Rena tahu seharusnya ia tidak perlu melibatkan diri ikut hadir di sini, berada di tengah keramaian tamu undangan dengan balutan pakaian mahal, bukanlah hal yang ia inginkan. Tapi kegigihan Mala ternyata jauh lebih besar mengalahkan seluruh rasa enggannya.
Gadis itu bahkan tanpa segan mengusik sisa hari sibuknya dengan beberapa kali mengirimkan pesan teror sejak jam pulang kantor, mengatakan secara berulang bahwa ia akan memaksa Rena turut hadir di acara ulang tahun perusahaan dengan cara apapun. Bahkan jika perlu membopongnya langsung dengan piyama tidur dan sandal jepit dari rumah kontrakannya, Mala akan melakukan hal itu dengan sukarela.
Rena pikir pesan mengganggu tersebut hanyalah bentuk ancaman kosong belaka, maka ia tak terlalu ambil pusing dari semua teror chat yang masuk memenuhi kontaknya setiap setengah jam sekali. Memilih membuka laptop usai membersihkan diri dari tubuh kotor dan rasa penat, ia justru berniat melanjutkan pekerjaan di layar kerja office yang sudah menunggunya.
Namun begitu ketukan tak sabaran terdengar menggema dari pintu ruang tamu kontrakannya, dan semenit kemudian mendapati keberadaan Mala yang sudah tampil necis dari ujung rambut hingga ujung kaki, Rena tahu bahwa ia tak punya alasan lagi untuk menghindar.
Kegilaan Mala rupanya tak hanya berhenti di situ saja. Begitu ia mendengar bunyi klakson dari mobil cooper yang cukup dikenalinya terparkir manis di jalan paving depan rumah kontrakan, disambut lambaian tangan Mas Tian dan Anisa---junior digital marketing divisi mereka, yang juga tampak berpenampilan rapi duduk anteng di jok depan, Rena semakin dibuat kehabisan akal untuk kembali menolak.
Ya, Mala kadang memang sangat nekat dan penuh tipu muslihat dalam menjebak orang lain. Termasuk mengajak pasukan lain untuk ikut bersekutu melancarkan misi mulianya itu. Maka di sinilah Rena, berdiri dengan gaun kondangan andalannya, disertai riasan ala kadar karena diburu waktu gara-gara jemputan si rekan kerja secara mendadak.
Sembari menatap suasana sekitar, Rena mengambil welcome drink yang sudah tersedia di meja setiap tamu undangan. Menyesapi rasa sari buah dengan sedikit campuran tambahan krim, herba, dan rempah-rempah lain mengaliri dahaganya.
Terakhir kali ia melibatkan diri datang ke acara besar perusahaan adalah sewaktu menjejaki karir awal-awalnya sebagai pendatang di divisi pemasaran. Sebagai bentuk loyalitas pegawai baru, Rena berupaya mendedikasikan diri pada setiap kegiatan yang diadakan oleh tempat kerjanya itu. Dirinya tanpa sungkan juga pernah terlibat menjadi bagian koordinator acara saat ulang tahun perusahaan beberapa tahun lalu.
Sekarang ia kembali lagi di tengah keramaian ini. Bersama tiga orang lain yang berbagi meja yang sama dengannya. Rena melirik sekilas Mala yang tampak sibuk mengajak Anisa berswafoto ria memamerkan penampilan ciamik keduanya. Sedangkan Mas Tian sendiri lebih memilih mengalihkan kesibukan tenggelam ke dalam gawai, entah melakukan apa.
Mereka memang tiba sepuluh menit lebih awal dari waktu yang seharusnya. Sehingga tamu yang datang memenuhi undangan, belum terlalu banyak menyesaki balairung luas ini. Sama seperti tahun-tahun kemarin, acara ulang tahun perusahaan selalu memilih convention hall sebagai tempat perayaan. Dengan panggung besar menjadi sentral utama di mana acara berkiblat.
Perayaan rutin tahunan ini selalu dimanfaatkan semua jajaran untuk mempererat hubungan baik dan menjalin koneksi seluas-luasnya dari kehadiran semua orang yang berkumpul di dalamnya. Baik koneksi karyawan antar divisi, karyawan dengan atasan, atau bahkan anggota perusahaan sendiri dengan mitra kerja maupun klien penting yang turut diundang.
Jadi bukan hal mengejutkan mendapati penampilan semua yang hadir di tempat ini tak jauh-jauh dari kesan glamor dan elegan. Apalagi bagi mereka yang berada di jajaran dewan direksi maupun komisaris utama. Kemewahan seolah menjadi urat nadi yang melekat tak terpisahkan dari mereka. Sehingga kadang membuat Rena merasa bahwa kehadirannya telah salah tempat.
Waktu yang perlahan bergulir mendekati pembukaan acara, mulai menghadirkan lalu-lalang orang yang makin ramai berdatangan. Kursi depan yang disediakan untuk anggota elit perusahaan bersama dengan mitra klien mereka, tampak hampir terisi penuh oleh para pemiliknya. Dari meja bagian belakang sini, Rena dapat melihat jelas jajaran orang penting tersebut dari layar proyektor raksasa yang terpampang di dekat panggung acara, menyorot siapa saja yang hilir-mudik menduduki area khusus yang telah disediakan.
Wajah Antonio Pramoedya terlihat bergabung di antaranya, duduk mewakili barisan komisaris penting di bagian paling depan. Pria berida itu mengenakan setelan berwarna hitam dari kepala hingga ujung kaki, bahkan kemeja hitam yang dibalut jas mahal dengan warna senada seolah menegaskan secara tak langsung simbol duka yang tengah memayungi keluarga mereka.
Usai ditemukan dalam keadaan tewas mengenaskan dalam kecelakaan tunggal, pemakaman Namira Sanjaya memang langsung dilakukan di hari itu juga, dengan prosesi tertutup hanya dikhususkan oleh kehadiran dua keluarga besar. Jauh dari jangkauan orang luar maupun media manapun yang ingin meliputnya. Hanya sepintas berita tentang kabar penguburannya yang disebarkan oleh portal berita yang bisa ditemukan masyarakat umum, tanpa memberikan keterangan mendetail tentang situasi di dalamnya.
Ya, pasti benar-benar kehilangan yang terasa amat berat bagi kedua keluarga. Mengingat insiden tak terduga yang datang menghantam secara mendadak tanpa peringatan, di saat semua seharusnya terlihat baik-baik saja. Mungkin juga bagi Pak Antonio sendiri, mengingat Namira Sanjaya adalah menantu satu-satunya yang ia miliki.
Rena masih memperhatikan kehadiran pria paruh baya itu di kejauhan, ketika perlahan suara-suara di sekitar mejanya mendadak jadi lebih riuh dari sebelumnya. Bahkan Mala dan Anisa yang sedari tadi anteng berfoto ria, terdengar juga nyaris terpekik histeris dan hampir lupa tempat, sebelum Mas Tian lebih dulu melayangkan pelototan peringatan pada keduanya.
Rena dengan segera mengalihkan pandangan ke arah pintu masuk aula acara, pada sumber utama dari kasak-kusuk tamu yang tetiba memenuhi seisi ruangan. Dari posisi meja belakang yang memang berdekatan dengan pintu masuk, membuat Rena dapat melihat jelas alasan mengapa atensi para tamu undangan sontak tertuju penuh ke sisi berlawanan tersebut.
Di sana, Andreas Pramoedya terlihat berjalan memasuki ruangan, lengkap dengan setelan jas formal berwarna navy melekat di tubuh tegap menjulangnya. Kemeja putih tulang dan dasi abu-abu bergaris yang ia kenakan di balik jas, menjadi pelengkap dari penampilan pria itu malam ini.
Jika Pak Antonio menunjukkan bentuk dukanya dengan berpenampilan sesederhana mungkin memakai warna hitam senada, Andreas justru menunjukkan kesan berbeda dengan busana formal khas acara perayaan besar tanpa memperlihatkan suasana duka apapun. Dengan dagu terangkat tinggi, pria itu berjalan lurus tanpa memperdulikan tatapan penuh minat dan penasaran yang tertuju padanya.
Wajah datar itu tak memperlihatkan respon berarti yang bisa orang lain gali tentang duka yang keluarga Pramoedya rasakan. Bahkan kehadirannya di tempat ini juga sudah merupakan hal yang tak dapat dimengerti oleh siapapun, mengingat situasi pria itu yang harusnya sekarang sibuk meratapi kehilangan istrinya setelah dimakamkan beberapa jam lalu.
Tapi nyatanya Andreas Pramoedya ada di sini, hadir di antara keramaian tamu undangan. Terlihat baik-baik saja tanpa beban apapun tertinggal. Seolah kematian sang istri tak cukup membuatnya terpukul oleh kehilangan.
"Gila, aku nggak ngerti lagi. Kok bisa?" Ucapan syok Mala seolah mewakili isi kepala orang-orang di sekitar mereka.
Anisa pun tak ketinggalan ikut berbisik menimpali. "Pemakaman istrinya bahkan belum lewat dari 7 jam. Tapi dia justru datang memenuhi undangan acara lain."
"Hush. Udah, diam!" potong Mas Tian. "Urusan dapur orang lain, nggak perlu jadi kesibukan kita." Kalimat penuh peringatan itu sontak berhasil membungkam mulut cerewet Mala dan Anisa yang sudah gatal ingin ikut bergosip di meja makan.
Rena yang menyaksikan pemandangan itu juga dibuat kehilangan kata-kata. Kehadiran Andreas Pramoedya di saat tak terduga seperti ini, menarik seluruh atensi para penghuni ruangan. Tak terkecuali bagi Antonio Pramoedya sendiri sebagai sang ayah, terlihat dari bagaimana respon pria paruh baya itu yang secara refleks berdiri dari tempat duduk begitu menyadari kedatangan Andreas. Raut terkejut di wajahnya menunjukkan bahwa ia juga tak menduga kedatangan putra satu-satunya tersebut.
Kembali mengabaikan suara-suara sekitar yang masih membahas topik serupa, Rena mengangkat kembali gelas berisi mocktail yang sempat ia sesap tadi. Lebih memilih menikmati rasa manis dan segar dari cairan itu mengaliri kerongkongannya.
Entahlah. Rena tidak mau terlalu ambil pusing dengan semua keramaian yang tercipta di tempat ini. Karena orang-orang aristokrat sekelas Pramoedya dan drama apapun yang mereka ciptakan, tak akan mampu dipahami oleh otak rakyat jelata seperti dirinya.
"Bagaimana keadaan Ibu sekarang?" tanya Rena tanpa berbasa-basi begitu panggilan ke nomor yang dituju berhasil diangkat di seberang sana. Seraya bersandar pada wastafel panjang berbahan marmer di belakangnya, Rena mengatur napas dan kerja normal jantungnya usai diberi serangan panik dari pesan kiriman Kayla yang baru saja masuk ke ponselnya. Suasana toilet convention hall yang ia masuki, terbilang cukup sunyi. Hingga membantunya memberi sedikit privasi dalam pembicaraan khusus ini bersama sang adik. Masih terlihat jelas sisa peluh di sekitar dahi Rena saat ia dipaksa berlari keluar dari aula acara untuk menelepon Kayla, setelah sebelumnya gadis itu mengiriminya kabar lewat pesan chat tentang keadaan ibu mereka yang sempat drop dan dilarikan ke rumah sakit sore tadi. Serangan kekhawatiran mendadak itulah yang membuat Rena bangkit tergesa dari kursinya dan segera berlari kesetanan menuju pintu masuk ruang balairung, mengabaikan pertanyaan Mas Tian dan yang lain s
Selama dua puluh delapan tahun hidup di dunia yang terbiasa memandangnya sebelah mata, Rena tak pernah merasa terhina lebih dari ini. Perkataan Andreas Pramoedya yang masih terngiang-ngiang di telinganya seolah menjadi tikaman tajam yang mengoyak harga dirinya hingga tak tersisa, melucuti kehormatannya sampai ke titik paling rendah dan hina. Rena tahu, tindakan lancang mendengarkan pembicaraan privasi orang lain, apalagi jika menyangkut bagian yang begitu sensitif bagi pemiliknya, bukan hal terpuji dan mungkin dianggap jauh dari kata sopan. Tapi selancang apapun perilaku yang diperlihatkan Rena barusan, bukan alasan yang tepat bagi seseorang seperti Andreas memuntahkan kalimat penghakiman penuh hinaan semacam itu. Bahkan menganggapnya sebagai manusia menjijikkan setara dengan kotoran di pinggir jalan. Ia hanya tidak sengaja melakukan satu kesalahan menyinggung ranah pribadi pria itu, tapi respon yang justru ia terima harus mengantarkannya pada penghinaan terendah yan
Andreas menatap lurus gundukan tanah gembur kemerahan tepat di bawahnya. Matahari yang semakin merangkak naik, belum juga membuat pria itu tergerak beranjak dari tempat semula. Sekalipun orang-orang yang mengikuti prosesi singkat ibadah pelepasan ini, satu-persatu mulai meninggalkan area pemakaman usai mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga dekat yang ditinggalkan, Andreas rupanya masih memilih bergeming diam di sana. Berdiri tegak menenggelamkan kedua tangan ke saku celana, tanpa melepaskan perhatian sedikitpun dari nama yang terukir pada nisan kayu di depan. Namira Sanjaya. Kelahiran 14 Februari 1989. Meninggal 7 Juli 2018. Dari balik kacamata hitam membingkai wajahnya, mata tajam lelaki itu meneliti tiap baris kalimat yang baru saja terpahat rapi di sana. Sungguh waktu 29 tahun yang teramat singkat dan sia-sia, karena wanita itu justru memilih menutupnya dengan akhir yang begitu tragis d
Sebut saja Serena sudah gila, atau mungkin saja ia memang benar-benar gila. Tapi rasa puas di dadanya begitu berhasil memberi pelajaran brutal pada lelaki yang sudah basah kuyup akibat siraman air mineral yang ia lemparkan, menciptakan sensasi kemenangan tersendiri yang tak pernah Rena duga.Meskipun bagian dari logika di kepalanya berteriak agar segera menghentikan semua kegilaan ini, karena setelah semua kenekatan yang gadis itu timbulkan, berkemungkinan besar akan menciptakan petaka baru di hidupnya usai malam ini berlalu. Namun sekali lagi, pengaruh alkohol yang menguasai setengah kewarasan Rena, menyebabkan pikiran dan tindakannya menjadi tidak sinkron.Terlepas dari amarah dan kebencian pada sosok angkuh di hadapannya, Rena tidak boleh melupakan fakta penting tentang posisi pria yang baru saja diguyurnya dengan sebotol air mineral tersebut. Jika berada dalam kondisi normal---tentu saja bersamaan dengan kesadaran penuh seperti biasa, mungkin Rena akan mengutuk hab
Rena mengumpat keras saat laju mobil yang menggila di jalan bebas hambatan ini, semakin menambah rasa pusing di kepalanya. Usus di perutnya serasa melilit, ingin berontak memuntahkan apapun yang sempat singgah di sana. Terlebih efek alkohol keparat yang mendominasi setengah kesadarannya, justru semakin menambah perasaan tersiksa gadis itu.Sangat berbanding terbalik dengan pria yang sibuk menyetir di sampingnya. Andreas justru tak menampilkan perasaan terganggu sedikitpun, meski entah sudah berapa kali makian dan umpatan Rena menggema mengisi ruang besi sempit ini. Berbagai macam kutukan dan nama-nama hewan tak lupa ia sematkan di sepanjang jalan, semenjak Andreas menariknya paksa keluar dari pelataran parkir gedung acara perusahaan diselenggarakan.Setelah menciptakan drama yang luar biasa mengguncang bagi beberapa orang yang menyaksikan ciuman panas mereka---ralat, maksudnya ciuman panas sepihak Andreas, Rena harus kembali disuguhi masalah baru ketika pria gila itu m
Dibandingkan dengan apartemen bertipe studio dan tipe satu kamar tidur yang paling sering dihuni para kalangan menengah ke bawah, ruangan besar yang tersaji di hadapannya ini jauh lebih luas berkali-kali lipat dibandingkan hunian apartemen biasa pada umumnya. Desain langit-langit tinggi dan bukaan jendela besar membentangkan horizon, semakin menambah kesan lapang dari interior di dalam ruangan.Rena mengedar pandangan ke ruang tamu yang didominasi aksen monokrom modern hitam dan putih tersebut. Sedikit sentuhan vintage lampu gantung dan ornamen lukisan dinding, memberikan perpaduan klasik modern yang saling selaras. Di tengah ruangan pula, terdapat meja bundar berunsur logam dan sofa berbahan kulit yang melingkarinya, sehingga tak henti-henti membuat gadis itu berdecak kagum di dalam hati.Untuk ukuran seseorang yang terlahir dengan sendok emas di mulutnya dan tidur di atas lantai marmer seharga ginjal, merasa was-was mendengar bunyi token listrik akibat tunggaka
"Ya, ampun, Ren! Astaga, Ren! Kamu kemana aja, sih? Kamu tahu aku sampai migren pusing tujuh keliling cuma buat nyari---" Rena menjauhkan sedikit ponsel dari telinga sesaat suara lantang dan histeris Mala melengking di seberang panggilan, sekejap setelah gadis itu mendapati Rena sendiri yang menghubunginya dengan nomor asing entah milik siapa. Setelah pergulatan dan kemelut yang menambah sakit kepalanya, Rena memutuskan untuk membagi kegusaran ini dengan orang lain yang bisa dipercaya, karena mungkin saja kepalanya bisa meledak detik itu juga kalau terus dipaksakan menanggung beban ini sendirian. Dan Mala adalah satu-satunya orang yang sekarang ini mampu ia pikirkan. "Aku lagi di keadaan yang nggak membutuhkan omelan panjang lebar kamu, Mal. Jadi tahan dulu apapun yang menjadi pertanyaan histeris kamu itu, karena ada keadaan yang jauh lebih mendesak." "Ma-maaf, Ren," cicit Mala yang mulai menurunkan volume suaranya. "Aku cuma ... Ya, kamu tahu,
Rena mendongak saat mendengar derit pintu kamar terbuka dari arah koridor tak jauh di depan, sosok Andreas yang baru saja keluar dari dalam sana menyita kembali atensinya. Pria itu sudah tak lagi mengenakan setelan formal kemeja dan celana bahan yang tadi dipakainya di perayaan ulang tahun perusahaan, tapi sudah berganti kaos polo berkerah dan celana hitam berbahan katun sebagai pakaian santainya.Rambut yang masih basah dan aroma sampo yang menguar di baliknya, menunjukkan bahwa Andreas secara total membersihkan seluruh badannya dari kepenatan. Berjalan santai, lelaki itu menghampiri sofa tempat Rena masih duduk membungkam. Sebelah tangannya menenteng seprai bercorak garis dan sepasang piyama berwarna biru tua. Yang kemudian diletakkan ke atas meja bundar, tepat di hadapan Rena."Ada selimut tambahan di lemari gantung kamar tamu yang bisa dipakai kalau kamu memang berniat tidur di sana. Dan untuk pakaian ganti, kamu bisa pakai piyama Namira."Rena melirik