Pada akhirnya aku kembali menjadi pusat perhatian sebab Alexandre memilih untuk menghabiskan waktu break-nya untuk bersamaku dibandingkan bersama dengan pejabat lainnya. Tidak masalah bagiku, karena bersama dengannya juga bisa menjadi cukup menyenangkan. Tapi tidak bagi karyawan lain yang kini melihatku dengan tatapan risih yang entah apa penyebabnya. Terlebih bagi beberapa karyawan yang sering kutemani untuk bercanda kini mereka lebih memilih untuk menghindariku. Tapi aku tidak peduli. Aku memang lebih suka sendiri dan memilih untuk tampil profesional tanpa memikirkan pandangan orang lain. Sampai waktu jam istirahat tiba, aku segera berjalan keluar ruangan hanya untuk melihat bayangan Roger yang tengah berjalan beriringan bersama dengan rekan kerjanya yang lain menuju ke mobil yang menjemput mereka. Roger melihatku dan memberiku kode untuk mendekatinya. Kulakukan apa yang ia inginkan. Kakiku melangkah dengan semangat mendekatinya. Rekan kerja Roger menyapaku saat aku melihat mereka
Aku berjalan mendekati meja yang sudah ditempati oleh Alexandre yang terlihat sedang menungguku. Aku menyapa lambaian tangannya dan memecah keramaian pria dewasa yang terlihat sesekali melirik ke arahku. "Hai." Alexandre segera berdiri dan memberiku salam cipika-cipiki di kedua pipiku. Aku sempat terperanjak kaget akibat ulahnya yang tidak sopan seperti ini. Tapi pikiranku segera berubah saat kulihat kerumunan pria yang sempat menyimpan ketertarikannya padaku itu segera mengalihkan pandangan mereka ketika Alexandre mengajakku untuk duduk tepat di sampingnya. "Terima kasih." Ucapku yang paham akan tindakannya barusan. "Tentu, tidak masalah. Kulihat kau tidak nyaman dengan tatapan mereka." "Bagaimana kau bisa tau?" Alexandre terkekeh. "Aku terbiasa menghabiskan waktuku dengan saudari dan Ibuku sejak kecil. Jadi aku tau persis dengan apa yang seorang wanita rasakan." Lanjutnya. "Oh.. Kau pasti begitu menyayangi mereka. Adik dan Ibumu sangat beruntung mempunyai saudara dan anak sep
Aku mendapati Roger sedang membuka pintu kamarnya dengan sangat hati-hati, seakan tidak ingin mengagetkan apalagi membangunkanku yang tidak sedang tertidur sama sekali. Aku bahkan hanya sedang duduk bersandar di sofa sambil menonton televisi sesaat sebelum berjalan menyambut kedatangannya. "Welcome back, Daddy." Sapaku memeluknya. Roger tersenyum lembut dan menyapa pelukanku. "Did something good happend? Wajahmu sangat cerah malam ini. Daddy menyukainya." Ucap Roger yang mengelus lembut rambutku. Aku mengangguk. "I found a new friend." "Baguslah. Kuharap dia bisa menjadi teman yang baik untukmu." Roger menjauhkan badanku yang masih menempel di tubuhnya. "Kenapa belum tidur? Bukannya ini sudah agak larut? Tadi pesawat Daddy delay beberapa kali. Daddy pikir kamu sudah tidur." Roger menata anakan rambutku. "I'm waiting for you. Wanna sleep with you. Let's go." "Would you please wait for me? Daddy harus mandi dulu. Tunggu Daddy di kamar, okay?" Pintanya yang melepaskan tanganku yan
Roger sekali lagi berhasil membuatku merasa sangat dihargai. Bagaimana tidak, meskipun ia memintaku untuk membantunya melepaskan beban yang menyakiti fisik dan batinnya. Ia sama sekali tidak memaksakan kehendaknya untuk menggoda bagian sensitifku. Ia hanya mengelus kepala atau sesekali mengikat rambutku agar ia dapat melihatku memuaskan bagian bawahnya yang menegang seolah ingin meledak. Roger mengerang nikmat dan sesekali tenggelam dalam khayalannya sendiri tanpa sedikitpun mengajakku untuk ikut tenggelam dalam buaian kenikmatan ini bersamanya. Ia paham betul, aku masih belum mau terbiasa kembali dengan kegiatan panas yang satu itu setelah Rayes berhasil memporak-porandakan kepercayaan diriku. Aku bisa mendengar dengan jelas pujian yang keluar dari mulut bahkan sorot mata Roger yang memujaku saat aku berhasil memuaskan keinginannya. Sampai saat ia meledakkan cairan putih kepuasannya dalam mulutku, ia tampak panik dan menyesali perbuatannya. Aku terkekeh kecil lalu merangkak mendekat
Aku berjalan meninggalkan ruang eksekusi itu dengan menahan air mata yang tertumpuk di pelupuk mataku. Tanpa mempedulikan tatapan orang lain yang menghakimiku, aku segera berjalan cepat menuju ke kamar Roger dan mengetuk pintu kamarnya dengan sangat cepat. Begitu Roger membukakan pintunya ia tampak terkejut atas sikapku yang langsung memeluknya erat sembari menumpahkan air mataku di dadanya. "Baby? What's wrong?" Khawatirnya. Tangan Roger terus menepuk punggungku lembut sembari menutup pintunya yang masih terbuka. "Hey, it's okay. Daddy's here. Calm down." Ucapnya yang terus menepuk punggungku. "It's not. I'm finished!" Tangisku. "Baby?" Roger melepaskan pelukannya sebelum menggendongku dan membawaku duduk di sofa tamunya. "What's wrong? Can you tell me? Daddy tidak tau apa yang membuatmu menangis seperti ini..." Roger mulai menyeka air mata yang terus keluar dari mataku. Aku menenangkan isakanku sebelum mengambil satu nafas panjang dan berusaha menyampaikan kekesalanku. "Ada g
Roger menarik kepalaku untuk semakin memperdalam ciuman kami. Ciuman ini berbeda dari ciuman Roger sebelumnya. Entah kenapa tapi rasanya kali ini ciumannya terasa lebih bermakna? Atau hanya pikiranku saja? Tapi mendapatkan pernyataan mendadak semacam itu tidak membuatku senang sama sekali. Aku bahkan tidak mengerti dengan apa yang kurasakan. Aku terlalu takut untuk mencari tau jawabannya."Baby?"Ucapan Roger membuatku membuka kedua mataku dan mendapati netra Roger yang amsih terpaku di hadapanku."Is it okay if I'm falling in love with you?" Tanyanya."What should I do with that?" Bingungku.Roger tersenyum."Nothing, Baby. Kamu cukup tau saja kalau Daddy menyayangimu. Kamu tidak perlu melakukan apapun." Roger mengelus lembut pipiku, mencoba menenangkanku."Maaf Daddy, aku masih belum mempunyai keberanian untuk melangkah lebih dari ini." Jelasku."Daddy paham sayang. Tidak apa. Kita nikmati saja kebersamaan ini lebih lama." Roger kembali tertidur di atas dadaku.Ia menggelayut manja d
Aku menunggu kepulangan Roger di kamarku hingga malam tiba. Rayes memang menyuruhku untuk mengandalkannya. Janjinya untuk membuat semuanya baik-baik saja adalah sesuatu yang kupercayai. Namun tetap saja aku membutuhkan Roger untuk menenangkan perasaanku yang tidak karuan malam ini. Aku mengirimkannya sebuah pesan untuknya agar datang dan menjemputku di kamar saat ia pulang nanti. Pikiranku sudah terlalu rumit malam ini. Jadi aku memutuskan untuk menghubungi Nathaniel dan kedua orang tuaku tanpa menceritakan apa saja yang telah terjadi padaku selama ini.Setidaknya menghubungi mereka adalah keputusan yang terbaik menurutku. Terbukti, setelah menghubungi mereka kini aku merasa terlalu khawatir pada situasi yang belum tentu terjadi. Setelah merasa sedikit lebih tenang, aku kembali dikejutkan dengan bunyi ponselku yang berdering hebat."Yes, Daddy?" Sapaku."Sedang apa sayang?""Nothing. Aku baru selesai menghubungi keluargaku. Ada apa Daddy?""Aren't you bored? Mau Daddy temani? Daddy bis
"Halo, Daddy?" Sapaku saat Rayes mengangkat teleponku. Roger membulatkan matanya saat aku tersenyum sembari menggodanya. Tangan Roger mendadak memeluk pinggulku dan netranya tidak lepas menatap netraku. "Ya Baby? Ada apa?" "Apa Daddy sedang sibuk?" Tanyaku sekali lagi sembari tersenyum puas saat kulihat bibir Roger berkata tidak menanggapi pertanyaanku. "Tidak, Baby. What's wrong?" Tanya Rayes di ujung sana. "Mengenai tawaran yang Daddy berikan padaku tadi..." Ucapanku terhenti saat tangan Roger meremas gemas kedua panggulku. "Ya sayang? Ada apa? Apa kamu tertarik?" Rayes penasaran atas kelanjutan pernyataanku. "Aku penasaran dengan tugas dan tanggung jawabku nanti. Terus apa yang akan perusahaan Daddy tawarkan?" Senyumku kembali menggoda Roger. Roger mengernyitkan dahinya saat aku mulai mengelus salah satu pipinya dengan lembut. Ia tampak tersiksa sekaligus menikmati tingkahku yang terbilang menggoda ini. "Baby, apa kita sedang berbicara tentang bisnis sekarang?" Kekeh Rayes