Siang hari yang terik tidak menumbangkan semangat Geovani ketika sampai di Bali. Demi apa, dirinya tidak percaya dapat menginjakan kaki ke salah satu tempat impiannya.
"Nah! Ini kamar kalian. Ingat, ya, jangan ke mana-mana dulu. Kita istirahat sampai sore," ucap Tante Rachel, lalu menyerahkan kunci kamar ke Drea.
Dikarenakan satu kamar hotel hanya boleh diisi tiga penghuni, maka Drea memilih satu kamar dengan Geovani dan Adinda, adik sepupunya. Mereka bertiga langsung mengunci pintu dari dalam, kemudian menyalakan AC. Terkapar bebas di atas ranjang yang luas. Namun, lain hal dengan Geovani yang langsung ke balkon kamar, memandangi betapa indahnya dunia ciptaan Tuhan. Ia tidak ingin membayangi jika harus pulang kembali. Loh, memangnya gadis itu punya tempat berpulang?
"Geo, lo gak capek apa?" tanya Drea dengan suara lantang.
Seketika itu, kakinya melemas. Entahlah, ia baru merasa lelah usai mendengar pertanyaan Drea.
"Iya, capek."
***
"Kan kata Om Rachel dan Tante Angga, kita gak boleh ke luar kamar," celetuk Adinda saat melihat Drea dan Geovani sedang berpoles. Adinda adalah sepupu Drea yang paling muda, masih berusia enam tahun, bahkan memanggil sebutan 'Om' dan 'Tante' saja masih sering tertukar.
Namun, justru karena Adinda masih kecil, makanya Drea memilih satu kamar dengannya agar mudah melakukan tipu daya. Menurut Drea, ini adalah liburan, jadi tidak perlu aturan ke luar masuk kamar. Bagaimana dengan Geovani? Tentu mendukung pendapat Drea.
"Kita mau beli es krim, Adinda. Kamu mau gak?" Alibi Drea sambil menyisir rambutnya di depan cermin.
"Mau," balas Adinda. "Tapi, kan, kita gak boleh ke luar kamar sampai sore, Kak."
"Tante Rachel cuma bilang kita harus istirahat sampai sore, kok." Geovani yang sedang mengikat rambutnya ikut mendukung sahabatnya. Adinda terdiam seraya berpikir.
"Kalau gitu aku mau ikut, ya, Kak."
"Eh, gak boleh ... nanti yang jagain kamar siapa?"
"Kan ada kunci kamar."
"Teteh lupa taro kuncinya di mana tadi." Geovani yang mendengarkan ocehan mereka hanya bisa menahan tawa dan berlaku seolah pernyataan Drea benar semua.
"Ya udah, titipin ke petugasnya aja."
"Hahahaha ...." Drea dan Geovani tertawa terbahak-bahak. Yang benar saja, tidak kuat menahan tawa ketika membayangkan menitip kamar kepada petugas. Memang dikira menitip rumah sama tetangga?
"Adinda, di luar itu banyak turis, loh. Nanti kamu ditanya 'what is your name'? Begitu, bagaimana?" ledek Geovani yang akhirnya membuka suara.
"Memang aku bakal diajak bicara sama turis? Kata Tante Angga mukaku lokal, kok."
Drea dan Geovani saling tatap, juga menahan tawa. Satu detik kemudian, suara tawa keduanya meledak, sampai Adinda sendiri tidak mengerti apa yang membuat kedua kakaknya tertawa.
***
Setelah berhasil mengelabui Adinda, Geovani dan Drea ke luar kamar sambil terkekeh geli. Apa yang mereka lakukan kepada Adinda? Hanya memberi tontonan pembelajaran Bahasa Inggris dari laptop Drea yang selalu ia bawa.
Mereka mengunci kamar, lalu bergegas pergi ke tempat tujuan, yaitu Pasar Sukawati.
Perjalanan yang lumayan jauh cukup menguras keringat mereka sekalipun berangkat menggunakan taxi online.
"Wah! Estetik banget gak sih itu lukisannya!!!" Drea menunjuk salah satu lukisan di salah satu toko.
Geovani pun tidak kalah takjub melihat lukisan itu. Dirinya yang menyukai seni lukis merasa termotivasi dengan lukisan tersebut.
"Saya mau lihat lebih dekat, ah." Gadis itu melangkah mendekati toko yang memamerkan banyak lukisan. Drea mengikutinya dari belakang sambil melihat sekeliling.
Duggg!
Tiba-tiba pundaknya disenggol seseorang. Sontak Geovani berbalik badan, melihat seseorang yang menabrak dirinya."Maaf–" Rupanya seorang laki-laki yang sedikit lebih tinggi darinya. Dia juga membalik badan dan sadar telah menabrak seseorang ternyata. Namun, ucapannya terputus saat bertukar tatap dengan Geovani.
"Ya?"
"Eh! Maaf, Teh," ucapnya meralat yang sebelumnya. Dia membisikan sesuatu kepada dua temannya yang kemudian mereka meninggalkannya sendiri.
"Pendatang ya, Teh?"
"Geo! Masa gue hampir nyasar! Eh, siapa ini?" Drea menghampiri Geovani. Suasana pun mendadak canggung.
***
"Oalah ... jadi lo ini asli Bandung, terus baru setahun di sini. Siapa namanya?" Sekarang mereka bertiga berada di tempat makan yang tidak jauh dari pasar tadi.
Melihat wajah orang asing tadi yang canggung, begitu juga dengan wajah Geovani yang tidak terbaca, Drea memutuskan untuk mengajak mereka makan bersama.
"Daniel." Geovani batuk keselek dan bergegas mengambil minumnya. Drea terkekeh pelan memahami situasi ini, pasti sahabatnya sedang teringat beberapa hari kemarin.
"Okelah okelah ... Kang Daniel di sini ngapain?"
"Maaf menyela! Kamu ...." Geovani menunjuk Daniel secara tidak sopan. "Siapa nama panjang kamu?"
"Daniel Gumelar, Teh, kunaon?" Geovani menghembuskan napas lega.
"Kami minta izin untuk memanggil kamu Gumelar saja, boleh?"
Seketika itu Drea menutup mulutnya karena menahan tawa. Dasar, ada saja hari ini hal-hal yang mengundang gelak tawa. Sedangkan Daniel yang diminta izin untuk dipanggil Gumelar saja menganga kebingungan.
"Boleh tidak!?" Ulang Geovani dengan sedikit membentak.
"Bo–boleh, Teh." Alhasil, mereka sepakat memanggilnya Gumelar. Bisa dipastikan oleh laki-laki itu, bahwa baru kali ini ia dipanggil Gumelar.
Setelah itu, mereka kembali berbincang-bincang terkait kedatangan Gumelar ke Bali ini, dan semua pengalamannya selama di sini. Geovani cukup terkejut mendengar ceritanya, di mana orang tuanya bercerai dan ia dituntut untuk tinggal bersama ayahnya. Bukannya diberi kehidupan yang layak, laki-laki itu justru seperti ditelantarkan oleh sang ayah.
Geovani menatapnya nanar sambil menenggak minuman lewat sedotan. Gumelar masih bisa menyelipkan jenaka dalam ceritanya yang memprihatinkan itu.
"Sebentar ya, Teh, ada telepon." Gumelar beranjak mencari tempat yang pas untuk mengangkat telepon.
"Drea, setelah ini kita pulang, yuk." Drea memicingkan matanya, meneliti sesuatu dalam diri Geovani. "Apa?"
"Kok di chapter ini lo rada cuek?" Geovani menautkan alisnya. Belum sempat dijawab oleh Geovani, Gumelar sudah kembali duduk di tempatnya. "Dahlah, abaikan."
"Teteh-teteh, boleh tukeran kontak, gak? Saya ada teman yang mau ke Bali juga, biar tambah relasi aja gitu," tutur Gumelar sambil perlahan menyerahkan ponselnya.
"Karena namamu Daniel, saya tidak bisa memberi kontak saya. Jadi biar kontak Drea saja," sergah Geovani membuat Gumelar melongo. Apa hubungannya nama dengan bertukar kontak?
"Ada apa, Teh?"
"Kamu masih tanya?! Hei, Daniel! Saya saja enam tahun gak mengenal kata lelah mencari tahu tentang kamu! Terus kamu seenaknya aja langsung minta kontak saya di sini? Cupu–" Drea membungkam mulut Geovani dengan tangannya. Menyusahkan sekali sahabatnya ini kalau sudah kumat.
"Ssssstttt! Dia suka kambuh gitu kalo kecapekan, hehehe. Ini, ketik aja nomor gue, kosong delapan ...." Akhirnya Drea memberikan nomor teleponnya kepada Gumelar.
Tidak lama kemudian, Gumelar pamit pulang karena ada yang mencarinya. Ketika mereka tinggal berdua, barulah Drea dengan leluasa menertawai Geovani.
"Lo oon juga ternyata, bwahahaha. Jelas-jelas mereka orang yang beda, dari tampangnya juga beda, Buset!"
"Ya habisnya namanya sama, kan jadi teringat kesalahan saya kemarin. Ugh! Sebel banget kalau diingat-ingat!" Drea terkekeh.
Dering ponsel Drea menyeka percakapan keduanya. Nomor asing yang sepertinya punya Gumelar itu langsung diangkat Drea.
"Halo?"
"Halo, Teh? ini saya, Daniel. Eh! Gu–Gumelar."
"Hahaha ... iya. Kenapa?"
"Teteh ada waktu gak lusa besok? Ini teman saya udah sampai ternyata."
"Hm ... kalau malam, sih, ada. Mau ketemu?"
"Ayo, Teh. Tempatnya Teteh yang tentuin aja, nanti sharelock.",
"Oke, deh. Anyway, teman lo siapa?"
"Giovano."
***
"Cieeee! Yang makin hari makin deket!"Drea merangkul Geovani dari belakang. Hampir saja Geovani dibuat jantungan, pasalnya ia berjalan seorang diri sebelumnya."Drea! Saya kaget tahu!""Cie, Geo, ciee," ledek Drea seraya mencubit pelan pipi Geovani."Apaan, sih?""Kayaknya sebentar lagi ada yang bakal jadian, nih." Geovani bergidik ngeri menanggapi ucapan Drea. Namun, sahabatnya itu terus saja meledeknya."Sok tahu banget, sih. Siapa juga yang dekat?!""Ituloh, kemarin tiba-tiba jadi pasangan pesta. Udah gitu di tengah acara malah meninggalkan aula lagi berduaan. Ke mana lo kemarin?""Loh, kok kamu tahu?""Ya, jelas dong. Gue sama Gumelar merhatiin kalian. Mau negur dan nanya, tapi enggak jadi, ah. Males, lagian gue sama dia lagi seru kemarin. Hahahaha." Drea tertawa seraya menepuk-nepuk pahanya sendiri. Ia tahu bahwa Geovani memiliki luka di punggungnya, makanya ia menepuk pahanya sendiri, padahal biasanya pundak Geovani
Giovano menutup pintunya. Perasaan dan pikirannya menjadi lebih lega setelah memberi saran kepada Babeh Seno tadi. Namun, ketika mengingat-ingat ucapan Babeh Seno, jantungnya berdegup kencang lantaran menyadari bahwa ia menyukai Geovani, gadis yang sudah menyatakan perasaannya lebih dulu.Ia belum pernah menyukai seseorang yang bukan bagian dari keluarga ataupun sahabatnya. Geovani, kali pertamanya."Kalau gue ajakin dia, pasti ditolak karena udah janjian sama Dave Dave itu duluan," gumam Giovano memikirkan cara agar dirinya bisa menghadiri pesta ulang tahun Drea sebagai pasangan Geovani."Aduh! Gue juga belum nyiapin baju! Anjir, mana punya gue baju-baju bagus. Gimana, ya?"Giovano mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Gumelar. Ia menelepon sahabatnya."Halo, Van?" tanya dari seberang."Lo udah di sini? (Daerah Giovano)""Udah, Van, baru aja sampe. Lagi istirahat heula. Kunaon, Van?""Hm ... gue kayaknya gak ikut pesta Dre
Kericuhan di halaman depan rumah—istana—Drea dapat disalah artikan menjadi acara pembukaan bagi Giovano. Pasalnya, laki-laki itu secara tiba-tiba mengatakan bahwa Geovani adalah pasangannya di pesta malam ini. Sedangkan, Geovani sendiri datang bersama Dave.Teman-teman yang sudah lengkap dengan pasangannya menghiraukan dan langsung masuk, tetapi ada beberapa yang malah mengambil video cam di antara tiga orang itu. Selain itu, selebihnya ada yang sengaja berdiam di depan karena menunggu Geovani masuk."Pak! Saya tidak bohong, dia pasangan saya. Iya, kan, Van?" tanya Dave dengan nada tinggi.Geovani mendadak kikuk di tengah keramaian itu. Entah karena apa, ia merasa tidak enak jika mengatakan bukan pasangan Giovano. Apakah karena dress code mereka mirip?"Vani, jawab! Lo pasangan gue kan?" Ia mengulang kembali."Udahlah ... jelas-jelas dia cuma mau bareng lo aja. Minggir!" cetus Giovano seraya berjalan mendekat.Dengan sigap, Dave
"Hei! Kenapa kamu balik lagi?" tanya kepala bagian waiter itu setelah melihat Giovano yang kembali ke ruangan persajian dengan nampan yang masih penuh.Ditambah lagi, wajah Giovano yang kebingungan mengundang emosi kepala waiter."Saya salah meja, Pak. Pesanan ini untuk nomor berapa, ya?"Kepala waiter menatap tajam Giovano itu. Bahkan, ada aura menerkam yang ia pancarkan. Terlihat sekali bahwa kepala waiter geregetan."Kamu ini!! Sudah tiga kali seperti ini. Kalau kamu sedang sakit, tidak perlu memaksakan masuk!" Yup, benar sekali. Ini sudah yang ketiga kalinya Giovano seperti ini dalam satu hari.Laki-laki itu mengusap tengkuknya merasa semakin kurang profesional tingkahnya di hadapan waiter lainnya. Apa lagi, perihal ia yang menjadi bagian dari waiter tanpa interview dan segalanya sudah menyebar sejak kemarin. Bahkan, di sana pun Giovano tidak memiliki teman untuk sekadar mengobrol. Terkadang ada yang mengajaknya bicara, hanya bertanya ten
03:00 a.m.Giovano terbangun dari tidurnya. Walau matanya terasa berat, tetapi ia merasa ada yang janggal. Atap. Benar sekali, ia yakin yang ia lihat itu bukanlah atap rumahnya. Lalu? Sedang di mana ia?Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Matanya membulat sempurna melihat Geovani terbaring nyenyak di sebelahnya dengan mata yang membengkak. Giovano langsung teringat tentang semalam, di mana Geovani menceritakan sedikit kisah hidupnya.Ia tidak menyangka, di hidupnya yang ia rasa paling suram, rupanya ada yang lebih kelam lagi. Selain itu, Geovani seorang perempuan, Giovano kagum dengan ketangguhan gadis itu. Ia mengelus puncak kepala Geovani."Kalau lo aja masih bisa semangat jalani hidup, kenapa gue enggak? Makasih, ya, Geo."Tiba-tiba, Geovani membuka matanya. Membuat Giovano sigap menarik tangannya dari kepala Geovani."Lo kok bangun?"Geovani menguap."Jam berapa sekarang? Saya terlambat, ya?" tanyanya masih dengan mata
Redup lampu malam menemani Papa berceramah panjang lebar kepada dua remaja itu di ruang tamu. Tidak, dari pada menceramahi, Papa lebih menyindir Geovani dan mengaitkan kelakuannya dengan kehidupan mamanya, sebelum sempat Geovani menjelaskan detail kejadiannya."Memang benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ibunya murahan, sudah pasti anaknya murahan," gumam Papa dengan nada sinisme.Geovani yang sudah berkeringat dingin hanya bisa menunduk, menyembunyikan lukanya serta terlalu malu dengan Giovano di sebelahnya."Geovani, kalau sampai ada rumor tentangmu yang menjatuhkan harga diri saya, benar-benar tidak akan saya maafkan. Sudah cukup ibumu saja yang hampir menghancurkan hidup saya." Papa berganti menatap Giovano yang sama sekali tidak memasang raut wajah takut. Lalu, kembali berceloteh, "Kamu juga, apa orang tuamu tidak mendidikmu? Ini sudah malam, tidak bagus seorang lelaki mengunjungi rumah perempuan. Coba dengari kata-kata ibu ayahmu, jika mereka orang bai