Sesampainya di Rumah Sakit, segera kulangkahkan kakiku menuju ke kamar rawat Violla. Jam memang sudah menunjukkan akhir jam besuk, tapi itu tidak menyurutkan niatanku untuk menemui Violla. Terlebih, Niel dan Liam pasti juga belum pulang dari acara malam mereka. Dari pada overthinking sendirian, menghabiskan waktu dengan teman kurasa lebih membantu."Vi?" Sapaku saat membuka pintu geser kamar Violla."Anna!" Sambut Violla ramah sembari tersenyum.Kulangkahkan kakiku masuk untuk duduk lebih dekat bersama Violla yang sedang duduk santai di sofa depan televisi."Bagaimana keadaanmu?" Tanya Violla saat melihat ekspresiku yang lesu."Baik." Balasku singkat."Apa kamu sedang ada masalah dengan Captain?" Tebaknya.Aku hanya menatapnya tanpa emosi dan mengangguk kecil."What happend?" Tanyanya."Aku berhenti.""Berhenti?" Beo Violla yang kubalas sebuah anggukan."Kamu berhenti menjadi Sugar Captain?" Terka Violla.Aku mengangguk kecil."Kenapa? Apa karena aku? Karena Captain menjengukku kemari
"Aku baru tau kalau seseorang baru saja membayar penuh atas segala macam biaya perawatanku nanti hingga lahiran." Balas Violla tersenyum sumringah."Loh? Bukannya segala macam biaya perawatanmu ini sudah ditanggung oleh perusahaanmu?" Bingungku."Aku sudah berhenti dari maskapaiku, Anna. Apa kamu sudah lupa? Selama ini Captain yang menanggung segala macam biaya hidupku, dia memintaku untuk tidak menyentuh tabunganku sama sekali. Maaf seharusnya aku tidak perlu menceritakan ini padamu, saat aku tau kamu masih menjadi Sugar Baby Captain. Seharusnya Captain membiayaimu, tapi dia justru membiayaiku. Selama ini aku merasa tidak enak dengan Captain, tapi dia berkata kalau dia berutang budi denganku. Sekarang aku tidak perlu lagi memberatkan Captain." Jelas Violla panjang lebar."It's okay, Vi. Aku tau betul apa yang Roger pikirkan tentangmu. Dia memang sudah menganggapku sebagai bagian dari tanggung jawabnya, karena sampai saat ini dia masih menganggapmu sebagai crewnya. Aku juga selalu men
Jam tepat menunjukkan pukul 5 sore hari saat aku dan Alex memutuskan untuk menjenguk Rayes di Rumah Sakit. Aku membawa bingkisan kecil meski Alex sudah melarangku karena rasanya sedikit hambar kalau menjenguk orang yang sedang sakit dengan tangan kosong. Meski aku tau harga bingkisanku tidak berarti apa untuk Rayes. "Sore, Pa." Sapa Alex saat pintu kamar perawatan VIP dibuka olehnya. Tentu saja sapaan Rayes cukup mengejutkan Rayes dan Adel yang sedang membantunya bekerja menandatangani berkas yang dibawakan oleh sekertarisnya. "Selamat sore, Tuan Rayes." Sapaku saat memasuki ruangannya. "Sore." Balas dingin Rayes dan kembali mengacuhkan kehadiran kami untuk kembali fokus pada lembaran yang sedang dipegangnya. Mataku sempat berpapasan dengan mata Adel dan menyapanya dalam diam. Adel mengerti itu dan mengangguk kecil sembari fokus melayani keinginan Rayes. Tanpa mempedulikan mereka lebih lanjut aku kembali fokus pada Alex yang melangkah menuju sofa yang sepertinya itu memang di khu
Alex kini kembali menatap Rayes dengan pikiran yang jauh mengembara ke masa lalu. "Aku tau dia mencintai Mama melebihi kami berdua. Terlihat jelas dari sorot matanya itu. Tapi semenjak kehilangan Lexa, Mama perlahan juga mulai ikut berubah. Itulah awal penyakit itu menggerogoti pikirannya. Awalnya aku dan Papa tidak menyadarinya sama sekali. Tapi ada masanya kepanikan ekstrim melanda Mama dan sampai harus menyakiti salah satu di antara kami agar ia merasa tenang. Dan awalnya aku yang selalu menjadi target karena aku menolak untuk dipanggil dengan nama Lexa. Dia mulai panik dan menyerangku sampai berniat menyakitiku. Semenjak itu, kubiarkan Lexa untuk tetap hidup di ingatan Mama sampai saat ini." Jelas Alex panjang lebar ia berhenti sebentar untuk kembali menatapku dengan tatapan sendunya. "Tapi lihatlah pria itu. Pria yang masih bertahan untuk bersama dengan Mama dengan kondisi yang jelas sudah tidak bisa dikatakan normal lagi. Dengan alasan cinta seumur hidup dia masih mau menyayang
Setelah menghabiskan cukup waktu dengan Gerald dan Alexandre Rayes kini aku pamit mengundurkan diri karena jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Belum lagi ponselku yang terus bergetar karena Niel maupun Liam yang terus menanyakan dimana keberadaanku sekarang. Aku tidak boleh menyebutkan kalau Rayes sedang dirawat di Rumah Sakit karena mereka tidak ingin kabar mengenai Stacy yang mencelakai Rayes sampai terdengar oleh orang lain, terutama para pemegang saham."Apa kamu baik-baik saja? Aku bisa mengantarkanmu pulang. Mobilmu dipakai Kakakmu kan?" Tanya Alex."Ah tidak, Tuan. Aku bisa memesan taksi dari sini, terima kasih." Tolakku halus."Apa kamu yakin?" Khawatir Alex.Aku mengangguk pasti. Alex hanya bisa menghela nafas panjangnya."Baiklah. Tapi kabari aku kalau kamu sudah sampai." Pinta Alex yang kusambut dengan anggukan kepala."Baiklah kalau begitu, sekali lagi saya permisi." Tundukku sebelum meninggalkan ruangan.Sampai detik sebelum aku meninggalkan kamar rawat Rayes, pria itu m
"TADAAAA!" Ucap Liam dengan semangat menunjukkan satu set makan malam yang sepertinya sengaja ia pesan untuk menyambut kepulanganku."Ah, terima kasih. Tapi seharusnya tidak perlu repot-repot." Ucapku sungkan."Tidak masalah. Aku tau kamu pasti belum makan malam. Jadi aku sengaja menyiapkan makan malam untukmu. Maaf kalau bukan seleramu." Ucapnya menarikku untuk duduk tepat disebelahnya.Kuedarkan pandanganku mencari bayangan Niel yang tidak telihat sama sekali."Dia sedang pergi bersama temannya, katanya dia mau melanjutkan pekerjaannya." Ucap Niel yang sepertinya paham akan pergerakanku."Oh, begitu."Hah? Apa itu respon yang wajar untukku saat ini? Maksudku, artinya aku hanya berdua dengan Liam saja kan di apartemen yang luas ini?! Kenapa aku bisa sesantai ini?!"Ayo makan. Nanti keburu dingin." Ajak Liam yang membuatku mengikuti pergerakannya untuk menyendok makanan."Apa hari ini sibuk sekali? Sampai-sampai kamu harus lembur seperti ini?" "Oh, iya. Ini hari pertamaku kerja setel
Panas matahari mulai membakar kelopak mataku dan berhasil membuatku bergerak untuk segera membuka mata yang terasa sangat berat ini. Tunggu dulu, apa tadi aku berkata sinar matahari?SIAL! AKU TERLAMBAT!Dengan jantung yang berdetak kencang, mataku segera terbuka dan kesadaranku sepenuhnya kembali dengan sempurna namun tidak dengan kondisi fisikku yang mendadak merasakan pening yang sangat menyiksa kepalaku. Rasanya seperti dihujam oleh ribuan palu dan mataku menghitam sesaat sebelum sebuah sentuhan hangat seseorang mendarat di bahuku."Jo? Minum dulu." Suara Niel menyadarkanku."Kak?" Rasa perih mendadak mengiris kerongkonganku saat aku menyapa Niel yang sepertinya menatapku dengan tatapan iba.Segera kuraih segelas air putih hangat beserta obat yang disodorkan oleh Niel. Sembari kerongkonganku tengah meneguk air putih, mataku juga sibuk menyisiri ruangan yang kuyakini sebagai kamarku. Saat ingin mengingat kembali apa yang terjadi malam tadi, mendadak rasa mual dan sakit kepala menyi
"Niel!!!" Teriakku panik sembari menggedor pintu kamarku yang Niel kunci dari luar."Niel! Buka Niel! Tolong!" Pintaku sekali lagi.Tanganku tidak berhenti menggedor pintu berharap Niel mendengarkan permintaanku sementara kepalaku tidak berhenti mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Tapi ingatanku terhenti pada kegiatanku bersama dengan Liam. Hanya sekedar minum bersama dan tidak lebih. Iya kan?"Ada apa?!" Niel membuka pintu dengan pakaiannya yang sudah rapi."Aku... Apa yang terjadi?!" Bingungku menatap Niel yang juga bingung menatapku."Apa?!""Ini..." Ucapku menunjukkan kissmark yang hampir memenuhi leherku."Apa yang terjadi? Mana Liam?!" Tanyaku sedikit panik.Namun berbeda dengan Niel. Ekspresinya tampak berubah menjadi rasa kesal bercampur amarah. Apa yang sudah terjadi pada Liam? Aku yakin sesuatu sedang tidak berjalan dengan baik semalam."Niel, jawab aku! Mana Liam?" Tanyaku sedikit membentaknya yang masih hening enggan menjawab."Apa?! Aku tidak tau! Aku mele