"Lima ribu semangkok, bos." Kata mamang jualan bakso di tepi jalan, berada tidak jauh dari kompleks vila pada John yang menanyakan harga dagangannya.
"Dua ya," John mengambil lembar ratusan ribu. Menyerahkan pada mamang penjual sambil melihat ponselnya. "Ambil aja kembaliannya."
"Hah? Yang bener, bos?" Mamang terkaget sambil mengambil lembaran tersebut dan terbelalak. Walau kompleks vila tersebut tergolong elit, namun yang biasa makan hanya penduduk sekitar. Tamu sesekali pernah tapi mereka selalu bayar pas, bahkan minta kembalian terus. "Waduh, terima kasih banyak ya bos! Terima kasih bos, waduhhh mantap ini!!"
John hanya mengangguk tidak peduli, masih sambil berdiri dan mengamati layar ponselnya. Ia memutar ulang video rekamannya. Memperhatikan secara seksama kemudian berhenti untuk berpikir sejenak, mungkin memang dirinya tidak populer di kalangan orang kampung.
Setelah bakso-nya siap, mamang tukang bakso dengan begitu hormat meletakkan dua mangkok bak
Bukit Anugerah — Pondok Kasih Karunia 07:30 PM Setelah Sheila menurunkan Grace, meletakkan helm yang dipinjam Grace di gantungan dekat kakinya lalu ia segera menginjak gas sembari meledek Grace dengan panggilan 'selamat malam, Maria sayang' sebelum sempat Grace mengucapkan terima kasih. Keusilan Sheila memang sudah dari dulu Grace alami, namun kata-kata yang sempat dilontarkannya membuat Grace merasa tidak nyaman. "Aku sih mau jadi pacar orang itu." Grace masih bergidik membayangkan wajah John serta tindakannya yang semena-mena atas dirinya. Luka di lengan atau kaki tidaklah terlalu ia persoalkan, toh ia juga salah; dengan ceroboh mengendarai sepedanya di tengah jalan. Namun video akan dirinya merupakan 'kerusakan yang lain', yang mungkin tidak menyakiti fisiknya—akan tetapi menimbulkan sensasi mual sehingga ingin rasanya Grace menampar pria t
"Oh kamu tinggal di gubuk ini ternyata." Terdengar suara pria yang terasa begitu dekat dengannya, Grace yang terlelap di tempat tidur dengan posisi meringkuk membuka matanya perlahan. Masih dalam keadaan setengah sadar dan matanya berusaha fokus, namun Grace berkata dalam hatinya; sepertinya suara itu tidak asing. "J—JOHN?!" Mata Grace terbelalak, jantungnya terasa mau copot. Sosok pria di hadapannya itu ternyata John dan pagi itu matahari belum sepenuhnya terbit karena tertutup awan tebal, sehingga suasana cukup gelap dan dingin menyelimuti kamar Grace. Grace tidak dapat berkata apa-apa saat sosok John berdiri dengan ponsel di tangannya dan mengarah padanya seperti yang terjadi sebelumnya. Mungkinkah ia sedang merekam dirinya kembali? Tapi sejak kapan? Bagaimana bisa ia masuk? Kenapa dia bisa tahu alamat rumahnya? Tunggu, ini seperti pembobolan rumah! "Gue dengar dari teman-teman lu, lu tinggal sendiri?" Tata
"Be—berita darimana, Bapa?" Grace terbata-bata. "Ba ... Bapa lihat di sosial media ya?" Terdengar tawa kecil Bapa Chris. "Bukan saya, tapi teman Bapa yang sangat aktif di sosial media. Dia bilang kamu muncul di halaman utamanya, dari sosmed cowok terkenal itu." Terdiam, dengan perasaan berkecamuk, Grace merasa ini semua tidak adil. Kemalangan datang bertubi-tubi dikarenakan seseorang tidak bermoral itu merekam video akan dirinya. Bahkan Bapa Chris mungkin telah mengetahui bahwa dirinya mengumpat karena tersebar luas di berbagai kalangan. "Maaf, Bapa—" Grace duduk di bangku panjang, angin semilir meniup rambutnya. "Aku sudah berkata kasar karena kesal." "Grace sayang," Bapa Chris menimpali. "Tidak perlu minder kalau kamu sudah cukup umur untuk mulai menyukai seseorang...." "Eh? Bukan itu poinnya, Bapa. Aku sama sekali—" Grace berusaha menyanggah, tapi nampaknya Bapa Chris terlalu senang sehingga tidak mendengarkan. "Bapa dukung
Grace wajib memasang senyuman terindah ketika anak-anak yang akan diajarnya mulai berdatangan kurang lebih lima menit sebelum kelas pelayanan-nya dimulai. Ia mengenakan tangan panjang putih dan celana bahan untuk menutupi luka pada lengannya yang masih dibalut dan juga cedera ringan pada kakinya. Dari kejauhan, anak-anak tersebut ada yang datang dengan bersepeda, jalan kaki, ada juga yang diantar oleh kakaknya. Usianya bervariasi dari yang paling kecil delapan tahun dan ada yang dua belas tahun. Salah satu dari anak-anak tersebut segera berlari menghampiri Grace untuk dibelai rambutnya, namanya Kiara. Gadis kecil berusia kira-kira delapan tahun itu memang masih manja dengan rambutnya yang kecokelatan sepanjang bahu, keriting gantung, dan memiliki mata yang besar. Pipi Kiara yang tembem kemerahan sering dicubit lembut Grace karena terlalu menggemaskan. Namun pagi itu Grace nampak kurang semangat, Kiara yang selalu berhasil menceriakan Grace tertergun
"Babi ya," gumam Grace ketika ia memberikan pakan ternak pada beberapa ekor babi yang sedang mendengus di area kandang babi miliknya. "Tapi babi-babi ini masih ada gunanya." Terdapat lima ekor babi dewasa yang cukup besar dan gemuk, juga delapan ekor anak babi yang lari kesana-kemari, terguling karena licinnya lumpur. Grace dan Bapa John mendirikan kandang babi tersebut karena titipan seorang saudara. Saudara di sini merujuk pada panggilan Bapa kepada teman pelayanannya, seorang pria paruh baya yang tinggal di kota kecil Indrimayu, beberapa kilo meter jaraknya dari desa Bukit Anugerah. Namanya saudara Markus Ferdinand, seringkali dipanggil dengan sebutan Marko. Awalnya. peternakan milik Bapa Chris dan Grace hanyalah diperuntukkan hewan ternak berukuran kecil. Namun karena dukungan koneksi dari saudara Marko, sehingga satu per satu hewan ternak seperti babi, sapi, juga kambing dapat diperoleh dengan harga miring namun kualitas yang cukup baik. Kelinci,
"J—John?!" Grace syok bukan main, ia tidak menyangka doanya tidak dikabulkan. Sementara John sendiri tidak tahu harus berterima kasih kepada siapa—Tuhan yang mana—untuk pertemuan kali keduanya dengan Maria seperti apa yang diingininya. "Yep, kita ketemu lagi," dengan penuh semangat, John melayangkan pandangan di balik kacamata hitam miliknya ke kiri dan kanan dan bertanya, "Maria, kata anak-anak yang barusan gue tanya ... di sini ada yang namanya Grace?" Grace masih terdiam mematung, berusaha mengatur pernafasan karena dadanya tiba-tiba berdegup kencang. Perasaan seolah ingin meninju dan berkata kasar, akan tetapi ia menahan diri karena itu perilaku yang tidak baik dan kemungkinan akan direkam lagi oleh John. Alih-alih menjawab pertanyaan John, Grace masih berusaha menyembunyikan identitasnya, nama aslinya sendiri. "Tolong," Grace membuka mulutnya setelah ia berhasil mengerahkan pikirannya untuk berpikir jernih. "Tolong hapus
Setiap manusia memiliki harganya masing-masing. Harga di sini bukan hanya merujuk pada harga diri, sikap menghargai, atau penghargaan terhadap prestasi tertentu. Akan tetapi nilai yang akan diberikan seseorang terhadap yang lain atas hasil atau usaha yang dilakukannya, dicapainya, dan dibayarnya. John telah membayar harga yang cukup mahal atas gaya hidupnya, gengsinya, dan juga segala apa yang dilakukannya di sosial media dan kehidupan nyata. Dengan taruhan, dengan foya-foya, dan dengan tindakan sembrononya seperti hari ini. "Jadi gimana, bro?" John menatap tajam Wawan yang berada hanya beberapa jengkal dari dirinya. "Kurang?" Wawan yang tersulut emosi segera mengepalkan tinjunya dan mengarahkan ke wajah John. Akan tetapi publik tidak pernah mengetahui bahwa John terlatih secara fisik untuk membela diri sejak kecil. Bahkan dilatih khusus dan langsung oleh para master bela diri. Wushu adalah salah satu cabang ilmu bela diri, bahkan men
Wajah Grace menjadi kemerahan. Bukan hanya karena perasaannya saja yang bergejolak, namun ia sendiri tidak yakin harus menjawab apa. Dalam alam bawah sadar pikirannya, ia merasa perkataan John tulus, tanpa ada maksud tersembunyi. Namun kejadian yang telah menimpanya membuat ia harus memasang tameng hati akan apa pun yang dilontarkan John. Termasuk kalimat 'penyesalannya' yang berujung video yang ia minta Grace rekam alih-alih meminta maaf langsung. Grace tetap tidak mempercayai sikap John. "Tidak perlu," Grace menurunkan ponsel milik John dan berjalan menuju arah pria tersebut yang sedang berjongkok di samping bangkai sepeda miliknya. "Kamu udah cukup membuat masalah, jadi tolong—ini, ponselmu. Kamu sebaiknya pulang, aku harus melanjutkan pekerjaanku." John menerima ponsel miliknya tanpa menoleh karena ia sedang memperhatikan bagian-bagian apa saja yang rusak pada sepeda tersebut. Kemudian ia bangkit berdiri dan mengantongi ponsel miliknya, melirik sejenak ke