'Ada stalker ternyata.'
Begitu isi pesan yang masuk di ponsel Nadine. Gadis itu melihat berkali-kali, memastikan apa memang benar Janu yang mengirimnya. Dia masih mencoba menerka apa maksud dari lelaki itu.
"Ehem."
Nadine menoleh saat mendengar suara Niken, rekan kerjanya sesama teller.
"Sstttt ... diem, Kak," bisik Nadine.
"Beresin kerjaan dulu, baru chatting-an," tegur Niken.
Sikap Nadine itu kalau sampai terlihat atasan mereka itu bisa bahaya. Apalagi kalau salah menghitung uang nasabah, bisa nombok mereka.
"Siapa sih yang nge-chat? Dari tadi senyum mulu," tanya Niken.
"Dokter Janu."
Nadine menghentikan aktivitasnya kemudian menggeser duduk agar berdekatan dengan Niken.
Mendengar nama Janu disebut, Niken juga ikut menghentikan aktivitasnya. Wanita itu meletakkan pulpen dan kertas, lalu menggeser mouse yang berada di dekat layar monitor supaya tidak menghalangi tangan.
"Beneran itu dari Janu?" Bisik Niken.
"Iya, Kak."
"Mana? Gue liatin, dong."
Nadine membuka ponselnya, lalu menyentuh aplikasi hijau dam men-scroll ke bawah. Pesan Janu ada di barisan ke sepuluh dari chat yang masuk di W******p-nya hari ini. Pesan-pesan yang lain malah belum sempat dia baca. Biasanya, notifikasi yang paling sering berbunyi dari percakapan di grup. Selebihnya adalah chat dari mama atau adiknya.
"Nih!" Dia menunjukkan.
Niken mengintip. "Maksudnya apa stalker?"
"Entah."
"Emang lu ada kepo-in dia?" tanya Niken penasaran.
"Perasaan gak, deh," jawab Nadine bingung.
"Apa mungkin dia sengaja bilang gitu. Biar ada bahan omongan sama lu," duga Niken. Jarinya mengetuk meja berkali-kali.
Nadine mengangkat tangan di atas bahu.
"Yaudah bales, dong. Jangan diem aja. Sayang, loh. Dokter unyu-unyu. Pasti dia nungguin."
Niken menunjuk ponsel, menyuruh Nadine untuk segera membalasnya. Justeru dia yang menajadi gemas karena gadis itu menyia-nyiakan kesempatan.
"Tapi bales apa, Kak? Gue bingung." Dia mengutak-atik ponselnya.
"Apaan, ya? Gue juga bingung."
Mereka sibuk menerka kata-kata apa yang tepat untuk membalas pesan itu. Hingga tidak menyadari bahwa ada seseorang yang berdiri di belakang dan ikut menyimak.
"Ehem." Kali ini suara batuknya berasal dari suara lelaki.
Nadine terkejut. Hampir saja ponselnya terlempar. Wajah mereka pucat pasi. Nampak tubuh menjulang Pak Beni berdiri dengan tangan terlipat di dada. Wajah angkernya membuat karyawan di cabang ini ketakutan. Ditambah sikapnya yang sangat dingin dan kurang empati.
"Sudah selesai pekerjaan kalian? Ini sudah hampir jam lima sore. Sebentar lagi kantor tutup," kata lelaki itu tegas.
"Eh, iya dikit lagi, Pak."
Niken berpura-pura mengambil mouse yang tadi dipindahkannya.
"Jadi, kenapa malah mengobrol?"
Suara cool Pak Beni kembali menggema. Karyawan yang lain berbalik arah melihat mereka. Beberapa orang tersenyum geli karena sudah pernah merasakan hal yang sama.
"Anu, Pak. Itu Nadine lagi balas pesan," jawab Niken.
Nadine adalah karyawan baru. Sementara Niken lebih senior, sehingga sudah terbiasa menghadapi sifat Pak Beni.
"Pesan apa?"
Raut wajah Beni nampak berubah. Duda beranak tiga itu nampak serius mendengarkan ucapan Niken.
"Dari cowok," jawab Niken lagi. Wanita itu memberi kode agar Nadine diam saja.
"Siapa?" tanya Beni.
"Dokter." Akhirnya Nadine ikut menjawab.
"Pacar kamu dokter?" Beni bertanya karena penasaran.
"Belum, Pak. Masih pedekate," jawab Nadine jujur.
Kali ini Niken memilih untuk diam.
"Siapa, sih? Saya liat, dong."
Beni menunduk karena hendak melihat isi chat di ponsel Nadine.
"Kenapa ya, Pak?" tanya Nadine bingung.
Melihat itu Niken pelan-pelan menyingkir dengan berpura-pura ingin ke toilet. Padahal sengaja menghindar biar tidak kena semprot.
"Saya ... gak suka ada cowok lain deket kamu, Nadine," jawab Beni dengan wajah yang memerah.
"Maksudnya?"
Nadine masih kebingungan. Seingatnya tidak ada larangan jika karyawan yang masih single berdekatan dengan lelaki lain. Dia memang harus menunggu satu tahun masa jabatan, baru diizinkan menikah. Dia juga masih pendekatan dengan Janu, belum tahu seperti apa nantinya.
Nadine sadar bahwa harusnya dia tidak boleh sering bermain ponsel saat jam bekerja. Dia rela kalau Pak Beni menegur karena itu memang kesalahannya.
"Karena ... saya suka."
"Maksudnya, Pak?"
"Saya suka kamu."
Damn!
***
Sepanjang perjalanan pulang, tawa dua wanita itu berderai di dalam mobil. Nadine dan Niken masih saja membahas tentang kejadian tadi di kantor.
"Gila! Gue gak tau kalau Pak Beni diam-diam dia naksir lu," ucap Niken sembari menyetir mobil.
Kali ini Nadine ikut pulang bersamanya. Biasanya dia akan menggunakan ojek online. Gadis itu baru sembuh dari sakit dan tidak diizinkan ibunya membawa kendaraan sendiri.
Niken masih ingin melanjutkan cerita yang tadi, karena itulah dia bersedia mengantar Nadine pulang. Mereka memang dekat. Wanita itu memang baik dan asyik diajak bercerita, tetapi Nadine tetap saja sungkan jika harus menumpang terus.
"Iya, Kak. Gue juga gak nyangka dia kepo soal dokter Janu," tawa Nadine kembali berderai.
"Gue pikir selama ini dia jaim memang udah sifat aslinya. Ternyata, dia sengaja biar kelihatan berwibawa di depan lu." Niken menggeleng karena tak habis pikir.
"Gue juga gak nyangka, Kak. Masa Pak Beni naksir gue? Emang gak ada cewek laen apa?"
"Dia demen daun muda berarti. Gak apa-apa, sih. Dia tajir. Kepala cabang gitu, loh," ucap Niken menggoda.
"Ih, kakak apaan sih? Gak banget, deh," cibir Nadine.
"Tapi gue setuju kalau lu berjodoh sama dia. Bakalan sejahtera lahir batin. Materi berlimpah. Segala aset ada. Kan katanya Pak Beni emang tajir dari orok," lanjut Niken.
"Gue masih naksir Janu aja sih, Kak. Ah, suka pokoknya." Nadine tersipu malu membayangkan wajah si dokter yang tampan.
"Lu kan baru kenal. Emang udah yakin dia suka? Kalau Pak Beni kan udah jelas tadi nembak lu."
"Entahlah, Kak. Gue bingung. Kayaknya sih iya," jawab gadis itu kebingungan.
"Lelaki emang gitu, Nad. Coba-coba dulu sama banyak cewek. Paling entar nikahnya sama siapa gitu."
"Pengalaman pribadi ya, Kak?" tanya Nadine balik menggoda.
"Paling ngeselin tuh, ya. Udah pacaran bertahun-tahun, eh nanti bilang, sorry gue dijodohin sama orang tua. Hari gini dijodohin? Kayak cerita di sinetron," sungut Niken.
"Liat entar deh, Kak," kata Nadine asal.
"Eh, tadi udah lu bales pesannya?"
"Ya ampun belom dibales. Lupa gue." Gadis itu menepuk dahi.
"Yaudah cepetan."
Nadine membuka tas dan mengambil ponselnya, kemudian menuliskan kata-kata.
'Siapa yang stalker?'
'Kamu.'
Cepat juga pak dokter ini membalas.
'Kapan?'
'Lupa, ya?' Bahasa Janu sungguh menggoda.
'Apaan sih.'
'Siapa sih yang nge-follow saya di I* terus nge-love semua postingan saya?'
Oh My God. Nadine tersadar.
'Kok gak bales? Malu ya udah ketahuan."
'Gak.'
'Itu sebenarnya, kamu nge-love postingannya, apa orangnya sih?'
Nadine tergugu karena isi chat Janu sungguh menggoda. Dia malu setengah mati. Gadis itu masih asyik membalas pesan, saat Niken berkata ....
"Eh, Nad. Sorry gue lupa. Kita mampir bentar ke butik, ya. Ambil baju. Mau ada acara keluarga weekend ntar."
"Butik mana?"
"Itu yang ada di lantai tiga mall baru. Gue pesen baju di sana. Lupa diambil."
"Yaudah, puter balik aja, Kak."
Mobil bergerak meluncur ke arah pusat kota tempat mall baru itu dibangun. Sesampainya di sana mereka segera menuju butik dengan sedikit tergesa. Biasalah, Niken itu ibu beranak dua. Pulang kantor bawaannya ingin langsung pulang ke rumah.
Di sana, mereka langsung disambut oleh pemilik toko. Sudah langganan ternyata, pantas saja ramah.
"Halo, Mbak Niken yang cantik, imut, mempesona ultralala. Mau ambil gaun, ya?"
"Iya, Selly yang cantik manis mempesona ultralala."
Niken balas memeluk kemudian bercipika-cipiki dengan seorang wanita, atau pria, yang dipanggil Selly itu.
"Yuk ke belakang, udah eiyke siapin bajunya buat yey."
"Cus dah, ah."
Mereka berjalan menuju ke belakang.
***
Setelah ditinggal oleh Niken, Nadine memilih duduk di sofa sambil menunggu. Tadinya ingin melihat-lihat gaun, tapi niatnya urung. Takut naksir dan dia belum ada dana untuk membelinya. Harga pakaian di sini mahal. Buat Niken mungkin tidak masalah karena dia istri seorang pengusaha.
Sambil menunggu Nadine membuka ponsel. Satu kebiasaannya sebagai obat jenuh. Gadis itu kembali melihat pesan dan berharap ada balasan dari Janu. Sayangnya, itu tidak terjadi.
Nadine membuka aplikasi lain. I*******m, karena teringat isi chat-nya yang tadi dengan Janu. Kegiatannya terusik saat mendengar suara beberapa orang masuk ke butik. Tampak dua orang ibu-ibu dan seorang gadis muda sedang berdiskusi memilih gaun. Sekilas terdengar suara mereka bercakap-cakap.
Tadinya, Nadine tidak perduli. Namun karena berisik, akhirnya dia menoleh juga. Benar, mereka terlihat sedang mencocokkan warna gaun dan sepatu. Si gadis sedari tadi bolak balik memilih dan belum bertemu yang pas.
"Pak dokter mana, Mbak? Kok belum muncul?" tanya si ibu yang berbaju kuning.
"Bentar lagi, Jeng. Masih visite katanya. Habis dari rumah sakit langsung ke sini," jawab ibu yang berbaju hitam.
"Oh, makanya jadi ditunda sore ya ketemuannya?"
"Iya, maaf ya, Jeng," kata ibu berbaju hitam dengan nada menyesal.
"Gak apa-apa sih. Cuma si cantik ini aja yang udah sabar pengen ketemuan." Ibu itu mencolek pipi si gadis muda.
Nadine masih memerhatikan mereka ketika tak lama nampak seorang lelaki masuk ke butik dengan agak tergesa-gesa. Gadis itu menoleh dan langsung membuang pandangan, agar jangan sampai terlihat kalau dia juga berada di sini. Malu karena ternyata itu adalah Janu..
Sedari tadi Janu merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Janu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Raka. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Janu serasa hendak melompat keluar. Raka menegur menantunya karena melihat lelaki itu gelisah sedari tadi. "Janu, duduk!" tegurnya sekali lagi. Janu menoleh tanpa berucap, kemudian duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Raka menepuk bahu menantunya."Nadine kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Janu m
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan mewah yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Sang pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Rani cantik ya, Mas." Reisa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. Wanita itu berjalan kesulitan karena perutnya yang semakin membesar."Akhirnya dia dapat jodoh yang cocok. Gue nggak nyangka Dokter Andreas bisa meluluhkan hatinya," kata Janu. Matanya tak lepas menatap panggung megah di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah baik atau enggak," kata Nadine bijak."Sama kayak kamu sama aku." Janu mengedipkan mata menggoda istrinya. Nadine tertawa geli kemudian memukul lengan suaminya. Untung saja makanan di piring Janu tidak ada yang berhamburan. Sengaja mere
Nadine menggeliat merasakan sesuatu yang geli di pipi, juga embusan napas di telinganya. Apakah dia sedang bermimpi bahwa ada seseorang yang menyentuhnya. Namun, ini terasa nyata. "Bangun, Bumil. Bobok terus." Jemari Janu mengusap wajah istrinya, membelai lembut dengan penuh kasih sayang. Bibirnya mengecup lembut pelipis Nadine, yang rambutnya begitu harum. Nadine membuka mata. Samar-samar melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini dia rindukan. Setelah telepon waktu itu dengan papanya, Janu bahkan menghilang dan tak menghubunginya sama sekali. Nadine sempat merasa kesal, tetapi dia memilih untuk diam. Suasana hatinya sedang tidak baik, jika galau malah membuat badannya terasa tidak enak."Kamu datang?" Nadine menatap lekat wajah tampan di depannya dengan penuh kerinduan. Matanya sempat melirik ke arah dinding yang menunjukkan jam sembilan malam lewat lima belas menit. "Iya, dong. Kangen." Sebuah kecupan mendarat di bibir mungil Nadine. Janu ingin bermain lama di situ. Namun, m
Ada yang berbeda pagi ini. Suara denting sendok dan garpu di meja makan masih seperti biasa, tapi entah mengapa terasa hambar. Janu beberapa kali melirik ke arah istrinya. Juga Inah yang sedari tadi terdiam menyiapkan sarapan pagi ini. Biasanya suara mereka riuh sekali, berisik saling bersahutan. Kali ini diam membisu, sibuk masing-masing tak saling menyapa. Janu tahu, ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Kemarin masih baik-baik saja. Hanya terasa berbeda saat malam ketika Nadine mendiamkannya. Dia juga tahu, hanya memilih untuk menunggu. Istrinya tak pernah marah terlalu lama. Biasanya hanya sebentar, setelah itu mereka berbaikan."Bik Nah. Nasi goreng masih ada, nggak?" Janu bertanya. Setelah dia mengucapkan itu, tiba-tiba saja Nadine meletakkan sendok dan langsung berjalan ke dalam tanpa berucap kata.Jika Nadine memang marah kepadanya, kenapa dia juga mendiamkan Inah. Janu memilih untuk tetap melanjutkan makan. "Nadine kenapa, Bik?" "Anu, Den--" Inah tak dapat melanjutkan u
Andreas menutup panggilan dengan hati riang. Setelah salah satu perawat mengirimnya pesan mengenai kondisi Rani yang semakin menurun setelah kepulangannya dari rumah sakit, dia segera bertindak.Jadwal operasi masih setengah jam lagi. Dia sendiri sedang berada di ruang ganti dan memakai pakaian kebesaran mereka, seragam hijau. Pikirnya, mungkin dengan menelepon, Ranimau menuruti perintahnya. Selain itu, mendengar suara sang pujaan hati juga dapat mengobati rindunya yang terpendam selama tiga hari ini."Lagi jatuh cinta ya, Dokter?" tanya salah seorang perawat anastesi yang akan mendampinginya nanti di ruang bedah. "Sok tahu kamu." Andreas memalingkan wajah, malu dengan kelakuannya yang sedari tadi tersenyum melihat layah ponsel. Di kontaknya juga beberapa akun media sosial. Rani sengaja memasang foto profile yang sangat cantik sebelum kecelakaan itu terjadi. Wanita itu terlihat sedang berdiri di belakang sebuah bangunan megah ciri khas salah satu kota di sebuah negara di luar negeri
"Dokter makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Rani. Wanita itu menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang ke rumah, tapi tak sekalipun Janu datang menjenguk. Wanita itu mencoba menelepon tetapi lambat direspons. Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca. Lelaki itu sepertinya tak berniat membalas."Nanti Dokter sakit." Rani membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak" Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di taman belakang. Si perawat berinisiatif untuk membawa Rani keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung dibuatnya. Setelah tak ada Janu, Rani seperti kehilangan semangat hidup."Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di sebelah Rani, saat melihat piring yang isinya masih banyak. Bahkan setengahnya pun belum habis dan itu membuatnya bingung."Malas makan, Pak," jawab