Aluna Safitri, merasa sangat beruntung dalam hidupnya, meski tidak lagi memiliki ibu dia memiliki ayah yang sangat menyayanginya dan juga teman-teman untuk berbagi tawa. Hidupnya makin indah saat sang ayah menjodohkannya dengan Laksamana Sanjaya, kakak tingkatnya sekaligus CEO tempatnya bekerja yang diam-diam dia kagumi. Tapi siapa sangka Laksa dengan tegas menolak perjodohan itu, Luna kecewa tentu saja, tapi dia berusaha baik-baik saja. Ternyata badai belum berakhir. Laksa yang baru saja menolaknya, secara tak sadar telah merenggut kehormatannya, celakanya lagi semua orang menuduh Luna menjebak Laksa. Sejak itu Luna harus menghadapi kebencian semua orang dan kekecewaan sang ayah. Mampukah Luna bertahan? Ataukah dia harus menghilang?
View MoreLuna mengeratkan rangkulannya di lengan sang ayah. Dia perlu pegangan agar tidak terjatuh karena gugup, dadanya berdebar sangat kencang, sampai dia takut sewaktu-waktu akan jatuh ke tanah.
Pesta malam ini begitu meriah, lampu-lampu yang tertata apik menambah semarak suasana. Ini bukan kali pertama Luna menemani sang ayah ke sebuah pesta, tapi ini pertama kalinya Luna akan bertemu lagi dengan Laksamana Sanjaya. Laki-laki yang sangat dikaguminya dan selalu menghiasi setiap mimpi-mimpi indahnya. Luna ingat sekali saat sang ayah memberikan selembar foto padanya. Dia menatap foto itu dengan tak percaya. Luna mencubit lengannya sekedar meyakinkan diri, bahwa ini semua nyata. Rasanya dia ingin tertawa bahagia saat dirasakannya sakit di lengannya. Ini memang nyata dan matanya masih cukup normal untuk mengenali foto laki-laki tampan yang menjadi bunga-bunga tidurnya, yang membuatnya seolah terbang ke awan meski hanya melihat kelebat bayangnya. “Bagaimana, Nak, apa kamu mau? Ayah tidak akan memaksa jika ka–“ "Luna mau, Yah.” Sang ayah melotot mendengar Luna memotong ucapannya. Luna dididik dengan baik oleh sang ayah, dan memotong pembicaraan orang yang lebih tua, terlebih ayahnya sangat bertentangan dengan didikan itu. Luna hanya nyengir mendapati ayahnya melotot padanya. Luna terlalu senang, jadi dia tak sadar telah berbuat tak sopan. Tapi ayahnya tersayang pasti akan memaafkannya jika Luna meminta maaf. “Maaf, Yah,” kata Luna sambil menundukkan kepalanya dalam penuh penyesalan. “Kamu itu,” Sang ayah hanya bisa menggelengkan kepala tak habis pikir. Dan benar saja sang ayah tak marah. "Tanganmu Dingin, kamu baik-baik saja, Nak?" pertanyaan sang ayah berhasil mengembalikan Luna pada saat sekarang. Ah, dia melamun ternyata sampai tak sadar kalau mereka sudah memasuki ruang pesta. Nyonya Widia Sanjaya, yang Luna tahu ibu dari Laksa, sedang berulang tahun hari ini dan tentu saja Luna dan ayahnya juga diundang. "Luna hanya gugup, Yah," jawabnya terus terang yang membuat sang ayah tertawa. "Tenang saja ada ayah di sini, tidak ada yang perlu kamu takutkan." "Luna tahu ayahkan pahlawan bertopeng untuk Luna." "Padahal ayah lebih suka superman." "Idih Luna enggak suka superman dia tidak bisa pake celana dengan benar." Sang ayah tertawa mendengar alasan Luna. Sapaan tuan rumah menghentikan pembicaraan mereka. "Ini yang namanya Luna, cantik sekali." Luna menyalami pasangan paruh baya itu dan tangannya bertambah dingin saat harus bersalaman dengan Laksamana Sanjaya. Laki-laki itu masih setampan yang Luna ingat, tatapan matanya yang tajam membuat Luna seolah menggelepar, Ya Tuhan laki-laki ini akan jadi suaminya. Betapa indahnya hidup ini. *** Para orang tua membiarkan dua orang itu saling mengenal satu sama lain. "Aku ingin bicara, ikut aku." Luna menganggukkan kepalanya dia terlalu senang untuk hanya sekedar bertanya. Laksa membawanya ke taman belakang rumah, memintanya duduk di bangku panjang di sana. Di bawah payungan lembutnya sinar bulan, mereka duduk bersebelahan, tangan Luna yang dari tadi sudah dingin sekarang makin dingin. Luna tidak tahu apa yang harus dilakukan pasangan yang dijodohkan. Jadi dia hanya bisa duduk diam sambil menenangkan debar jantungnya yang menggila. "Langsung saja aku tak ingin berbasa basi, aku menolak perjodohan ini. Aku punya seseorang yang aku inginkan untuk menjadi istri dan itu bukan kamu." Duar! Bagai petir di siang bolong, Luna begitu terkejut dengan ucapan Laksa, dia hanya bisa menatap laki-laki itu dengan nanar. Mimpi indahnya langsung hancur seketika, salahnya juga yang terlalu berharap. Laki-laki seperti Laksa tak mungkin melirik dirinya yang hanya pegawai biasa. Sedapat mungkin Luna berusaha menelan air matanya, Laksa berhak menolak memang. "Terima kasih untuk kejujuranmu, aku sadar aku hanya wanita biasa, kamu yang dari dulu di kelilingi wanita cantik tentu tak kesulitan menemukan pasangan." Laksa mengerutkan keningnya. "Apa kita saling kenal?" Luna tersenyum, dia memang bukan cewek populer dulu jadi wajar kalau Laksa lupa. "Kita satu kampus dulu, mungkin kamu lupa dan aku juga bekerja di hotel keluarga kalian." Laksa menatap wanita di depannya dengan seksama. "Ah ya aku ingat kamu adek tinggatku," katanya, wajahnya yang tadi dingin sedikit lebih ramah. Luna mengangguk senang. "Maafkan aku, kita tidak bisa bersama mungkin kita bisa berteman saja. Aku tahu orang tua kita pasti kecewa tapi aku akan menjelaskannya." Laksa mengulurkan tangan, mengajaknya bersalaman. Luna hanya bisa menyambut tangan itu dengan pahit. Dia ditolak, bahkan sebelum berkenalan. Rasanya sakit, tapi Luna tidak akan memaksa. Dia sudah kalah sebelum berperang. "Aku mengerti." Dengan canggung Luna akhirnya berdiri dan melangkah mencari ayahnya. Setetes air bening bening mengalir di pipinya, tapi Luna berusaha meyakinkan diri bahwa dia baik-baik saja. Dia bukan gadis lemah. Tapi entah kemana sang ayah, Luna bahkan sudah lelah berkeliling tempat pesta ini tapi tidak juga bertemu ayahnya. Dan itu membuatnya capek dan kehausan. "Silahkan Nona." seorang pelayan memberikan segelas minuman berwarna Orange yang terlihat sangat menggoda. "Terima kasih." Luna langsung mengambil dua buah gelas sekaligus, siapa tahu nanti ayahnya juga haus, jadi dia bisa memberikannya. Tapi sekarang dia ingin mencari tempat duduk terlebih dulu, ayah akan marah kalau dia minum sambil berdiri. "Boleh saya duduk di sini?" tanya Luna saat menemukan sebuah kursi panjang untuk duduk, tapi di sana juga ada seorang laki-laki yang sudah duduk terlebih dahulu. Luna merutuki pesta yang bahkan tak mau repot-repot menyediakan kursi. "Luna." Rasanya Luna ingin menghilang saja, sifat cerobohnya kenapa tidak juga hilang, dari semua orang kenapa dia harus bertemu Laksa lagi, orang yang baru saja menolaknya dengan kejam. "Itu untukku." Laksa mengambil gelas di tangan Luna dan meneguknya dengan rakus, sepertinya dia haus. Ya sudahlah nanti dia bisa mengambil lagi untuk ayahnya. Sekarang yang penting menyelamatkan diri dulu, hatinya masih tidak baik-baik saja oleh penolakan tadi. "Kamu mau kemana?" "Eh?" Luna yang sudah berdiri menoleh pada Laksa yang terlihat sangat tidak nyaman. Tapi belum juga Luna berpikir lebih jauh tangannya sudah ditarik kasar. "Pak Laksa kita mau kemana? Saya harus mencari ayah saya." Luna bergetar ketakukan tatapan Laksa sangat tidak biasa, dan Luna sangat takut, tubuhnya dingin dan gemetar, dan dia bersumpah bukan karena dekat dengan Laksa. Tanpa mempedulikan penolakan Luna, Laksa menariknya ke lantai dua rumah ini. Kaki kecilnya terseok-seok mengimbangi langkah panjang Laksa, tangannya sakit oleh cengkraman laki-laki itu. Laksa menariknya ke sebuah kamar, dan tanpa basa basi berusaha menyentuh Luna. Merasa bahaya mengancamnya Luna tentu saja memberontak lebih keras, tapi itu malah membuat Laksa bersemangat menyentuhnya di semua sisi, pakaiannya bahkan sudah tak berbentuk lagi. Dan saat sadar Laksa sudah menyatukan tubuh mereka, membuat Luna merasakan sakit yang luar biasa, di hati dan tubuhnya. Luna hancur.Baik Laksa maupun Luna saling pandang melihat orang yang berjalan ke arah mereka berada. “Maaf Ibu sudah mengetuk pintu beberapa kali tadi tapi sepertinya kalian tidak mendengar.” Wanita paruh baya yang masih cantik itu untuk pertama kalinya menatap sang cucu dengan pandangan sayang. “Bagaimana keadaannya?” tanyanya pada Luna yang menerima bingkisan buah yang dia bawa. “Sudah lebih baik, Bu, hanya tinggal menunggu pemulihannya saja.” Laksa hanya menatap sang ibu, lalu berdiri mempersilahkan sang ibu untuk duduk di kursi yang dia tempati tadi. Luna tersenyum memandang hal itu, setidaknya Laksa tidak menunjukkan sikap antipati pada sang ibu, meski sikapnya masih terkesan kaku, tapi itu sangat wajar. “Dia mirip Laksa saat kecil,” gumam sang ibu seperti bicara pada dirinya sendiri. Luna kembali menoleh pada Laksa, suaminya itu terlihat pura-pura tidak mendenga
“Apa kita bisa bicara sambil duduk saja,” kata sang dokter yang mengarahkan pasangan orang tua itu untuk duduk di sofa. Luna menoleh pada ranjang Dio, dan dia tersenyum penuh terima kasih pada salah satu perawat yang menemani putranya itu. Laksa mengenggam tangan sang istri dengan erat seolah ingin mencari kekuatan dari tangan yang terasa dingin itu. Baik Laksa maupun Luna bukan pribadi yang lemah, terutama beberapa waktu ini keduanya telah banyak merasakan kerasnya hidup, tapi sebagai orang tua tentu keduanya tak akan sanggup melihat buah hati tersayangnya terbaring lemah tak berdaya. “Mohon maaf kalau membuat Bapak dan Ibu menunggu dengan cemas,” kata sang dokter dengan senyum sopan, lalu mengambil amplop lebar dan mengeluarkan kertas dari dalamnya. “Dari hasil test yang telah kami lakukan anak Dio menderita gejala penyakit roseola, tapi dengan pengobatan dan juga istirahat cukup, Dio bisa sembuh sepe
Luna menggeleng. “Aku sengaja menunggu kakak tadi, ku kira akan pulang lebih cepat.” Laksa memandang Luna penuh rasa bersalah. “Maaf tadi ada sedikit masalah dan ibu juga meminta aku mampir ke rumahnya sebentar, dia juga sduah tahu kalau Dio dirawat di ruamh sakit.”“Bukan masalah, bagaimana pertemuan tadi?” tanya Luna yang memang sudah penasaran dengan pertemuan hari ini. “Semua keluarga ibu berkumpul tadi dan yah... mereka mau tak mau harus setuju dengan rencana pernikahan itu.” “Mau tak mau? Jadi terpaksa?” “Bukan terpaksa, maksudku mereka tak bisa bicara banyak, mereka juga telah lama hidup tanpa saling mempedulikan, ke sana hanya sebagai formalitas saja, apalagi ibu juga sudah menentukan tanggal pernikahannya, tanpa campur tangan keluarga.” “Ibu sepertinya tidak sabar untuk segera menjadi istri om Hardi.” Laksa mengedikkan bahunya. “Saudara ibu sebenarnya menyayangkan rencana ibu yan terkesan buru-buru, mereka
Laksa sampai di rumah sakit tepat pukul dua siang. kelelahan jelas terpancar dari wajahnya yang kusut, padahal dia pergi bersama seorang sopir yang mengantarnya. Drama keluarga dan juga hubungannya dengan sang ibu yang tidak sehat memicu kelelahan ini, mungkin benar kata Luna dia harus berusaha melupakan kesalahan sang ibu di masa lalu, meski Laksa akui itu tak akan mudah. Laksa membuka pelan pintu ruang rawat Dio, takut kalau putranya itu sedang tertidur dan kaget mendengar suara pintu yang terbuka, tapi perkiraan Laksa salah jagoan kecilnya itu sekarang sedang sibuk menggigiti mainannya, di sampingnya Luna memandang sang anak dengan senyum merekah. Ada kehangatan yang merambat di dada Laksa saat melihat pemandangan indah itu dan seketika mengangkat semua rasa tak nyaman yang sejak tadi memeluk erat dirinya. “Papa sudah pulang, dek,” kata Luna pada sang anak yang ditanggapi bayi kecil itu dengan memandang sang ayah, lalu melanjutkan kembali k
Seolah tak memberi waktu Laksa untuk kembali berpikir, ponsel yang tadinya sudah senyap kini kembali menjerit-jerit meminta perhatian. Mau tak mau Laksa mengambilnya apalagi saat Luna mengatakan kalau mungkin saja ada sesuatu yang penting yang ingin dibahas sang ibu. “Ya, Halo.” “Ibu senang senang akhirnya kamu mengangkat panggilan ibu.” Laksa hanya terdiam, di saat seperti ini dia sama sekali tak ingin basa basi dengan siapa pun, apalagi pada ibunya. “Nak kamu masih di situ?” “Iya, saya masih di sini.” Sama seperti sebelumnya cara bicara Laksa dengan sang ibu juga masih sama. Dingin dan formal. “Syukurlah, apa kabarmu hari ini, Nak, kalau kabar ibu baik... kemarin Mas Hardi bilang menemuimu, dia memang begitu-“ “Kabar saya baik, Maaf saya sedang sibuk, ada apa anda menghubungi saya?” “Oh, kamu pasti sedang sibuk bekerja ya, ibu hanya mau meny
Kemunculan Dirga memutus segala hal yang ada dipikiran keduanya, serempak dua orang itu menoleh dan mendapati sang sepupu membawa banyak makanan di tangannya. Luna beranjak berdiri dan mengambil makanan yang dibawa Dirga, hanya untuk menatanya saja,napsu makannya seolah hilang melihat kondisi anaknya. “Kenapa? Tidak suka?” tanya Dirga yang melihat Luna hanya bengong setelah menyiapkan makanan yang tadi dia bawa. “Bukan hanya tidak napsu makan saja.” “Kalau lihat Laksa masih napsukan?” tanya Dirga dengan tampang serius yang membuatnya mendapat hadiah lemparan plastik pembungkus makanan dari Laksa.“Sialan kena rambutku itu ada minyaknya woi,” seru Dirga tak terima. “Mulut jangan asal jeplak saja.” “Lho di mana salahku? Aku cuma bertanya, lagian kalau itu sampai terjadi bisa gawat bukan...ckkk...ckkk.” “Sok tahu kamu, nikah saja belum, eh tapi kamu sudah sering kawin pasti.” Sekarang ganti Dirga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments