"Bagaimana keadaan Ibu sekarang?" tanya Rena tanpa berbasa-basi begitu panggilan ke nomor yang dituju berhasil diangkat di seberang sana. Seraya bersandar pada wastafel panjang berbahan marmer di belakangnya, Rena mengatur napas dan kerja normal jantungnya usai diberi serangan panik dari pesan kiriman Kayla yang baru saja masuk ke ponselnya. Suasana toilet convention hall yang ia masuki, terbilang cukup sunyi. Hingga membantunya memberi sedikit privasi dalam pembicaraan khusus ini bersama sang adik.
Masih terlihat jelas sisa peluh di sekitar dahi Rena saat ia dipaksa berlari keluar dari aula acara untuk menelepon Kayla, setelah sebelumnya gadis itu mengiriminya kabar lewat pesan chat tentang keadaan ibu mereka yang sempat drop dan dilarikan ke rumah sakit sore tadi.
Serangan kekhawatiran mendadak itulah yang membuat Rena bangkit tergesa dari kursinya dan segera berlari kesetanan menuju pintu masuk ruang balairung, mengabaikan pertanyaan Mas Tian dan yang lain saat menyaksikan raut panik tersebut. Mencari tempat lebih privasi untuk mengkonfirmasi kabar kondisi sang ibu lebih lanjut pada Kayla.
"Endema dan tekanan darah tingginya kambuh lagi, Mbak. Makanya Ibu sempat pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Tapi sekarang keadaannya sudah lebih mendingan. Mbak nggak perlu khawatir," ucap Kayla berusaha menenangkan.
Ia tahu Rena sangat mudah terbawa rasa cemas ketika mendengar keadaan ibu mereka jika sedang tidak baik-baik saja. Makanya Kayla lebih memilih mengabari Mbaknya itu saat ia yakin kondisi sang ibu sudah terasa membaik. Karena bukan mustahil bagi Rena bertindak nekat memesan tiket perjalanan kereta pulang ke Semarang hari itu juga jika Kayla memberi kabar tanpa pertimbangan matang.
Helaan napas lega pun tak bisa disembunyikan Rena mendengar angin segar itu. "Harusnya kamu langsung kasih tahu Mbak kalau terjadi sesuatu sama kondisi Ibu."
"Iya, maaf, Mbak. Kay sibuk mantau dan nungguin pemulihan Ibu, jadi baru sempat ngasih kabar sekarang."
Mendengar rasa sungkan tergambar dari kalimat itu, mau tak mau Rena berusaha mencoba memaklumi. "Iya, nggak apa-apa. Mbak ngerti."
"Kapan jadwal cuci darah Ibu berikutnya, Kay?" tanya Rena kembali, mengganti topik penting lain yang perlu dibahas keduanya. "Mbak akan usahakan kirim biaya perawatan itu secepatnya, tapi maaf belum bisa kalau harus hari ini."
"Iya, Kay ngerti. Jadwal hemodialisis Ibu juga baru akan kembali dimulai lusa nanti, Mbak."
Rena sejenak terdiam. Lusa bukan jangka waktu yang panjang dan terbilang cukup untuk memberinya waktu mencari pinjaman secara kilat. Sepertinya ia benar-benar harus mampu memutar otak memikirkan solusi terbaik, agar uang yang dibutuhkan bisa tersedia paling lambat besok malam.
"Emh, Mbak," panggil Kayla terdengar hati-hati, membuyarkan keterdiaman Rena. "Kalau cuma untuk membiayai satu dua sesi perawatan cuci darah Ibu minggu ini, Kay masih punya tabungan cukup untuk membantu---"
"Simpan saja, Kay." Rena buru-buru menyela. "Mbak usahakan besok udah dapat uang untuk dikirim. Jangan kuras tabungan kamu karena mungkin saja ada keperluan mendesak yang tiba-tiba kamu butuhkan di lain waktu."
Kayla mendesah pelan. Penawaran apapun yang ia usulkan, sudah pasti akan ditolak Rena jika hal itu menyangkut uang pribadinya. Padahal mereka tidak punya banyak pilihan jalan keluar untuk masalah ini. "Mbak mau ngutang lagi?"
"Untuk sementara iya, karena gaji Mbak baru ada di awal bulan berikut."
Meski Rena sendiri masih tidak yakin pilihan apa yang tersedia ke depan untuk mewujudkan janjinya itu, karena sumber bantuan satu-satunya seperti Bu Marisa juga tak dapat berbuat banyak. Namun, ia tak ingin memberi beban kekhawatiran tambahan pada adiknya.
Biarlah itu menjadi urusan dan masalah yang harus ia pecahkan jalan keluarnya seorang diri. Kayla cukup menjalankan tugas sebagai anak yang berbakti merawat ibu mereka, masalah tanggung jawab finansial apapun sudah menjadi tugas Rena sebagai tulang punggung keluarga.
Lagipula meskipun Kayla menawarkan bantuan dengan uang tabungannya yang berjumlah tak seberapa, Rena masih tetap harus mengusahakan uang perawatan yang sama besar di satu minggu berikut yang tersisa di akhir bulan, sebelum tanggal gajiannya nanti tiba.
"Tapi Mbak---"
"Mbak lagi di acara perusahaan sekarang, Kay. Nanti kita lanjutin ngobrolnya. Yang jelas untuk biaya cuci darah Ibu, Mbak akan kirim ke kamu paling lambat besok malam." Tanpa menunggu balasan dari penelepon di seberang, Rena segera mematikan sambungan. Sengaja agar Kayla tidak mengundangnya kembali pada perdebatan tentang hak kewajiban masalah biaya perawatan ini.
Meletakkan ponsel ke atas marmer dingin di belakangnya, Rena berbalik menghadap kaca lebar yang menggantung di atas wastafel. Memperhatikan dengan seksama penampilan rambut acak adut yang sempat dijambaknya frustasi, karena cemas menunggu panggilan terhubung yang cukup lama diangkat oleh Kayla.
Beruntung, kecemasannya tadi tidak sampai berdampak merusak tatanan riasan minimalis yang menghiasi wajah tirusnya. Mungkin Rena tidak akan tahu akan sekacau apa lagi penampilannya sekarang ini.
Usai merapikan sedikit rambut yang mencuat berantakan, Rena kemudian beralih membasuh tangan pada air mengalir. Guna menenangkan diri usai dilanda perasaan panik beberapa saat lalu.
Ia harus bergegas kembali ke ruang acara yang sempat ditinggalkan begitu saja. Meminta maaf pada Mas Tian, Mala, dan juga Anisa karena kepergiannya yang cukup heboh dan tiba-tiba di pertengahan acara. Kemungkinan membuat ketiga orang itu khawatir akan tingkah anehnya, akan menciptakan sedikit rasa bersalah di hati Rena.
Melangkah perlahan menyusuri lorong penghubung antar toilet dan jalan menuju aula dari gedung convention hall ini, Rena membuka aplikasi mesin pencarian untuk menemukan pinjaman lain di luar lingkup kerjanya.
Ia sempat terpikirkan mengajukan dana pinjaman ke bank jika memungkinkan, tak peduli kalau penggantiannya memerlukan bunga yang cukup tinggi. Atau kalau memang harus bertindak lebih nekat, Rena mungkin harus menjual laptop miliknya yang belum setahun ia beli untuk keperluan kerja, dan menggantinya nanti dengan laptop bekas yang jauh lebih murah.
Di tengah pertimbangan-pertimbangan itu dan gerakan berselancar di laman pencarian, Rena masih sibuk menuangkan seluruh atensinya di sepanjang jalan, sampai tiba-tiba sebuah suara tamparan cukup keras, sontak menghentikan kedua langkah kakinya sebelum ia sempat berbelok di tikungan lorong penghubung toilet.
"Anak keparat! Mau sampai kapan kamu terus mempermainkan nama baik keluarga? Kamu pikir apa yang akan dipikirkan orang-orang di dalam sana melihat tingkah laku kamu yang kelewatan ini? Namira bahkan baru meninggal beberapa jam yang lalu, dan kamu justru dengan santainya hadir di tempat ini dengan wajah tanpa rasa bersalah seperti itu!"
Rena nyaris terundur selangkah, mendengar bentakan bernada tinggi dari pria setengah baya yang baru saja mendaratkan tamparan keras pada seseorang yang berdiri berhadapan dengannya. Area gedung yang lengang dari lalu-lalang orang ini, semakin memperjelas suara apapun dari jarak beberapa meter tempat Rena berpijak.
Keterkejutannya pun semakin terasa ketika menyadari siapa dua orang yang tengah terlibat perselisihan terang-terangan di depan matanya itu.
Berbanding terbalik dengan Pria tua yang sedang tampak berapi-api menuangkan amarah, Andreas Pramoedya justru tetap memasang wajah datarnya. Membiarkan segala bentuk cacian dan makian apapun mengalir keluar dari sang lawan seteru. Tanpa ada niat menyela atau terlibat konfrontasi serupa.
Posisi Andreas yang menyerong berhadapan dengan jangkauan pandangan Rena, membuat ia dapat melihat dengan jelas bekas tamparan berwarna kemerahan di pipi kiri pria itu. Bekas jelas yang bisa saja meninggalkan rasa perih tak terkira jika disentuh. Namun seolah mati rasa, ekspresi yang melekat di wajah sosok itu justru tak menunjukkan reaksi apapun. Bahkan meski hanya untuk sekedar meringis sewaktu tamparan tersebut mendarat telak di pipinya.
"Sebaiknya kamu bergegas kembali dari sini. Biar Papa yang tinggal mewakili sampai akhir acara. Berdukalah untuk Namira setidaknya hanya untuk hari ini saja. Meskipun sulit dilakukan, cobalah sebisa mungkin. Berpura-pura pun tidak masalah." Usai mengatakan semua yang ingin diucapkan, Antonio Pramoedya beranjak pergi dari tempatnya. Berjalan cepat menuju ke aula ruang perayaan, meninggalkan Andreas yang masih berdiri bergeming dengan posisi yang sama.
Usai kepergian Antonio yang telah hilang dari jangkauan mata, pria itu pun menengadah sepintas, menatap kosong langit-langit bangunan di atasnya. Napas berat pria itu terembus pelan, sebelum ia akhirnya mengalihkan tatapan pada tikungan dinding tempat seseorang masih bersembunyi di baliknya.
"Sudah selesai mengupingnya?" Pertanyaan bernada dingin yang terlontar, serentak membuat Rena terperanjat kaku di tempat. Tak menyangka bahwa keberadaannya di sisi tersembunyi ini ternyata tertangkap oleh atensi pria itu.
Dengan perasaan ragu bercampur penuh rasa malu, Rena terpaksa keluar dari tempat persembunyiannya. Tidak ada alasan lagi baginya untuk berlama-lama berdiri di balik dinding setelah ketahuan menguping perselisihan orang lain secara diam-diam.
Dengan kepala tertunduk sungkan, Rena berujar tak enak pada pria yang berdiri tak jauh di depannya. Walau bagaimanapun, sikap lancangnya tadi bukanlah hal yang terbilang sopan. "Ma-maaf, saya tidak bermaksud---"
"Lagi-lagi bedebah memuakkan," gumam pria itu cukup lirih.
Sena refleks mengangkat kepalanya begitu mendengar kalimat tak terduga yang meluncur keluar barusan.
"Maaf?" konfirm Rena menyangsikan pendengaraannya sendiri yang mungkin saja salah.
Tapi pria itu justru menatapnya lurus tanpa berkedip, seolah menjadi penegas dari keseriusan ucapan yang terlontar. Sebelum sebuah tarikan tipis di sudut bibirnya terangkat sinis. "Pria tua bangka tadi," imbuhnya pelan. "Dan tentunya manusia-manusia sampah seperti kalian, benar-benar memuakkan."
Setelah mengatakan ucapan yang nenyakitkan itu, Andreas Pramoedya berbalik arah melangkah menjauh dari tempatnya. Meninggalkan Rena yang berhasil dibuat terbungkam diam di posisi tanpa kata. Begitu menyadari sepenuhnya maksud dari perkataan barusan, gadis itu tak bisa menahan kepalan tangannya yang diam-diam teremas erat, bercampur amarah dan perasaan terhina di dada.
Selama dua puluh delapan tahun hidup di dunia yang terbiasa memandangnya sebelah mata, Rena tak pernah merasa terhina lebih dari ini. Perkataan Andreas Pramoedya yang masih terngiang-ngiang di telinganya seolah menjadi tikaman tajam yang mengoyak harga dirinya hingga tak tersisa, melucuti kehormatannya sampai ke titik paling rendah dan hina. Rena tahu, tindakan lancang mendengarkan pembicaraan privasi orang lain, apalagi jika menyangkut bagian yang begitu sensitif bagi pemiliknya, bukan hal terpuji dan mungkin dianggap jauh dari kata sopan. Tapi selancang apapun perilaku yang diperlihatkan Rena barusan, bukan alasan yang tepat bagi seseorang seperti Andreas memuntahkan kalimat penghakiman penuh hinaan semacam itu. Bahkan menganggapnya sebagai manusia menjijikkan setara dengan kotoran di pinggir jalan. Ia hanya tidak sengaja melakukan satu kesalahan menyinggung ranah pribadi pria itu, tapi respon yang justru ia terima harus mengantarkannya pada penghinaan terendah yan
Andreas menatap lurus gundukan tanah gembur kemerahan tepat di bawahnya. Matahari yang semakin merangkak naik, belum juga membuat pria itu tergerak beranjak dari tempat semula. Sekalipun orang-orang yang mengikuti prosesi singkat ibadah pelepasan ini, satu-persatu mulai meninggalkan area pemakaman usai mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga dekat yang ditinggalkan, Andreas rupanya masih memilih bergeming diam di sana. Berdiri tegak menenggelamkan kedua tangan ke saku celana, tanpa melepaskan perhatian sedikitpun dari nama yang terukir pada nisan kayu di depan. Namira Sanjaya. Kelahiran 14 Februari 1989. Meninggal 7 Juli 2018. Dari balik kacamata hitam membingkai wajahnya, mata tajam lelaki itu meneliti tiap baris kalimat yang baru saja terpahat rapi di sana. Sungguh waktu 29 tahun yang teramat singkat dan sia-sia, karena wanita itu justru memilih menutupnya dengan akhir yang begitu tragis d
Sebut saja Serena sudah gila, atau mungkin saja ia memang benar-benar gila. Tapi rasa puas di dadanya begitu berhasil memberi pelajaran brutal pada lelaki yang sudah basah kuyup akibat siraman air mineral yang ia lemparkan, menciptakan sensasi kemenangan tersendiri yang tak pernah Rena duga.Meskipun bagian dari logika di kepalanya berteriak agar segera menghentikan semua kegilaan ini, karena setelah semua kenekatan yang gadis itu timbulkan, berkemungkinan besar akan menciptakan petaka baru di hidupnya usai malam ini berlalu. Namun sekali lagi, pengaruh alkohol yang menguasai setengah kewarasan Rena, menyebabkan pikiran dan tindakannya menjadi tidak sinkron.Terlepas dari amarah dan kebencian pada sosok angkuh di hadapannya, Rena tidak boleh melupakan fakta penting tentang posisi pria yang baru saja diguyurnya dengan sebotol air mineral tersebut. Jika berada dalam kondisi normal---tentu saja bersamaan dengan kesadaran penuh seperti biasa, mungkin Rena akan mengutuk hab
Rena mengumpat keras saat laju mobil yang menggila di jalan bebas hambatan ini, semakin menambah rasa pusing di kepalanya. Usus di perutnya serasa melilit, ingin berontak memuntahkan apapun yang sempat singgah di sana. Terlebih efek alkohol keparat yang mendominasi setengah kesadarannya, justru semakin menambah perasaan tersiksa gadis itu.Sangat berbanding terbalik dengan pria yang sibuk menyetir di sampingnya. Andreas justru tak menampilkan perasaan terganggu sedikitpun, meski entah sudah berapa kali makian dan umpatan Rena menggema mengisi ruang besi sempit ini. Berbagai macam kutukan dan nama-nama hewan tak lupa ia sematkan di sepanjang jalan, semenjak Andreas menariknya paksa keluar dari pelataran parkir gedung acara perusahaan diselenggarakan.Setelah menciptakan drama yang luar biasa mengguncang bagi beberapa orang yang menyaksikan ciuman panas mereka---ralat, maksudnya ciuman panas sepihak Andreas, Rena harus kembali disuguhi masalah baru ketika pria gila itu m
Dibandingkan dengan apartemen bertipe studio dan tipe satu kamar tidur yang paling sering dihuni para kalangan menengah ke bawah, ruangan besar yang tersaji di hadapannya ini jauh lebih luas berkali-kali lipat dibandingkan hunian apartemen biasa pada umumnya. Desain langit-langit tinggi dan bukaan jendela besar membentangkan horizon, semakin menambah kesan lapang dari interior di dalam ruangan.Rena mengedar pandangan ke ruang tamu yang didominasi aksen monokrom modern hitam dan putih tersebut. Sedikit sentuhan vintage lampu gantung dan ornamen lukisan dinding, memberikan perpaduan klasik modern yang saling selaras. Di tengah ruangan pula, terdapat meja bundar berunsur logam dan sofa berbahan kulit yang melingkarinya, sehingga tak henti-henti membuat gadis itu berdecak kagum di dalam hati.Untuk ukuran seseorang yang terlahir dengan sendok emas di mulutnya dan tidur di atas lantai marmer seharga ginjal, merasa was-was mendengar bunyi token listrik akibat tunggaka
"Ya, ampun, Ren! Astaga, Ren! Kamu kemana aja, sih? Kamu tahu aku sampai migren pusing tujuh keliling cuma buat nyari---" Rena menjauhkan sedikit ponsel dari telinga sesaat suara lantang dan histeris Mala melengking di seberang panggilan, sekejap setelah gadis itu mendapati Rena sendiri yang menghubunginya dengan nomor asing entah milik siapa. Setelah pergulatan dan kemelut yang menambah sakit kepalanya, Rena memutuskan untuk membagi kegusaran ini dengan orang lain yang bisa dipercaya, karena mungkin saja kepalanya bisa meledak detik itu juga kalau terus dipaksakan menanggung beban ini sendirian. Dan Mala adalah satu-satunya orang yang sekarang ini mampu ia pikirkan. "Aku lagi di keadaan yang nggak membutuhkan omelan panjang lebar kamu, Mal. Jadi tahan dulu apapun yang menjadi pertanyaan histeris kamu itu, karena ada keadaan yang jauh lebih mendesak." "Ma-maaf, Ren," cicit Mala yang mulai menurunkan volume suaranya. "Aku cuma ... Ya, kamu tahu,
Rena mendongak saat mendengar derit pintu kamar terbuka dari arah koridor tak jauh di depan, sosok Andreas yang baru saja keluar dari dalam sana menyita kembali atensinya. Pria itu sudah tak lagi mengenakan setelan formal kemeja dan celana bahan yang tadi dipakainya di perayaan ulang tahun perusahaan, tapi sudah berganti kaos polo berkerah dan celana hitam berbahan katun sebagai pakaian santainya.Rambut yang masih basah dan aroma sampo yang menguar di baliknya, menunjukkan bahwa Andreas secara total membersihkan seluruh badannya dari kepenatan. Berjalan santai, lelaki itu menghampiri sofa tempat Rena masih duduk membungkam. Sebelah tangannya menenteng seprai bercorak garis dan sepasang piyama berwarna biru tua. Yang kemudian diletakkan ke atas meja bundar, tepat di hadapan Rena."Ada selimut tambahan di lemari gantung kamar tamu yang bisa dipakai kalau kamu memang berniat tidur di sana. Dan untuk pakaian ganti, kamu bisa pakai piyama Namira."Rena melirik
Mala memperhatikan dalam diam Rena yang masih membungkam duduk di sampingnya. Semenjak kendaraan yang dikemudikannya melaju meninggalkan apartemen puluhan lantai yang sempat membuatnya jantungan ketika mengetahui siapa yang tinggal di sana, rekan kerjanya itu masih saja menampilkan raut yang sama. Mengatup bibir rapat-rapat, dengan pandangan kosong menatap keluar kaca mobil cooper yang tengah melaju.Bahkan saat pertama kali Mala menjumpainya di pintu masuk apartemen tersebut, Rena hanya mengulas senyum samar diiringi ucapan terima kasih sekilas karena ia sudah mau merepotkan diri datang sejauh ini menjemputnya. Kemudian tanpa mengundangnya dalam pembicaraan basa-basi apapun, gadis itu sudah berjalan lebih dulu mendahului Mala."Kamu ... baik-baik saja?" putus Mala akhirnya, memilih bertanya setelah kesenyapan yang menggantung cukup lama di antara mereka. Ia tidak bisa terus menyetir dalam keadaan luar biasa canggung seperti ini."Nggak." Diluar dugaan, Rena jus