Share

Pernikahan Ini Harus Berakhir

Setelah kejadian di roof top Rumah Sakit, ibu tiri Arsenio di tahan atas tuduhan percobaan pembunuhan dan penyiksaan terhadap anak sambungnya itu selama bertahun-tahun.

Dan otomatis, hak asuh Arsenio kini jatuh ke tangan keluarga Arshaka.

"Oma berterimakasih padamu, Lunala. Berkat bantuanmu, Arsenio sekarang bisa bersama kita," ucap Oma Erni.

"Sebenarnya ini bukan murni karena bantuan Nala, Oma. Tapi Allah memang mentakdirkan Arsenio lepas dari ibu tirinya yang jahat itu, melalui kelengahan Nala, hehehe," gadis itu terkekeh sendiri mengingatnya.

Oma Erni tertawa melihat gadis yang selalu bersikap apa adanya itu. Gadis yang masih sangat muda tapi cukup dewasa dalam berpikir dan bertanggungjawab.

Lunala seperti ayahnya. Sopir taksi hebat yang berani mengorbankan diri demi menyelamatkan nyawa orang lain.

"Sebentar lagi suamimu akan pulang. Kamu masuk ke kamar mu saja. Biar Arsenio Oma yang temani," ujar Oma Erni kemudian.

Nala mengangguk patuh. Ia melangkah masuk ke kamar luas yang sebenarnya tak pernah menjadi kamarnya itu.

Sepuluh menit menunggu sambil merilekskan pikiran dengan bermain game di ponselnya, pintu kamar terbuka.

Langkah kaki sepatu pantofel itu terdengar gagah seperti biasa. Begitu juga dengan raut wajah laki-laki yang memiliki langkah tegap itu, tanpa ekspresi seperti biasa.

Nala menyambut dan menyalami seperti biasa pula. Mencium punggung tangan kokoh Arshaka yang tanpa ia ketahui sebenarnya merasa senang dengan kebiasaannya itu.

Gadis itu memperhatikan wajah tampan laki-laki itu sejenak. Tak pernah sekalipun ia melihat raut lelah dari wajah Arshaka saat pulang kerja.

"Benar-benar kayak robot," gumamnya.

"Kamu bilang apa?" Alis kanan Arshaka langsung naik tajam.

"Nggak ada apa-apa," Nala menggaruk tengkuknya.

"Aku akan mandi dulu, setelah itu kita bicara," ujar laki-laki itu.

"Bicara masalah apa?"

"Nanti saja," jawab Arshaka singkat. Lalu beranjak ke kamar mandi.

Sambil menunggu, Nala kembali bermain game. Hingga laki-laki itu selesai mandi dan keluar dengan handuk yang terlilit di pinggangnya.

Harum shampoo menarik perhatian Nala. Dan selanjutnya perut yang rata, lengan yang berotot dan dada yang bidang itu membuat matanya tak bisa melihat ke arah lain.

"Jangan dilihat, nanti jadi terbayang-bayang," ujar Arshaka datar.

Nala langsung melihat ponselnya kembali. Lalu memajukan bibir bawahnya. "Pede amat," gerutunya.

Setelah memakai baju bersih, Arshaka menghampiri dan duduk di samping Nala. Tangannya kemudian meraih ponsel gadis itu dan menyimpannya.

"Eh, tunggu dulu, Om! Hampir menang juga," protes Nala.

"Aku mau bicara serius," tatap Arshaka tegas.

"Oke, deh." Nala melengos.

"Dengarkan baik-baik. Aku sudah mendapatkan hak asuh Arsenio. Jadi, seperti perjanjian awal, berarti pernikahan kita harus berakhir. Aku akan mentransfer uang sesuai janjiku."

Nala menghela napas.

"Kenapa?" tanya Arshaka. "Jangan bilang kamu ingin mencari alasan untuk menunda, apalagi membatalkan janji," tatap laki-laki itu curiga.

"Bukan gitu, Nala cuma belum siap aja."

Raut Arshaka seketika berubah dingin.

Nala meneguk salivanya. Padahal ia hanya ingin memberitahu bahwa dirinya masih bingung harus menggunakan uang satu miliar itu untuk usaha apa agar tak habis begitu saja.

Namun melihat tatapan tajam Arshaka ia urung untuk menceritakannya.

"I-iya, deh. Sesuai perjanjian, pernikahan ini akan berakhir."

Arshaka menghembuskan napas panjang dan bangkit berdiri.

"Kita keluar sekarang untuk memberitahu Oma dan ibumu," tegasnya.

Di ruang makan, Oma Erni dan Laksmi telah menunggu. Arshaka kemudian duduk di hadapan kedua orangtua itu, disusul Nala yang kemudian duduk di sampingnya.

"Ehm, "Arshaka berdeham sebelum membuka suara.

"Sebelum kita makan, ada yang ingin kami sampaikan."

Oma Erni tersenyum penuh arti. "Apa kalian sudah punya rencana untuk berbulan madu?"

Laksmi pun ikut tersenyum.

"Bukan. Sebenarnya ... kami ingin berpisah," ujar Arshaka.

Senyuman di wajah Oma Erni dan Laksmi seketika menghilang.

"Apa Oma tidak salah dengar?"

"Tidak, Nek. Kami benar-benar ingin berpisah. Bagaimanapun, kami baru saling mengenal dan tak mungkin bisa jatuh cinta. Ini tidak adil untuk Nala. Dia masih kecil dan masih bisa menikah dengan orang yang dia cintai dan mencintainya."

Nala langsung melirik saat disebut masih kecil oleh Arshaka.

Kecil katanya? Tapi kok dinikahi?

Namun demi kelancaran rencana mereka, Nala pun ikut menimpali.

"Iya, pernikahan ini terlalu mendadak."

Om Erni menghela napas berat. Tanpa tanggapan apapun, wanita sepuh itu kemudian bangkit dan menuju ke dapur.

Di dapur ia meminta Mbok Ijah menyiapkan dua minuman spesial. Lalu kembali dan duduk di kursinya.

"Malam ini, di meja makan ini hanya boleh ada makan malam. Apapun yang ingin kalian sampaikan, kita bicarakan besok pagi," tegasnya marah.

Arshaka dan Nala terdiam. Keduanya tak berani membuka suara lagi dan mulai makan.

Mbok Ijah kemudian datang membawakan minuman. Dan keduanya langsung membasahi tenggorokan yang tiba-tiba kering melihat kemarahan Oma Erni.

Kembali ke kamar, Nala menatap Arshaka cemas.

"Gimana nih, Om? Oma kayaknya marah."

"Kita akan bicarakan lagi besok pagi. Oma tidak akan melarang terlalu keras karena ini pilihan hidupku."

Nala menghembuskan napas sembari menghenyakkan tubuhnya di ranjang empuk Arshaka. Lalu berbaring menelentang.

"Om, malam ini kita boleh nggak tukeran tidur buat terakhir kalinya? Om di sofa, Nala di ranjang?"

"Tidak," jawab Arshaka singkat.

"Om, yang kita sepakati ini dosa nggak, sih? Tujuan pernikahan kita kan udah melenceng dari yang seharusnya."

Arshaka menghembuskan napas berat. Matanya tak sengaja menatap lurus pada gadis yang tidur terlentang di ranjangnya. Entah kenapa, aliran darahnya terasa begitu panas tiba-tiba. Mengalir ke bagian inti dan menciptakan denyutan yang membuatnya berpikiran yang tidak-tidak.

"Kita memanfaatkan pernikahan untuk tujuan kita masing-masing, ya kan, Om?"

"Argh, entahlah. Aku tidak bisa berpikir jernih sekarang." Arshaka menguar rambutnya dengan raut frustasi.

Sebuah fantasi tercipta begitu saja saat matanya tak bisa berhenti menatap gadis ayu di ranjangnya itu. Membuat jantungnya berdegup kencang dengan hasrat yang mulai muncul.

"Cepat turun dari ranjangku!" titahnya. Berbanding terbalik dengan kata hatinya.

"Ish, pelit! Kasurnya empuk, spreinya juga lembut banget. Nala udah pegel tidur di sofa, nggak bisa bolak-balik." Gadis itu mengusap-usap kain sutera putih yang melapisi kasur big size itu tanpa menyadari efeknya untuk pria yang sedang menatapnya.

Manik hitam gelap Arshaka menatap liar. Belum pernah sekalipun ia merasa bergelora terhadap wanita seperti ini, karena selama ini ia memang tak pernah mau berurusan dengan wanita. Lalu, apa ini karena ia terlalu banyak berinteraksi dengan gadis kecil itu?

Arshaka meneguk salivanya. Ia tak memungkiri bahwa Nala adalah gadis yang sangat menarik, dan ia merasa sangat nyaman meskipun sering kesal dengan sikap sesuka hati Nala yang sama sekali tak takut padanya.

Apa karena hal itu ia jadi sangat ingin menyentuh gadis itu?

"Turun sekarang," perintahnya lagi dengan suara yang berubah serak.

"Iya, satu menit lagi. Perut kenyang, jadi mager, Om."

"Kalau begitu jangan salahkan aku, kalau melarang mu turun setelah ini."

Arshaka melangkah menghampiri. Pikiran jernihnya benar-benar telah terkontaminasi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status