama yang akan kena masalah dengan orang tua kamu. Paham?" Allan kembali bicara dengan nada ketus. Mata galak itu membuat Mimi cepat mengangguk lalu menunduk. Allan balik badan dan meninggalkan tempat itu. Mimi menghela napas panjang. Ada saja yang salah di mata Allan. Beberapa waktu terakhir dia sudah lunak, baikan, dan sedikit lembut. Kemudian, lagi-lagi kelakuan judes dan jutek muncul. Makhluk antik satu ini memang membingung
Mata Mimi melebar memandang Dayinta yang tampak sangat girang bisa bertemu Allan hari ini. Heran saja, Dayinta bilang jatuh cinta pada Allan? Padahal dia kenal pria itu hanya dari kisah Mimi, itupun kisah pilu hidupnya. Dan baru hari itu mereka bertemu, beberapa menit saja."Beneran kamu suka Kak Allan?" Mimi menegaskan pada Dayinta kalau memang itu yang dimaksud gadis berbadan besar itu."Ih, Mimi, dia cakep banget. Aslinya baik, kan? Perlu sentuhan lebih manis biar dia bisa baik lagi. Mi ... aku suka Kak Allan!" Dayinta merangkul Mimi sambil kembali melempar senyum manis."Day ... ngayal kamu. Kak Allan mana mikir soal cewek. Dia hari ini mau ke kampus, urus kuliahnya lagi," kata Mimi. Mereka berjalan menuju ke kelas."Ini hari pertama dia keluar dari gua pertapaannya? Ah, aku termasuk makhluk pertama yang dia lihat. Mimi ... seneng banget aku!" Dayinta sampai sedikit melompat saking senangnya."Terserah, deh. Aku kasih tahu aja, jangan lebay, daripada terluka sebelum waktunya." Mimi
"Ya, Mi?" Allan meletakkan sendok garpunya,melihat ke arah Mimi. Semakin hari Allan makin suka memperhatikan Mimi. Memandang wajahnya seperti ini, meneduhkan Allan. "Aku lega banget, Kakak bisa senyum. Aku suka." Mimi mencoba mengutarakan apa yang dia rasakan dengan kemajuan yang Allan tunjukkan. Tapi hati-hati dia bicara, takut Allan tersinggung. Mata Allan tertuju pada dua bola bening di depannya. Mimi bilang apa? Suka? Suka karena Allan bisa senyum? Kenapa hati Allan tiba-tiba berdesir? "Dulu Kak Allan suka senyum. Cakep banget. Rasanya gimana gitu, bisa lihat Kak Allan senyum lagi." Mimi melanjutkan ucapannya. "Ya ...." Allan kembali menyunggingkan senyumnya. "Lama aku ga senyum lepas. Aku juga senang, seperti ada beban yang lepas. Hatiku plong dan lega, Mi." "Kakak kayak gini terus, ya ...." Lebih pelan Mimi bicara, masih ada rasa takut salah ngomong. "Oke. Banyak senyum." Allan merasa hatinya penuh. Mimi membuat hidupnya berbeda. Dia akan lakukan yang Mimi minta. Senyum dan
Dayinta menetralkan napasnya. Dia pandang Ricky. Yang Ricky katakan membuat dia berpikir, apa benar Allan menyukai Mimi? Bukannya Allan masih perlu waktu menata hatinya? Dia selama ini juga menganggap Mimi seperti seorang adik. "Kalau kamu ga percaya buktikan saja. Kamu sudah dapat akses ke gua pertapaannya, kan? Datang saja ke sana." Ricky menantang Dayinta untuk membuktikan kata-katanya. "Hmm, kurasa aku akan buktikan feeling kamu bener nggak." Dayinta melihat Ricky. Lalu dia meneruskan menghabiskan makanannya. Ricky pun menuntaskan mengisi kampung tengahnya sembari sesekali melirik Dayinta. Ricky memang menaruh hati pada sahabatnya itu. Hanya dia tidak mudah bisa mendekati Dayinta. Ricky masih mencari cara jitu agar Dayinta mau menengok padanya. Sementara Allan dan Mimi sudah meluncur di jalanan. Hari terasa panas. Memang musim kemarau. Tapi hembusan angin memberi sedikit rasa sejuk untuk Allan dan Mimi. Tiba di rumah, Mimi langsung mandi. Rasanya gerah sekali. Mandi keramas bi
"Eh, bisa, Kak. Ya, bisa. Sebelum libur. Oke." Mimi menyudahi panggilan di telpon dari Nehan. Lagi, cowok yang berhasil mencuri hati Mimi itu mengajak Mimi mengisi acara di sebuah pernikahan, berduet lagi. Mimi selalu senang bisa bersama Nehan meski dag dig dug tak berhenti di dadanya. Dan bagus sekali momennya, sebelum libur kuliah. Karena setelah itu Mimi akan pulang ke Surabaya. Liburan, wajib berkumpul dengan keluarga. Dia sudah rindu papa dan mamanya.Mimi melangkah akan meninggalkan rumah. Di depannya Allan berdiri menatap padanya. Mimi tidak tahu apa arti pandangan Allan kali ini. Dia tidak seramah biasanya, tapi juga bukan sedang marah. Entahlah. Apa lagi yang terjadi dengan cowok itu? "Aku sudah siap, Kak." Mimi memecah keheningan di antara mereka. Tanpa bicara Allan keluar rumah, Mimi mengikutinya. Seperti biasa, Allan membonceng Mimi menuju ke kampus. Biasanya Allan akan mulai bertanya ini itu memastikan apa mereka bisa pulang bareng. Kali ini Allan tidak membuka suarany
Di depan kamar Mimi, ternyata Velia yang ada di sana, bukan Allan. Semalam ini baru Velia pulang. Pasti pekerjaan di kantor sedang padat. "Aku bawa martabak manis, kamu mau, Mi?" Ternyata Velia menawari kue. "Boleh, Tan. Asyik juga buat teman baca." Mimi tersenyum. Keduanya melangkah ke ruang makan. Mimi mengambil piring kecil, lalu Velia memberikan dua potong martabak manis dan atas piring Mimi. "Bener cukup dua aja?" tanya Velia. Sekarang dia mengambil potongan lagi untuk Allan. "Iya, Tan. Masih kenyang sebenarnya. Tapi kalau ketemu yang begini ga bisa nolak," ujar Mimi. "Okelah. Kamu lanjut sana. Aku mau kasih ini buat Allan." Velia tersenyum manis. "Ya, makasih, Tan." Mimi mengangguk. "Mi! Kamu jadi pulang Surabaya kapan?' Velia menahan langkah Mimi. "Minggu depan, Tan." Mimi menjawab. "Hm, baiklah. Aku mau siapin oleh-oleh buat mama kamu." Kembali senyum Velia melebar. Mimi mengangguk lagi lalu balik ke kamarnya. Ah, berharap bisa ngobrol dengan Allan ternyata masih mes
Pertanyaan Yudha membuat Allan merasakan debaran di dadanya. Mimi, gadis itu juga tak kalah terkejut. Wajahnya sedikit merona. "Eeehhh, sebenarnya ...." "Tidak apa. Bagus kamu sudah move on. Hidup memang terus berjalan. Kamu pantas bahagia, Lan." Yudha tersenyum lebar. Allan dan Mimi bertatapan. Tapi tak satupun dari keduanya yang berusaha meluruskan apa yang Yudha pikirkan. "Aku akan cukup lama menjalani hukumanku. Dan kamu, aku senang, kamu akan bisa meneruskan cita-cita kita. Dalton akan siap kapan saja mendukung. Aku harap kamu segera melejit dan dikenal banyak orang." Yudha melanjutkan perkataannya. "Apakah kamu tidak bisa melukis di sini?" Allan bertanya. "Bisa, tentu saja." Yudha menjawab cepat. "Kamu masih melukis atau tidak?" Allan memandang Yudha. "Belum pernah berhasil. Aku mencoba beberapa kali, aku merasa tidak puas. Yang aku bayangkan dan yang tertuang tidak sesuai, aku tidak mampu." Yudha menggeleng keras. Setelah peristiwa kelam yang dia alami, Yudha tidak bisa
Allan mengajak Mimi berjalan menuju taman perumahan yang tidak begitu jauh dari rumah. Hari belum terlalu malam, suasana masih asyik buat jalan berdua. Velia sangat senang melihat Allan banyak berubah. Dari yang dia perhatikan putranya sedang mendekati Mimi. Tentu saja hatinya gembira. Namun, dia tidak akan ikut campur, biar mereka melakukan dengan natural. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti? Allan melangkah dengan hati riang. Dia siapkan malam ini untuk bisa mendekati Mimi. Dia akan pakai waktu istimewa itu untuk mengungkapkan isi hatinya pada Mimi. Mimi yang ada di sisinya terlihat ceria. Di hari istimewa ini Allan memberi dia hadiah ulang tahun. Dia akan buka nanti hadiah dari Allan, saat sudah kembali ke rumah. Taman sepi. Hanya ada tiga orang tampak duduk-duduk di kursi taman. Allan mengajak Mimi duduk di sisi yang lain. Dia tidak ingin mengganggu dan terganggu dengan kehadiran orang lain. "Langit cerah, ya? Cantik, bulan hampir penuh." Mimi menatap langit di atas mere