LOGINVolume 1 ~Samson Vrs Hezron. Who will Alicia pick??! _____________ I can't do without you... you're my life. I love you so much, you will never be apart from me ever again. please accept me for who I am
View More"Ugh!" Suara lenguhan panjang terdengar memenuhi ruang kamar saat Andi menyelesaikan permainannya.
"Enak," ucap Andi, merasakan nikmat yang tiada tara. Namun berbeda dengan Febby yang tidak merasakan klimaks sama sekali. Wajahnya menyiratkan kekecewaan mendalam. "Sudah keluar Mas? Kok cepet banget, ngga sampai satu menit. Perasaan baru masuk." Febby mengeluh sambil menghela napas panjang. Sudah sering dia mengatakan kalau dia tidak pernah puas dengan permainan suaminya. Dia juga tidak pernah merasa ada yang keluar dari bagian inti tubuh, yang menandakan dia belum mencapai puncak. Namun Andi seolah masa bodo. Yang penting nafsunya tersalurkan. "Aku lelah. Tadi itu aku udah berusaha untuk lama, tapi malah keluarnya cepet." Selesai melampiaskan hasrat, Andi berbaring di sebelah istrinya tanpa merasa bersalah sama sekali. Raut kesal dan kecewa terlihat jelas di wajah Febby, yang selama dua tahun menjadi istri sah Andi. Selama dua tahun itu dia tidak pernah merasakan klimaks saat berhubungan dengan suaminya. Kenikmatan hanya dirasakan oleh Andi, bahkan Andi tidak pernah membuatnya nyaman di atas ranjang. Andi juga kurang perhatian, hanya memikirkan diri sendiri. Pernikahan dua tahun terasa semakin hambar bagi Febby. Namun tidak ada yang bisa dilakukan. Toh Febby yang memilih laki-laki itu menjadi suaminya dan mereka sedang menjalani program kehamilan. Ya, Andi dan Febby sudah didesak oleh kedua orang tua mereka agar secepatnya memiliki anak, tetapi sampai detik ini tidak ada tanda-tanda Febby mengandung buah cinta mereka. "Kamu mau langsung tidur Mas?" tanya Febby pada suaminya yang baru saja pulang kerja dan meminta dilayani. Selesai dilayani, Andi berbaring di ranjang sambil memejamkan mata. "Iya, aku ngantuk. Kamu masak makan malam aja dulu. Kalau udah mateng semua, bangunin." Febby menghela napas panjang, turun dari ranjang lalu memakai pakaian satu per satu. Matanya melirik Andi yang terlelap, padahal baru saja kepala suaminya itu bersandar ke atas bantal. Tidak ada ucapan terima kasih. I love you. Atau gombalan yang keluar dari mulut Andi, membuat Febby merasa tidak dicintai sama sekali. "Mandi dulu dong Mas, masa langsung tidur." "Hem," sahut Andi datar. Selesai memakai pakaian, Febby melangkah mendekati pintu lalu keluar. Sedangkan Andi sudah jauh mengarungi mimpi. Langkah kaki Febby dihentikan oleh ibu mertua di ambang pintu dapur. Wanita paruh baya itu menatap wajah menantunya yang lesu sambil mengerutkan kening. "Kamu kenapa, Feb?" "Ngga apa-apa Bu," jawab Febby, pelan, melanjutkan langkah kakinya mendekati kulkas. Ratih mengikuti Febby ke dapur, membantu menantunya menyiapkan bahan makanan. Sejak kemarin wanita paruh baya itu menginap di rumah kontrakan dua kamar tersebut. Satu bangunan rumah yang baru dua bulan ditempati itu berada di komplek perumahan Melati. Rencananya Andi ingin mencicil rumah yang mereka tempati sekarang agar tidak bayar kontrakan lagi. "Suami kamu mana, Feb?" tanya Ratih. "Mas Andi tidur Bu. Katanya capek," jawab Febby seraya mengeluarkan bahan makanan dari dalam kulkas dua pintu. Beberapa jenis sayur dan ikan segar dia letakan di dekat wastafel untuk dibersihkan. "Kamu udah konsultasi lagi ke Dokter Kandungan?" tanya Ratih pada menantunya. "Udah Bu, katanya aku sama Mas Andi harus sering minum vitamin biar subur. Aku udah dikasih resep vitamin itu. Semoga aja ada kabar baik bulan depan." "Amin," ucap Ratih. "Selain berkonsultasi ke Dokter, kamu juga harus pergi ke Dukun beranak. Atau ke mana kek. Biar kamu cepet isi." "Udah Bu, tapi emang dasarnya belum dikasih aja. Kalau memang belum rejekinya, ya mau gimana lagi." "Kalau gitu, coba kamu konsultasi ke Dokter lain. Misalnya ke Dokter Dirga. Dia sepupunya Andi. Siapa tahu dia bisa bantu kalian. Kasih saran apa untuk membantu mempercepat kehamilan kamu." Febby terdiam. Sebenarnya sudah beberapa kali mereka gonta-ganti dokter, tetapi tidak ada perubahan sama sekali. Beberapa dokter juga menyarankan untuk memeriksa kesuburan satu sama lain, namun Andi selalu menolak dan mengatakan kalau dia sehat. Sementara, selama berhubungan Febby tidak pernah merasa puas. Bahkan durasinya hanya sebentar, tidak sampai tiga menit langsung crott. "Lebih baik kamu coba dulu saran Ibu," ucap Ratih yang selalu mendesak Febby agar cepat hamil. Andai kehamilan bisa dibeli, Febby akan membelinya agar bisa secepatnya memberi gelar ayah pada sang suami. "Kalau kamu ragu, mending komunikasikan dulu sama Andi. Biar kalian lebih yakin. Ibu sih percaya sama Dokter Dirga. Banyak kok pasien dia yang berhasil hamil." Febby menghela napas panjang. "Nanti aku coba bicarakan sama Mas Andi. Kalau dia mau, besok aku dan Mas Andi ke tempat praktek Dokter itu." Ratih tersenyum, "Nanti alamatnya Ibu kasih ke kamu. Kamu dan Andi langsung ke sana aja. Nanti Ibu bikin janji biar kalian ngga antri." "Iya Bu, makasih." Saat sedang berbincang, Andi datang mendekati kedua wanita di dapur. Pria yang memiliki tinggi 170cm itu duduk di depan meja makan dengan lesu. "Bikinin aku kopi," katanya memerintah Febby. "Tunggu sebentar Mas. Aku lagi masak." "Ck! Aku maunya sekarang!" Andi mengeraskan suaranya, membuat Febby terhenyak kaget. Ratih dan Febby saling tatap, Ibu mertuanya itu memutar bola mata meminta Febby menurut saja. "Biasa aja dong Mas, jangan marah begitu," sahut Febby kesal. "Kamu ini. Suami minta kopi malah nanti-nanti. Utamakan melayani suami dulu, baru yang lain! Gimana sih!" cecar Andi memarahi Febby. Ratih hanya diam, tak membela menantunya ataupun menasehati Andi. Baginya pemandangan seperti itu sudah biasa terjadi. Dia pun mengalami di rumah. "Sabar Mas." Terpaksa Febby menunda masakannya dan membuat kopi untuk Andi yang sudah tidak sabar. Dengan perasaan kesal, Febby meletakkan kopi hitam pesanan suaminya ke atas meja. "Mau apa lagi Mas? Sekalian aja, aku mau masak." Andi melotot, menatap istrinya seperti ingin menelan hidup-hidup. "Kamu ngga iklhas?" "Bukan ngga ikhlas Mas, aku kan cuma nanya sama kamu. Kamu mau apa lagi? Biar aku ambilin sekalian." "Ngga ada, aku cuma mau kopi." "Ya udah," sahut Febby pelan. Ia kembali melanjutkan memasak makan malam, meski perasaannya kesal. Sikap dingin Andi sudah berlangsung lebih dari satu tahun. Tanpa alasan yang jelas, Andi tiba-tiba jadi kasar dan bahasanya tidak pernah lembut seperti dulu. Febby curiga suaminya memiliki wanita idaman lain di luar sana, namun ia tidak pernah mendapatkan bukti apapun perselingkuhan itu. Suasana hening. Di ruang dapur yang tidak luas itu hanya terdengar suara dentingan sendok dan panci. "Mumpung ada Andi di sini. Ibu ngomong aja langsung sama kalian berdua." Ratih membuka pembicaraan di ruang sunyi itu. Andi mendongak, "Ngomong apa Bu?" tanyanya datar. "Ibu mau ngasih saran, gimana kalau kamu dan Febby konsultasi aja ke Dokter Dirga. Sepupu kamu itu. Dia kan Dokter kandungan terkenal. Kebetulan dia buka praktek di Jakarta. Kalian bisa ke sana. Kalau kamu mau, nanti Ibu bikin janji sama dia. Biar kalian ngga antri panjang. Maklum, pasien dia kan banyak." Andi manggut-manggut. "Oke, aku setuju. Aku dan Febby akan ke sana." Ratih tersenyum. Ia tatap menantunya yang tengah sibuk mengaduk sayur di dalam panci. "Kamu dengar kan. Suami kamu setuju. Kamu juga setuju kan?" tanya Ratih pada menantunya itu. "Iya Bu, aku setuju," jawab Febby.[Check This one Out]Modret was seen standing by the blue table as Joshua crouched down to meet his gaze as the little guy remained so small to him. He still showcased a cute smile at the little boy. "Listen kido, levitating objects have to do with the mind, the way by which the energy is being passed through from your mind to the object being levitated. Enough concentration will do plus less stress." Modret's large blue eyes sparkled and he smiled geniunely as if ready to follow the instructions being passed on to him. "Ok," his reply was crisp. Joshua immediately moved out of the way only for a large wooden desk made entirely out of mahogany ply with all of the depressing weight protruding out of the desk one would know how heavy the desk really was. It had a two by two flat edges encased with notable sac flexed across to make a diagonal crossing. Modret gulped at the weight because looking directly at the desk he knew what wait encompassed, it was supplous and Alicia had to feel c
[Yeah, indeed Mordret is really Edgar. That tells why he was putting on a fake face.]Alicia had noticed the slight change in Bella and a frown rested on her face. Modret was what actually made her to look as if Edgar was still alive but with another form. Well, who would blame her. She is bound to think about Edgar after taking closer look at Modret. 'Did Edgar reincarnate?' No, that would be too absurd, right? Alicia went to Bella and they excused themselves out of the dinning hall while the remaining members of the Bills family walked in for lunch. Modret was a cute and adorable kid, he had Edgar's features, even the curve of his and Edgar's face look the same. Not that Alicia had nothing doing by going to master the curves of Edgar's face but Edgar had been so close to her that she knew every ounce of him even when closing her eyes, she would be able to detect Edgar. Even when Modret came to the picture and into their life. She had been missing Edgar so much, Edgar she promised n
[Yeah, the questions should come rolling. Am still so interested to give this book a happy ending but for now, this is just Volume 1][Imagination works well with this chapter. Do your best and ask questions where neccessary]Across the distant world, a black sea surfed with waves raising the tides at an increasing speed. The moon bathed the dark blue sky hovering below a dark expanse. The moon's radiance was blinding above the dark rocky expanse, it's white flames lighting up the arena. The pressure cutting and crushing from above hit the dark expanse only to raise and fall on it again reducing the atmospheric stone into granules. The incandescent light had been burning for quite a while, it's evil temperature hard to decipher and the white radiance suddenly passed through using the little crack caused by the too much pressure and the ghostly pale light touched the land for the very first time after decades and centuries. A mini figure of the moon reflected on the black sea. The whit
[Any questions about this chapter? I would be glad to fill you on my knowledge of it][Blood Moon]Days after days, a troupe of four walked under the fiery gaze of the hot sun. The heat permeating the town was so hot that they were regretting not reducing the heat by the fraction they already deciphered. Greatly, the town seem to function well... they all liked the sunlight though it was scorching hot. They took their time to admire and fansy what they had lacked centuries ago. But still yet, it was too much. They achieved something though. Waters from the sea evaporates and is trapped in on the artificial dark clouds only for it to condense and bring down rain. Basiton was going back to normal, grounds were getting softer and plants were growing. The only problem here right now is that, if plant do grow, they ended up getting withered without producing so now people where getting shades ready with which they would plant under them. If they needed sunlight, the shade would be raised a
[I have Something planned for this book but that would be In DANCING IN FLAMES. We probably would revise most of the chapters of this book. Thank you!][¿ Basiton, eleventh hour of the day]The wind picked up blowing harshly from different directions and dark artificial clouds hovered above. The wind was becoming so strong that one could feel themselves sway to the wind each autocrative lair made to propel the wind to delve them into different directions because, due to the meteor hanging above the lithosphere the wind had become so harsh that the scientist had to make the autocrative lair that would be able to slow the wind. The scientist clustered in between the north pole which connected in its wing form dotting closer to the south pole depicting the middle area of Basiton, the very center where by the launching of the sun would happen. A battleglass holding a deathly radiant surficed of a deep red halo and it's blinding reflection permeating without warning. Twenty-hundreds of sc
😆😆😆😆 [WARNING: MATURED CONTENT]"Ohh... Samson, ah!"'Arghh!! Mhnnm'"Yea, that's the spo... Ahhh!!"Alicia screamed, when she felt his hot tongue caress her nipples. His teeth grazed slightly on it, sending tremors and shockwave rollling down her spine. Her hands curled endlessly on the sheets her toes folding due to extreeme pleasure. His manhood kept toturing her, piercing and entering only to pull out just because he was pleasuring her twin peaches. Her buds had gone numb because of his skillful work on it. His lips sucking, licking, grazing and massaging. His hot tongue latching mercilessly on her both breasts which stood erect proudly. Finally, his hot mesmerising lips suddenly left her breasts making cold breeze to kiss the nipples but her whole body jolted aflames when he started trailing the kisses from the center of her both breast and then down up to her navel almost reaching below the sacred area only to start trailing it upwards again untill it got to her lips as the












Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments