Andreas mengancingkan kemeja berwarna terakota yang akan ia kenakan. Meski waktu baru tergolong subuh hari, dengan langit fajar belum sepenuhnya menguning menyongsong pagi, pria itu sudah tampak lebih segar dengan rambut basah dan aroma mint pasta gigi setelah keluar dari kamar mandi beberapa belas menit yang lalu.
Selesai berpakaian lengkap, ia pun beranjak menuju sisi sebelah kiri ranjang. Hanya beberapa langkah dari pintu masuk terdapat kasur lipat yang terhampar di lantai bagian sisi tersebut, tempat di mana seseorang sedang meringkuk bagai bayi dalam selimut tengah terlelap di atasnya.
"Lukman," panggil Andreas pada sosok yang masih dibuai kantuk tersebut.
Namun tak ada jawaban berarti Andreas dapatkan selain dengkuran halus yang lirih terdengar.
"Lukman."
Sekali lagi hanya gumaman pelan yang Andreas dengar sebagai balasan, sembari tubuh personal asistennya itu berganti posisi telentang dengan dengkuran yang kini jauh lebih besar.
Rena mengakui, tempat kediaman yang ia tinggali dalam misi pelariannya memang terlihat luar biasa mengagumkan saat siang hari. Meskipun hanya tersisa berdua bersama Mbok Irma di bangunan yang luar biasa lapang serta sunyi ini, ditambah pekarangan pribadi yang luasnya setara town house, perasaan takutnya sudah jauh berkurang tidak seperti waktu pertama kali menginjakkan kaki ke sini seperti malam kemarin. Perlakuan baik yang ia terima dari Mbok Irma, benar-benar memberikan Rena rasa nyaman. Sekalipun pertemuan pertama mereka baru terjalin kemarin, Rena tidak merasakan kecanggungan apapun sebagaimana yang selalu ia hadapi ketika bertemu dengan orang-orang baru. Usia Mbok Irma yang mungkin hampir sepantaran umur ibunya, ditambah sikap welas asih sangat meneduhkan dari wanita itu, membuat Rena seolah merasa memiliki orang tua kedua yang sarat akan rasa mengayomi. Maka dengan tanpa sungkan, Rena pun mulai memanfaatkan kesempatan luang yang ada demi menjalin
Andreas tahu, berlama-lama menghindari Antonio juga tak ada gunanya. Cepat atau lambat, ia juga pasti akan berhadapan dengan pria tua itu, mengingat betapa gigihnya semua telepon dan pesan masuk yang terus saja meraung di layar ponsel miliknya maupun Lukman. Seperti sekarang ini, ketika jam makan siang kantor baru berakhir sepuluh menit lalu, Antonio datang menyambangi ruang kerjanya untuk menuntut banyak penjelasan tentang keberadaannya yang tiba-tiba hilang dari ruang komunikasi dan peredaran mata pria itu. "Darimana saja kamu? Galuh bilang semalam kamu nggak pulang ke apartemen." Galuh adalah sekertaris pribadi Antonio yang selalu menjadi mata dan telinga bagi pria itu dalam memantau keberadaan putranya. "Papa juga hubungi asisten kamu tapi malah nggak diangkat, apa kalian kerjasama buat menghindar, Andreas? Dan yang kemarin itu apa-apaan kamu? Bagaimana bisa perempuan sialan itu----" "Satu-satu." Andreas memotong kalimat berapi-api Antonio
Benar-benar sebuah lelucon menggelikan. Apalagi mendengar langsung bagaimana seorang Hendrawan Sanjaya berperan menjadi ayah bijaksana demi nama baik rumah tangga putrinya, yang bahkan tak pernah ia pedulikan. Sekalipun jasadnya sudah terkubur di dalam tanah. Andreas pikir, keluarga terlampau cuek seperti Sanjaya tidak terlalu senang mengundang orang lain ke dalam drama hidup mereka, selama hal itu tidak mengusik martabat dan nama baik yang mereka agung-agungkan. Namun dari pembicaraan singkatnya bersama Hendrawan di telepon beberapa jam lalu, sepertinya ayah mertuanya itu tak akan melepaskan Andreas dengan mudah kali ini. Apalagi setelah semua pemberitaan media yang terjadi. Lagipula ia yakin, bukan murni rasa empati pada Namira lah yang menggerakan Hendrawan mengungkit masalah berita penuh sensasi ini ke permukaan, tapi tidak lebih pada harga diri setinggi langit pria itu yang merasa tercoreng, karena sang menantu tidak lagi menganggap keberadaan mereka cukup
Rena menatap sayang lauk-pauk melimpah tersaji di hadapannya. Meja makan terlihat penuh itu seolah tampak kontras dengan jumlah ketiga penghuni yang belum tentu mampu menghabiskan jatah makanan sebanyak itu. Pukul sepuluh memang terlalu larut untuk disebut makan malam. Berterima kasihlah pada seseorang yang harus membuat mereka menunggu tanpa kepastian hanya untuk sekedar mengisi perut. "Apa sebaiknya Mbok telepon saja?" tanya Rena pada Mbok Irma karena wanita paruh baya itu beserta suaminya tetap bersikukuh menunggu kedatangan Andreas meski waktu sudah menunjuk jam-jam suntuk. Benar-benar bentuk loyalitas yang tak mampu dimengerti oleh Rena sendiri. Terutama jika loyalitas itu ditujukan pada sosok tanpa hati nurani seperti Andreas. Mbok Irma menggeleng pelan. "Neng Rena nggak apa-apa kalau memang mau makan lebih dulu. Mbok sama suami bisa nyusul sebentar lagi. Nggak perlu merasa sungkan, Neng. Mbok nyiapin makanan ini buat Neng Rena juga, Kok."
Andreas tak mengerti kenapa ia justru berakhir di hadapan bangunan dua lantai semi Belanda di depannya ini. Daripada memilih terlelap usai hari yang panjang di apartemennya sendiri, ia malah memutuskan menyetir menempuh lebih dari 60 kilometer perjalanan jauh-jauh ke Bogor. Masih lengkap dengan pakaian kerja yang sudah tak serapi tadi pagi karena berbagai kesibukan padat terlewati seharian. Melonggarkan simpul dasi, Andreas menghempaskan sisa rasa lelahnya bersandar sejenak pada kursi jok pengemudi, membiarkan kesunyian ruang menjadi temannya untuk berbagi penat. Karena pertemuannya dua jam lalu dengan keluarga Sanjaya, benar-benar menjadi penutup hari yang buruk untuknya.Andreas masih memandang lurus pemandangan beranda villa lengang di depan sana. Rasanya lucu sekali saat menyadari ia sudah dua kali menempuh jarak Jakarta-Bogor hanya dalam selang waktu dua hari, demi kembali berada di tempat yang sedari dulu selalu enggan untuk ia pijaki. Yang bahkan dalam li
Jika berpura-pura pingsan bisa membantunya meloloskan diri dari situasi ini, mungkin Rena akan mengambil opsi tersebut tanpa berpikir panjang. Namun yang jadi masalah, bagaimana caranya ia dapat bersandiwara jatuh terkulai tanpa membenturkan kepala ke lantai, dengan akting terlihat senatural mungkin dan meyakinkan. Karena Rena tak ingin usaha melarikan dirinya ini justru berujung geger otak atau bahkan berakhir dengan kepala bocor. Ia tidak menyangka kalau pepatah 'Mulutmu Harimaumu' akan benar-benar terealisasikan di hidupnya, menjadi karma dari semua kutuk serapah spontan yang ia lemparkan pada sang atasan barusan. "Pa-pak Andreas sejak kapan ada di situ?" Rena tak tahu mukanya sudah seberantakan apa. Ia mendadak berubah gagap saat mendapati keberadaan Andreas yang baru saja sejauh sambungan telepon, mendadak sudah ada di hadapannya bagai jelangkung tak diundang.Apalagi setelah lelaki itu sudah berdiri menjulang di hadapannya dengan wajah sengak seperti b
Meskipun sedari berjam-jam lalu perutnya dilanda rasa lapar, selera makan Rena justru lenyap entah ke mana begitu ia kembali mendudukkan diri di meja makan setelah semua hal memalukan yang baru terlewati. Bahkan Pak Umar yang menanyakan perihal wajah piasnya sekembali dirinya dari teras belakang, hanya dibalas Rena dengan sunggingan sungkan dan kalimat ia baik-baik saja untuk menutupi rasa malu yang tengah dirasakan. Belum lagi berselang beberapa menit kemudian, kedatangan Mbok Irma yang sudah menyusul masuk dan ikut bergabung ke meja makan semakin membuat perut Rena melilit tak karuan. Walaupun wanita paruh baya itu berusaha bersikap seramah biasa dan tersenyum sopan ketika tanpa sengaja mereka bertukar tatap, tetap saja Rena tak dapat menyembunyikan kecanggungan dan sikap salah tingkahnya. Ia benar-benar takut berasumsi tentang apapun yang ada di kepala Mbok Irma sekarang, setelah apa yang tidak sengaja wanita itu saksikan di teras belakang tadi. Sehingga m
Rena mengambil alih tugas dapur untuk membersihkan peralatan makan bekas santapan mereka bersama. Sebenarnya hal itu ia lakukan semata-mata agar punya kesempatan menghindar dari resiko terjebak obrolan canggung bersama Mbok Irma maupun Pak Lukman. Karena keduanya masih setia berbincang-bincang di meja makan dengan menyeduh secangkir teh dan mencamil kue Lupis sebagai penutup dari makan malam ini. Rena yang sempat ditawari ikut bergabung, menolak secara halus dengan beralasan ingin mencuci piring atau membereskan sisa-sisa bekas makanan yang ada. Walau sempat terlibat sedikit perdebatan dengan Mbok Irma karena beliau berkeras agar ia tak perlu repot-repot mengerjakan sesuatu yang bukan tugasnya, pada akhirnya kekeras kepalaan Rena lah yang berhasil memenangkan argumen singkat di antara keduanya. Ruang menyatu antara dapur dan meja makan yang hanya disekat oleh partisi kerai dan bufet tinggi tempat piring dan gelas kaca diletakkan, membuat dua bagian ruangan itu terhub