Elina memandang Ivana dengan tekad di matanya, "Jangan khawatir, Ivana. Aku akan bicara dengan Andy dan memberinya pelajaran yang pantas. Aku tidak akan membiarkan lelaki brengsek seperti dia merusak hidup sahabatku." “Sekali lagi, terima kasih, Elina. Aku benar-benar beruntung memiliki teman seperti kamu." Ivana tersenyum lemah. Setelah memberi dukungan pada Ivana, Elina lantas mengajaknya untuk makan siang bersama. Mereka menghabiskan waktu makan siang bersama di kafetaria sambil Elina sesekali bercanda untuk menghibur sahabatnya agar tidak sedih lagi. Setelah selesai makan siang, Elina mengajak Ivana untuk keluar kantor sebentar guna menghirup udara luar. Masih ada waktu sebelum jam makan siang berakhir. "Mari kita fokus pada dirimu sendiri sekarang. Berhenti memikirkan Andy, dan mari nikmati hidup yang berharga ini." Ivana mengangguk setuju, mencoba melepaskan beban yang ada di benaknya. "Kalau di pikir-pikir, ucapanmu ada benarnya juga. Rasanya sudah lama aku tidak berfokus pad
Seperti yang sudah di janjikan, sepulang kerja Elina dan Ivana akhirnya pergi berkunjung ke salah satu kedai es krim kesukaan mereka. Mereka menikmati suasana di sana setelah seharian bekerja. Di meja dekat jendela, mereka menyeruput es krim yang telah dipesan, sesekali tertawa dan bercanda. Ketika sedang asyik mengobrol, dan bercanda ringan. Elina, sambil menyantap es krim cokelatnya, tiba-tiba teringat kejadian ketika mereka baru saja kembali ke kantor setelah jam makan siang. Elina jadi teringat akan benang takdir milik Ivana yang terhubung dengan George. Karena merasa ini adalah momen yang tepat untuk bertanya pada Ivana, Elina lantas memberanikan diri mengubah topik pembicaraan ke arah lain. Elina berdehem sebelum akhirnya berkata, "Ivana, bagaimana menurutmu tentang George?" "George?” Ivana mengerutkan kening begitu pertanyaan itu terlontar dari mulut sahabatnya. Sambil menyendok es krim dan melahapnya, dia menjawab, “Dia pria yang baik, ramah, perhatian, dan sangat pengertian.
"Semoga Ivana bisa membuka hatinya lagi," gumam Elina pelan. Waktu berlalu, dan hari semakin gelap. Usai menikmati es krim dengan Ivana di kedai tempat favorit mereka, Elina lantas memutuskan untuk pulang. Mereka akhirnya berpisah di kedai tersebut. Sepanjang perjalanan menuju rumah, Elina terus teringat akan kejadian yang dialami oleh Ivana. Elina terus membayangkan bagaimana hancurnya perasaan Ivana begitu mengetahui Andy yang sangat dicintainya ternyata memilih untuk meninggalkannya hanya demi wanita lain. Ivana pasti sangat terpukul dengan semua yang dialaminya. Suasana langit jingga dan dinginnya udara sore itu menciptakan latar belakang misterius dalam benak Elina. Entah kenapa secara tiba-tiba dia jadi kepikiran momen setelah mereka kembali ke kantor saat jam makan siang usai. Pikiran Elina tiba-tiba saja melayang, dia jadi kepikiran tentang benang takdir Ivana yang terhubung dengan George. Pada awalnya dia sama sekali tidak sadar dengan semua itu. Makanya ketika mendengar pen
“Brengsek!” Elina mengepalkan kedua tangannya ketika dia melihat Andy, pria yang sudah menyakiti hati sahabatnya sedang duduk di salah satu cafe yang terletak tidak jauh dari tempatnya berada. Melihat sosoknya seketika membuat amarah dalam dirinya langsung memuncak. Elina merasakan kekesalan yang begitu mendalam melihat pemandangan itu. Terlebih lelaki itu tidak seorang diri di sana. Dia duduk bersama kekasih barunya, dan Andy terlihat begitu bahagia. Elina tidak habis pikir bagaimana pria itu bisa begitu bahagia sementara Ivana masih berjuang untuk melewati rasa sakit setelah putus dengannya? Melihat mereka bersama, membuat Elina semakin merasa kesal. Elina tidak bisa tinggal diam. Dengan langkah mantap, dia memutuskan untuk menghampiri kafe tempat Andy berada bersama kekasih barunya. Dalam hati, Elina bertekad memberinya pelajaran karena telah menyakiti Ivana. Dia mengetahui bahwa ini saat yang tepat untuk memberikan pelajaran pada Andy. Andy tampak tidak menyadari keberadaan Elina
Elina terus berjalan sambil memikirkan mengenai kejadian yang baru saja terjadi. Dia masih tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau sampai Ivana menyaksikan kejadian tadi. Pasti wanita itu akan sangat terluka melihatnya. Aku sudah melakukan hal yang benar. Dengan begini, setidaknya aku bisa merasa lega karena sudah membalas Andy. Walaupun sebenarnya masih kurang… kenapa aku hanya menamparnya satu kali tadi? Coba kalau aku tampar dua sampai tiga kali lagi, aku akan benar-benar merasa puas. Angin sepoi-sepoi menyapanya, tetapi pikirannya terus melayang pada sesuatu yang mengusik ketenangannya. Keningnya berkerut, dan matanya nampak kehilangan fokus menyebabkan langkah kakinya semakin tak teratur. Elina terus berjalan tanpa sadar bahwa dirinya sudah berada di tepi jalan, dan siap menyeberang. Karena tidak fokus, Elina jadi sama sekali tidak menoleh ke kanan dan kiri saat dia hendak menyeberang. Elina hampir saja mengalami kecelakaan karena terlalu terlena dengan pemikirannya. Sebu
"Siapa sangka kita bisa bertemu di sini setelah insiden kemarin?" "Ya, benar-benar kebetulan.” “Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" "Baru saja berbelanja. Hendak kembali ke apartemen.” Elina mengangkat kantong belanjaannya. "Jadi, kau tinggal di sekitar sini?" "Iya, apartemenku tidak jauh dari sini." "Oh.., pantas saja kau ada di sekitar sini. Omong-omong sepertinya kamu membawa banyak barang. Perlu aku bantu? Bagaimana kalau aku mengantarmu pulang?” Dariel mengalihkan pembicaraan ketika dia melihat Elina yang tampak bersusah payah membawa semua barang belanjaannya. "Tidak perlu repot-repot. Aku bisa pulang sendiri." Elina menggelengkan kepalanya. "Tidak masalah, aku senang membantu. Lagipula, aku sedang tidak terlalu sibuk saat ini." "Baiklah, kalau begitu terima kasih, Dariel." Dariel dengan segera mengambil barang belanjaan di tangan Elina guna membantunya. “Kau tahu, orang bilang kalau dua orang bertemu secara kebetulan sebanyak tiga kali, itu artinya mereka memang sud
“Apa yang ingin kau tanyakan?” Elina menatap penuh penasaran pada Dariel yang sekarang memasang wajah serius. “Di apartemen mana kau tinggal? Aku harus tahu agar bisa mengantarkanmu, kan?” “Oh! Benar. Aku lupa memberitahumu…” Elina terkekeh. Dia baru ingat bahwa sejak tadi dia sama sekali belum menjelaskan dimana dirinya tinggal. Elina lalu bergerak di samping Dariel. Mendampinginya sambil kembali mengobrol. Saat mereka melanjutkan perjalanan, Elina tidak bisa menghapus senyuman dari wajahnya. Dariel, si polisi yang tampan dan berwibawa telah memberinya pengalaman yang tak terlupakan untuknya. "Ternyata jadi polisi itu menarik juga, ya?" ucap Elina sambil mengalihkan pembicaraan. "Terkadang memang begitu. Tapi tentu saja tidak semua hari seindah ini." Dariel tertawa menanggapi kalimatnya. “Kau benar-benar pahlawan sejati." "Jangan memujiku berlebihan. Aku hanya melakukan tugasku.” “Tapi kau sungguh keren, tadi!” “Benarkah? Terima kasih atas pujianmu.” Pertemuan dengan Dariel e
Dariel menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah apartemen tempat Elina tinggal; memperhatikan bangunan itu dengan seksama. Tak lama kemudian perhatiannya beralih pada buku catatan kecil yang baru saja dia keluarkan dari dalam kantongnya. Dariel membuka halaman yang sudah diberikan tanda olehnya. Di catatan itu tertulis sebuah kalimat penuh misteri yang sampai sekarang masih mencoba untuk dia selidiki. ‘26-10-22. 01.32 PM Sebuah kebakaran terjadi di gedung utama E-tech. 145 korban meninggal, 70 korban luka-luka, dan 10 diantaranya mengalami gangguan pernapasan parah akibat terlalu banyak menghirup asap. Korban utama dalam insiden ini adalah Jaxon Emberglow, 29 tahun. CEO perusahaan E-Tech. Menurut laporan kepolisian, sebelum meninggal, Jaxon sempat mengalami penganiayaan di kantornya hingga mengalami pendarahan cukup parah. Setelah dilakukan otopsi, dan olah TKP, ada banyak luka pada tubuh korban. Hal ini menyebabkan dugaan polisi terhadap penganiayaan yang dialaminya semakin ku