Sudah empat hari Ricky berada di rumah Allan. Kondisinya cepat membaik. Ricky sangat nurut sama Mimi dan Dayinta yang merawatnya. Kedua gadis itu cerewet sekali, juga tegas mengurus semua keperluan Ricky. Saat mereka kuliah, Allan yang akan menemani Ricky. Di situ Ricky makin kenal Allan seperti apa. Allan pria yang baik. Dia cukup ramah dan menyenangkan. Ada saat dia suka bercerita, tapi lain kali dia bahkan tidak bicara apa-apa, hanya datang mengintip Ricky lalu pergi lagi. Velia juga ikut memperhatikan Ricky. Dia memastikan selalu ada makanan buat Ricky. Apalagi saat rumah sepi. "Hari ini jadwal kontrol ke dokter. Kalau melihat perkembangannya, kamu jauh lebih baik. Jam empat kita berangkat?" Dayinta melipat selimut di ranjang. Ricky sudah selesai mandi dan bersiap akan ke dokter sore itu. "Iya. Masih sepuluh menit lagi." Ricky turun dari ranjang, meraih jaket hitam di dekat bantalnya. "Aku bawain minum dan roti, mungkin nanti lama antre di dokter." Dayinta memperhatikan Ricky.
Perkataan Ferdinand dengan nada sedih itu, sungguh menyayat hati Allan. Ini bukan kali pertama Ferdinand meminta maaf. Dia sudah lakukan berulang kali sejak dia kembali bertemu Velia dan Allan. Sayangnya, hingga hari itu Velia masih memilih menyimpan marah pada Ferdinand. Dia belum bisa melepas maaf buat mantan suaminya itu. Allan memandang wajah Ferdinand. Kesedihan sangat jelas tergambar di sana. Dia mungkin hampir putus asa meminta maaf dari Velia. Dan pintu hati Velia masih tertutup untuknya. "Iya, Pa. Aku akan bicara dengan Mama. Papa sabar ya, pasti Mama akan memaafkan Papa." Allan mencoba membuat Ferdinand tenang. Buat Ferdinand satu yang jadi halangan dalam hidupnya adalah maaf dari Velia. Sejak rahasianya terbongkar, Ferdinand banyak sekali berpikir. Tentang semua yang dia telah lewati hingga dia mulai menua. Keegoisan, keserakahan, ketidakrelaan melepas masa lalu, itu mungkin yang jadi penyebab dia menipu dua wanita baik yang dia nikahi. Apalagi saat dia sakit, rasanya ma
Pembicaraan dengan Allan pagi tadi masih terus terngiang di telinga Velia. Ferdinand sangat ingin bisa bicara dengan Velia dan menyampaikan maaf padanya. Hati Velia terasa getir. Perjalanan hidupnya yang tidak mudah sejak dia kecil hingga sekarang, salah satunya karena apa yang dia alami dengan Ferdinand. Masa depan indah yang terpampang di matanya, keluarga manis serta bahagia yang dia idamkan semua berantakan karena hanya sandiwara belaka. Sekalipun Velia menocba tegar, semua begitu berat dia lalui. Sekarang, dia kembali ditantang untuk menghadapi pria yang melukainya. Kesalahan pernikahan itu bahkan membuat Velia tidak pernah mau berpikir tentang cinta seorang pria. Hidupnya dia abdikan untuk Allan. Hanya itu. "Allan ...." Velia membuka pintu kamar kerja Allan. Di dalam ruangan itu, Allan dan Mimi sedang berdua. Allan dan Mimi menoleh ke arah pintu. Velia memandang Allan dengan tatapan galau. "Ya, Ma ...," ujar Allan. "Aku mau bicara pada papamu. Bisakah kamu bantu aku?" Velia
Sepanjang sore hingga malam hari itu, rumah Velia menjadikan sunyi dan tegang. Biasanya masih terdengar suara tawa Allan dan Mimi atau nyanyian merdu Mimi mengumandangkan lagu kesukaannya. Karena kabar Ferdinad, mereka lebih banyak diam dan menunggu. Waktu berjalan seolah begitu lambat. Menunggu adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Kini, mereka menunggu kabar dari Lea seperti apa kondisi Ferdinand. "Ada kabar?" Velia bertanya pada Allan. Dia melongok ke kamar Allan. "Masih sama, Ma. Belum ada perkembangan." Allan memandang Velia. "Ya, baiklah." Velia meninggalkan kamar Allan masuk ke dalam kamarnya. Allan berdiri, dia tinggalkan meja dan menuju kamar Mimi. Dia ketuk pintu beberapa kali. Mimi sudah ada di atas ranjang. Mendengar ketukan di pintu, Mimi bangun. Dia membuka pintu, Allan di sana memandang dengan gundah. "Ga bisa tidur?" Mimi mencermati wajah Allan. Dia tampak lelah, tapi pasti sulit tidur. "Boleh aku peluk?" Allan menatap Mimi. Wajahnya tetap cantik meski sedikit
Tatapan Astari tajam pada Andini. Bagaimana bisa adiknya mengusulkan ide gila begitu? Andini mengelus dadanya karena ucapan terkejut Astari ketika tahu apa yang ada di kepalanya. "Dini, ini ... ga semudah kita bertengkar sama teman, baikan, lalu kita bisa main bareng lagi," kata Astari sambil menggeleng-geleng keras. Andini mengusap-usap rambutnya, menyandarkan punggung dengan sedikit hentakan karena jadi bingung. "Oke, ultah Papa kita buat istimewa. Aku setuju. Dia pasti happy, kita mau merayakan hari jadi Papa. Dalam situasi apapun, kita tunjukkan kita tetap sayang Papa. Tapi ... kalau minta Allan dan ibunya ke sini ...." Astari kembali menggeleng. "Kamu kira itu bisa kita lakukan?" Andini dan Astari secepat kilat menoleh pada suara itu. Lea, mama mereka, berdiri tidak jauh dari mereka berdua. Sepertinya dia sudah mendengar apa yang dibicarakan kedua putrinya itu. Andini dan Astari saling memandang, kuatir Lea akan marah dengan ide itu. "Eh, Ma ... itu hanya kepikir saja ... Eh
Kelegaan memenuhi hati Allan. Mimi berhasil membujuk mama Allan untuk menerima undangan keluarga Ferdinand. Mereka akan datang ke acara ulang tahun Ferdinand. Allan menemui Velia dan memastikan jika kabar yang Mimi bawa itu benar. Setelah mendapat kepastian dari Velia, Allan langsung memesan tiket untuk perjalanan. Berdua saja dengan Velia. Sebenarnya Allan juga ingin Mimi ikut datang ke Bandung. Sayang, Mimi ada kegiatan di kampus. Dia menjadi salah satu panitia, sehingga tidak mungkin tidak hadir selama acara. Pagi sebelum jam tujuh Allan dan Velia telah meninggalkan rumah. Mereka hanya akan menginap semalam di sana. Allan juga telah memesan hotel untuk dia dan Velia. Ini kali kedua Allan ke Bandung untuk bertemu keluarga Ferdinand. Perasaannya sangat berbeda dengan saat pertama dia pergi. Jika yang pertama dia merasa cemas dan kuatir akan penolakan, kali ini dia bisa tenang selama perjalanan. Velia yang merasa galau dan resah. Sejak dia bercerai dengan Ferdinand baru dua kali dia
Lea maju lagi dua langkah. Rasa kecewa yang selama ini menggelayut di hatinya tiba-tiba menguap. Rasa pilu karena dia pernah dikhianati, setelah bertemu langsung dengan Velia, semua itu seakan-akan terbang begitu saja. Lea memeluk Velia. Tangis Velia semakin jadi. Dia tidak bergerak, tidak juga menolak Lea. Ada kelegaan Velia rasakan, ada juga sedih yang masih berkejaran di dadanya. Perlahan Velia menata hati. Dia tidak mau kedatangannya ke Bandung akan berujung sia-sia. Dia membesarkan hati datang ingin semua yang pernah dia lewati akan menemukan ujung, lalu semua selesai. "Waktu terus berjalan. Anak-anak kita sudah dewasa. Mereka ingin melihat orang tuanya bahagia, tidak peduli apa yang terjadi di sekitar kita." Lea melepas pelukannya dan memandang Velia. Velia mengusap kedua pipinya dan mengangguk. "Aku tidak tahu bagaimana menghadapi Mbak Lea. Sekian tahun aku pergi, tidak ingin ada yang tahu jika aku pernah mengambil suami orang. Aku sangat takut, takut melukai hati seorang is
Kampus ramai dan meriah. Acara yang diselenggarakan di kampus Mimi untuk merayakan hari jadi universitas sukses besar. Pagelaran seni yang juga disiapkan berlangsung heboh. Panitia sangat puas dan bangga bisa mengadakan acara dengan lancar. Mimi yang sejak pagi sibuk, tidak merasa lelah karena hati yang gembira. Bersama panitia lainnya Mimi terus memastikan acara akan berakhir dengan baik hingga acara penutupan jam lima sore. "Great job, Guys! Thank you kerja kerasnya. Para dosen acungkan jempol buat kita. Huuhh!!" Ketua panitia bertepuk tangan girang saat mereka makan siang bersama. "Dahsyat kalian. Lanjutkan perjuangan!!" Salah seorang menimpali sambil angkat dua jempolnya. "Yesss! Lega banget. Ga sia-sia kerja keras selama ini!" Yang satu lagi berseru senang. "Mi, kamu jadi lo, isi acara. Jadi bintang tamu mewakili panitia saat penutupan nanti." Ketua seksi acara mendekati Mimi yang masih menikmati ayam bakar di depannya. "Hei, ngaco. Aku ga sempat latihan. Ntar lupa lirik cil