Share

Ditinggal Satria

 "Kamu serius, Nas?" tanya Satria, lagi. Begitu Nasha mengungkapkan keinginannya untuk mengambil kursus menjadi barista.

  "Iya, Sat. Jadi, namanya nanti berubah jadi 'Aqila's Bakery and Coffee' dan aku bakal nambahin meja kursi buat pelanggan. I mean, semacam kafe gitu."

  Nasha menjelaskan dengan mata berbinar. Membayangkan rupa bakerynya dalam beberapa bulan ke depan kalau dia betulan mengambil kursus barista.

'Bugh'

'Bugh'

  Lamunan Satria yang ikut membayangkan masa depan bakery milik Nasha langsung buyar begitu suara adonan donat yang dibanting-banting oleh Nasha terdengar.

  Seperti biasa Nasha bangun pagi untuk menanak nasi di rice cooker dan menyiapkan lauk sederhana untuk sarapan. Telur ceplok dan ayam goreng misalnya.

  Lalu dilanjut membuat kue yang akan memenuhi etasale depan. Pagi ini Nasha tidak perlu bekerja ekstra. Dia hanya perlu menyiapkan donat dan bolu pandan.

  Kemarin mbak Asti cukup banyak membantu. Kalau tidak pasti pagi ini Nasha keteteran membuat bermacam-macam kue.

  "Berapa lama, Nas? Nanti bakery gak akan terganggu kalau ditinggal terus?"

  Bakery Nasha hanya punya satu pegawai, yaitu Jihan. Nasha membutuhkan Jihan untuk menunggu di depan sementara adonan kue dia sendiri yang membuat.

  "Sebulan deh kayaknya. Gak setiap hari juga, kok. Masih bisa sambil handle bakery."

  Usai mencuci tangannya Nasha ikut duduk di stool bar samping Satria. Ikut sarapan dengan menu yang tadi dibuatnya. Nasi, tumis kangkung dan udang goreng tepung. Sesuai permintaan Satria.

  See, bukankah Nasha sudah terlihat seperti seorang istri yang berbakti pada suami?

  "Apa motif kamu ikut kursus barista?" Agaknya Satria kurang yakin dengan pilihan Nasha.

  "Simple. Aku mau bakeryku berkembang dan lebih dari sekedar bakery. Kalau banyak yang nongkrong apalagi anak muda pasti bagus banget."

  Jawaban Nasha mengundang decakan Satria. Jelas Satria mengerti apa makna 'bagus' yang diucapkan Nasha.

  Satria juga mulai paham kemana arah tujuan Nasha. Kalau bakery miliknya juga menjual kopi pasti banyak pemuda yang mampir dan Nasha pasti senang akan hal itu.

  Dia bisa mencari mangsa. Mencari gebetan baru. Padahal Satria sudah menawarkan diri untuk menjadi gebetan, tapi tetap saja Nasha mencari yang lain.

  Nasha memang kurang bersyukur.

  "Saya berangkat sekarang. Oh, ya, nanti saya gak pulang. Jangan ditungguin."

  Tanpa bertanya Nasha juga sudah tahu kemana perginya Satria kalau sudah berpamitan untuk tidak pulang ke bakery. Tentu Satria akan pulang ke rumah orangtuanya di Bandung.

  "Salam buat om sama tante. Titip selamat juga buat Keisha. Masuk kedokteran kan?" Setelah memastikan Satria menganggukkan Nasha melanjutkan lagi, "Ya udah, bener, titip selamat buat Keisha."

  Keisha adalah adik Satria yang baru lulus SMA dan katanya sudah diterima di universitas negeri jurusan kedokteran. Otak Keisha memang tidak bisa diragukan meski kelakuannya terkesan slengean.

  Dia memiliki otak yang encer. Sama seperti kakaknya. Dulu Nasha juga sempat berpikir untuk masuk jurusan kedokteran. Apa daya otak tak sampai. Masuklah dia ke jurusan management.

  Kuliah jurusan management lulusnya kerja di agen properti dan berakhir menjadi owner bakery. Tidak nyambung memang.

  Hidup Nasha benar-benar tidak terstruktur. Dia hanya berjalan saja tanpa mau melihat ujung jalan yang dilaluinya berakhir dimana.

  Kalau kata orang Jawa 'penting dilakoni wae' alias yang penting dijalani saja.

  "Saya jalan dulu," pamit Satria.

  "Loh, jalan? Gak bawa mobil?" Pertanyaan Nasha yang disertai raut wajah kaget tersebut membuat Satria gemas dan berakhir meraup wajah Nasha dengan tangan besarnya. Mengundang gelak tawa dari Nasha yang tentu saja kalimatnya tadi candaan.

  Tawa Nasha perlahan menghilang. Pandangannya menyebar ke seisi ruangan lalu menghela nafas panjang.

  "It's okay, Nas. Nanti buka aja bakerynya sampe malam biar gak ngerasa kesepian," hiburnya pada dirinya sendiri.

  Donat sudah selesai dibuat juga beberapa jenis cake lainnya. Nasha sudah rapi dengan celana jeans putih dan atasan warna oranye. Dia bersiap untuk menemui gebetannya untuk didaftarkan ke kursus barista.

  Usai memastikan tampilannya paripurna Nasha melangkah dengan ringan keluar kamar. Bian gebetannya pasti sudah menunggu di depan.

  Benar saja. Bian sudah menunggu di salah satu meja bakery. Mengabaikan tatapan kagum dari beberapa pelanggan remaja perempuan.

  "Hai, Bi! Lama, ya?" sapa Nasha begitu berdiri tepat di hadapan Bian.

  Senyum manis dan gelengan Bian berikan sebagai jawaban. "Enggak juga. Langsung berangkat?"

  Nasha mengangguk antusias. Bian, tidak lebih tinggi dari Satria. Hitam manis dan bekerja sebagai fotografer. Memiliki studio foto dan juga langganan agensi model.

  Pasti hidupnya tidak lurus. Sekilas saja Nasha sudah bisa menebaknya. Tidak masalah. Nasha tidak pernah benar-benar serius menjalin hubungan dengan laki-laki.

  Bisa dikatakan Nasha itu maruk. Sudah punya gebetan ataupun pacar, tapi tetap saja ujung-ujungnya lari ke Satria.

  "Nanti malam aku acara. Diundang teman sih, kamu mau ikut?" tanya Bian sambil memakaikan helm di kepala Nasha.

  Yang ditanyai hanya mengangguk. Pasti acara itu tidak jauh dari kata dugem. Tidak masalah. Nasha juga pernah sesekali datang ke bar. Yah, meskipun tidak sering dan tidak juga sampai teler.

  Bisa digantung Satria kalau dia pulang dalam keadaan teler. Satria benar-benar serius menjalankan amanah ayah untuk menjaga Nasha.

  "Nanti aku jemput jam 9. Kayaknya mobilku udah selesai diservis. Bisalah nanti dipakai," teriak Bian karena suaranya teredam oleh deru mesin motor juga pastinya telinga Nasha tertutup helm.

  Hal yang selalu terjadi saat berkendara motor memakai helm. Satu, telinga jadi budeg. Dua, kalau ngomong harus pakai urat alias tenaga supaya terdengar lawan bicara. Tiga, kalau kepala gatal yang digaruk helmnya bukan kepalanya. Sia-sia.

  "Ini punya teman kamu?" tanya Nasha begitu turun dan menyerahkan helm pada Bian.

  Sebuah kafe 2 lantai dengan bangunan semi permanen. Setengahnya memakai dinding setengahnya lagi memakai anyaman bambu.

  "Iya, ini cabang ke 12. Dia yang bikin pelatihan buat jadi barista."

  Tangan Nasha digenggam Bian dan ditarik pelan untuk memasuki kafe tersebut. Senyum manis Nasha tidak bisa ditahan. Dia benar-benar terkesima dengan kafe tersebut.

  Lalu senyum manis Nasha perlahan hilang digantikan raut wajah heran. Bian terus menariknya masuk menuju ruangan privat.

  "Kita tunggu dulu. Dia masih ada sedikit urusan katanya." Bian berkata tanpa menoleh. "Mbak, saya udah ada janji sama mas Handoko. Tolong bilangin saya tunggu di privat room, ya," pesan Bian pada salah satu pelayan kafe.

  Saat duduk di salah satu ruangan privat Nasha bertanya, "Bagus, kafe ada private roomnya. Jarang-jarang aku nemuin gini."

  "Iya, yang private room biasakan dipakai kalau ada acara kecil gitu. Misal satu geng lagi ngumpul disini."

  Kepala Nasha terus berputar kesana dan kemari meneliti setiap ornamen yang ada di ruangan tersebut. Terdapat satu meja panjang dengan 8 kursi. Benar kata Bian. Ini cocok untuk geng ciwi-ciwi yang rumpiannya tidak ingin didengar pengunjung lain.

  Saat menoleh pada sisi lainnya Nasha terkejut saat wajah Bian sudah berada tepat di hadapannya. Jarak mereka sangat dekat. Tidak lebih dari 10 centi.

  "Kamu cantik, Nas," puji Bian. Nasha hanya tersenyum dan mengangguk singkat.

  Dengan perlahan Bian semakin mendekatkan wajahnya dan sedikit memiringkan kepalanya. Belum sampai bibir mereka bersentuhan tubuh Bian sudah tertarik mundur.

  Nasha terkejut melihat siapa yang menarik pundak Bian dengan keras.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status