Tidak diragukan lagi, Bali memang salah satu kota yang teramat cantik. Bahkan, penduduknya terhitung ramah, di samping banyaknya turis dari mancanegara yang berwisata, Bali sendiri memiliki banyak ragam budaya yang tidak pudar terbawa zaman.
Geovani sangat menikmati liburannya. Tidak apa-apa saat ini ia menjadi yang terasing dari keluarga Drea, setidaknya dari sini Geovani akan berusaha membayar semuanya kepada keluarga Drea di masa depan kelak. Apakah ada yang mengira bahwa ia berharap suatu saat nanti mengunjungi kota ini kembali bersama keluarganya? Mamanya? Papanya? Oh, itu salah besar.
Mengapa? Sebab ia tidak ingin mengunjungi kota seindah Bali dengan membawa siaran perdebatan yang tidak lain adalah orang tuanya sendiri. Mengingat wajah mereka saja rasanya sungguh menyayat hati.
Tuhan memang adil. Tidak merasakan hangatnya keluarga, Geovani mendapatkan kehangatan itu dari keluarga sahabatnya. Paling tidak, ia masih dapat bernapas di tengah dinginnya dunia.
"Dor! Mikirin apa lo?" Geovani menjerit ketika Drea menepuk pundaknya tiba-tiba.
"Apa, ya? Tidak tahu juga," Drea mengernyit kesal.
Mereka berdua berada di balkon kamarnya, sedangkan Adinda sedang menonton TV di dalam.
"Nanti malam ke mana, ya?"
"Terserah, saya ikut kamu."
"Oke, deh. Gue tahu tempatnya." Drea mengeluarkan ponselnya, dan mengirim satu lokasi kepada Gumelar.
Tepat sekali, dua hari yang lalu mereka bertukar janji untuk bertemu kembali. Bagi Drea, tentunya tidak mempermasalahkan itu, toh Gumelar terlihat seperti orang baik. Lagi juga menambah relasi pertemanan itu tidak salah, 'kan?
Akan tetapi, lain halnya dengan Geovani yang tidak mempedulikan relasi atau semacamnya, yang penting ada Drea saja.
"Geo, kalau kita punya kenalan orang Bali gini, enak juga, ya? Nanti kalo mau ke sini lagi biar semuanya diurusin dia, hahaha."
"Kenapa begitu? Nanti merepotkan dia."
"Ck! Ya elah, maksudnya kan ... ya, sebagai tamu gitu, ih!"
"Oh, iya. Benar juga. Lain waktu, kalau kita akrab dengan mereka, seminggu dua kali saja ke sini. Lalu, kita bisa sering-sering makan Sate Lilit, Sambal Matah, terus Bebek Gor–hmmpp." Lagi-lagi Drea membungkam mulutnya Geovani.
Kalau bukan sahabat, mungkin Geovani sudah dilempar ke lantai bawah sana.
"Gak segitunya juga, Geoooo!" Percakapan mereka berakhir. Keduanya asik bermain ponsel, mulai dari bermain game online bersama, duet karaoke di aplikasi, membuat boomerang, live streaming di Instagram, dan sebagainya.
Sampai tidak terasa, senja sudah di ujung cahaya biru, sedangkan belum ada satu pun dari mereka yang mandi.
"Geo, mandi duluan sono. Gue lagi ada urusan."
"Kamu saja, kenapa menyuruh saya?"
"Ini, nih, si Gumelar kirim pesan."
"Memangnya tidak bisa ditunda untuk mandi sebentar?"
Pertanyaan Geovani membuat Drea seakan-akan seperti patung yang membatu.
"Atau kalian sudah menjalin hubungan spesial?" Dan, patung itu pecah.
"Apaan, sih, Geo!? Maksudnya, ini lagi bahas agenda kita malam ini, Bodohhhhh!"
"Kenapa dibahas sekarang? Lalu, nanti malam apa yang akan dibahas?"
Drea menghembuskan napas panjang. Ternyata berbicara dengan Geovani membutuhkan kesabaran yang lebih dari kata maksimal, ya. Berarti selama ini ia terhitung orang yang sabar.
"Ini masalah temannya, si Giovano."
Geovani berdecak sebal. Ia pun berdiri dan melenggang masuk ke dalam.
Drea: “Jadi maksud lo dia ke sini gak bawa apa-apa?”
DanielG: “Lebih tepatnya disuruh abdi, Teh.”
Drea menautkan alisnya heran dengan sosok temanya Gumelar itu. Bisa-bisanya ucapan bodoh Geovani tadi sudah ada yang menerapkan. Di samping itu, ada hal lain yang lebih membuatnya kepikiran.
***
"Ahh, Dre ... saya tipe orang yang malas menunggu lama, loh. Mengapa kita sampai lebih awal, sih?"
"Bohong banget 'malas menunggu lama', yang kemarin nunggu Daniel enam tahun apaan?" elak Drea dalam hati sambil memandang geram Geovani.
"Biar gak canggung aja gitu kalo kita yang lebih dulu sampai. By the way, lo tahu gak? Kata Gumelar, temannya itu anak Daksa Jingga juga, malah angkatan kita. Lo ngerasa kenal, gak?"
Daksa Jingga adalah nama SMA mereka, sekaligus SMP karena satu gedung.
Geovani mengingat-ingat masa SMA-nya yang baru saja ditutup dengan peristiwa memalukan. Ah! Ia langsung menutup wajahnya malu.
"Saya tidak mau mengingat hari di mana harga diri saya terinjak kaki sendiri!"
"Hai, Dre!" Sontak, keduanya langsung menoleh ke sumber suara. Geovani yang awalnya menutupi wajah pun sudah bersikap normal kembali mendapati Gumelar dan temannya sudah datang.
"Hai! Duduk, duduk," ujar Drea mempersilakan mereka duduk di hadapannya. Sebelum duduk, Gumelar dan temannya di belakang bergantian berjabat tangan dengan Drea dan Geovani.
"Waduh, udah nunggu lama nih, ya?" Cipika-cipiki Gumelar mengawali pembicaraan.
"Ah ... baru aja sampai, kok," balas Drea ramah.
"Bukannya kita sampai sejak satu setengah jam yang lalu, Dre?" Drea melotot menatap tajam sahabatnya, walau disertai senyuman menyeringai. Benar-benar, sepertinya minta dihajar mulut Geovani ini.
"Kayaknya kita langsung pesan aja, yuk? Haha ... Geo, lo suka pedes kan? Pas banget, gue pesenin sambal satu mangkok aja, ya. Dan, gue mau bebek goreng, deh. Minumannya teh manis dingin aja. Kita udah, kalian apa?"
Gumelar dan temannya yang masih membalut wajahnya dengan masker saling bertukar tatap ketika disodori menu makanan. Mereka akhirnya memilih hidangannya.
Tidak membutuhkan waktu lama, pesanan sudah datang. Mereka berempat makan dengan lahap dan selesai dengan cepat.
"Omong-omong, ini jadi kayak reunian ya, Dre," tukas Gumelar tiba-tiba mengundang perhatian ketiga orang sekelilingnya.
"Ya? Enggak tau, sih. Gue bahkan gak kenal nama 'Giovano', loh. Dulu lo kelas apa?" tanya Drea mengalihkan pandangan ke teman di samping Gumelar yang bernama Giovano.
"Hahaha, dia mah budak kalem, pasti gak ada yang kenal, ya, Van," ledek Gumelar sambil menyikut lengannya, lalu disusul gelak tawa laki-laki itu.
Berbeda dari Drea yang hanya cengengesan, Geovani lebih memilih menghabiskan sisa es teh manisnya sambil memainkan ponsel.
"Ck! Berisik!"
Deg!
Mata Geovani membulat. Sejurus kemudian, ia menatap seseorang yang baru saja mengeluarkan suara, yaitu Giovano. Tidak ada bentakan dalam suaranya, pun bernada datar, tetapi tiba-tiba saja Geovani merasa familiar dengan suaranya. Mereka yang duduk bersebrangan, hanyut dalam tatapan masing-masing yang bertumpuk. Walau terlihat seperti mata elang, tatapan Giovano justru semakin mengunci mata Geovani."Tuh, kan, mau mengelak dia." Gumelar masih saja meledek Giovano dan mengundang gelak tawa Drea, sedangkan kedua insan itu masih saling membatu.
"Jadi, lo kelas berapa?" tanya Drea mengulang lagi, membuat Giovano tersadar dan mengalihkan pandangan.
"Dua belas Bahasa Empat," ujarnya singkat.
"Anu, malam semakin larut. Saya dan Drea pamit pulang." Geovani berdiri, lalu membungkukan badan.
"Loh?! eh?!" Dengan kekuatan hero, Geovani menarik lengan Drea, mengajaknya ke kasir untuk membayar semua itu, kemudian berlalu pulang.
Di tempat mereka tadi, Gumelar yang masih menganga lekas menutup mulut. Ia menghabiskan es teh manis milik Drea dan Geovani yang masih tersisa. Menurutnya, sayang sudah dibeli. Di sampingnya, Giovano yang masih membalut separuh wajahnya dengan masker, seperti biasa memasang wajah datar, sekalipun sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.
***
Satu Minggu lebih sudah Geovani menginjakan kakinya di Bali. Segala macam kuliner sudah ia cicip bersama Drea. Kini, tibalah saat mereka harus kembali ke kota asal."Eh!!? Geo, Geo, Geo!!! Sini, deh!" Geovani yang sangat sibuk mengurusi kopernya tidak terlalu fokus dengan suara Drea. Hingga akhirnya Drea mengulurkan layar ponselnya tepat ke depan wajah Geovani."Apa ini?""Ini Gumelar lagi nunggu kita di pantai, mau ucapin salam perpisahan kali. Yuk, ke sana!""Ih, lebay banget, sih. Kamu saja sana, saya sibuk.""Gak mau! Pokoknya lo anterin gue, Geo, anterin gueeeeee!" Percakapan itu pun berulang-ulang sampai Drea merasa jengah dan membuka kartunya sendiri."Gue jadian sama Gumelar!" Sontak, Geovani langsung menoleh menatapnya. Melihat Drea yang berwajah merah, sudah dipastikan ia tidak sedang berbohong."Sejak kapan?""Setelah kita makan malam p
"Geoooo! Lo udah baca chat grup?!"Drea langsung berlari mengejar Geovani usai turun dari mobilnya. Mereka berdua menempati gedung yang sama lagi untuk belajar. Walau begitu, tidak akan sering mereka berpapasan saat memasuki kampus, bisa jadi Drea yang lebih awal datang atau Geovani yang menaiki ojek online dahulu."Sudah! Saya jadi kesulitan tidur semalam! Ditambah lagi dia satu jurusan sama kita." Sambil melanjutkan langkahnya, mereka terkekeh. Tentu saja yang mereka maksud adalah Daniel."Bisa jadi ini kesempatan lo buat dapat Daniel," celetuk Drea membuat hati Geovani berbunga-bunga. Pipinya pun bersemu malu kepada hal yang belum jelas kebenarannya."Ih!? Pipi lo merah," ledek sahabatnya itu sambil menunjuk wajah Geovani. "Huaaa! Andai aja Daniel-nya gue juga di sini.""Maksud kamu Daniel Gumelar?""Ya, siapa lagi?""Bukannya kamu belum menceritakan
Giovano meletakan dua gelas berisi teh hangat di atas etalase. Lalu, laki-laki itu mengambil dua bangku dan menyerahkan salah satu ke seorang gadis yang tidak lain adalah Geovani."Apa ini?""Duduk." Seperti terhipnotis, Geovani langsung menduduki salah satu bangku itu. Ia sendiri pun kaget mengapa dirinya mengikuti perintah Giovano?"Nih." Giovano menyerahkan segelas teh hangat tadi, membuat Geovani makin mengernyit heran.Hubungan mereka tidak sedekat itu, bahkan bisa dibilang tidak pernah kenal jika saat di Bali lalu tidak bertemu Gumelar. Lantas, mengapa Giovano memberinya teh? Atau jangan-jangan ada serbuk racun yang dilarutkan dalam teh itu? Pikiran buruk Geovani mulai mengepul di kepalanya, ia buru-buru mengendus-endus aroma teh itu, meneliti warna serta kandungan di dalamnya."Kenapa, sih?" tanya Giovano risih."Ini untuk saya, kan? Saya harus memastikan kalau teh ini be
"Dek?"Suara seseorang membangunkan Giovano dari tidur ayamnya. Matanya langsung membuka dan tersadar bahwa dirinya hampir terlelap di jam kerja. Saat ini ia menggantikan temannya yang bekerja menjadi penjaga toko baju.Kegiatan di kampus yang cukup menguras tenaga, ditambah satu jam yang lalu toko ini sangat ramai membuat laki-laki itu kehabisan stamina."Ah ... maaf, Bang," tukasnya seraya mengusap wajah."Ngantuk, ya? Cuci muka dulu sana." Giovano mengangguk, kemudian beranjak ke kamar mandi toko."Dia siapa, sih?""Temannya si Irfan, gak tahu gue juga.""Bisa-bisanya gantiin kerja tanpa daftar, interview, dan berurusan dengan atasan.""Katanya dia gantiin si Irfan hari ini doang, nanti dibayar sama Irfan.""Hadeh ... kalau gue gak punya hutang sama Irfan mah udah gue laporin."
Langkah tegap Giovano menghiasi kesunyian malam. Setelah bekerja sebagai kuli angkut di pasar sejak pagi tadi, bahunya terasa amat pegal, bahkan hampir keram. Sepanjang jalan ia mengelus belikatnya.Seberat inikah hidupnya, Tuhan? Dituntut keluarga, tetapi juga diasingkan dari hangatnya kasih sayang. Diperintah menjadi yang paling bisa di atas banyaknya kekurangan. Mampukah ia menjadi penyangga kokoh ketika separuh dari dirinya sudah rapuh? Namun, jika ia patah, bagaimana dengan nasib saudarinya? Bagaimana dengan keharmonisan rumah tangga yang ia impikan? Semesta seolah tidak memberikan jeda sejenak untuk laki-laki itu beristirahat. Seakan-akan ia diberi dua pilihan, antara bertahan dengan sulitnya di medan perang yang entah kapan berakhir, atau mengakhiri semuanya tanpa kemenangan apa pun.Giovano teringat dengan ayahnya. Ksatria tanpa kuda yang akan selalu melindungi tanpa tameng, di mana kehadiran sosok itu? Kata orang, ayah adalah super
"Terserah kamu, deh, aku gak peduli!"Tuuuut!Drea langsung menutup sambungan telepon bersama kekasihnya, Gumelar. Kali pertama menjalani hubungan jauh memang sangat menguras emosi baginya. Pasalnya, sering sekali akun sosial media Gumelar ditag gadis lain yang meng-upload foto bersamanya. Perempuan mana yang tidak geram melihat pasangannya bersanding dengan perempuan lain?Terlebih lagi, akhir-akhir ini Gumelar sulit dihubungi, membuat pikiran-pikiran buruk berdatangan."Ugh! Dasar cowok jelek!!!" teriak Drea memaki Gumelar setelah melihat foto mereka bersama saat di Bali."Oh iya ... Giovano kan teman dekatnya Gumelar. Apa gue tanya dia aja, ya?" bisik Drea sambil mencari kontak Giovano yang sempat dikasih Gumelar untuk jaga-jaga kalau ponselnya mati saat memiliki janji dengannya di Bali.Drea: “Gio?”Giovano: “Siapa?”
Geovani menatap layar ponselnya penuh duka. Sebuah snap di sosial media Erlangga Daniel yang menampilkan sepasang tangan dengan cincin couple yang saling bertaut satu sama lain."Apaan, sih, sok-sokan galau lo, Geo," celetuk Drea dari karpet bawah.Sejak pulang dari kampus tadi, Drea bermain di rumah Geovani. Ia juga izin untuk menginap."Diam, deh.""Geo, sebenernya lo tuh cuma sekadar kagum aja tau sama Daniel. Percaya, deh, kelihatan.""Ya, memang saya kagum.""Maksud gue, kagum sama prestasi dia, kagum sama kharisma dia, gitu doang. Enggak sampai yang suka terus bikin lo jadi bucin. Bisa dibilang, lo kesugesti aja sama perasaan lo. Buktinya, lo enggak ada niatan buat miliki dia, kan?""Sok tahu! Waktu itu kan sudah pernah, Drea, tetapi saya salah orang. Malah ... ke Giovano," lirih Geovani sedikit tersipu."Banyak kesempatan. Tapi, lo sengaja nunda-nunda. Cuma ngejar dia, bilang ke satu dunia lo suka sama dia, padahal lo cuma
"Makasih ya, Bang," ucap Giovano setelah Mark—temannya—membayar pemuda itu atas kerjanya."Yo, gue juga makasih banyak."Giovano pamit dan beranjak pulang. Untungnya, hujan deras tadi sudah reda, hanya menyisakan genangan-genangan sendu. Ia memasukan uang dari Mark ke dalam dompetnya. Kosong melompong. Benar-benar tidak ada selembar uang pun selain uang yamg baru saja didapat. Jelas begitu, setiap mendapat bayaran, ia langsung menyerahkannya untuk kedua adik perempuannya.Giovano mengulet.Andai saja jika ia memiliki pekerjaan tetap, walaupun gajinya kecil, setidaknya bisa mencukupi satu Minggu."Gio!" Teriakan dari belakang membuat Giovano berbalik badan.Mark mengejarnya dengan membawa kantung plastik hitam di tangannya."Eh, kenapa, Bang?""Ini, Nayla sama Kayla pasti belum makan, kan? Nih, lo makan bareng mereka.""Wih, makasih, Bang.""Udah, ya, gue balik. Hati-hati lo," ucap Mark menutup perbincangan, lalu be