LOGINOphelia Lewis, a privileged young woman, had her world shattered when she lost her father in a tragic accident. With her stepmother and jealous stepsister, Samara, scheming against her, she is forced into an arranged marriage with Kent to secure her place as CEO of Lewis & Hale. However, betrayal strikes when she finds Kent and Samara in an intimate moment. Humiliated and cast out of her own company, Ophelia speeds away—only to fall victim to a rigged car accident orchestrated by Samara. She wakes up in a hospital, saved by strangers, only to discover she is pregnant. Determined to take back her life, Ophelia fakes her death, undergoes plastic surgery, and reinvents herself. Her plan? To infiltrate the business world, reclaim her company, and exact revenge. Her journey leads her to Aaron Donovan, a ruthless billionaire with a dark past. He hires Ophelia, unaware of her true identity. Their working relationship is a battlefield of clashing egos, yet undeniable chemistry ignites between them. As she rises in the corporate world, fate intervenes—Aaron’s company merges with Lewis & Hale, bringing Ophelia face-to-face with her enemies. As secrets unravel, Ophelia’s presence unsettles Samara, who senses familiarity but fails to uncover the truth—until she stumbles upon hospital records. A deadly game begins as Samara orchestrates the kidnapping of Ophelia’s son, Caleb. In a tense showdown, betrayal and bullets fly. Kent meets his end, and Ophelia finally puts an end to Samara’s reign of terror. Three months later, Aaron proposes, sealing their bond. As a final act of love, he gifts Ophelia ownership of Lewis & Hale—the company that was once stolen from her. With vengeance fulfilled and love found, Ophelia steps into a future she fought to reclaim.
View More"Hari ini, aku talak kamu dengan talak satu."
Tepat di hari ulang tahun Rani yang ke dua puluh delapan, tanggal dua puluh lima Maret. Rani di jatuhi dengan talak 1,bukan karena kesalahan nya. Tapi karena keegoisan suami nya, demi melindungi kekasih haram nya. "Talak satu mas? Kenapa tidak sekalian talak tiga? Kita bisa langsung pisah untuk selama-lama nya." Tantang Rani kepada mantan suami nya, sekarang sudah menjadi mantan karena dia telah menjatuhkan talak nya. "Aku masih sangat mencintai mu Rani, tapi kenapa kamu tidak bisa berbesar hati untuk menerima dia sebagai madu mu?" Dengan tidak tahu malu, dia bilang kalau dia masih mencintai Rani. Saat dia mulai bermain api, apa dia tidak pernah memikirkan perasaan nya? Dasar laki-laki durjana. "Tidak ada cinta yang seperti itu mas, setelah kamu memutuskan untuk mencintai perempuan lain, disaat itu pula kamu telah kehilangan cinta kamu sama aku." "Tapi Indi mau kok jadi istri ke dua mas, dia gak akan nuntut apa-apa dari mas." Dasar laki-laki bodoh, tentu saja saat jadi selingkuhan dia akan berbicara seperti itu. "Tidak perlu mas, aku tidak ingin berbagi sesuatu yang memang tidak bisa dibagi. Aku jijik kalau harus memakai barang bekas pakai pelakor." Perempuan yang bernama Indi itu mendelik kepada Rani. "Aku mohon Rani, kita bisa rujuk lagi. Aku jamin bisa adil kepada kalian berdua, aku melakukan ini hanya demi mempunyai keturunan saja. Kamu tahu kan, mas sangat ingin mendapatkan seorang anak laki-laki. Mas hanya ingin punya penerus." "Penerus apa mas? Penerus kelakuan kamu begitu, si tukang selingkuh?" "Ya gak gitu lah, semua orang kan pasti mau punya penerus Ran." "Maaf ya mas, seingat aku, kamu itu bukan seorang CEO, bukan juga keturunan ningrat darah biru yang punya warisan berlimpah. Kamu itu cuma seorang karyawan di pabrik biasa, yah aku akui kamu sudah naik jabatan menjadi supervisor, walaupun kamu tidak pernah bilang itu kepada ku." "Kamu tahu dari mana kalau aku sudah jadi supervisor?" Mata mantan suami nya itu membelalak kaget, apa dia lupa siapa Rani sebenarnya? "Memang nya kamu gak ingat mas, siapa yang bisa buat kamu masuk dan kerja di pabrik itu? Kamu tahu kan kalau aku kenal dengan pemilik pabrik itu?" Tedi seperti tersadar dan mulai menunduk, dia meng garuk-garuk tengkuknya, yang Rani yakini tidak ada bagian yang gatal sama sekali. Dia masih menunduk dan tidak berani menjawab nya, dan Rani melanjutkan unek-unek apa yang ingin dia keluarkan. "Soal perselingkuhan kamupun, aku tahu dari orang-orang bahkan petinggi dari pabrik tempat kamu bekerja. Dan soal keturunan, kamu gak ingat kalau kita baru nikah dua tahun, sama sekali belum lama. Aku sudah memeriksakan rahim ku kepada dokter kandungan, dan rahim ku dinyatakan subur dan baik-baik saja." "Kalau benar rahim kamu subur, lalu kenapa kamu belum hamil juga?" Tiba-tiba, pelakor itu menyahut dari belakang punggung Tedi. "Hahahhaha, hamil itu bukan manusia yang tentukan. Kamu pikir dengan kamu bilang hamil, terus kamu langsung hamil begitu? Kalau bisa seperti itu, aku juga bisa minta sama Allah biar kamu mati duluan." Bibir Rani terangkat sebelah. "Kamu, beraninya kamu menyumpahi aku mati!" Dia berusaha menyerang Rani. Rani tersenyum dengan ekspresi merendahkan, dia sudah tidak lagi merasa sedih seperti saat pertama kali dia mengetahui perselingkuhan suami nya. Dia terlihat sangat tegar, tidak ada yang tahu apa yang saat ini sedang dia pikirkan. Bahkan Tedi sekalipun merasa bingung dengan sikap Rani, karena biasanya seorang perempuan itu akan menangis dan meraung atau mengamuk saat diceraikan. "Ran, Mas mohon sama kamu. Kita gak usah cerai ya, mas berjanji akan lebih banyak waktu bersama kamu." Tedi tidak ingat dengan perlakuan nya terhadap Rani, akhir-akhir ini. Dia sering beralasan lembur, dan banyak pekerjaan sehingga dia akan pulang saat dini hari. Berjanji dengan sesuatu yang bahkan tidak mungkin dapat dia penuhi, hanya sampah yang keluar dari mulut laki-laki itu. Rani merasa sangat muak dengan Tedi, dia sangat ingin membuat laki-laki itu hilang dari muka bumi. Sebelum Rani menjawab permintaan Tedi, Indi sudah menyerobot terlebih dahulu. "Gak bisa gitu dong Mas, kamu harus lebih sering sama aku, kamu kan mau cepat-cepat punya bayi, ya cuma aku yang bisa ngasih kamu bayi." Rani hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, melihat kelakuan pelakor tak tahu malu itu. Pelakor sering kali tidak sadar diri, kalau dia itu hanya alat dan hanya yang ke dua. "Drama kalian terlalu panjang, lebih baik aku pulang saja, silahkan teruskan lagi setelah aku pergi." Rani segera meninggalkan kontrakan sempit tempat tinggal Indi, dia sampai ke sana saat membuntuti suami nya untuk mendapatkan bukti langsung, dan berhasil mengabadikan momen pengkhianatan suami nya itu. Ada yang berupa video dan juga foto, bahkan masih banyak foto dan video yang orang kirim kepada nya saat Tedi dan Indi bersama di tempat kerja. Melangkah dengan penuh keyakinan, dia masuk kedalam mobil nya dan pergi meninggalkan tempat itu. Sementara Tedi yang berusaha mengejar Rani, sempat tertegun saat melihat mantan istrinya itu naik ke dalam mobil, bahkan dia sendiri yang membawa mobil itu. Selama ini, dia tidak pernah tahu kalau istrinya itu bisa membawa mobil. Bahkan mereka memang tidak mempunyai mobil sama sekali, karena keadaan ekonomi mereka yang memang masih terbilang menengah ke bawah. "Kenapa dia bisa bawa mobil sendiri? Apa itu mobil milik nya?" "Mas, kamu jangan tertipu sama perempuan mandul itu, kamu kan tahu sendiri kalau dia gak kerja, bisa dapat dari mana dia mobil bagus begitu?" Tedi merasa bingung, tapi menurutnya itu cukup masuk akal. Karena selama ini hanya dia yang bekerja, Rani hanya diam di rumah. "Mas, sudah lah jangan pikirkan soal mobil itu, palingan dia cuma mau bikin kamu menyesal karena mau nikahin aku, jadi dia pura-pura jadi orang kaya biar kamu mau kembali sama dia." "Ya masuk akal, tidak mungkin Rani punya mobil mahal seperti itu. Sudahlah, nanti juga dia akan kembali kepada ku, dia kan tidak punya tempat untuk kembali. Lagi pula dia itu seorang yatim piatu." Rani memang seorang anak yatim piatu, yang begitu pintar, dia lulus kuliah dengan cumlaude, bukan hanya Strata satu (S-1) tapi sampai Strata dua (S-2). Tedi tahu jika Rani lulusan S-2, tapi dia bahkan tidak mengerti istri nya itu mengambil jurusan apa. Entah memang karena tidak mengerti, atau memang sama sekali tidak ingin tahu tentang istrinya itu. Yang jelas, dia benar-benar hanya menganggap itu tidak begitu penting untuk hidup nya. Dengan tidak tahu malu, Tedi dan Indi kembali ke dalam kontrakan Indi itu, padahal para tetangga sudah melihat dan menyaksikan apa yang terjadi sebenarnya. Bisik-bisik dari para tetangga itu kian terdengar jelas, bahkan ada makian untuk mereka berdua. "Dasar laki-laki bre***ek, tidak tahu malu. Ternyata si Indi yang sok cantik itu pelakor mura**n, kita gak boleh biarin dia tinggal di sini." "Iya benar bu, kita harus minta kepada pemilik untuk usir mereka. Kita gak mau kena sial, karena perbuatan hina mereka." Tedi mendengar dengan jelas semua makian dari para tetangga, dia hanya menunduk karena memang merasa salah. Tapi lain dengan Indi, dia sama sekali tidak punya rasa malu, bahkan dia malah menantang ibu-ibu yang membicarakan nya. "Hei tukang gosip, gak usah deh kalian ikut campur urusan orang. Lebih baik kalian urusi hidup kalian masing-masing, hidup masih miskin aja belagu." Seorang ibu muda berbaju biru tua langsung maju, dan menjambak rambut Indi. Dia tidak terima dengan penghinaan yang dikatakan Indi pada mereka. "Dasar pelakor gak tahu diri, kalau kita miskin, terus elu apa hah, pengemis? Udah gak punya malu, gak punya adab, gak punya otak lagi. " "Aaaaargh, lepasin dasar cewek sia**n." Dan aksi jambak menjambak pun tidak terelakkan.Ophelia’s POV The days following my engagement to Aaron were nothing short of magical. It felt like the universe had finally smiled upon me, after everything I had endured. The nightmares of the past—Samara, Kent, the danger to Caleb—seemed to drift farther away with each passing day, replaced by something far more beautiful: the chance to build a future, a future filled with love, joy, and the promise of new beginnings. Aaron and I had taken to spending even more time together as we prepared for our wedding and the launch of my new business. Caleb, too, was more content than I’d ever seen him. It was as though the wounds of the past were healing, replaced by an undeniable sense of peace and happiness. One Saturday morning, I woke up early, as I often did, to find the soft rays of the sun filtering through the curtains of our bedroom. I smiled to myself as I turned over to see Aaron, still peacefully asleep beside me. His features were relaxed, the lines of tension from earlier m
Ophelia’s POV Three months. It had been three months since everything turned upside down. Three months since the nightmare ended with the death of Samara and Kent’s final betrayal. Three months since Caleb and I were rescued from their grasp, and Aaron had stepped into our lives in ways I couldn’t have ever imagined. I leaned against the window of Aaron’s penthouse, watching the city lights shimmer below. The hustle and bustle of the world outside felt so distant now, like a memory I wasn’t sure I wanted to revisit. The pain and chaos of the past were slowly fading into the background, and the future—my future—was taking shape in ways I never thought possible. I glanced over at Caleb, who was playing with his toys in the living room. He was laughing—genuinely laughing—like he hadn’t in a long time. The last few months had been transformative for both of us. Caleb had his moments of fear and uncertainty, but with Aaron’s unwavering support, he was slowly finding his joy again. And
Ophelia’s POV The room fell into a stunned silence after the shot rang out. The echo of the gunfire hung in the air like a cruel reminder of everything I had been through. Samara lay sprawled on the floor, her eyes wide open in disbelief, the blood pooling around her neck. For a moment, I couldn’t move. I couldn’t breathe. My heart was racing, my hands still trembling from the adrenaline coursing through my veins. It was over. It was finally over. But as I stared at Samara’s lifeless body, something inside me broke. I had fought so hard to get to this point, to protect Caleb, to get my life back. And yet, all I felt in that moment was emptiness. “Ophelia!” a voice broke through my fog of thoughts. I turned to see Aaron rushing toward me, his face pale and his eyes filled with concern. Behind him, the SWAT officers were securing the area, making sure everything was under control. But it was Aaron who I needed, his presence grounding me in the chaos. He stopped in front of me, taki
Ophelia’s POV The air inside the car felt thick with tension as I drove toward the hideout, my knuckles white from gripping the steering wheel. Each word of Samara’s voice still echoed in my mind. The threats. The mockery. How naïve she thought I was, how helpless she believed me to be. But I wasn’t helpless anymore. I wasn’t that same girl who had been caught in her web of lies. I had changed. I had Aaron now—someone who would do anything to protect me. But even as I repeated this to myself, the sinking feeling in my chest wouldn’t disappear. The thought of Caleb—my son—kept pushing me forward. He was out there, trapped, with Samara and Kent. I couldn’t afford to be weak. I couldn’t let them break me again. I knew I was walking into a trap, but it didn’t matter. Caleb needed me. There was no other choice. I pulled into the abandoned warehouse where Samara had directed me. The place was desolate, the windows boarded up, and the area surrounding it looked abandoned for years. My
Ophelia’s POV As Aaron stepped inside the house, his presence immediately grounded me. I could feel the weight of the tension in the air, the fear and the uncertainty pressing against me. But there was something about him—something steady in the way he looked at me—that reassured me. We would get through this. He wasn’t going to let anything happen to Caleb. I watched as Aaron moved through the living room, scanning the space with a sharp, calculating look. His eyes swept over everything with a precision that made me feel safe, even though the dread in my chest didn’t subside. “Caleb’s upstairs,” I said, my voice shaking slightly as I motioned toward the staircase. “He was fine when I last checked.” But my instincts, which had been on high alert ever since Samara’s call, urged me to move faster. I didn’t like the stillness in the house. It was too quiet, too calm, like something was about to shatter. “I’ll go check on him,” Aaron said, his tone firm. But I was already heading for
Ophelia’s POV The night was dark, far darker than it had any right to be, considering the late hour. I sat on the couch, my phone resting on the coffee table, my fingers twitching as I glanced nervously at it. I had never felt so vulnerable, so helpless. Caleb was asleep upstairs, unaware of the growing danger that loomed over us. Aaron had left to take care of some business—he’d insisted on handling things alone, as much as I hated the idea. But I knew he was trying to protect me, to keep me from spiraling. Even so, I couldn’t shake the feeling that something terrible was coming, and we weren’t ready. The house felt too quiet, too still, the air heavy with tension. Every small noise made me jump, and I was hyperaware of the faint creaks of the house settling. My thoughts constantly circled back to Samara. I had barely heard from her after the confrontation in the park, and that should have been a relief. But instead, it left a strange unease crawling under my skin. I knew she wa












Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments