Share

10. Langkah Kedua

Hari ini Danish tidak membawa si Jalu ke sekolah, dia diantar ibunya pagi-pagi dengan Mercy yang jarang dia naiki, lalu berencana pulang dengan Sayna naik angkutan umum. Tapi sejak kerusuhan di kelas tadi, tentu saja gejolak dan lonjakan besar tidak dapat dihindari, Sayna langsung berubah. Dia tampak marah, beberapa anak bertanya dan Sayna tentu saja menampiknya. Dia terlihat keberatan dengan kabar yang berembus di kelas, dan mungkin akan menyebar di seantero sekolah tak lama lagi.

Memang se-aib itu Danish baginya, padahal Danish sudah janji untuk tidak ikut tawuran dan belajar yang giat agar tidak remedial terus setelah ulangan maupun ujian.

“Pergi lo,” usir Sayna kepadanya saat Danish berjalan tepat di belakang gadis itu menuju halte Transjakarta terdekat dari sekolah.

“Gue nggak bawa motor, jadi mau naik bis.” Danish membela diri, dan tetap berjalan di belakangnya. “Kita satu jurusan kan, ya?” tanyanya kemudian, padahal Danish tidak tahu. Dia kan tidak pernah naik angkutan umum.

“Kenapa sih, Nish?” Sayna berhenti mendadak hingga Danish menabrak punggungnya, untung saja gadis itu kuat, dia tidak oleng sama sekali, malah tulang bahunya yang menyenggol dada Danish saat berbalik cukup membuat ngilu beberapa detik.

“Kenapa apanya?” tanya Danish polos, tangannya mengusap-usap dada. Bahu Sayna luar biasa.

“Kenapa lo malah nggak bawa motor dan ikut-ikutan pulang bareng gue naik bis? Gue kan belum bilang setuju jadi cewek lo!”

“Ya, emang harus jadi cowok lo dulu baru boleh naik bis, ya?”

“Danish!” bentak Sayna, dan Danish terkekeh pelan.

“Kan lo yang nggak mau gue ajak naik motor, jadi ya gue ikut lo naik bis. Gue bayar sendiri kok, atau lo mau gue bayarin sekal—”

“Nggak usah! Gue punya duit!” Sayna nyolot.

Danish mengangguk, tidak terlalu banyak menanggapinya lagi dan hanya berjalan di sisi Sayna sampai mereka sampai di halte. Sayna langsung duduk, mengambil Teh Kotak yang terselip di sisi tas sekolahnya dan minum dengan tenang. Full day school membuat mereka harus pulang sangat sore, dan halte pukul segini relatif sepi. Beberapa orang memilih angkutan online, dan ini bukan jamnya para karyawan pulang bekerja. Keadaan hampir sunyi senyap. Danish diam, berdiri di sebelah Sayna tanpa melakukan apa-apa.

“Nish,” panggil Sayna. Dia menarik ujung tas Danish dan membuat Danish duduk di tempatnya tadi. Lalu gadis itu—Sayna-nya, tersenyum, dia berjongkok di bawah, tangan Sayna memegang lututnya. Dan Danish ingin mati detik ini juga. “Nish,” panggilnya sekali lagi. “Apa yang lo suka dari gue?” tanyanya. Sorot geli dan jenaka di mata gadis itu tadi sirna.

Danish berdeham. Kalau ditanya seperti itu, dia sendiri tidak tahu jawabannya, tidak tahu apa spesifiknya. “Nggak tahu,” jawabnya kemudian. Suaranya pelan.

“Cuma penasaran aja, kan? Karena gue nggak sama kayak cewek lainnya?”

Mungkin... iya. Atau mungkin itu hanya salah satu alasannya, bukan penyebab utama. Danish memperhatikan Sayna sejak lama, bertahun-tahun sudah, dan rasanya tidak sedangkal itu. Dia menyukai Sayna, menyukai semua tentangnya.

“Dulu... gue suka semua tentang lo, Say. Semuanya, kurang dan lebihnya.” Danish menjeda sampai ada binar berbeda di mata gadis itu. “Dan sekarang masih,” sambungnya kemudian. Sayna terkekeh pelan.

“Apaan sih, Danish...”

“Tapi ada satu yang nggak gue suka.”

“Apa?” tanyanya sigap, tawa dan binar tadi sudah hilang sempurna.

“Cara lo nggak suka sama gue.”

Alis Sayna nyaris bertaut. “Gue... nggak suka sama lo?” tanyanya heran. Danish mengangguk pelan, dan suara tawa meledak dari bibir gadis pujaannya itu.

“Kata siapa, Nish? Siapa yang bilang gue nggak suka sama lo?”

***

Sayna kebingungan saat langkahnya mengikuti Danish sejak mereka turun di halte barusan. Danish yang berjalan lincah beberapa langkah di depannya sibuk dengan ponsel sementara kepala pemuda itu celingukan, seolah mencari tempat tertentu yang akan mereka kunjungi hari ini. Dan Sayna, kerasukan apa dia sampai mau-maunya mengikuti Danish dengan pasrah seperti sekarang?

“Katanya jalan satu blok lagi dari sini, lo nggak apa-apa? Mau beli minum dulu?”

Sayna menggeleng. Danish tampak lebih normal dengan seragam sekolah mereka, kemeja putih dan celana abu-abu, seperti seragam SMA kebanyakan. Tapi hari ini dia tidak membungkus tubuh dan wajahnya seperti lemper, seperti saat dia bawa motor ke sekolah. Danish yang berada di bawah sorotan sinar matahari sore begitu memesona.

Mungkin saking terpesonanya Sayna sampai tersihir dan pasrah saat pemuda itu membawanya ke tempat ini. Entah di mana mereka, yang jelas keduanya berjalan menyusuri pertokoan dan ruko-ruko besar pinggir jalan.

“Nah, ini dia tempatnya.” Danish berhenti di depan show room sepeda motor buatan Jepang yang tersohor, lalu berbalik sedikit dan mengisyaratkan Sayna untuk ikut masuk ke sana.

Seperti show room pada umumnya, sepeda motor model terbaru dipajang, kertas-kertas daftar harga dan tenor cicilan bertebaran, beberapa sales berusaha mendekat melihat kedatangan mereka berdua, yang tentu masih membuat Sayna bertanya-tanya.

“Nish, kita mau ngapain ke sini?” tanya gadis itu pada akhirnya. “Masa lo mau ajakin gue nyicil motor, sih?”

Danish terkekeh. “Ya, nggaklah. Gue mau beli motor, biar lo mau dibonceng pulang bareng gue. Kan lo nggak mau gue bonceng pake si Jalu.”

Sayna termenung saat suara cie-cie yang berasal dari para pegawai show room itu bergaung di sekitar mereka, dan Danish—seperti biasa, bisa mengatasi hal seperti itu dengan mudah. Dia hanya tersenyum, dan semua orang tidak mengganggunya lagi.

“Nish, jangan ah. Yuk, pulang. Gue mau kok dibonceng sama si Jalu. Yuk ah, udah...” Tangan Sayna gemetar saat mengatakannya, entah kenapa dia takut. Dia takut pada sikap Danish yang seperti ini. Dia takut tidak bisa membalasnya, atau... memberikan kepastian untuknya. Sayna mendadak panik.

“Kok gitu? Nggak apa-apa, motornya buat gue kok. Gue nggak beliin lo motor,” jawab pemuda itu lempeng. Benar-benar tidak bisa membaca situasinya. “Jangan ngerasa nggak enak gitu deh.”

“Nish....”

“Neng, udah nggak apa-apa. Pacarnya mau memberikan kenyamanan lho.”

“Bukan pacar saya!” sahut Sayna tegas, lupa pada kenyataan bahwa dia justru mempermalukan Danish saat ini.

“Hehe, masih calon nih, Mas. Calon pacar.” Danish segera mengambil alih.

“Cie... calon pacar dibujukin pake motor baru, ya?”

Pemuda paling ganteng di kelas IPA 3 itu buru-buru mengibaskan tangan. “Bukan kok, saya yang inisiatif. Dia nggak gitu,” belanya pada Sayna.

“Ih, nggak apa-apa loh. Tuh, Neng, ini calon pacarnya sampai berkorban kayak gini lho.” Mas sales itu beralih pada Sayna sebelum kembali pada Danish. “Jadi, mau yang mana motornya, Dek? Kita ada tenor cicilan dengan bunga ringan kalau ada bla-bla-bla—”

Sayna tidak lagi mendengarkan. Dia termenung di tempat, rasanya ingin menangis karena serba salah. Sayna bisa saja pergi dari sini dan meninggalkan Danish, tapi dia tahu kalua itu akan melukai harga diri, dan mempermalukan Danish di depan banyak orang. Dia tidak mau jadi orang yang seperti itu bagi Danish. Salahnya, Danish tidak berdiskusi dulu soal ini, minimal selama di bis tadi mereka membahasnya, kan?

“Jangan, Mas, jangan yang itu. Kasihan nanti calon pacar saya duduknya ngangkang banget, turun-turun jalannya kayak simpanse.” Banyolan Danish berhasil membuat gemuruh tawa di sudut toko itu. Ketika mereka menawarkannya sebuah unit sepeda motor besar yang memang agak terlalu besar tapi sangan kekinian.

“Say, bantu pilih dong!” panggilnya sambil melambaikan tangan.

Sayna sudah terlanjur speechless, ada harga diri seseorang yang perlu dia jaga saat ini, jadi Sayna menurutinya. Dia mendekat dan memperhatikan beberapa unit yang terpajang di sana.

“Lo mau coba, nggak? Naikin satu-satu joknya, mana yang paling nyaman. Kan ini gue persembahkan khusus buat lo.” Danish cengengesan, disambut lagi dengan cie-cie lainnya.

“Gue nggak tahu.” Sayna menggeleng. Seperti ada batu mengganjal di tenggorokannya. “Yang paling lo suka aja.”

“Gue paling sukanya sama lo, gimana dong? Masa lo yang gue naikin?”

Astagfirullah, Dek! Jangan naik-naikin anak orang sebelum sah di meja hijau!”

“Meja hijau pala lo kotak! Di KUA kali!”

Danish dan mas-mas sales di sana tertawa, hanya Sayna yang kikuk dan bingung saat ini. Dia tidak bisa marah, juga tidak bisa membantah, tidak bisa ikut tertawa dengan mereka.

“Nggak, Say, gue bercanda.” Danish langsung peka melihat Sayna diam saja. “Jadi, menurut lo, yang paling cocok buat gue mana?” tanyanya dengan nada lebih lembut.

Danish... memangnya punya uang ya untuk membeli sepeda motor? Atau dia mau kredit? Tapi memangnya bisa? Apa dia diberi kartu kredit?

“Yang ini,” tunjuk Sayna spontan tanpa pikir panjang pada unit yang terpajang tepat di sebelah kanan Danish. Dia risih ditatap terus oleh pemuda itu dan berusaha keras untuk mengalihkannya.

“Oh, ini? Freego?” Sayna mengangguk. “Lucu sih.” Danish tersenyum.

“Pilihan yang tepat!” Seorang mas-mas dengan kemeja berwarna oranye dan bertuliskan YAMAHA FreeGo di bagian kirinya membelah kerumunan. “Unit ini sangat cocok untuk anak sekolah seperti adik-adik sekalian. Tapi... umurnya berapa nih? Udah punya SIM belum?”

“Udah.” Danish buru-buru mengangguk sambil mengeluarkan dompetnya. “Saya juga udah bikin KTP loh, Mas. Bulan September kemarin, pas saya ulang tahun.”

“Bagus! Nah, adik-adik, mari saya jelaskan.” Mas dengan kemeja oranye tadi menginterupsi. “Unit ini memiliki bagasi yang luas, volumenya mencapai 25 liter lho. Bisa dipakai untuk menaruh barang bawaan kalian seperti tas, sepatu olahraga, tugas-tugas, mejikom atau penanak nasi, bahkan bisa untuk menyimpan kenangan dan masa lalu yang katanya sulit untuk dilupakan. Sangat multifungsi.”

Danish tertawa sementara Sayna menyengir di sebelahnya, tertarik untuk mendengarkan lebih lanjut.

“Oke, lanjut, ya,” ucap si mas kemudian. “Unit ini juga memakai Smart Key System atau SKS, yang artinya merupakan sistem tanpa anak kunci seperti model konvensional. Jadi kayak remote mobil lho, adik-adik. Kalau kita ada di parkiran Mangga Dua nih, kan susah nyarinya, tekan tombol aja tuh, terus motornya bakal nyaut, i’m here, Bambang! Tinggal samperin deh motornya.”

Sayna tertawa geli, sementara Danish terlihat takjub mendengarnya. “Serius, Mas? Motornya bisa nyaut pake suara gitu? Kalau ganti jadi, i’m here, ganteng! Gitu, bisa nggak?”

Mas-mas kemeja oranye dan teman-temannya tertawa. “Saya bercanda kali ah. Oke, lanjut-lanjut.”

Mereka kembali fokus dan Danish berdiri sejajar dengan Sayna, membuat gadis itu diam-diam memperhatikannya. Danish dengan tulang hidung yang sangat tinggi, mancung, ideal, juga giginya yang seperti kelinci saat tersenyum, garis di sekitar mata saat tertawa, sungguh membuatnya terlena. Sayna bisa gila detik itu juga kalau terus memandanginya.

“Salah satu kelebihan lainnya, unit ini memiliki Antiblock Brake System atau ABS. Jadi daya pergerakan dan pengereman lebih maksimal, anti selip lah pokoknya. Motor ini nggak bisa dipake modus buat pemuda-pemuda yang suka mainin rem biar ada yang mantul-mantul tuh di punggungnya.”

“Hah?” Danish terperangah, dan Sayna tertawa. Pemuda itu dan kapasitas berpikirnya yang minim memang kadang membawa keuntungan tersendiri.

“Wah, masih polos ternyata.” Mas berbaju oranye tertawa. “Nggak usah dibahas yang tadi, kita lanjut aja. Nah, ini kelebihan lainnya, meskipun bukan masuk jajaran motor gede, tapi unit ini dilengkapi dengan Smart Front Refuel alias tangki depan. Jadi nih, adik-adik, kalau ngisi bahan bakar nggak perlu turun dari motor, ya. Nggak bakal ada risiko penumpang ketinggalan di pom bensin pokoknya. Fatal kan itu. Apalagi buat sepasang muda-mudi seperti kalian, bisa ada perang dunia ketiga nyusul Donald Trump.”

Sayna tertawa kencang, ingat pada pengalaman Danish yang sebelum-sebelumnya dan melihat reaksi Danish dengan wajah yang memerah, Sayna tahu bahwa pemuda itu jelas-jelas merasa tersindir.

“Oke.” Danish mengangguk-angguk. “Meskipun saya yakin nggak akan pernah ninggalin cewek sa—”

“Calon,” ralat si mas berkemeja oranye tadi. “Ingat, ya, masih calon.”

Sayna tertawa sambil menutup wajah.

“Iya, iya calon.” Danish melirik sekilas ke arahnya. “Nah, meski saya nggak akan ninggalin dia di pom bensin—nggak akan pernah, tapi untuk antisipasi boleh lah. Saya ambil yang ini. Terus, ada lagi nggak kelebihan lainnya?”

“Oh, ya jelas ada.” Si mas langsung menyahutinya. “Motor ini bisa jalan asal ada yang mengendarainya, bisa dipakai nanjak, menurun, lurus, belok, freestyle juga bisa kalau nggak sayang nyawa.”

Danish tertawa.

“Bisa dipakai buat antar jemput calon pacar kamu, nebengin calon mertua ke pasar, nganterin ibu kamu kondangan, dipake ngojek juga bisa. Multifungsi pokoknya.”

“Ya, itu sih fungsi motor pada umumnya, Mas.” Danish menjawabnya dan si mas tertawa.

“Yang jelas motor ini belum bisa terbang sih, kasihan yang punya perusahaan maskapai kalau motor bisa terbang. Bangkrut nanti mereka.”

Mereka tertawa lagi dan Danish menyetujui pembelian unit itu dengan pemilihan varian berwarna Matte Grey yang sekaligus menjadi Hero Bike. Sayna mendengar bahwa harganya mencapai 23 juta rupiah dan Danish dengan ringan tangan langsung mengeluarkan sebuah kartu berlogo bank terkenal di negara mereka untuk membayarnya. “Debit aja ya, Mas.”

Para pekerja di sana kontan saja melonjak riang, sore-sore begini ada dua bocah ingusan yang tahu-tahu membeli sepeda motor kontan. Aneh, kan?

“Nggak apa-apa, ya. Motornya belum bisa dibawa sekarang, katanya nanti diantar ke rumah, lo mau pulang pake apa sekarang?”

“Nish...” Sayna tidak menggubrisnya. “Ginjal lo masih utuh, kan?”

“Eh, apa nih? Geli ih, geli!” Danish terpingkal saat Sayna menyentuh pinggangnya begitu mereka keluar dari area show room dengan hujanan doa-doa semoga langgeng bahagia, semoga sakinah mawaddah warrahmah dan lain sebagainya. “Ngapain, Say?” Danish tertawa setelah berhasil menghindar.

“Ngecek ginjal lo, siapa tahu udah kejual.”

Pemuda itu tertawa menggemaskan. “Ada nih, masih utuh,” ujarnya santai.

“Jadi... lo punya uang dari mana buat beli motor barusan?”

“Tabungan lah, Say.” Tabungan? Memangnya sebanyak apa uang jajan Danish? “Lo tahu kan, gue punya jadwal antar cucian di laundry nyokap beberapa hari sekali?” tanya pemuda itu sembari menyodorkan Teh Kotak kemasan baru dari mesin penjual minuman di depan show room tadi.

“Iya, tahu.” Sayna mengangguk. Sudah jadi rahasia umum bahwa Danish adalah pangeran laundry kaya raya di sekolah mereka. Bahkan keluarganya dicurigai sebagai pelopor lahirnya detergen inovasi terbaru bernama Vanish.

“Nyokap gue bilang, gue harus kerja keras karena duit nggak punya kaki buat jalan sendiri.” Dia terkekeh sejenak. “Gue dibayar kok sama nyokap, jadi gue punya kerja sampingan, makanya gue bisa nabung. Sama... ada sumber lain lah pokoknya, gue nggak ngepet, nggak punya tuyul atau jual ginjal kok.”

Danish tersenyum manis sekali, atau entah itu hanya perasaan Sayna saja. Tapi dia kelihatan berbeda sore itu, Sayna tidak tahu kenapa, padahal Danish tinggal bilang uang jajannya banyak jadi dia bisa menabung dan Sayna pasti akan langsung percaya, tidak perlu membuatnya tersentuh seperti ini.

“Mau makan? Atau langsung pulang?”

“Gue dijemput ayah.” Sayna menunjukkan ponselnya, dia ingat kalau ayahnya biasa pulang dari Kodim pukul segini.  “Tiba-tiba beli motor gitu, nyokap lo nggak marah?” Sayna mengalihkan topik, yang sebenarnya cukup mengganjal di kepala.

“Nggak tuh. Kan tabungan gue.” Danish menaikkan bahu.

Mata Sayna otomatis melebar. Dia bisa memperkirakan jumlah uang tabungan Danish, pasti cukup banyak untuk ukuran anak SMA. Tiba-tiba saja, Sayna yang merasa sudah hidup cukup baik di keluarganya, mapan, berkecukupan, merasa gembel bersanding dengan Danish sekarang. “Kok... tiba-tiba, sih? Beli motornya gitu,” sambung Sayna lagi.

“Iya, memang baru kepikiran di bis. Jadi mendadak.”

“Impulsif banget lo.”

Sayna duduk di kursi besi yang berjejer sepanjang trotoar jalan, beberapa skuter sewaan juga terparkir di dekatnya, Danish ikut duduk, dia larut dalam diam sambil menyeruput Teh Kotak yang tergenggam di tangan. Lalu Sayna memfokuskan perhatian pada ponsel di tangannya, dia harus segera menghubungi ayah.

Sayna: Yah, bisa jemput? Kalau nggak mau aku pulang sama teman.

Ayah: Jemput di mana?

Ayah: Teh, tapi nanti tawarin tanah ya ke temen Teteh, Ayah mau jual tanah.

Sayna: Tanah yang mana? Emang Ayah punya tanah?

Ayah: Ada tanah Ayah seember, lumayan kan buat nutup tai kucing.

Danish tampak senang membaca obrolan aneh antara Sayna dan ayahnya. Sampai dia tidak sadar, bahwa posisi duduk mereka terlalu dekat, bahwa bahu Danish bersentuhan dengan bahunya, dan Sayna cukup berdebar sekarang.

Wajah Sayna memerah, ide buruk karena membiarkan Danish membaca percakapannya dengan ayah sore ini. Sayna tidak menduga bahwa jawaban dari sang ayah akan sangat absurd, sampai Danish di sebelahnya terpingkal-pingkal. Hancur sudah imej baik bapak Letnan melihat caranya berbincang dengan sang anak di kolom percakapan.

“Sumpah, ya, ini tuh gokil banget!” Danish masih betah tertawa. “Gue nggak tahu rasanya punya ayah, jadi lihat interaksi kalian rasanya wah banget. Aneh, tapi seru gitu.”

Sayna pernah dengar, kalau Melia—ibu kandung Danish adalah orangtua tunggal, tapi karena beliau cukup sukses dan kaya, Danish hampir tidak pernah terlihat kekurangan apa-apa. Kecuali dia memang sengaja untuk tidak menunjukkannya.

“Say,” panggilnya tiba-tiba. “Nanti... ayah lo bisa jadi ayah gue juga, kan?”

“Hah?”

“Bilangin sama ayah lo, ya. Tunggu... empat tahun lagi deh, nanti gue ke rumah, gue mau minta langsung buat jadi anaknya. Nggak apa-apa kan, kalau gue ikut panggil ayah meski nanti status gue cuma menantunya?”

Sayna tidak tahu kenapa, sepertinya tidak ada yang salah dari cara Danish menyampaikan maksdunya barusan, tapi dia merasa wajahnya panas, dadanya berdesir hebat dan bulu kuduknya meremang. Kenapa, ya?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
ya salam si bapak!!! kirain mah tegas, ternyata konyol mirip Danish wkkwkw
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status