Share

11. Go Public

Andai matahari mau minum paracetamol, mungkin cuaca tidak akan sepanas ini. Danish mengibas-ngibaskan kaus olahraga yang dipakainya, setelah mengoleskan sunblock tipis-tipis ke seluruh tubuh secara merata, dia menyusul teman-teman sekelasnya untuk keluar dari ruang cuci laki-laki. Hari ini adalah pelajaran olahraga, dan bukannya Danish tidak suka, hanya saja kegiatan outdoor seperti berolahraga bisa membuatnya terbakar matahari, dan dia keberatan.

Kenapa mereka tidak olahraga di dalam gedung saja? Kenapa harus berlari memutari lapangan upacara? Kenapa harus—

“Nish!” Danish terperanjat saat suara Hamam dari arah belakang mengejutkannya. Anak itu terlambat datang, dia bahkan baru keluar dari ruang ganti tanpa memakai kaus olahraga.

“Kenapa lo telat?” tanya Danish kepadanya. Sebagian anak IPA 3 sudah berkerumun dekat lapangan, Sayna juga ada di sana, rambutnya dikuncir tinggi, dia memakai sepatu olahraga jenis yang sama dengan Danish. Duh, kalau saja mereka idol Korea, sudah pasti ada postingan yang melakukan teori cocoklogi pada tragedi sepatu kembar ini, Danish menyengir diam-diam.

“Bokap sama nyokap gue berantem,” jelas Hamam, menjawab pertanyaan yang tadi Danish tanyakan.

“Lah, apa kolerasinya?” Dia kebingungan. Maklum saja, Danish lupa bagaimana rasanya punya orangtua yang utuh. “Lo... nunggu mereka selesai? Atau... lo ngelerai mereka, ya?” tanyanya hati-hati.

Hamam menggeleng. “Gue nungguin sepatu gue. Soalnya satu dipegang bokap, satunya lagi dipegang sama nyokap.” Pemuda itu menyengir iseng, dan Danish menahan diri untuk tidak menggeplak kepalanya.

Mereka semua berkumpul, ketua kelas 2 IPA 3—Herdian, yang mengaku bahwa dirinya mirip RM BTS dan punya wibawa juga kecerdasan seperti idolanya itu, berdiri di depan kerumunan anak-anak sekelas. Sekadar informasi, satu kelas ini hanya berisikan 25 siswa dengan 13 orang anak perempuan dan 12 anak laki-laki, tidak banyak memang isinya. Jadi Herdian tidak perlu berteriak kencang untuk mengatur teman-teman buasnya.

“Hari ini Pak Bambang bilang kita bakal masuk materi senam lantai alias gymnastic. Tapi sebelumnya kita harus pemanasan dulu. Kalian mau pemanasan atau enggak?”

“Enggaaaakkk!” jawab teman-temannya serempak, terutama Danish yang suaranya paling lantang dan kencang.

“Jadi mau langsung ke gedung olahraga aja nih?” Herdian mengkonfirmasi.

“Iyaaaaa!”

“Oke,” jawabnya santuy. “Tapi lo pada janji ya, kalau ditanya udah pemanasan jawabnya yang kompak.”

Gerombolan kelas itu berjalan menuju gedung olahraga yang terletak di belakang bangunan kelas mereka, ketika semuanya telah sampai di gedung olahraga, mereka langsung mengambil posisi untuk merebahkan tubuh, sebagian bermain-main dengan alat olahraga yang tersedia, sebagian lagi membentuk perkumpulan untuk duduk berkelompok.

“Pak Bambang pasti telat,” kata Arvin sambil melirik jam tangan di pergelangannya. “Apa nggak sebaiknya kita main yang lain dulu?”

“Main apa?” tanya Danish.

“Eh, kok ada Danish?” Herdian terkekeh sambil menunjuk ke arahnya sampai Danish menyipit lalu anak itu segera bungkam. “Oke, sori. Biasanya kan lo nggak main sama anak-anak sini.”

“Eh, tolong ya kan ini lagi jam pelajaran nggak mungkin gue mental keluar.”

“Tapi, Nish,” kata Hamam menginterupsinya. “Kok lo jadi jarang main sama anak-anak geng lo itu, sih? Apa gara-gara nggak ada serangan lagi?”

“Dengan adanya lo di kelas kita, semua anak IPA 3 terlindungi, Nish. Pamor lo bagus banget.” Arvin menambahkan.

Iya, Danish tahu pamornya di kalangan anak laki-laki di seluruh sekolah bukan sekadar isapan jempol belaka. Semuanya hampir tahu bahwa Danish jago bertempur di lapangan, jadi tidak ada yang berani macam-macam pada penduduk di kelas mereka, baik itu kakak kelas sekalipun. Hanya saja, risiko lain yang harus Danish terima juga adalah pandangan buruk beberapa orang terhadapnya. Termasuk dari Sayna.

“Jangan bilang... ini gara-gara Sayna.” Suara Herdian terdengar setelah Danish membisu, tidak mampu mengeluarkan alibi apa pun sebagai alasan.

“Lo sama Sayna beneran?” Arvin lagi-lagi bersuara.

“Danish sama Sayna pacaran?” susul Rafid yang baru muncul setelah melempar jauh bola basket yang sempat dimainkannya.

“Itu sih—”

“Gue tanya sama Sayna kemarin katanya nggak pacaran kok.”

Belum juga Danish menyelesaikan kalimatnya, Reno tahu-tahu sudah muncul dari arah belakang. Reno selama ini dikenal sebagai salah satu pelaku Petrus Jakandor-nya* Sayna, pasti mendengar kabar simpang siur soal hubungan gadis itu dia tidak akan tinggal diam. (Pepet terus jangan kasih kendor).

“Ditolak lo?” sahut Hamam.

Kenapa manusia-manusia ini senang sekali menyalipnya bicara? Dan tadi tidak seramai ini, kenapa mereka muncul saat ada bahan gibah di tengah-tengah?

“Nish!” Herdian memanggilnya.

“Emang kenapa, sih?” tanya Danish keki. “Kalau gue pacaran sama dia atau enggak, apa urusannya sama kalian?” Danish mengeluarkan aura horornya, dia tahu, atmosfer di sekitar mereka mendadak berubah. “Sayna udah gue tembak, tapi nggak langsung diiyain,” ujarnya kemudian. Berusaha mencairkan suasana.

“Ditolak itu, Nish.” Hamam buka suara sambil menggelengkan kepala.

“Masa sih ditolak?” tanya Arvin. “Sayna kerasukan apa dah nolak si Danish?”

“Dia kan sukanya sama gue, jadi ya pasti dia ogah sama Danish.” Reno ikut-ikutan bicara yang langsung disambut tawa oleh mereka semua, kecuali Danish tentunya.

“Nih ya, menurut gue lo mesti ganti nama jadi rejeki biar nggak ditolak sama Sayna.” Herdian menyengir. “Rejeki mana mungkin ditolak. Iya, kan?”

Danish membiarkan para jomblo di hadapannya itu menertawakan jokes basi yang tidak dia pikirkan sama sekali. Danish yakin 100% kalau Sayna tidak menolaknya, gadis itu hanya butuh waktu, dan Danish memang harus berusaha lebih, dia harus berjuang, harus memperbaiki diri. Danish sadar dirinya tidak cukup baik mendapatkan Sayna yang dikenal sebagai siswi teladan, pintar, cantik, dan populer.

“Pada ngomongin apa?” tanyanya, seolah bertanya pada semua orang, tapi dia menatap Danish lekat-lekat.

“Anu... itu, Say.” Hamam terbata.

“Apa?” Sayna langsung menoleh ke arahnya.

Danish mengulum senyum, yang baru dia sadari hari ini adalah, hampir semua warga di kelas tidak pernah berani macam-macam pada Sayna, entah itu laki-laki maupun perempuan. Mungkin hanya Danish yang berani dan datang menggodainya sesekali.

“Kan... ada gosip nih.” Lianka tampak berusaha menjelaskan. “Lo... sama Danish pacaran tuh.”

“Terus?” tanya Sayna dengan alis bertaut. “Kan gue udah jawab kemaren. Kenapa lagi? Emang lo bilang apa ke mereka, Nish?” Sayna beralih kepadanya, dan ditatap begitu membuat Danish mati kutu.

“Say, jangan galak-galak amat deh.” Lianka menyahut di tengah-tengah. “Kalau lo nggak mau ya nggak apa-apa, tapi jangan galak sama Danish. Dia nggak salah, kok. Banyak cewek yang mau jadi pacar dia dan lo harusnya ngerasa beruntung.”

“Kenapa lo suka banget ikut campur?” Sayna menghadap Lianka lurus-lurus dan gadis itu segera menciut. Tidak ada yang tidak tahu bahwa Sayna dan kemampuan beladirinya sering unjuk gigi di tengah-tengah mereka. “Kalian kemarin tanya gue sama Danish pacaran apa enggak, kan? Gue jawab enggak. Karena gue emang nggak pacaran sama dia,” ucap Sayna dengan nada gusar. “Ya kan, Nish? Kita nggak pacaran, kan?” Sayna beralih lagi pada Danish yang duduk lesehan di bawahnya.

“Belum,” jawab Danish sekenannya. “Gue bilang ke mereka juga masih calon pacar, kayaknya pada salah nangkep aja.”

“Nah!” pekik Sayna sampai anak-anak perempuan itu berjengit di hadapannya. “Gue nggak bohong, Danish juga nggak bohong, kita nggak pacaran!” katanya ngegas. “Gue tegasin sekali lagi, ya. Kalau lo pada tanya soal hubungan gue sama Danish, pacaran atau enggak, gue sama Danish nggak pacaran. Tapi kalau lo tanya gue suka atau enggak sama dia, jawabannya itu ya jelas gue suka banget. Puas lo semua?!”

Sayna terengah, yang membuat semua orang di sana membulatkan bola mata. Lalu dia mencebik jengkel dan mendelik galak pada Danish. “Lo, ikut gue!” katanya cepat sambil meninggalkan semua orang yang masih tidak percaya dengan apa yang mereka dengar barusan.

ªªª

Ke mana Pak Bambang guru olahraga mereka? Sudah 20 menit berlalu sejak jam pelajaran olahraga harusnya dilangsungkan, tapi beliau belum memunculkan batang hidungnya. Hanya menitip pesan pada ketua kelas untuk melakukan pemanasan—yang tidak dilakukan, dan sampai sekarang beliau belum juga datang, sehingga anak-anak kelas 2 IPA 3 yang harusnya hari ini memasuki materi olahraga senam lantai justru bergentayangan tidak tentu arah di seluruh pelosok gedung olahraga yang lengang.

“Balikin kunci loker,” kata Sayna tiba-tiba setelah menghentikan langkah tepat di hadapan Danish. Tangannya menengadah, meminta Danish untuk mengembalikan kunci loker yang tadi dia pinjam.

“Nanti aja sih, selesai olahraga gue balikin,” rengek Danish. Karena dia akan menderita sebab harus mencari Sayna setelah jam olahraga usai untuk menyimpan kembali barang-barang ke lokernya.

“Awas kalau hilang,” ancam gadis itu galak, Danish mengangguk cepat dengan mengangkat sebelah tangan di udara, berjanji untuk tidak menghilangkannya.

Dan tiba-tiba, Sayna menyodorkan sebotol kecil air mineral berlogo AQUA ke hadapannya, tanpa bicara, Danish hanya harus menerima. “Lain kali jangan beliin gue apa-apa kalau gue nggak minta atau lo nggak beliin anak-anak yang lain juga. Gue ngerasa punya utang budi,” ucapnya.

Danish tersenyum senang. “Iya, nanti kalau mau beliin apa-apa gue izin lo dulu. Makasih...” Danish tersenyum semringah dengan botol air mineral mini di tangan kanannya. “Buat minumannya.”

“Sama-sama.”

“Lo tahu siapa saingannya aquaman?” tanya Danish tiba-tiba, merujuk pada minuman berlabel AQUA di tangannya saat ini.

“Nggak tahu.” Sayna mengendikkan bahu. “Fireman, mungkin.”

“Salah,” ujar Danish buru-buru.

“Apa dong?”

“Le mineralmen.”

Sayna tertawa sambil mendorongnya pelan. “Garing deh lo.”

“Garing kok ketawa?” Danish menggodainya. “Eh, Say... motor kemarin itu udah diantar. Kata nyokap gue baru sampai, tapi kan belum ada plat nomornya jadi belum bisa gue bawa jauh. Sabar, ya?”

Gadis itu merona dan mengangguk pelan. “Oke,” jawabnya.

“Gue hari ini bawa si Jalu, tadi agak telat sih jadi nggak bisa diantar nyokap makanya naik motor biar cepet. Maaf ya, nggak bisa pulang bareng lo.”

Alis Sayna berkerut untuk beberapa detik, tapi setelahnya dia mengangguk.

“Motor baru itu... mau kita kasih nama siapa?”

“Hah?” tanyanya terkejut.

“Itu, motor baru kita,” jawab Danish gugup. “Mau dikasih nama apa, Say?”

Sayna tertawa pelan. “Jangan suka aneh-aneh deh.”

“Gue serius,” ucap Danish sambil menatapnya lekat. “Namain dong, biar jadi sejarah baru buat kita.”

“Sejarah-sejarah your eyes!” Sayna terkikik, padahal tadi dia kan marah-marah saat mereka berada di antara kerumunan anak-anak sekelas dan mendeklarasikan perasaannya terang-terangan. “Gue mau namain dia... Michiko.”

“Hah?” Danish terperangah, tidak menyangka Sayna akan segera menjawabnya. “Michiko?”

“Iya,” jawabnya riang. “Boleh, nggak?”

Danish mengangguk cepat. Bahkan jika Sayna memberikan nama kambing guling pun pasti akan dipakainya untuk motor baru mereka. Demi Sayna, apa sih yang tidak?

ªªª

Sudah satu jam berlalu dan Pak Bambang tak kunjung datang, anak-anak kelas 2 IPA 3 sudah berguling tak tentu arah di lantai gedung olahraga, ketua kelas mereka juga sudah mencoba menghubungi Pak Bambang untuk kali ketiga. Namun tetap tidak ada tanggapan, kalau pun beliau tidak bisa mengajar hari ini, semoga semuanya baik-baik saja.

“Yuk, ah kita main tebak-tebakan aja,” ajak Hamam pada teman-temannya.

Beberapa dari mereka tak acuh, tapi sebagian lagi—termasuk Danish dan Sayna terinterupsi, mereka mendekat dan membentuk kelompok di tengah-tengah gedung. Memang biasanya akan kacau, tapi lumayan untuk mengusir jenuh.

“Udah, lo dulu,” kata Arvin sambil menunjuk Hamam sebagai peserta pertama.

“Oke, dengerin, ya.” Semua orang terfokus kepadanya. “Buah-buah apa yang luarnya berduri isinya durian?”

Sebagian dari mereka melongo mendengarnya, namun beberapa siswa yang punya kecepatan berpikir normal langsung meledakkan tawa.

“Ya, durian lah, goblo! Lo nyebutin soal sekalian sama jawabannya, si pea!” Hardian menoyor Hamam yang asyik tertawa geli karena ulahnya sendiri.

“Keceplosan gue,” jawabnya enteng.

“Oke, sekarang gue ya.” Arvin menyela di tengah-tengah. “Benda, benda apa yang huruf depannya K belakangnya L. Kalau ditarik keras, tapi kalau dilepas lemas?”

“Gue tahu, gue tahu!” Danish menyahut cepat. “Kon—”

“KETAPEL, NISH, KETAPEL!” Arvin memotongnya buru-buru sebelum Danish mengeluarkan jawaban paling laknat di dunia itu. “Tolong ya itu otak lo dijaga.”

Anak-anak itu tertawa, termasuk Sayna yang jarang-jarang mau menimbrung dan mendorong bahu Danish pelan karena jawaban yang hampir keluar barusan.

 “Gue nih gue lagi.” Hamam kembali unjuk gigi. “Ini gue serius nanya ya, ada yang tahu warna angin, nggak?” tanyanya.

“Ini sesi tebak-tebakan, bego! Bukan lagi jam pelajaran IPA!”

“Ih, udah yang tahu jawab aja.” Hamam bersikeras.

“Di film Avatar sih, gue lihat warna biru,” sahut Sayna. “Bener, nggak?”

“Salah,” sangkal Hamam buru-buru. “Angin itu warnanya merah.”

“Lha, kok gitu? Tahu dari mana lo?” Danish sangsi karena jawaban gadis pujaannya tidak dibenarkan.

“Ih, ya merah, Nish. Coba deh lo lihat hasil kerokan di badan orang yang lagi masuk angin. Merah, kan?”

“Tai!” umpat Danish disambut tawa teman-temannya serempak. “Oke, sekarang gue.” Pemuda itu mengalihkan perhatian dan menghadap lurus pada Sayna yang berdiri di sampingnya. “Ini khusus buat lo,” ungkapnya dengan pipi memerah.

“Anjir, kita semua jadi apaan ini? Acara apaan ini? Katakan Cyintah?”

“Cie... Danish.”

“Say,” panggil Danish pada gadis yang berdiri di hadapannya. “Tahu nggak, apa bedanya lo sama lukisan?”

Sayna tertawa. “Mau gombal kan lo?” Danish mengangguk polos dengan cengiran lebar. “Nggak deh, nggak tahu gue.”

“Nih ya, kalau lukisan tuh makin lama makin antik. Kalau lo, makin lama makin cantik.”

Sayna langsung tertawa renyah tanpa menyebut kata najis yang biasanya selalu dia keluarkan saat Danish memberinya gombal murahan. Sementara Danish memerah, dan suara cie-cie khas ledekan anak-anak sekelas menggema di udara.

ªªª

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Kikiw
haring banget kalian tapi gue wkwkkwkwk
goodnovel comment avatar
Lidya Komala Sari
ngakak habis.....sakit perut gue.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status