Penyamaran CEO Tanaka

Penyamaran CEO Tanaka

last updateLast Updated : 2025-10-17
By:  Jeff RyUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Not enough ratings
13Chapters
18views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Ketika seorang CEO meninggalkan takhta demi memahami arti kerja dan cinta yang sesungguhnya. Adrian Tanaka, pewaris muda kerajaan properti Tanaka Group, menyamar menjadi staf proyek bernama Ardi Santoso di cabang terpencil perusahaannya. Di tengah debu dan keringat pekerja lapangan, ia bertemu Maya Larasati — perempuan sederhana dengan tekad sekeras baja. Dari dunia yang berbeda, keduanya dipertemukan oleh kerja, diuji oleh rahasia, dan disatukan oleh cinta yang melampaui status. Namun, seberapa jauh kebenaran bisa disembunyikan sebelum segalanya runtuh? Penyamaran CEO Tanaka adalah kisah tentang ambisi, cinta, dan keberanian menjadi manusia seutuhnya di balik nama besar yang membelenggu.

View More

Chapter 1

Bab 1 – Turunnya Sang CEO

“Sudah yakin, Bos?” suara Davin, asisten pribadinya, terdengar dari belakang. Pria itu bersandar di pintu, menatap Adrian seolah sedang menilai keputusan yang terlalu berani.

Adrian memutar kartu itu di antara jarinya. “Kalau aku terus di sini, aku hanya akan jadi bayangan ayahku. Aku ingin tahu rasanya jadi manusia biasa, Davin.”

“Manusia biasa tidak tidur di penthouse dan berangkat kerja pakai mobil dinas,” sahut Davin, sarkastik seperti biasa. Tapi nada bicaranya berubah serius. “Kau tahu, turun ke cabang tanpa identitas sebagai CEO... itu gila.”

Adrian menoleh. Tatapannya dingin, tapi di balik itu tersimpan sesuatu yang lebih dalam — kelelahan. “Aku sudah kehilangan ibuku karena ambisi. Aku tak mau kehilangan diriku juga.”

Davin terdiam. Hening melingkupi ruangan itu, hanya suara hujan yang menetes di balik kaca.

Akhirnya, Davin menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi kalau nanti ada yang mengenalimu, aku tidak mau ikut diseret.”

Adrian tersenyum tipis. “Kalau itu terjadi, aku anggap misiku gagal.”

Ia mengenakan jaket abu-abu polos — tanpa jas, tanpa dasi, tanpa simbol kebesaran Tanaka Group. Saat berjalan melewati lobi megah yang biasa tunduk padanya, untuk pertama kalinya, tak ada seorang pun yang menunduk memberi hormat. Rasanya asing... tapi juga membebaskan.

Truk proyek lewat meninggalkan debu di sepanjang jalan masuk cabang Timur. Udara di sana kasar, penuh aroma semen dan logam panas. Adrian — atau kini Ardi Santoso — menarik napas dalam-dalam. Dunia yang selama ini hanya ia lihat lewat laporan kini terasa nyata di hadapannya: panas, bising, dan hidup.

Seorang pria berjaket proyek datang menghampirinya. “Kamu staf baru, ya?” tanyanya.

“Iya, Pak. Nama saya Ardi,” jawabnya sopan.

“Bagus. Saya Darto, kepala proyek di sini. Hari ini kamu ikut tim lapangan, bantu Maya dan Risa di pengecekan struktur.”

Ardi mengangguk. Nama itu — Maya — terasa asing di telinganya, tapi entah kenapa membuat dadanya sedikit hangat.

Tiga jam berlalu. Ardi sudah berpeluh, kausnya basah oleh debu dan panas. Ia menyeka keningnya, berusaha mengingat cara memegang meteran yang benar.

“Eh, hati-hati!”

Sebuah suara lembut namun tegas terdengar di belakangnya. Seorang wanita berambut panjang menarik tangannya sebelum balok besi yang tergelincir menimpa kaki Ardi.

Ardi terpaku sesaat. Wajah wanita itu hanya berjarak sejengkal. Ada sorot mata tajam namun hangat di sana.

“Kamu baru ya?” katanya sambil menahan senyum. “Biasanya staf baru nggak langsung pegang alat kayak gitu.”

Ardi terkekeh kecil. “Iya, sepertinya aku memang belum terbiasa.”

Wanita itu menatapnya heran. “Kamu lulusan teknik?”

Ardi menahan diri untuk tidak menjawab jujur. “Bisa dibilang… sedikit tahu teori, kurang di praktik.”

Wanita itu mengulurkan tangan. “Maya. Karyawan kontrak di sini.”

“Ardi,” balasnya, menjabat tangan itu dengan sopan.

Di kejauhan, seorang pria berkacamata hitam memperhatikan mereka. Andra Putra — project manager cabang Timur. Tatapannya tajam, seperti sedang membaca sesuatu yang janggal dari cara bicara dan gestur Ardi.

Sore menjelang. Ardi berdiri di tepi proyek, menatap matahari yang hampir tenggelam di balik crane. Tangannya penuh kapalan baru, bajunya kotor. Tapi ada sesuatu yang berbeda di wajahnya — semacam kelegaan yang belum pernah ia rasakan bahkan setelah menandatangani kontrak bernilai miliaran.

“Capek juga ya?” suara Maya terdengar di sampingnya.

Ardi menoleh. Maya duduk di tumpukan semen, membuka kotak makan siangnya. Aroma nasi goreng buatan rumah menguar di udara.

“Kamu nggak bawa bekal?” tanyanya.

Ardi menggeleng. “Belum sempat masak.”

Maya tersenyum kecil, lalu menyodorkan sendok. “Ambil aja sedikit. Nggak enak kalau kerja perut kosong.”

Ardi sempat ingin menolak, tapi tatapan Maya terlalu tulus. Ia mengambil satu sendok kecil, dan entah kenapa rasanya jauh lebih lezat daripada hidangan hotel bintang lima mana pun.

“Terima kasih,” katanya pelan.

“Lain kali bawa bekal sendiri,” sahut Maya sambil tersenyum, lalu beranjak pergi.

Ardi menatap punggungnya yang perlahan menjauh. Ada sesuatu di sana — ketulusan yang langka di dunia yang penuh ambisi seperti miliknya.

Malam itu, Ardi duduk di kamar kos kecilnya. Dindingnya tipis, suara televisi dari kamar sebelah terdengar jelas. Di meja, ia menulis beberapa kalimat di buku catatannya:

“Hari pertama. Dunia ini keras, tapi jujur.

Mereka bekerja bukan karena ambisi, tapi karena hidup.

Aku baru sadar... mungkin selama ini aku hanya memerintah tanpa benar-benar memahami.”

Ponselnya bergetar. Nama Davin muncul di layar.

“Gimana, Bos? Udah betah di dunia manusia biasa?” suara Davin menggoda.

“Belum tentu. Tapi... aku belajar sesuatu hari ini.”

“Oh? Tentang apa?”

Ardi tersenyum samar. “Tentang seseorang yang masih bisa tersenyum meski hidupnya berat.”

“Hmm... kamu jangan sampai baper di lapangan, ya. Ingat, itu cuma penyamaran, bukan perjalanan spiritual.”

“Aku tahu, Davin.”

“Tapi kalau ketahuan—”

“Semuanya berakhir,” potong Ardi tenang. “Aku siap risikonya.”

Tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu kosnya. Ardi menoleh, keningnya berkerut.

“Siapa?”

Tak ada jawaban. Hanya suara langkah cepat menjauh.

Ia membuka pintu perlahan — menemukan amplop berwarna cokelat di lantai. Di depannya, tak ada siapa pun.

Dengan hati-hati, ia mengambil amplop itu dan membukanya. Di dalamnya, hanya ada selembar kertas dengan tulisan tangan:

“Berhenti menyamar sebelum semuanya terlambat.

Kami tahu siapa kamu sebenarnya.”

Ardi menatap kertas itu, jantungnya berdetak cepat. Hujan mulai turun di luar jendela, deras, seolah menelan suara dunia.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
13 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status