Sejak pagi Nasha sudah sibuk di dapur bakery. Bukan hanya Nasha, tapi ada juga Jihan dan mbak Asti. Beliau adalah mantan ART di rumah ayah. Sampai sekarang wanita paruh baya tersebut sering datang ke bakery untuk membantu Nasha membuat kue.
"Mana ada bakery jualan jajanan pasar," protes Nasha begitu Jihan memberi saran untuk menyediakan jajanan pasar di bakery.
Well, jajanan pasar itu bukan termasuk dalam list makanan yang ada di dalam bakery dan Jihan malah dengan entengnya mengatakan ingin membuat beberapa jenis jajanan pasar.
Memangnya dimana sih bisa ditemukan bakery yang menjual jajanan pasar? Jajanan pasar itu mudah ditemui di pasar.
"Gak setiap hari, Mbak. Kita kayak bikin menu spesial tiap hari apa gitu. Misal tiap hari Minggu ada jajanan gitu."
Ini yang punya bakaey siapa sih? Jihan ngotot sekali ingin membuat menu baru yang mengusung konsep kaki lima.
"Donat sama roti kukus masih mending sih." Nah, kan mbak Asti saja sependapat dengan Nasha kalau jajanan ala pasar kurang cocok dijual di bakery.
"Iya, donat kan bisa tiap hari. Kalau jajanan pasar seminggu sekali aja. Terkadang kan ada orang yang pengen makan jajanan pasar, tapi malas ke pasar." Jihan masih bertahan pada pendapatnya.
Kepala Nasha menjadi pusing mendengar pendapat teguh Jihan. Nasha memang berencana membuat menu baru yang bisa jadi mendongkrak pendapatan bakerynya, tapi juga tidak menyangka kalau jajanan pasar menjadi salah satu opsi.
"Mbak, kita coba aja dulu lah. Kasih waktu sebulan deh, entar itu dijualnya tiap hari Minggu aja. Kalau prospeknya kurang bagus kita cut."
Tatapan mata Jihan terlihat serius. Tidak ada pilihan lain selain mengangguk. Dia harus memberi kesempatan pada Jihan.
"Oke, satu bulan," putus Nasha yang mengundang helaan nafas mbak Asti, tapi membuat senyum Jihan melebar.
"Thank you, Mbak. Gitu dong! Kita itu harus berani tampil beda."
Bola mata Nasha berotasi. "Whatever. Aku mau keluar dulu. Titip bakery, ya."
Agenda Nasha hari ini adalah membeli beberapa pakaian. Lebih spesifiknya pakaian dalam. Juga beberapa keperluan pribadi lainnya.
As always, motor yang menjadi tunggangannya. Begitu sampai di salah satu pusat perbelanjaan Nasha langsung menuju store pakaian.
Saat akan masuk ponsel di tangannya bergetar dan ada pesan dari Satria. Yah, Satria pasti tahu kemana Nasha pergi.
"Ck, bener-bener si Satria. Pake nitip celana dalam segala," gerutunya.
Dengan wajah datarnya Nasha memilih beberapa model pakaian dalam untuknya dan juga titipan Satria.
Tak hentinya Nasha mengumpat dalam hati saat beberapa kali melihat mbak-mbak SPG disana tersenyum kecil.
Well, perempuan seperti Nasha mencari pakaian dalam pria juga brief boxer. Nasha bersumpah tidak akan mau lagi membelikan titipan Satria. Biar saja Satria tidak memakai pakaian dalam.
"Saat kayak gini mendadak jadi ingat bunda." Langkah kaki Nasha berhenti saat melihat gadis remaja tengah memilih pakaian dengan ibunya di salah satu toko baju.
Dulu hal itu juga sering dilakukannya. Sekarang Nasha selalu pergi membeli sendiri.
"It's okay, Nas. Bukan masalah. Kamu bukan anak kecil lagi yang harus terus nempelin ketek emaknya," hibur Nasha pada dirinya sendiri.
Langkah kakinya ringan mengelilingi pusat perbelanjaan. Tidak setiap hari dia bisa seperti ini. Selagi ada waktu harus dimanfaatkan.
Menjelang tengah hari perutnya berbunyi. Nasha meringis. Untung saja tidak ada orang yang mendengarnya. Bisa malu.
Nasha memutuskan untuk berbelok ke restoran yang mengusung konsep Nusantara. Lidahnya ingin makan makanan yang rasanya benar. Maksudnya menggunakan bumbu yang benar bukan bumbu asal-asalan seperti yang biasa dia pakai.
"Nasha," panggil seseorang. Nasha mengangkat kepalanya dan melihat kakak tirinya, Januar berdiri dihadapannya.
Buru-buru Nasha menelan makanannya dan tersenyum. Mempersilakan Januar duduk di kursi seberangnya yang kosong.
"Sendiri aja, Bang?" tanya Nasha. "Aku sambil makan, ya."
Januar mengangguk dan tersenyum. "Iya, tadi gak sengaja lihat kamu disini. Ikutan kesini, deh."
Ah, andai Agarish bisa tersenyum padanya pasti Nasha akan merasa sangat bahagia memiliki 2 kakak laki-laki yang tampan dan menawan.
Sayang, itu tidak terjadi. Mustahil Agarish tersenyum padanya. Mungkin setelan pabrik Agarish memang kaku dan bertambah kaku saat berhadapan dengan perempuan.
"Kamu habis belanja, Nas?" Mata Januar mengarah pada beberapa paper bag di kursi samping Nasha.
Nasha menganggukkan kepalanya. Tidak menjelaskan bahwa belanjaan sebanyak itu merupakan gabungan antara keperluannya dan titipan Satria.
"Kamu kapan pulang lagi, Nas? Yang waktu itu cuma sebentar banget, loh. Habis itu malah pergi lagi."
Nasha tersenyum kecut. Tentu hanya sebentar. Nasha merasa tak nyaman disana. Apalagi mata Agarish yang selalu menyorotnya tajam.
"Nanti mampir lagi, Bang. Waktu itu memang bakery kehabisan stok roti karena lagi rame banget," alibi Nasha.
Beberapa waktu hanya ada bunyi dari gesekan piring dan sendok. Mereka makan dengan tenang.
Meskipun Januar ramah padanya, tapi mereka juga tidak terlalu sering mengobrol. Apalagi hanya berdua seperti ini. Nasha merasa canggung.
Ini bukanlah Nasha. Merasa canggung di hadapan seseorang bukanlah Nasha. Dia bahkan bisa tertawa lepas meski dengan orang asing.
"Nas, jangan canggung. Kita saudara." Gelagat Nasha terbaca oleh Januar.
Untuk beberapa saat Nasha hanya bisa mematung. Mereka bersaudara, tapi Nasha belum pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki saudara.
Sampai saat ini Nasha masih saja merasa asing dengan keluarga barunya. Sekalipun pak Tanubrata dan Januar selalu ramah padanya.
Selalu ada sekat yang membatasi mereka dan sekat itu bernama Agarish. Nasha enggan mendekat sebab melihat sendiri bagaimana Agarish yang acuh padanya. Seolah tak pernah menyukai kehadirannya.
"Iya." Hanya itu yang bisa Nasha ucapkan. Tidak tahu harus bagaimana.
"Nas." Sorot mata Januar lembut dan raut wajahnya tenang. "Apa kamu belum bisa menerima Papa dan saya?"
Bukannya Nasha belum bisa menerima keluarga barunya. Hanya saja selalu ada hal yang mengganjal di hati Nasha.
Sejak awal Nasha menyayangkan keputusan orangtuanya yang bercerai saat dirinya masih SMA. Nasha memilih untuk tinggal dengan ayah karena bunda sudah menikah. Bunda sudah memiliki keluarga baru. Sedangkan ayah sendirian.
Lalu saat ayah pergi ganti Nasha yang sendirian. Pak Tanubrata selalu menariknya untuk mendekat, tapi bunda mendorongnya untuk menjauh.
Lantas jika sudah seperti itu apa yang harus Nasha lakukan? Mendekat atau menjauh?
"Aku menerima." Suara Nasha tercekat. "Hanya belum terbiasa. Aku selalu sama ayah dan setelah ayah gak ada aku masuk asrama."
Nasha tersenyum manis. Januar terdiam sejenak menyaksikan senyum indah tersebut. Bibir Nasha yang memiliki lekukan nyaris sempurna itu kini tersenyum lebar. Senyum yang jarang ditampilkannya saat berada di kediaman Tanubrata.
"Semoga kamu cepat terbiasa, Nas. Kamu harus sering-sering pulang supaya terbiasa."
Senyum Nasha memudar dengan perlahan. "Kenapa Abang bisa dengan mudah menerima aku sebagai saudara?"
"Kamu serius, Nas?" tanya Satria, lagi. Begitu Nasha mengungkapkan keinginannya untuk mengambil kursus menjadi barista. "Iya, Sat. Jadi, namanya nanti berubah jadi 'Aqila's Bakery and Coffee' dan aku bakal nambahin meja kursi buat pelanggan. I mean, semacam kafe gitu." Nasha menjelaskan dengan mata berbinar. Membayangkan rupa bakerynya dalam beberapa bulan ke depan kalau dia betulan mengambil kursus barista.'Bugh''Bugh' Lamunan Satria yang ikut membayangkan masa depan bakery milik Nasha langsung buyar begitu suara adonan donat yang dibanting-banting oleh Nasha terdengar. Seperti biasa Nasha bangun pagi untuk menanak nasi di rice cooker dan menyiapkan lauk sederhana untuk sarapan. Telur ceplok dan ayam goreng misalnya. Lalu dilanjut membuat kue yang akan memenuhi etasale depan. Pagi ini Nasha tidak perlu bekerj
"Maaf, saya kira kamu pelayan kafe sini," kata Satria dengan datar. Sontak Nasha melongo. Cara Satria mencegah Bian menciumnya sangat tidak elegan. Apa katanya tadi? Pelayan kafe? Hei, jelas berbeda baju yang dipakai Bian dengan pelayan kafe. Bian memakai kemeja abu-abu, sedangkan pelayan kafe itu memakai kaos berkerah warna abu-abu. Dengan mendengus Bian menjauhkan diri dari Nasha dan duduk dengan tegak di kursinya sendiri. Meskipun misinya menggagalkan ciuman Nasha dan Bian sudah berhasil. Namun, Satria belum mau beranjak. Dia malah mengambil tempat duduk didepan Nasha dan menatap tajam pada gadis itu. Nasha berdehem-dehem singkat begitu menyadari tatapan tajam Satria. 'Bego banget sih, Nas. Bisa-bisanya mau kissing pas ada Satria,' rutuknya dalam hati. "Permisi! Woy, bro, udah lama nunggunya?" tanya seorang laki-laki yang baru saja masuk ke ruangan tersebut. Dengan gaya santain
Nasha mengerucutkan bibirnya. Satria tidak mengajaknya mengobrol sama sekali. Memang apa salahnya, sih bertanya seperti itu?Satria kan juga cowok. Berarti berduaan dengan Satria juga tidak boleh."Satria," panggil Nasha namun, tak digubris Satria sama sekali. "Satria, ih," rengek Nasha karena Satria masih konsisten diam."Mending kamu tidur aja deh, Nas. Nanti kalau sampai dibangunin," jawab Satria tanpa may repot-repot menoleh pada gadis disampingnya. Membuat Nasha gondok.Karena kesal diacuhkan terus Nasha memutuskan untuk tidur saja. Biar saja nanti Satria kerepotan membopongnya ke rumah.Tak lama setelahnya Nasha benar-benar tertidur. Dengan tangan bersedekap dada karena tadi kekesalannya tadi.Melihat Nasha benar-benar tertidur Satria memutuskan untuk menepikan mobilnya dan mengatur sandaran Nasha agar gadis itu bisa tidur dengan nyaman. Sebab tak membawa selimut Satria melepas jaketnya dan meletakkan di atas tubuh Nasha.Tangan
"Itu Nasha?" Papa Satria memicingkan matanya. Kacamatanya belum dipakai. Jadi, beliau tidak terlalu jelas melihat siapa yang tidur di ranjang anaknya."Itu, Pa, ekhem, tadi—""Santai, Son. Jangan panik gitu." Papa berujar santai. Tangannya menepuk singkat bahu anaknya.Satria meringis pelan lalu terdiam untuk beberapa saat di tengah pintu. Mendadak linglung. Bingung apa yang mau dilakukannya. Apa ke-gap menyembunyikan perempuan di dalam kamar bisa berpengaruh pada kewarasan otak?"Sat, ngapain?" Tiba-tiba Nasha berdiri di belakang Satria.Matanya masih menyipit dan sebagian rambutnya ada yang berdiri. Kusut. Dahinya berkerut melihat Satria yang hanya terdiam di tengah pintu."Balik sana, mandi." Dengan tidak berperasaan Satria mendorong bahu Nasha untuk keluar dari kamarnya. Begitu usahanya berhasil Satria kembali masuk ke kamarnya dan menutup pintunya. Oh, tidak lupa menguncinya agar iblis yang menjelma perempuan cantik itu tidak bisa
"Nasha mana, Han?"Jihan yang hari itu menjaga kasir sejak pagi tanpa henti mengangkat pandangannya dan tersenyum begitu melihat sosok yang dikenalnya."Mbak Nasha di dalam, Mas. Lagi minum." Jihan berujar sambil sedikit menekankan kata terakhirnya. "Kayaknya," tambahnya lagi dengan tidak yakin.Sudah seminggu mereka kembali dari kediaman orangtua Satria dan Satria hanya beberapa datang ke bakery.Dia memutuskan untuk mengambil KPR dan tentunya KPR itu tidak bisa dibiarkan kosong terus menerus. Satria harus menempatinya. Yah, walaupun beberapa kali Satria masih nekat meninggalkan rumah itu dan menginap di bakery.Begitu membuka pintu kamar Nasha yang pertama kali terlihat adalah Nasha yang duduk di lantai menghadap jendela.Terlihat seperti orang sedang putus cinta. Galau. Merana. Bahkan bunyi tapak kaki Satria tidak bisa mengembalikan fokus Nasha."Kenapa?" Satria memilih untuk duduk di kursi rias. Tidak mendekat pada Nasha."
Lama Satria menunggu Nasha tak kunjung membuka mulut. Berdecak kesal Satria kembali mendekat. "Ada apa?" ulangnya."Cie, khawatir nih ye," goda Nasha. Sontak saja mata Satria membola. Dia ini sudah khawatir dan mengira Nasha akan bercerita dengan jujur apa yang sedang dirasakannya. Ternyata malah dapat zonk."Emang salah, Nas khawatir sama kamu."Nasha terkikik geli melihat raut wajah masam Satria. "Satria, kali ini serius." Sesuai dengan ucapannya Nasha memasang raut wajah serius.Tangannya menggenggam lengan Satria. "Nanti beliin charger ya. Charger aku ilang gak tau kemana. Pasti Bian cemas banget karena hp aku gak aktif." Nasha tidak bohong. Raut wajahnya menunjukkan keseriusan dan charger ponselnya memang hilang. Itu juga terjadi 2 hari yang lalu. Entah dimana charger itu."Kemarin Bian kesini," suara Satria terdengar santai."Loh, kok gak bilang sih, Sat," protes Nasha."Kamu mabok."Itu kan hanya tebakan Satria. Pa
Sesuai apa yang dikatakan Satria tadi formasi temannya lengkap. Nasha tersenyum senang saat melihat Dewangga memasuki bakerynya. Senyum Nasha semakin lebar saat Dewangga mendekat padanya."Pagi, Nas. Satria bilang lainnya sudah datang. Mereka dimana?""Di atas, Kak. Kak Dewa mau diantar?"Modus sedikit tidak masalah lah ya. Lagipula ini juga pertama kalinya Dewangga menginjakkan kaki di bakerynya tentu pria itu tidak banyak tahu tentang bakerynya. Kalau nanti Dewangga kesasar ke kamarnya bagaimana?Kalau Nasha senang-senang saja. Tidak tahu kalau Satria akan mengamuk nantinya."Iya."Aneh sekali si Dewangga ini. Seingat Nasha saat masih SMP yang tentunya saat Dewangga, Satria and the genk masih kuliah, Dewangga itu tidak seserius ini. Ini kenapa Dewangga jadi serius sekali?"Eh, Cil, astaga, udah gede aja nih anak. Lo apa kabar, Cil?"Nasha mendengus begitu sampai di roof top. Tadi saat teman-teman Satria datang dia masih sibuk
"kamu tahu, Nas apa yang barusan kamu lakukan itu termasuk pelecehan seksual."Senyum Nasha luntur. Raut wajahnya berubah jadi bingung. Dahinya berkerut-kerut. Sedangkan sosok didepannya masih memasang raut wajah datar."Loh, emang iya?" tanya Nasha pura-pura bodoh.Dewangga mendengus dan menurunkan tangan Nasha yang sedari tadi nyaman hinggap di dadanya. Heran. Nasha ini lulus sekolah karena nilainya bagus atau karena uang orangtuanya? Dewangga curiga ijazah Nasha hasil dari menyogok."Iya. Kamu nggak seharusnya melakukan skinship seperti tadi ke sembarang orang."Mengangguk paham Nasha kembali tersenyum lebar dan dengan tidak ada rasa kapok Nasha kembali mengusap dada bidang Dewangga."Kamu dulu juga pernah loh kayak gitu ke aku. Pas dari bazar. Pas itu aku masih kelas 2 SMA, aku masih 16 tahun, masih di bawah umur, Kak Dewa."Dewangga kicep. Cuma bisa pasrah. Tidak menyangka Nasha akan membalasnya dengan mudah."Jadi, ayo ki