Ketika seorang CEO meninggalkan takhta demi memahami arti kerja dan cinta yang sesungguhnya. Adrian Tanaka, pewaris muda kerajaan properti Tanaka Group, menyamar menjadi staf proyek bernama Ardi Santoso di cabang terpencil perusahaannya. Di tengah debu dan keringat pekerja lapangan, ia bertemu Maya Larasati — perempuan sederhana dengan tekad sekeras baja. Dari dunia yang berbeda, keduanya dipertemukan oleh kerja, diuji oleh rahasia, dan disatukan oleh cinta yang melampaui status. Namun, seberapa jauh kebenaran bisa disembunyikan sebelum segalanya runtuh? Penyamaran CEO Tanaka adalah kisah tentang ambisi, cinta, dan keberanian menjadi manusia seutuhnya di balik nama besar yang membelenggu.
View More“Sudah yakin, Bos?” suara Davin, asisten pribadinya, terdengar dari belakang. Pria itu bersandar di pintu, menatap Adrian seolah sedang menilai keputusan yang terlalu berani.
Adrian memutar kartu itu di antara jarinya. “Kalau aku terus di sini, aku hanya akan jadi bayangan ayahku. Aku ingin tahu rasanya jadi manusia biasa, Davin.”
“Manusia biasa tidak tidur di penthouse dan berangkat kerja pakai mobil dinas,” sahut Davin, sarkastik seperti biasa. Tapi nada bicaranya berubah serius. “Kau tahu, turun ke cabang tanpa identitas sebagai CEO... itu gila.”
Adrian menoleh. Tatapannya dingin, tapi di balik itu tersimpan sesuatu yang lebih dalam — kelelahan. “Aku sudah kehilangan ibuku karena ambisi. Aku tak mau kehilangan diriku juga.”
Davin terdiam. Hening melingkupi ruangan itu, hanya suara hujan yang menetes di balik kaca.
Akhirnya, Davin menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi kalau nanti ada yang mengenalimu, aku tidak mau ikut diseret.”
Adrian tersenyum tipis. “Kalau itu terjadi, aku anggap misiku gagal.”
Ia mengenakan jaket abu-abu polos — tanpa jas, tanpa dasi, tanpa simbol kebesaran Tanaka Group. Saat berjalan melewati lobi megah yang biasa tunduk padanya, untuk pertama kalinya, tak ada seorang pun yang menunduk memberi hormat. Rasanya asing... tapi juga membebaskan.
Truk proyek lewat meninggalkan debu di sepanjang jalan masuk cabang Timur. Udara di sana kasar, penuh aroma semen dan logam panas. Adrian — atau kini Ardi Santoso — menarik napas dalam-dalam. Dunia yang selama ini hanya ia lihat lewat laporan kini terasa nyata di hadapannya: panas, bising, dan hidup.
Seorang pria berjaket proyek datang menghampirinya. “Kamu staf baru, ya?” tanyanya.
“Iya, Pak. Nama saya Ardi,” jawabnya sopan.
“Bagus. Saya Darto, kepala proyek di sini. Hari ini kamu ikut tim lapangan, bantu Maya dan Risa di pengecekan struktur.”
Ardi mengangguk. Nama itu — Maya — terasa asing di telinganya, tapi entah kenapa membuat dadanya sedikit hangat.
Tiga jam berlalu. Ardi sudah berpeluh, kausnya basah oleh debu dan panas. Ia menyeka keningnya, berusaha mengingat cara memegang meteran yang benar.
“Eh, hati-hati!”
Sebuah suara lembut namun tegas terdengar di belakangnya. Seorang wanita berambut panjang menarik tangannya sebelum balok besi yang tergelincir menimpa kaki Ardi.
Ardi terpaku sesaat. Wajah wanita itu hanya berjarak sejengkal. Ada sorot mata tajam namun hangat di sana.
“Kamu baru ya?” katanya sambil menahan senyum. “Biasanya staf baru nggak langsung pegang alat kayak gitu.”
Ardi terkekeh kecil. “Iya, sepertinya aku memang belum terbiasa.”
Wanita itu menatapnya heran. “Kamu lulusan teknik?”
Ardi menahan diri untuk tidak menjawab jujur. “Bisa dibilang… sedikit tahu teori, kurang di praktik.”
Wanita itu mengulurkan tangan. “Maya. Karyawan kontrak di sini.”
“Ardi,” balasnya, menjabat tangan itu dengan sopan.
Di kejauhan, seorang pria berkacamata hitam memperhatikan mereka. Andra Putra — project manager cabang Timur. Tatapannya tajam, seperti sedang membaca sesuatu yang janggal dari cara bicara dan gestur Ardi.
Sore menjelang. Ardi berdiri di tepi proyek, menatap matahari yang hampir tenggelam di balik crane. Tangannya penuh kapalan baru, bajunya kotor. Tapi ada sesuatu yang berbeda di wajahnya — semacam kelegaan yang belum pernah ia rasakan bahkan setelah menandatangani kontrak bernilai miliaran.
“Capek juga ya?” suara Maya terdengar di sampingnya.
Ardi menoleh. Maya duduk di tumpukan semen, membuka kotak makan siangnya. Aroma nasi goreng buatan rumah menguar di udara.
“Kamu nggak bawa bekal?” tanyanya.
Ardi menggeleng. “Belum sempat masak.”
Maya tersenyum kecil, lalu menyodorkan sendok. “Ambil aja sedikit. Nggak enak kalau kerja perut kosong.”
Ardi sempat ingin menolak, tapi tatapan Maya terlalu tulus. Ia mengambil satu sendok kecil, dan entah kenapa rasanya jauh lebih lezat daripada hidangan hotel bintang lima mana pun.
“Terima kasih,” katanya pelan.
“Lain kali bawa bekal sendiri,” sahut Maya sambil tersenyum, lalu beranjak pergi.
Ardi menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Ada sesuatu di sana — ketulusan yang langka di dunia yang penuh ambisi seperti miliknya.
Malam itu, Ardi duduk di kamar kos kecilnya. Dindingnya tipis, suara televisi dari kamar sebelah terdengar jelas. Di meja, ia menulis beberapa kalimat di buku catatannya:
“Hari pertama. Dunia ini keras, tapi jujur.
Mereka bekerja bukan karena ambisi, tapi karena hidup.
Aku baru sadar... mungkin selama ini aku hanya memerintah tanpa benar-benar memahami.”
Ponselnya bergetar. Nama Davin muncul di layar.
“Gimana, Bos? Udah betah di dunia manusia biasa?” suara Davin menggoda.
“Belum tentu. Tapi... aku belajar sesuatu hari ini.”
“Oh? Tentang apa?”
Ardi tersenyum samar. “Tentang seseorang yang masih bisa tersenyum meski hidupnya berat.”
“Hmm... kamu jangan sampai baper di lapangan, ya. Ingat, itu cuma penyamaran, bukan perjalanan spiritual.”
“Aku tahu, Davin.”
“Tapi kalau ketahuan—”
“Semuanya berakhir,” potong Ardi tenang. “Aku siap risikonya.”
Tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu kosnya. Ardi menoleh, keningnya berkerut.
“Siapa?”
Tak ada jawaban. Hanya suara langkah cepat menjauh.
Ia membuka pintu perlahan — menemukan amplop berwarna cokelat di lantai. Di depannya, tak ada siapa pun.
Dengan hati-hati, ia mengambil amplop itu dan membukanya. Di dalamnya, hanya ada selembar kertas dengan tulisan tangan:
“Berhenti menyamar sebelum semuanya terlambat.
Kami tahu siapa kamu sebenarnya.”
Ardi menatap kertas itu, jantungnya berdetak cepat. Hujan mulai turun di luar jendela, deras, seolah menelan suara dunia.
Matanya sedikit perih, tapi semangatnya masih menyala.Entah kenapa, pikirannya sempat terlintas pada seseorang — Ardi, rekan barunya yang diam-diam menjadi alasan kenapa hari-hari di proyek terasa lebih ringan.Ia ingat bagaimana pria itu memperbaiki sistem laporan tanpa diminta, membantu tanpa pamrih, mendengarkan tanpa menghakimi.Mungkin karena itu, ia percaya padanya. Mungkin karena itu juga, ia tidak tahu bahwa kepercayaannya sedang menempel pada kebohongan yang besar.Di kamar kosnya, Adrian membuka buku catatan hitam yang sudah mulai penuh dengan coretan observasi, pikiran, dan refleksi kecil yang ia tulis setiap malam.Halaman terakhir bertuliskan:Hari ini aku sadar, penyamaran ini bukan lagi tentang menyelidiki sistem, tapi tentang menyelami manusia. Aku belajar bahwa bekerja keras bukan selalu soal ambisi — kadang, itu soal bertahan.Ia menatap kalimat itu lama, kemudian menambahkan baris baru:Aku pikir aku turun untuk memperbaiki mereka. Tapi ternyata, akulah yang diperb
Adrian berhenti sejenak dan melanjutkan kata-katanya.“Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa jujur — meski semua ini adalah kebohongan.”Setelah panggilan berakhir, Adrian menatap layar ponselnya lama. Lalu, perlahan ia menutup laptopnya, mematikan lampu, dan duduk di tepi ranjang.Dalam kegelapan kamar, pikirannya melayang pada dua dunia yang kini sama-sama memanggilnya.Di satu sisi, dunia lamanya — ruang rapat beraroma kopi mahal, suara sepatu mengilap di lantai marmer, laporan laba rugi yang tumbuh tanpa wajah manusia di baliknya.Di sisi lain, dunia yang kini ia tempati — barak kayu dengan lampu redup, tawa para pekerja yang sederhana, dan seorang perempuan bernama Maya yang bekerja bukan demi ambisi, tapi demi bertahan hidup.Ia memejamkan mata, dan dua dunia itu seolah berdiri berdampingan di pikirannya — tinggi dan rendah, bersih dan berdebu, dingin dan hangat.Kontrasnya begitu nyata, tapi anehnya, justru membuatnya ingin menjembatani keduanya.Keesokan harinya
Malam turun perlahan di langit Timur.Proyek sudah sepi, hanya suara serangga dan mesin pendingin barak yang berputar malas. Di kamar kos sempit yang ia sewa di dekat lokasi proyek, Ardi — atau lebih tepatnya, Adrian Tanaka — duduk di tepi ranjang dengan laptop terbuka dan layar ponsel menyala redup.Cahaya lampu pijar membuat bayangan wajahnya tampak samar. Tidak ada jas mahal, tidak ada ruang rapat kaca dengan panorama kota — hanya pria biasa dengan kemeja kusut, wajah letih, dan tangan yang masih berdebu sisa siang tadi.Ponselnya bergetar. Nama yang muncul di layar: Davin Haryono.Asisten pribadinya.Satu-satunya orang yang tahu siapa dia sebenarnya.Adrian menarik napas panjang sebelum mengangkat panggilan itu.“Davin.”Suara di seberang terdengar pelan, tapi penuh ketegangan. “Akhirnya kau menjawab. Aku sudah menelepon tiga kali.”“Maaf, sinyal di sini buruk.”“Sinyal buruk atau memang kau sengaja menghindar?”Adrian tersenyum samar. “Kau masih sama, Davin. Selalu menuduh dulu s
Risa menatap mereka bergantian, lalu berkata pelan, “Tahu nggak, kalian berdua kalau kerja bareng itu... klik banget.”Maya menepuk dahinya. “Risa.”“Aku serius! Aku belum pernah lihat kau bisa kerja seasyik ini, May.”“Karena kali ini aku punya partner yang nggak bikin stres,” jawab Maya spontan, lalu buru-buru menunduk, sadar kalimatnya bisa diartikan macam-macam.Ardi menatap layar, pura-pura sibuk memeriksa data, tapi senyum di sudut bibirnya sulit disembunyikan.Sore itu, setelah semua orang pulang, Maya masih duduk di mejanya, meninjau ulang hasil kerja mereka. Laporan itu sempurna — rapi, terstruktur, dan jelas. Ia merasa lega sekaligus terharu.Saat itulah, Ardi datang membawa dua bungkus nasi goreng dari warung depan.“Hadiah untuk kerja keras hari ini,” katanya.“Kau tak perlu repot.”“Aku lapar. Kalau kau tak mau, aku makan dua-duanya.”Maya tertawa kecil. “Baiklah. Tapi kau yang bayar minuman.”Mereka makan di meja kerja, sambil berbagi cerita kecil. Tentang pekerja yang s
Pagi itu udara di proyek terasa lebih hangat dari biasanya. Langit cerah, tapi hati Maya terasa sedikit mendung. Ia duduk di depan laptop tuanya di ruang administrasi, menatap lembar laporan yang terbuka setengah jalan — file Excel penuh kolom angka yang saling bertabrakan.Tenggat laporan bulanan dari pusat tinggal dua hari lagi. Pak Darto baru saja menegaskan pentingnya laporan itu karena akan dikirim langsung ke direksi pusat, dan semua data harus akurat — terutama data anggaran material.Masalahnya, format laporan kali ini berbeda dari biasanya. Rumus yang diminta tidak familiar, dan Maya sudah tiga kali mencoba tanpa hasil.“Kenapa malah error terus...” gumamnya frustrasi sambil menatap sel tak mau menghitung total. Ia menekan undo, tapi layar justru membeku.Satu hal yang lebih mengesalkan daripada laporan error adalah — kenyataan bahwa komputer di proyek selalu terasa seperti hidup di masa lalu.“Perlu bantuan?”Suara itu muncul dari belakangnya — tenang, rendah, dan sangat dik
Pak Darto menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. “Kau tahu kenapa aku masih jadi kepala proyek sampai sekarang?”“Karena Bapak berpengalaman?”“Bukan,” katanya pelan. “Karena aku tahu kapan harus mendengar, dan kapan harus berhenti mendengarkan.”Kata-kata itu menampar Ardi dengan halus tapi dalam. Ia tak bisa membantah — hanya menunduk dan mengangguk sopan.“Baik, Pak. Terima kasih atas waktunya.”Begitu keluar dari ruangan itu, udara luar terasa lebih panas dari biasanya. Tapi panas itu bukan dari matahari, melainkan dari sesuatu yang menekan di dadanya: rasa tidak berdaya.Sepanjang siang, Ardi berjalan kembali ke lapangan. Ia memperhatikan cara para pekerja berkoordinasi: satu orang berteriak memberi perintah, tapi lima orang lain menafsirkan dengan cara berbeda. Tak ada sistem pencatatan, tak ada pembagian peran yang jelas.Ketika salah satu pekerjaan salah ukuran, mandor hanya menggerutu, “Ya sudah, besok aja dibenerin.”Ardi menatap pemandangan itu dengan rasa campur adu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments