Share

Malam Tak Terlupakan

Nala tersentak kaget, ketika Arshaka tiba-tiba menaiki ranjang tepat di atasnya. Apalagi melihat wajah laki-laki itu berubah merah dan semakin dingin dari biasanya.

"Om? Mau ngapain?"

"Mau tidur. Ini ranjangku."

"I-iya, tapi biar Nala turun dulu. Tadi Nala cuma bercanda," panik Nala.

"Tidak bisa lagi! Aku sudah memperingatkan mu tadi!"

"Te-terus?"

"Aku akan melakukan apa saja yang aku sukai di ranjangku." Arshaka menyeringai, lalu mulai mendekatkan wajahnya.

"Om, Nala jadi takut, nih. Nala bakal teriak kalo penampakannya Om serem kayak gini." Nala langsung membentengi wajahnya dengan kedua tangan.

"Teriak? Tidak akan ada berani masuk ke kamarku. Lagipula, ini memang yang mereka inginkan."

"Mak-maksudnya?"

"Jangan banyak bertanya. Kenapa mulut mu ini banyak sekali bicara?"

"Bukan gitu, Om."

Nala mulai berkeringat. Ia tak bisa bernapas dengan jarak yang terlalu dekat dengan Arshaka, harum tubuh laki-laki itu yang maskulin tercium jelas di hidungnya, membuat jantungnya berdebar cepat.

"Om nggak serius nih, kan?"

"Yang kamu lihat seperti apa?"

Nala mengerjapkan matanya. Menatap wajah Arshaka yang tampak memerah dengan rahang yang mengeras.

Gadis itu meneguk salivanya, lalu cepat-cepat memalingkan wajah. "Pikiran Nala udah mulai nggak waras ini, Om. Nala harus keluar."

Seperti tak mendengar perkataan Nala, tangan kokoh laki-laki dewasa itu malah bergerak untuk menarik kerudung gadis yang sebenarnya telah halal untuk ia sentuh.

Malam semakin merayap. Reaksi jamu racikan Nenek Erni semakin bekerja. Dan membuat malam itu menjadi malam yang takkan terlupakan untuk keduanya.

*

Menjelang subuh.

Nala membuka kelopak matanya yang terasa begitu berat.

Sudah terbiasa bangun awal, ia tetap terjaga meski tubuhnya terasa amat lelah. Dan ia juga terbiasa langsung fokus pada kewajibannya pada Allah setelah membuka mata.

Gadis itu beranjak dari tempat tidur dengan mata yang masih setengah terpejam untuk melaksanakan shalat subuh. Namun ada rasa yang tak beres dengan bagian bawah badannya.

Langkah Nala terhenti. Matanya yang masih berat seketika membulat. Terbayang kembali di benaknya apa yang telah terjadi semalam.

"Astaghfirullah!" Tangannya langsung meremas rambut yang masih berantakan.

"A-apa ini benar-benar nyata?" kalutnya.

Kepalanya langsung menoleh ke arah ranjang. Ada Arshaka yang masih terlelap dalam tidurnya.

Gadis itu langsung naik kembali ke atas ranjang. Lalu merangkak cepat ke samping Arshaka dan menggoyang lengan suaminya itu.

"Om, bangun Om!"

Arshaka bergerak sedikit, lalu membuka matanya dengan menyipit.

"Ada apa?" tanyanya dengan suara serak.

"Semalam kita udah ngapain aja? Apa kita ..."

Nala tak bisa melanjutkan kata-katanya, saat apa yang terjadi semalam terbayang jelas satu persatu di kepalanya.

Mata Arshaka pun seketika terbuka lebar. Rautnya tampak terperanjat. Kemudian langsung bangun dan turun dari ranjang, menjauhi Nala dengan wajah panik.

"A-aku ... mandi dulu," ujarnya tanpa menatap Nala. Lalu melangkah sempoyongan ke kamar mandi. Bangun mendadak dengan kenyataan yang mengejutkan membuat kepalanya serasa berputar.

Nala terpaku di atas tempat tidur. Ia ingat jelas sekarang, bahwa Arshaka memang menyentuhnya.

Tak sengaja, matanya kemudian melihat noda merah di atas sprei. Jantungnya seketika berhenti berdetak.

Glek. Gadis itu meneguk salivanya.

Noda itu menjelaskan semuanya.

Hampir satu jam lamanya Arshaka di dalam kamar mandi. Begitu selesai, laki-laki itu langsung melangkah keluar kamar tanpa basa-basi.

Nala hanya menatap kepergian laki-laki itu. Hati dan pikirannya begitu semrawut. Ia tak tak tahu harus bagaimana untuk sekarang.

Di dalam kamar mandi, gadis itu menyalakan shower dan memejamkan matanya di bawah kucuran airnya yang hangat.

Perasaannya benar-benar bercampur aduk. Ingin berteriak dan menangisi kegadisannya yang telah hilang, tapi hal itu bukanlah dosa karena ia telah menikah.

Lantas, menerima dengan hati lapang juga tak mungkin. Ia belum siap sama sekali karena hubungannya dengan Arshaka bukan seperti suami-istri lainnya.

Setelah mensucikan diri dan bersujud di hadapan Allah, Nala hanya duduk di atas sajadahnya. Tak tahu harus mengadukan apa pada Tuhan dalam doanya. Akhirnya ia hanya bershalawat dan melipat sajadahnya kembali.

Sementara Arshaka yang telah keluar, tidak masuk lagi sama sekali. Entah kemana laki-laki itu pergi.

Nala pun kemudian keluar menuju dapur.

Dua dari lima pembantu yang ada di rumah megah itu telah mulai aktif di dapur. Awalnya para asisten di rumah itu tak terlalu peduli pada Nala dan ibunya. Tapi kini mereka mulai respect setelah melihat Nenek Erni begitu menyayangi gadis itu dan setelah Mbok Ijah yang merupakan kepala pembantu mewanti-wanti bahwa Nala dan ibunya adalah majikan baru mereka.

Kedua asisten rumah tangga itu tampak senyum-senyum melihat rambut Nala yang basah. Namun segan untuk mencandai.

"Wah, pagi-pagi udah ceria aja, Bu?" sapa Nala pada dua wanita yang berbeda usia itu. Satunya sudah seusia ibunya Nala, sementara yang satunya lagi tampak lebih muda.

"Iya. Non juga, pagi-pagi rambutnya udah basah aja?"

Nala meraba rambutnya dengan pipi yang memerah. Ia tak memakai kerudung karena mulai tahu keadaan rumah besar itu. Tak ada pekerja laki-laki yang tidur di dalam. Baik sopir, tukang kebun maupun sekuriti nya disediakan paviliun di samping rumah.

"I-ini, Nala nggak sengaja ngiler dan kena rambut," alasannya. "Abis dicuci Nala malah nggak ngerti cara pakai hairdryer."

Pembantu yang lebih tua itu tersenyum lembut mendengarnya. Lalu menyuruh yang lebih muda untuk mengambil pengering rambut miliknya.

"Bantu Nona keringkan rambut, biar aku yang selesaikan masakannya."

Wanita muda itu mengangguk dan mengajak Nala ke ruang depan.

"Nona sudah pernah bertemu orangtuanya Den Arshaka, belum?" tanya wanita muda yang ternyata bernama Ratna itu sambil mengeringkan rambut panjang Nala.

Nala menggeleng. "Belum, Mbak."

"Saya dengar mereka akan pulang besok atau lusa."

"Oh, ya?"

"Iya, Nenek Erni meminta kami untuk merapikan kamar Nyonya sama Tuan, katanya mereka akan pulang. Mungkin Nona akan diberitahu nanti."

"Oh, Nala jadi deg-degan nih, Mbak."

"Nggak apa-apa. Mereka baik, kok. Cuma, Nona lebih baik merapikan penampilan. Saya bisa bantu kalo Nona mau."

Nala menggaruk tengkuknya. "Hehehe, tapi Nala kucel begini, Mbak. Emang masih bisa dipermak?"

Ratna menahan senyum mendengar ceplas-ceplosnya Nala. "Bisa dong, Non. Nona bisa beli baju baru dan ke salon untuk perawatan."

"Ke salon, ya? Tapi ... Nala nggak punya uang sekarang. Karena selama di sini, Nala nggak bisa narik odong-odong."

Ratna tertawa pelan mendengarnya.

"Non, kamu itu sekarang istrinya Pengusaha besar, lho. Masa masih narik odong-odong? Memangnya Den Arshaka nggak ngasih Non nafkah?"

Nala meringis.

"Belom, Mbak."

Ratna terdiam mendengarnya. Tangannya sampai berhenti menggerakkan hairdryer. Sudah hampir seminggu tuan mudanya itu menikah, masa belum pernah memberikan istrinya nafkah lahir? Sementara nafkah batinnya sudah?

"Non bisa minta, itu haknya Non sebagai istri," nasihatnya kemudian.

"Hehe, ntar deh, kalo Omnya udah baik dikit sikapnya sama Nala. Tapi makasih ya, Mbak. Mbak baik banget," senyum Nala. Tak mungkin ia mengatakan bahwa nafkahnya akan diberikan setelah mereka berpisah.

Mengingat hal itu hatinya kembali cemas. Sekarang keadaannya telah berbeda. Kejadian semalam membuatnya kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

Bagaimana kalau kejadian itu menghasilkan sesuatu?

Nala seketika tersentak.

Tanpa sadar tangannya meraba perut dengan mata melebar.

"Kamu hamil, Nala?" Seseorang tiba-tiba bertanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status