“Brengsek!” Elina mengepalkan kedua tangannya ketika dia melihat Andy, pria yang sudah menyakiti hati sahabatnya sedang duduk di salah satu cafe yang terletak tidak jauh dari tempatnya berada. Melihat sosoknya seketika membuat amarah dalam dirinya langsung memuncak. Elina merasakan kekesalan yang begitu mendalam melihat pemandangan itu. Terlebih lelaki itu tidak seorang diri di sana. Dia duduk bersama kekasih barunya, dan Andy terlihat begitu bahagia. Elina tidak habis pikir bagaimana pria itu bisa begitu bahagia sementara Ivana masih berjuang untuk melewati rasa sakit setelah putus dengannya? Melihat mereka bersama, membuat Elina semakin merasa kesal. Elina tidak bisa tinggal diam. Dengan langkah mantap, dia memutuskan untuk menghampiri kafe tempat Andy berada bersama kekasih barunya. Dalam hati, Elina bertekad memberinya pelajaran karena telah menyakiti Ivana. Dia mengetahui bahwa ini saat yang tepat untuk memberikan pelajaran pada Andy. Andy tampak tidak menyadari keberadaan Elina
Elina terus berjalan sambil memikirkan mengenai kejadian yang baru saja terjadi. Dia masih tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau sampai Ivana menyaksikan kejadian tadi. Pasti wanita itu akan sangat terluka melihatnya. Aku sudah melakukan hal yang benar. Dengan begini, setidaknya aku bisa merasa lega karena sudah membalas Andy. Walaupun sebenarnya masih kurang… kenapa aku hanya menamparnya satu kali tadi? Coba kalau aku tampar dua sampai tiga kali lagi, aku akan benar-benar merasa puas. Angin sepoi-sepoi menyapanya, tetapi pikirannya terus melayang pada sesuatu yang mengusik ketenangannya. Keningnya berkerut, dan matanya nampak kehilangan fokus menyebabkan langkah kakinya semakin tak teratur. Elina terus berjalan tanpa sadar bahwa dirinya sudah berada di tepi jalan, dan siap menyeberang. Karena tidak fokus, Elina jadi sama sekali tidak menoleh ke kanan dan kiri saat dia hendak menyeberang. Elina hampir saja mengalami kecelakaan karena terlalu terlena dengan pemikirannya. Sebu
"Siapa sangka kita bisa bertemu di sini setelah insiden kemarin?" "Ya, benar-benar kebetulan.” “Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" "Baru saja berbelanja. Hendak kembali ke apartemen.” Elina mengangkat kantong belanjaannya. "Jadi, kau tinggal di sekitar sini?" "Iya, apartemenku tidak jauh dari sini." "Oh.., pantas saja kau ada di sekitar sini. Omong-omong sepertinya kamu membawa banyak barang. Perlu aku bantu? Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang?” Dariel mengalihkan pembicaraan ketika dia melihat Elina yang tampak bersusah payah membawa semua barang belanjaannya. "Tidak perlu repot-repot. Aku bisa pulang sendiri." Elina menggelengkan kepalanya. "Tidak masalah, aku senang membantu. Lagipula, aku sedang tidak terlalu sibuk saat ini." "Baiklah, kalau begitu terima kasih, Dariel." Dariel dengan segera mengambil barang belanjaan di tangan Elina guna membantunya. “Kau tahu, orang bilang kalau dua orang bertemu secara kebetulan sebanyak tiga kali, itu artinya mereka memang sud
“Apa yang ingin kau tanyakan?” Elina menatap penuh penasaran pada Dariel yang sekarang memasang wajah serius. “Di apartemen mana kau tinggal? Aku harus tahu agar bisa mengantarkanmu, kan?” “Oh! Benar. Aku lupa memberitahumu…” Elina terkekeh. Dia baru ingat bahwa sejak tadi dia sama sekali belum menjelaskan dimana dirinya tinggal. Elina lalu bergerak di samping Dariel. Mendampinginya sambil kembali mengobrol. Saat mereka melanjutkan perjalanan, Elina tidak bisa menghapus senyuman dari wajahnya. Dariel, si polisi yang tampan dan berwibawa telah memberinya pengalaman yang tak terlupakan untuknya. "Ternyata jadi polisi itu menarik juga, ya?" ucap Elina sambil mengalihkan pembicaraan. "Terkadang memang begitu. Tapi tentu saja tidak semua hari seindah ini." Dariel tertawa menanggapi kalimatnya. “Kau benar-benar pahlawan sejati." "Jangan memujiku berlebihan. Aku hanya melakukan tugasku.” “Tapi kau sungguh keren, tadi!” “Benarkah? Terima kasih atas pujianmu.” Pertemuan dengan Dariel e
Dariel menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah apartemen tempat Elina tinggal; memperhatikan bangunan itu dengan seksama. Tak lama kemudian perhatiannya beralih pada buku catatan kecil yang baru saja dia keluarkan dari dalam kantongnya. Dariel membuka halaman yang sudah diberikan tanda olehnya. Di catatan itu tertulis sebuah kalimat penuh misteri yang sampai sekarang masih mencoba untuk dia selidiki. ‘26-10-22. 01.32 PM Sebuah kebakaran terjadi di gedung utama E-tech. 145 korban meninggal, 70 korban luka-luka, dan 10 diantaranya mengalami gangguan pernapasan parah akibat terlalu banyak menghirup asap. Korban utama dalam insiden ini adalah Jaxon Emberglow, 29 tahun. CEO perusahaan E-Tech. Menurut laporan kepolisian, sebelum meninggal, Jaxon sempat mengalami penganiayaan di kantornya hingga mengalami pendarahan cukup parah. Setelah dilakukan otopsi, dan olah TKP, ada banyak luka pada tubuh korban. Hal ini menyebabkan dugaan polisi terhadap penganiayaan yang dialaminya semakin ku
Beberapa bulan yang lalu… Dariel menggeser perlahan mobil patroli di sudut gelap pinggir kota, mengawasi sebuah pertemuan gelap yang berlangsung di luar pandangan umum. Di bawah sorotan lampu jalanan yang remang-remang, sekelompok orang berkumpul, membaur dengan bayang-bayang yang mencurigakan. Dariel memandang dengan serius, tangan kanannya sudah siap memegang pistolnya yang tersembunyi di balik jaket. "Tidak ada ruang untuk kesalahan," bisik Dariel kepada rekan setimnya, Alex, yang duduk di sebelahnya. Mereka berdua sudah merencanakan penangkapan ini selama berminggu-minggu. Saat mereka bersiap-siap melangkah keluar dari mobil, cahaya bulan penuh menerangi jalanan dan menyelimuti kota dalam keheningan malam. Mereka mendekati kelompok tersebut dengan langkah hati-hati. Mereka bisa merasakan detak jantung mereka yang semakin intens. Berpacu dengan begitu cepatnya. Merasakan adrenalin yang begitu menantang ketika atmosfer di sekitar terasa begitu mencekam. Namun kelompok tersebut leb
Dariel memandang tajam ke arah tersangka yang duduk di hadapannya, ruangan interogasi penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. "Katakan yang sejujurnya, dimana anak buahmu yang lain!" ujar Dariel dengan penuh keyakinan. Tersangka, yang tampak lesu namun tetap membentengi dirinya, menjawab dengan tajam, "Aku sudah katakan, tidak ada yang tersisa. Semua sudah tertangkap. Aku berkata jujur." Dariel tersenyum tipis, mengambil sebuah buku catatan dari meja di depannya. "Apa kau yakin bahwa tidak ada yang kau sembunyikan? Aku menemukan ini di lokasi tempat kau beroperasi, dan aku tidak sengaja melihat bayangan seseorang yang melintas ketika kami sedang menangkapmu. Tapi begitu aku mengejarnya, sosok itu sudah menghilang, dan hanya meninggalkan buku ini di tanah. Sepertinya ini terjatuh," kata Dariel sambil meletakkan buku itu di antara mereka. Tersangka menggeleng mantap. "Aku tidak tahu apa-apa tentang buku itu. Mungkin milik orang lain yang lewat di sana. Aku tidak punya waktu untuk
Saat ini… Dariel masih diam termangu sambil memandang keluar jendela. Pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan yang terus bermunculan mengenai siapa sosok pemilik buku yang ditemukannya saat itu. Bahkan sejak kejadian itu, segala sesuatu yang tertulis di buku catatan itu menjadi nyata, dan pada akhirnya Dariel serta rekan anggotanya yang lain menggunakan buku itu sebagai pegangan mereka agar mereka bisa mencoba menghentikan setiap bencana di masa depan terjadi. “Sudah sangat lama kita mencari tapi kita tidak pernah sekalipun menemukan petunjuk mengenai pemilik buku itu. Bahkan kita sudah mendatangi setiap orang yang tertulis di sana, namun hasilnya tetap sama. Tidak ada seorangpun dari mereka yang tahu tentang pemiliknya, kan? Bahkan kita juga mencoba mengecek keterlibatan antara tersangka yang satu dan yang lain, dan mereka sama sekali tidak memiliki hubungan atau keterlibatan apapun. Bisa dikatakan orang-orang pelaku kejahatan di buku itu tertulis secara acak.” Gr