Share

12. Go Public II

Danish tidak punya jadwal apa pun sore ini, harusnya dia bisa langsung pulang andai saja teman-teman sekelas tidak mengajaknya nongkrong dulu di kantin dan memaksa Danish memberikan mereka pajak jadian, padahal dia dan Sayna sama sekali belum jadian. Ya, Sayna hanya menerimanya dengan beberapa syarat itu, jadi ini sebenarnya jadian atau bukan, sih?

Sesampainya di parkiran, dengan beberapa kendaraan tersisa bersama si Jalu, Danish mulai mengenakan atribut berkendaranya lagi. Jaket, masker, sarung tangan, helm full wajah, semua harus sempurna, karena polusi juga penyebab banyak masalah kulit. Dia tidak mau mengambil risiko lebih dan harus ikut dengan ibunya ke klinik perawatan kulit di akhir minggu yang indah. Kalau bisa kan, dia ingin jalan-jalan dengan Sayna.

“Nish, gue pulang bareng lo!”

Danish tersentak kaget saat ada sepasang tangan yang menepuk pundaknya dan tahu-tahu mendaratkan bokong di jok belakang si Jalu. Dia mengerutkan kening sembari menoleh ke belakang, tampak Lianka sedang menyengir lebar memamerkan deretan giginya yang berhias behel berwarna kuning, mirip dengan warna jigong.

“Ih, kan udah gue bilang!” Danish mendecak jengkel seraya membuka kembali helmnya. “Gue sekar—”

“Iya, iya, gue tahu.” Lianka memotong cepat. “Tapi Sayna udah pulang dari tadi, Nish. Dia nggak bakal tahu, terus gue nih memang nggak ada yang jemput dan ini udah sore. Anterin gue, ya?”

“Naik taksi,” omel Danish lalu merogoh saku untuk mencari dompetnya. “Nggak usah lo ganti,” katanya seraya menyerahkan lembar 50ribuan pada Lianka.

“Ih, Nish!”

“Turun, Li!”

“Hah? Apa? Apa kata lo barusan?”

“Apa?” Danish terbengong untuk beberapa detik. Matanya mengerjap, apa yang membuat situasinya jadi berbeda? Dia juga tidak mengerti. “Apa?” ulangnya sekali lagi.

“Lo barusan nyebut nama gue, Nish.” Lianka tertawa. “Ini buat yang pertama kalinya lo nyebutin nama gue dengan bener kalau gue nggak salah.”

Sepenting itukah? Hanya karena Danish menyebut namanya dengan benar, Lianka harus sesenang itu? Apa sih yang salah dengan otak anak-anak perempuan selain Sayna?

“Terus?”

“Terus sekarang lo antar gue pulang.” Lianka memasangkan helm terbalik di kepalanya. “Ini buat yang terakhir, Nish. Setelah ini gue jamin lo bakalan mepetin Sayna dengan aman dan tenang. Lo nggak tahu power gue, kan? Gue ini ketua tim cheerleaders, Nish.”

“Wah, serius?” Kenapa Danish tidak tahu, ya?

Dan dengan pasrah, akhirnya Danish mengantarkan teman sekelasnya itu untuk pulang ke rumah. Meskipun sesuatu di dalam dadanya berdesir tidak enak, dia merasa telah berbuat curang pada Sayna. Merasa sangat brengsek, padahal Sayna belum tentu peduli pada hal seperti ini.

Lima belas menit di perjalanan Lianka memintanya berbelok ke kawasan pemukiman mewah di daerah Cilandak, rumah-rumah dengan model yang mirip satu sama lain berjejer, Danish yakin 100% kalau dia disuruh datang lagi sendiri ke sini, dia tidak akan tahu yang mana rumahnya Lianka.

“Nish,” panggil seseorang yang duduk di belakangnya.

“Apa?”

“Gue kira... asdfghkl...”

“Hah?”

“Gue kira lo... asdfghjkl...”

Apa sih? tanya Danish dalam hatinya. “Oh, iya iya.”

“Iya iya apa?” Lianka menggeplak helm Danish dengan galak dan otomatis membuat pemuda itu berhenti mendadak.

“Apa sih?”

“Rumah gue udah kelewat, bego!”

“Lha, ngapa lo nggak bilang?”

“Gue dari tadi ngoceh di belakang!”

Danish manyun, dipikirnya tadi Lianka hanya tengah mengajaknya bergibah ria seperti biasa, bukan sedang menunjukkan alamat rumahnya. Tapi sungguh, semua rumah di sini mirip. Kenapa Lianka tidak masuki saja salah satu yang paling dekat dengan mereka, kan? Kalau dia salah masuk, pasti bisa di-refund.

“Lagian siapa suruh tinggal di perumahan yang catnya sama, modelnya sama, mirip-mirip. Pusing pala gue,” omel Danish saat Lianka turun dari motornya sembari mengembalikan helm bogo yang entah dia dapat dari mana.

Lianka menyengir, gadis itu merapikan rambut sambil bertingkah sok imut di hadapannya. “Akhirnya, Nish, lo berhasil juga nganterin gue pulang ke rumah dengan selamat.”

“Emang biasanya enggak?”

Gadis itu mengangguk. “Gue pernah ditinggal di depan Indomaret, di pom bensin—”

“Itu bukan ditinggal,” sanggah Danish cepat. “Tapi ketinggalan.”

“Sama aja, Nish.” Lianka terbahak. “But, akhirnya gue harus mengatakan hal ini meskipun berat.” Danish mengernyit bingung. “Selamat tinggal, Nish. Semoga lo sama Sayna langgeng dan bahagia, ini buat yang pertama dan terakhir kalinya gue diantar pulang sama pemuda paling ganteng satu sekolah. Gue bisa kontrol mulut netijen pake power gue, tapi gue nggak bisa ya, menanggulangi patah hati besar-besaran setelah berita ini tersebar. Lo siap-siap aja denger kabar ada yang gantung diri di pohon toge atau semacamnya.”

Danish tertawa. Dia tidak tahu sebenarnya organisasi apa yang dipimpin oleh teman sekelasnya ini tapi yang pasti, Lianka adalah penggerak para Pengabdi Danish di sekolah alias para Danishta.

“Oke, makasih.” Danish tersenyum senang, akhirnya dia tidak menyesal karena mengantar Lianka pulang.

“Gue masuk dulu, ya. Dah, Danish!”

Danish melambai seraya memberikan senyum terbaiknya, merasa senang karena dirinya mendapat dukungan, entah kenapa. Semangatnya untuk mendekati dan meresmikan status dengan Sayna semakin berkobar. Pemuda itu termenung untuk sesaat, agak bingung, karena lagi-lagi dia menemukan perbedaan antar Sayna dengan gadis-gadis lainnya.

Lianka tidak seperti Sayna, dia tidak menyuruhnya untuk memberi kabar setelah sampai di rumah. Hanya Sayna yang seperti itu. Sayna-nya.

***

“Shhh....”

Dari pintu samping dekat garasi rumah, Danish bisa mendengar obrolan dua wanita yang bersahutan itu menggema di seluruh penjuru ruangan. Dan ketika ia mencari sumber suara, sang ibu tengah sibuk menguleni adonan terigu dengan tangan sambil melakukan panggilan video dengan Dinara di ponselnya.

“Mbak!” panggil Danish ceria melihat wajah kakak kandungnya itu memenuhi layar.

“Udah pulang kamu?” tanyanya basa-basi, Danish mengangguk senang.

 “Mbak kapan pulang?” Danish mengutarakan pertanyaan itu. Pertanyaan yang sering terulang di kepalanya, kapan Dinara pulang? Kapan kakaknya tinggal bersamanya lagi di rumah ini?  Danish dibesarkan oleh wanita itu, karena Melia sibuk mengurusi bisnis laundry sejak mereka kecil. Dinara adalah sahabatnya, saudaranya, sekaligus ibu asuhnya.

“Mau pulang kok sayang,” ujar wanita itu menimbang-nimbang. “Kalau dihitung ya tiket pesawat pulang pergi lumayan juga, Dek, sementara Mbak sama Mas Haikal kan lagi nabung.”

Danish melirik sang ibu yang tampak kecewa—sama seperti dirinya, mendengar hal itu. Tapi Danish tidak mau membuat kakaknya merasa terbebani, jadi dia hanya mengangguk dan tersenyum. Padahal ini sudah tahun ketiga mereka tidak bertemu, Dinara bekerja terlalu keras demi masa depannya, demi kenyamanannya kelak setelah berumah tangga. Hingga dia seolah melupakan apa yang tersisa saat ini, apa yang ditinggalkannya dan sangat merindukannya, ada Danish dan Melia yang setia menunggu Dinara kembali.

“Mbak udah komunikasi sama Vio, gaun dan semua yang Mbak persiapkan buat pesta nanti udah dia sanggupi. Kamu katanya suka main di butik Vio, ya?”

Danish mengangguk. “Banyak cewek cantik,” jawabnya jujur dan Dinara serta ibunya tertawa.

“Gaya tuh, Mbak, dia mau pacaran katanya. Udah beli motor baru segala kemarin, motor khusus buat pacaran.”

“Cie...” Dinara meledeknya. “Udah gede ya kamu, Nish. Biasanya hari-hari mikirin sunscreen mulu sama sunblock, sekarang kepikiran pacaran juga nih.”

Danish menepuk dada bangga.

“Nanti Mbak kirimin skincare juga buat dia sekalian, tapi kenalin ke mbak, ya? Kasih lihat gitu kek fotonya.”

“Iya.” Danish merona disaksikan oleh ibu serta kakaknya yang sibuk tertawa kencang. Kupingnya sampai panas sekali.

“Kenalin ke Mama juga,” kata Melia cepat. “Terus ajak ke sini seminggu 2 kali aja, Mama mau minta tolong dia buat bikinin kamu roti.”

ªªª

Ada tidak enaknya juga dekat dengan seseorang yang populer di sekolah—maksudnya, Sayna juga populer, tapi tidak bisa mengalahkan kepopuleran Danish. Karena pemuda itu membawa si Jalu ke sekolah hari ini, mereka jadi tidak bisa pulang sama-sama. Sebab bagi Danish, Sayna seperti pantang naik ke atas jok motornya itu.

Namun saat tengah asyik berselancar di I*******m, tiba-tiba saja Sayna melihat akun penggemar Danish mengunggah foto pemuda itu tengah berduaan dengan Lianka di parkiran. Dan selanjutnya bisa ditebak, Danish mengantar gadis itu pulang, mereka berboncengan.

Sayang sekali, tidak ada jadwal latihan taekwondo hari ini.

Bugh!

“Teh, aduh!” Ikrar memekik tatkala Sayna meninju adonan roti yang ada di hadapannya saat ini. “Mau bikin roti apa bikin makanan anjing sih?”

Bocah SMP itu mengomel karena untuk ke sekian kalinya Sayna membanting adonan di atas meja pastry dengan nafsu yang berlebih. Pelampiasannya saat tengah marah, bentuk positif dari penyaluran emosi, agar tenaganya tidak terbuang sia-sia dengan memukuli bantal atau guling di kamar sendiri.

“Itu roti pas udah jadi kalau nggak keras kayak sendal jepit, pasti alot banget kayak hubungan Teteh sama gebetannya.”

“Diem!” Sayna menggeram sambil memelototi adiknya dengan tangan senantiasa meremas adonan.

“Ngaku deh, roti bikinan Teteh itu nggak pernah ada yang bener! Keras banget, dipake ngelempar badak juga badaknya mati.”

Bugh!

“Aw!”

Kali ini bukan bantingan di meja, tapi sekepal adonan lengket dan bau ragi itu mendarat di pipi adiknya. Sayna tersenyum puas, siap dengan amunisi berikutnya jika Ikrar masih berani mengadu bacot dengannya seperti barusan.

“Bu... si Teteh!” teriak anak itu, mengadu pada ibunda, seperti biasa. “Masa Adek dilempar pake adonan sendal jepitnya, Bu?”

Ikrar melipir ke kamar ibu mereka sembari memegangi pipi yang masih belepotan adonan, mengadu dan melebih-lebihkan perkara, senang sekali melihat kakanya dimarahi oleh ibunda. Ada masalah apa sih, hidupnya itu? Jadi manusia kurang ajarnya diborong sendiri, tidak dibagi-bagi.

Sebenarnya Ikrar tidak sepenuhnya berbohong juga, roti buatan Sayna selalu keras, alot, kadang seret di tenggorokan. Hanya ayah yang bersedia memakannya sampai tuntas, itu pun dicelup ke air teh agar lembut, bisa dikunyah dan lebih manusiawi. Kalau tidak, ayah bilang roti buatan tangannya lebih cocok dijadikan sesajen wewe gombel.

Sayna suka membuat roti sejak lama, dia merasakan sesuatu yang berbeda saat membuatnya. Namun meski sudah menggunakan resep yang sama—sama persis malah, dengan resep para chef idola, roti buatan Sayna selalu berbeda. Dia seolah dikutuk untuk tidak pernah bisa membuatnya. Entah ini takdir macam apa, padahal kelak Sayna ingin punya kafe dan toko roti sendiri, seperti tempat yang sering dia kunjungi untuk belajar bersama.

Saat membuat roti, Sayna merasakan keajaiban yang bersifat ilmiah sebenarnya. Dari terigu, telur, ragi, susu dan telur yang lembek dan lengket, adonan berubah menjadi empuk, mengkilap hingga tidak lengket di tangan. Dan setelah proses proofing dilangsungkan, adonan yang tadinya seukuran bola kasti bisa mengembang hingga seukuran semangka. Sayna merasa semua itu masih seperti keajaiban, membuatnya ingin terus mencoba berulang-ulang.

“Lagi PMS ya, teh?” Ibunda muncul dari balik pintu kamar, disusul Ikrar yang hiperbola memegangi pipinya seolah habis ditonjok oleh tenaga kuda, padahal hanya lemparan kecil saja.

“Nggak kok, Bu. Aku udah dapet kemarin, baru aja selesai,” jawabnya cuek dengan mata melotot ke arah adiknya. Sayna pasti akan dimarahi oleh ibunda sebentar lagi karena sudah melakukan tindak kekerasan di rumah ini.

“Udah sini, ibu yang lanjutin manggang. Kamu istirahat, cek lagi tugas buat besok di sekolah.”

Sayna mengangguk dan segera mencuci tangan untuk kemudian kembali ke kamar dan memeriksa ponsel yang sudah ia abaikan selama berjam-jam setelah menemukan foto Danish tadi di I*******m. Dadanya masih berdenyut mengingat hal itu, dia ingin sekali bertanya kenapa Danish melakukannya, bukankah Danish bilang kalau dia menyukainya? Meminta Sayna jadi pacar? Berjanji akan berubah? Lalu kenapa?

Danish: P for Punteun.

Danish: Neng Sayna lagi apa?

Danish: Assalamualaikum.

Entah kenapa Sayna bisa membayangkan wajah usil itu hanya dengan membaca pesan-pesan yang masuk sejak 1 jam lalu itu ke ponselnya.

Danish: Suka micin nggak, Neng?

Pesan berikutnya menyusul.

Sayna: G.

Danish: Kalau micintaiku?

Sayna mengulum senyum dengan hidung kembang kempis menghalau banyak udara.

Sayna: Nggak!

Danish: Enak ya jadi lo.

Sayna: Enak apanya?

Danish: Tahu-tahu ada yang kangen. Gue orangnya. Hehe.

Sayna: BCT.

Danish: Lo egois banget jadi orang.

Hah? Tunggu... kenapa balasannya begini? Danish... tidak biasanya langsung tersinggung seperti ini. Sayna kenal betul siapa pemuda itu dan bagaimana sikapnya. Masa hanya dengan 3 huruf itu dia marah, sih?

Sayna: Maksud lo? Egois gimana?

Dadanya bergermuruh tidak normal.

Danish: Ya egois aja.

Danish: Nyokap lo manusia, bokap lo manusia, tapi kok lo nya bisa jadi bidadari?

Sayna tidak bisa menahan kedutan di sudut bibir. Dia menjerit tertahan dengan wajah tenggelam di atas bantal sambil memukul-mukulkan kaki ke ujung tempat tidurnya. Danish sialan! Bisa-bisanya membuat jantung Sayna repot sekali hari ini. Sudah membuatnya kesal luar biasa, khawatir, cemas, dan sekarang—

Danish: Gue beneran suka sama lo. Pacaran, yuk!

Sayna: Sori, gue nggak bisa.

Danish: Terus?

Sayna: Kita temenan aja.

Danish: Yah... temen gue udah banyak, Say.

Sayna: Ya udah, kita musuhan.

Danish: Yah... Sayna.

Sayna cekikikan sendiri, dia bisa membayangkan ekspresi Danish dengan bibir manyun dan tatapan memelas andalannya itu, seperti anak kecil yang minta dibelikan permen lolipop harga dua ribu.

Danish: Kalau nggak mau pacaran ya udah.

Danish: Tapi gue boleh kan bilang suka sama lo hari ini?

Danish: Kalau besok gimana?

Danish: Besok lusa?

Danish: Besoknya habis lusa?

Danish: Gimana kalau selamanya?

Danish: Gue boleh kan suka sama lo sebanyak itu?

ªªª

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status