Tak butuh waktu lama, kami pun sudah sampai. Karena yang periksa tidak begitu banyak, jadi aku bisa diperiksa dengan lebih cepat. "Gimana hasilnya, Sar?" tanya Desti yang tiba-tiba mengagetkanku."Alhamdulillah semuanya baik, Des.""Cowok apa cewek?" tanyanya dengan mata berbinar-binar."Perkiraan cowok, Des. Tapi mau cowok atau cewek aku nggak masalah yang penting dia sehat.""Iya Sar betul itu, aduh aku nggak sabar ingin melihat keponakan aku ini, pasti kalau cowok bakalan wajahnya mirip kamu, Sar. Tapi mau mirip kamu atau suami kamu, pasti tetep cantik atau ganteng. Soalnya bibitnya sudah ganteng dan cantik.""Bisa saja kamu ini.""Des, setelah ini kita mampir makan dulu, ya!" kataku."Iya, mau makan di mana?""Gimana kalau makan di jalan Argosari.""Ide bagus itu, aku juga suka makan di situ. Masakannya lumayan enak dan pastinya harganya murah.""Wah. Kamu juga suka makan di situ toh?""Iya aku sudah langganan, pegawainya sampai hafal hehe," katanya sambil nyengir.Kami pun langs
"Kerjaannya sudah selesai, Mas?" tanyaku pura-pura tidak tahu dengan kejadian yang dialami Mas Nanang. Dalam hati aku tertawa bahagia dengan kondisinya sekarang."Udah kamu jangan banyak tanya!" timpalnya"Kamu ini dari mana saja, Sari? Ku cari dari tadi nggak ada! Pergi pun juga nggak ijin. Kalau ada apa-apa sama kamu terus gimana?" ucap Mas Nanang."Aku habis periksa ke dokter, Mas. Itu kenapa wajah kamu ...." Belum sampai selesai sudah di sahut oleh Mas Nanang."Masih tanya lagi! Cepetan ambilkan aku air es, setelah itu kompres wajahku!" titahnya, sambil memegangi wajahnya yang dipenuhi memar."Tapi, aku mau ganti baju dulu ya, Mas," pintaku."Iya cepetan ganti bajunya! Jangan lama-lama!" katanya setengah menyentak aku.Aku pun langsung segera masuk kamar dan berganti baju. Setelah itu, aku mengambil air es dan menuju ke tempat di mana Mas Nanang sedang duduk. Dengan segera aku kompres lukanya."Aduh, pelan-pelan dong Sari, ini sakit!" "Iya Mas, ini sudah pelan!" jawabku.Sesekali
Sekarang wajah Mas Nanang sedikit pucat."Ah masak, aku nggak percaya, nggak ada ini bekas lipstiknya!""Ngaca saja sana kalau nggak percaya!" jawabku lagi."Kenapa, kamu jadi pucat, Mas? Santai sajalah," kataku enteng. Sekarang dia hanya diam saja. Entah apa yang dia pikirkan."Kalau sedang kayak gini selalu ingat dengan aku ya, Mas? Coba kalau waktu Mas lagi senang, pasti Mas Nanang lupa dengan aku!" kataku lagi."Siapa yang bilang seperti itu? Aku tiap hari susah senang selalu ingat kamu, Dek!" katanya merayu."Sudahlah, jangan merayu aku begitu! Aku sudah tahu semuanya!" jawabku sambil aku memutar bola mataku dengan sangat malas mendengar perkataan dari suamiku."Kamu sudah tahu apa, Dek?""Sudahlah lupain, nggak tega mau ngomong sama kamu karena wajah kamu tambah pucat kayak gitu takut kamu denger langsung pingsan," jawabku sewot."Sampai kapan dia akan selalu berbohong," batinku. Sebetulnya aku sudah lelah kalau selalu dihadapkan situasi seperti ini. Jika aku keluar dari rumah
[Ke sini seperti biasa ya, tunggu Mas Nanang berangkat kerja.] Aku mengingatkan Desti agar tidak menjemputku saat Mas Nanang masih ada di rumah.[Siap. Ya sudah, kamu buruan tidur pastinya kamu capek!][Iya Des, makasih. Kamu juga cepetan istirahat!][Ok.]Kemudian aku pun segera beristirahat, tidak menunggu Mas Nanang selesai mengompres wajahnya. Karena aku sudah sangat capek dan malas dengannya.Pagi pun telah tiba, aku pun seperti biasa segera memasak, sedangkan Mas Nanang masih tidur.Aku pun langsung masak makanan kesukaanku. Aku berniat ingin membawa bekal ke toko. Sebetulnya aku sudah mulai pintar memasak, namun aku tidak pernah menunjukkan ke Mas Nanang. Entahlah sudah malas begitu dengan dia. Semenjak tahu hubungan serius Mas Nanang dengan Hana, aku pun dengan sengaja memakai baju daster yang jelek, agar Mas Nanang tidak tergoda. Aku merasa jij*k dengannya, lebih takut lagi jika terkena penyakit HIV atau sejenisnya. Apalagi aku sedang mengandung, aku harus berhati-hati lagi d
Setelah selesai sarapan dia pun langsung berangkat kerja dengan sepeda motor kesayangannya. Meski mempunyai mobil, tapi Mas Nanang jarang memakainya. Mas Nanang lebih suka memakai sepeda motor kesayangannya, karena kalau bawa mobil dia jadi sering telat karena terkena macet.Tok....!Tok....!Terdengar suara ketukan pintu. Aku bergegas keluar aku tahu persis siapa yang datang. "Des! Barusan saja Mas Nanang berangkat kerja, untung saja Mas Nanang tidak lihat kamu," kataku."Iya aku tadi tahu kok saat dia berangkat kerja. Tuh aku bisa masuk karena dia lupa tidak menutup pagar rumah kamu.""Kamu kok bisa tahu, emang kamu tadi di mana?" tanyaku penasaran."Aku sudah sampai di sini dari jam enam pagi.""Kenapa pagi-pagi sudah sampai sini?""Aku tadi soalnya sedang nganterin sepupuku ke terminal dia mau pergi ke luar kota.""Oh, yasudah kamu duduk dulu aku tak mandi. Kamu tadi sudah sarapan apa belum? Kalau belum, ayo sarapan di dapur.""Sudah Sar, tidak usah repot-repot, aku tadi udah mak
"Sari! Tak ku sangka kita bertemu di sini, Nak. Untung saja aku tadi mampir ke toko ini. Kalau tidak, mungkin aku tidak akan bertemu kamu, di rumah," kata beliau dengan mata yang berbinar-binar. Seperti orang yang sedang menemukan emas dan berlian."Mm ... Iya, Bu," jawabku sambil mencoba senyum. Padahal sebetulnya aku kaget kok bisa ketemu dengan Ibu di sini. Aku takut kalau disodori beberapa pertanyaan."Kamu ke sini dengan siapa, Nak?" tanya beliau."I-itu Bu, dengan Desti," jawabku dengan gugup, sambil ku tunjuk Desti yang tengah melihat tumpukan kerudung yang tersusun rapi di tempatnya."Kalau Ibu sendiri, ke sini dengan siapa?" tanyaku balik."Ibu diantar Pak Manto (supir). Rencananya Ibu ingin pergi ke rumah kamu, Sari. E, tiba-tiba ban mobil Ibu pecah. Sekarang mobilnya sedang diurus Pak Manto. Tak sengaja aku lihat ada toko pakaian makanya aku langsung saja ke sini, siapa tahu ada baju yang cocok buat kamu.""Tapi Ibu dan Pak Manto tidak apa-apa, Kan?""Alhamdulillah tidak ap
"Di dalam mimpi Ibu. Ibu melihat kamu sedang berjalan tiba-tiba terjatuh. Kemudian kamu nangis kejer. Aku pun datang dan menghampirimu, kemudian Ibu bertanya kepada kamu, 'kenapa kamu menangis Nak?' kamu hanya menggeleng-gelengkan kepala dan tetep kekeh tidak mau menceritakan apapun kepada Ibu. Tapi, kamu baik-baik kan, sayang?" Mungkin karena firasat seorang Ibu yang cukup kuat. Sehingga aku bersedih pun beliau juga ikut merasakannya. "Aku baik-baik saja kok, Bu. Jangan khawatir!" Aku berusaha menenangkan Ibu. Namun tak kuasa mataku mulai mengembun, bahkan embun itu pun berusaha kabur dari tempatnya. Sekarang ibu tambah lebih dekat melihat mataku. "Tapi, setelah melihat mata kamu ini. Mata kamu berbicara hal lain, Nak. Ibu sangat yakin kalau kamu sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Kamu tidak akan bisa berbohong dengan Ibu. Ibu bisa melihat kalau ada sesuatu yang ada di dalam lubuk hatimu yang terus dan terus saja kamu pendam sendirian. Ceritakan kepada Ibu, siapa tahu Ibu
"Belum Bu, aku tidak menceritakannya. Sebetulnya berencana akan menceritakan kepada semua ketika usaha aku ini sudah lebih maju dan aku sudah mempunyai rumah sendiri.""Berarti toko baju ini benar punya kamu, Sar?""Iya Bu, tapi tempat ini aku masih nyewa. Rencana Bu Indra yang menelepon aku tadi akan menjualnya kepadaku jadi aku putuskan akan aku beli.""Makanya tadi pegawai di sini terlihat sangat menghormati kamu. Ternyata benar firasat Ibu, kalau toko ini adalah punya kamu. Aku sangat bangga kepada kamu Sari. Diam-diam kamu punya usaha sendiri. Dan ku lihat toko kamu ini sangat besar, bajunya bagus-bagus, dan lengkap. Dari underwear, lingerie, sampai dengan peralatan ibadah pun ada di toko kamu," sanjung ibu."Iya Bu. Namun, aku jarang ke sini, Bu. Semua ini aku percayakan kepada Desti sebagai pengelolanya. Selama ini aku hanya memantau dari jauh. Kalau tidak ada hal-hal yang penting, aku tidak akan pergi ke sini. Karena takut ketahuan Mas Nanang. Mas Nanang tidak tahu jika aku me