Elina sejak kecil memiliki kemampuan untuk melihat benang merah pengikat takdir milik semua orang yang dilihatnya. Elina tidak ingat bagaimana pertama kali kemampuannya itu muncul, namun yang jelas dia tidak pernah memiliki kehidupan yang normal seperti perempuan lain. Dengan kemampuannya itu, Elina selalu bisa melihat takdir seseorang. Menyaksikan bagaimana alur hubungan, dan menyaksikan bagaimana suatu kehidupan dimulai serta berakhir.
Selama ini, tidak pernah ada yang tahu mengenai kemampuannya. Termasuk kedua orang tuanya sendiri. Itu karena tidak pernah ada yang percaya dengan apa yang Elina katakan saat dia membahas mengenai kemampuannya. Orang-orang selalu menganggap Elina berhalusinasi setiap kali dia mencoba mengatakan mengenai keistimewaannya, dan tidak jarang juga orang-orang menganggap Elina aneh karena selalu mengatakan dia bisa melihat benang takdir seseorang. Sejak saat itu, Elina memutuskan untuk tidak pernah membahas mengenai kemampuannya pada siapapun. Dia pikir mungkin ini adalah anugerah tuhan yang harus dia rahasiakan, jaga, dan syukuri.
Dengan tidak pernah mengatakan mengenai kemampuannya pada siapapun, Elina akhirnya bisa beradaptasi dengan lingkungan, dan bisa memulai kehidupan seperti perempuan normal pada umumnya.
Walaupun Elina memiliki kemampuan istimewa untuk melihat takdir seseorang, Elina tetap memiliki kekurangan. Satu-satunya orang yang takdirnya tidak bisa dia lihat adalah dirinya sendiri. Sejak Elina sadar dengan kemampuannya, Elina juga baru sadar kalau dia tidak bisa melihat takdirnya.
Elina sudah berulang kali mencari cara agar dia bisa melihat takdirnya. Tapi semua usahanya gagal. Dan ketika dia putus asa untuk mencoba melihat takdirnya, Elina malah mengalami hal tak terduga yang membuat benang takdirnya muncul. Lalu apa yang terjadi membuat Elina sungguh tidak menyangka bahwa orang yang terikat dengan takdirnya adalah Alvin.
Di antara banyaknya pria di dunia ini, kenapa harus Alvin? Kenapa harus lelaki seperti dia yang takdirnya terikat denganku? Tidak bisakah kalau aku menawar pada takdir, dan meminta agar takdir menggantinya dengan pria lain? Elina membatin. Wanita itu termangu sambil memandangi benang yang terikat di jarinya.
Perhatian Elina mendadak buyar ketika petugas administrasi memanggil namanya. Elina spontan menoleh padanya yang mengatakan kalau pembayaran sudah berhasil, dan mereka akan segera memindahkan Alvin ke ruang rawat khusus seperti permintaannya. Untuk sementara ini dokter menyarankan agar Alvin tetap berada di rumah sakit.
“Terima kasih,” ujar Elina sambil tersenyum. Dia lalu memasukkan kartu kreditnya ke dalam tas, lalu bersiap untuk kembali ke ruang rawat Alvin guna memberitahukan bahwa dia sudah menanggung semua biaya rumah sakitnya. Tapi belum sempat Elina beranjak dari sana, perhatiannya secara tidak sengaja beralih pada layar televisi besar yang ada di sana. Televisi itu saat ini menyiarkan sebuah siaran berita yang membahas mengenai sebuah kecelakaan mobil yang dialami seorang lelaki yang kecelakaannya terjadi semalam.
Elina terdiam di sana sambil menonton siaran itu, ada sesuatu yang menyita perhatiannya dari berita yang disiarkan.
Kecelakaan yang dibahas dalam siaran berita itu terjadi di jalan yang posisinya tidak terlalu jauh dari Jc Bar milik Jeremy. Dan bukan hanya itu yang membuat Elina terkejut.
Saat siaran itu menunjukkan kondisi kejadian, mayat yang dibawa dengan menggunakan ambulans secara tidak sengaja menampakkan sesuatu yang membuat Elina mendadak diam. Elina sempat melihat tangan korban kecelakaan itu menjuntai. Dia juga melihat korban menggunakan sebuah kemeja hitam, dan di jarinya, Elina melihat benang merah yang sudah terputus lalu perlahan menghitam.
Entah kenapa melihat kemeja hitam dan benang itu terasa begitu familiar bagi Elina. Dia terdiam sambil mencoba mencari tahu dimana dia pernah melihatnya, sampai akhirnya Elina tersadar akan sesuatu. Dia membelalakkan mata ketika otaknya menggali sisa kejadian semalam ketika dia tidak sadarkan akibat pengaruh alkohol. Walau pun tidak sadar, Elina ternyata masih ingat bahwa dia pernah berteriak pada seorang lelaki di depan bar milik Jeremy, dan memberikan peringatan pada lelaki itu bahwa dia akan meninggal kalau tidak berhati-hati malam itu.
Orang itu…, jadi dia benar-benar mengalami kecelakaan dan meninggal?
*
Corwin: Maaf, tuan. Sepertinya hari ini saya akan sedikit terlambat menjemput tuan karena saya terjebak macet. Ada kecelakaan di dekat Jc Bar.
Alvin terdiam memandangi pesan yang baru saja dia terima dari Corwin—tangan kanan sekaligus orang kepercayaannya di kantor. Alvin baru ingat kalau dia belum memberikan kabar pada Corwin bahwa hari ini dia tidak akan bisa pergi ke kantor. Bergegas Alvin meneleponnya untuk memberikan kabar.
“Tuan, sebentar lagi saya akan sampai—“ ujar Corwin di seberang sana begitu sambungan telepon mereka terhubung.
“Tidak, aku menghubungimu karena aku ingin mengatakan bahwa aku tidak bisa pergi ke kantor.”
“Ng? Tapi kenapa, tuan?”
“Aku mengalami kecelakaan kecil di apartemen. Sekarang aku di rumah sakit, dan sepertinya untuk beberapa minggu kedepan aku tidak akan bisa berangkat ke kantor. Tolong tangani semua pekerjaanku selama aku tidak masuk, dan pastikan berita ini jangan sampai menyebar apalagi sampai ke telinga ayahku. Dia pasti akan sangat cemas.”
“A-anda mengalami kecelakaan? Bagaimana bisa? Apa yang terjadi? Bagaimana kondisi anda sekarang? Di rumah sakit mana anda dirawat? Saya akan pergi kesana sekarang juga!” Corwin berucap dengan cemas. Dia begitu terkejut mendengar kalimatnya barusan.
“Tidak! Jangan kemari. Aku baik-baik saja, jadi kau tidak perlu cemas. Pokoknya lakukan saja apa yang aku katakan padamu. Jangan membantahnya. Aku akan mengabarimu kalau aku benar-benar membutuhkan bantuan darimu, tapi selama aku tidak mengabarimu, jangan menelepon atau mendatangiku.”
“Tapi, tuan…”
“Sudah aku bilang jangan membantah! Aku butuh istirahat yang cukup untuk pemulihan. Maka dari itu tolong tangani semua pekerjaanku di kantor.”
“Baiklah, saya mengerti…”
“Okay, bagus. Sekarang kembalilah ke kantor dan kerjakan tugas yang aku berikan.”
“Tuan…, bagaimana kalau ada rapat penting yang harus anda hadiri secara langsung? Tidak bisakah anda menghadirinya?”
“Beritahukan saja kalau saat ini aku sedang melakukan perjalanan bisnis keluar negeri dan kau diminta untuk menggantikanku menghadiri setiap pertemuan yang ada.”
“Baik.”
“Sudahlah! Aku tutup teleponnya.” Alvin memutuskan sambungan teleponnya sepihak. Alvin merasa lega sekarang karena dia berhasil mencegah Corwin datang menemuinya. Kalau lelaki itu sampai datang dan Elina tahu, maka itu akan menghancurkan semua rencananya untuk bisa dekat dengan Elina. Dan mungkin saja Elina akan menolak untuk merawatnya hingga sembuh.
Kau tidak boleh menghancurkan rencanaku. Kalau kau datang, maka semuanya akan berantakan. Elina tidak akan mau merawatku, dan aku tidak ingin itu terjadi. Bagaimanapun, aku harus bisa membuat Elina terus ada di sisiku. Aku masih belum puas bermain dengannya… Alvin memandangi ruang obrolannya dengan Corwin.
Ia menyeringai, sudah terlintas di benaknya mengenai rencana yang akan dia lakukan guna mendekati Elina dan memastikan wanita itu berada terus di sisinya.
Sebenarnya sudah sejak awal Alvin tertarik dengan Elina. Sejak pertemuan pertama mereka, Alvin sudah merasa kalau Elina adalah wanita yang menarik. Tapi karena Elina yang terus menjaga jarak darinya, Alvin jadi sama sekali tidak memiliki kesempatan sampai berpikir untuk menyerah. Namun kejadian semalam seolah memberikan pertanda baik bagi usahanya untuk mendekati Elina.
Alvin tersadar dari lamunannya begitu dia tak sengaja membaca kembali pesan yang dikirimkan Corwin. Di pesan itu, Corwin mengatakan bahwa ada kecelakaan di dekat Jc Bar, dan itu membuat Alvin penasaran. Alvin lantas beralih, mencoba mencari tahu kecelakaan yang dimaksudnya di internet. Alvin terdiam begitu dia membaca artikel yang membahas mengenai kecelakaan tersebut. Di artikel itu, ada foto korban kecelakaan yang teridentifikasi sebagai salah seorang yang cukup terkenal. Seorang pebisnis yang beberapa waktu lalu sedang ramai jadi perbincangan karena bisnis kafe yang dikelolanya sukses besar, bahkan sampai viral di dunia maya.
“Pria ini…, bukankah dia adalah pria yang semalam?”
***
Tadi malam… “Pak, anda harus berhati-hati atau anda akan mati!” “Hey! Kau sudah gila? Kenapa kau bicara seperti itu padanya? Kau menyumpahinya mati?” kata Alvin dengan wajah kesal. Kali ini apa yang dikatakan wanita itu sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa ditoleransi lagi oleh Alvin. Elina tidak lagi mengatakan hal yang tidak jelas, dia bahkan sampai mengatakan hal yang tidak seharusnya. Kalau aku terus membiarkannya ada di sini, pasti akan terjadi masalah. Elina pasti akan mengatakan hal yang lebih buruk dari ini. Lebih baik aku membawanya pulang sekarang, pikir Alvin yang segera mengangkat tubuh Elina dan membawanya pergi dari sana. “Dia akan mati…” “Diam! Berhentilah bicara seperti itu!” tukas Alvin yang segera membawa Elina menghampiri mobilnya yang terparkir di sana. Alvin lalu membaringkan tubuh Elina di dalam mobil sementara dia menghubungi Corwin, meminta lelaki itu untuk segera datang ke tempatnya berada. Begitu lelaki itu datang dengan menggunakan taksi, Alvin segera
Alvin terdiam sembari memandang jam yang ada di ruang rawatnya. Sudah hampir satu jam berlalu sejak Elina pamit untuk mengurus biaya administrasi. Sejak saat itu juga, wanita itu sama sekali tidak kembali untuk menemuinya, dan hal ini sungguh membuatnya merasa tidak tenang. Apakah jangan-jangan dia melarikan diri? Sial! Aku harus menghubunginya! Alvin mengambil ponselnya, berniat untuk menelepon Elina dan menanyakan keberadaan wanita itu. Dia ingin tahu alasan kenapa Elina tidak kembali setelah membayar biaya administrasi dan kepindahannya ke ruang rawat khusus. Jika benar wanita itu melarikan diri begitu saja, maka Alvin tidak bisa tinggal diam. Dia harus bisa membuat Elina kembali. Alvin jadi semakin tidak tenang, terlebih setelah dia sadar Elina sama sekali tidak menjawab panggilan teleponnya. Bahkan butuh waktu beberapa kali untuknya hingga Elina mau mengangkat panggilannya. “Kau dimana? Jangan bilang kalau kau mau mencoba kabur dari tanggung jawabmu?” kata Alvin begitu sambunga
“Apakah ada yang ingin kau katakan, sayang?” tanya wanita itu pada anak perempuan yang sejak tadi duduk berhadapan dengannya. Anak itu sejak awal sama sekali tidak bisa berhenti memperhatikannya. “Ternyata dokter juga memiliki benang di jari dokter.” “Benang?” Wanita itu mengerutkan kening, tak lama dia melirik pada perempuan berambut cokelat yang duduk di sampingnya. “Ini sering terjadi, dok. Sejak saat itu, dia jadi sering mengatakan hal yang tidak-tidak. Dia bilang kalau dia melihat benang di jari setiap orang yang dilihatnya,” jelas wanita yang menjadi ibunya. Wanita berjas dokter itu menganggukkan kepalanya menyimak kalimat si Ibu. “Jadi kau melihat benang pada jari dokter?” tanyanya lagi. Anak perempuan itu menganggukkan kepalanya. “Kalau begitu, bisakah kau jelaskan lebih detail mengenai benang yang ada di jari dokter ini? Coba kau sebutkan ciri-ciri benangnya seperti apa.” “Benangnya pendek, warnanya ada dua, bagian bawah benangnya berwarna hitam, sedangkan bagian atasnya
“Bagaimana kondisinya?” tanya lelaki itu pada temannya yang sejak tadi menunggu di sana dengan sabar. Pria yang diajaknya bicara seketika menoleh ke arah datangnya suara. “Dia baik-baik saja. Dokter bilang kondisinya sudah membaik, tapi dia masih harus di rawat inap selama beberapa hari.” “Syukurlah. Lega mendengarnya karena dia baik-baik saja. Omong-omong aku membawakan buah untuknya.” Dariel memberikan sekeranjang buah yang dibelinya saat diperjalanan menuju ke sana. Lewis menaruh keranjang buah itu ke atas meja kecil di samping tempat tidur yang ditempati Lila. “Sejak kapan dia tidur?” “Sejak dokter memeriksa kondisinya. Tadinya dia menunggumu, tapi kau terlalu lama datang ke sini sampai dia ketiduran.” “Saat di perjalanan kemari tiba-tiba saja terjadi kasus pencurian. Mau tidak mau aku harus menanganinya lebih dulu.” “Pantas saja kau terlambat.” “Oh! Apakah kau sudah makan siang? Karena buru-buru datang ke sini aku jadi sama sekali tidak sempat makan siang. Kalau kau belum ma
“Na, ini dokter Sven. Selanjutnya, kita akan lebih sering bertemu dengannya.” Wanita berambut cokelat itu tersenyum sambil memperkenalkan lelaki yang berdiri di hadapannya dengan mengenakan jas putih. Pria itu tersenyum sambil membungkuk, tangannya terulur mengusap puncak kepala anak perempuan yang sejak tadi menatapnya. “Hai manis, salam kenal,” sapanya. Tapi belum sempat tangan Sven menyentuh anak itu, dia tiba-tiba saja berteriak histeris sambil berjalan mundur hingga terjatuh di lantai. “Ti-tidak… jangan mendekat. Aku mohon… jangan mendekat… biarkan aku pergi… aku ingin keluar dari sini…” Anak itu berteriak kencang sambil menangis, membuat ibunya yang melihat itu seketika panik dan berusaha untuk menenangkannya. Wanita yang menjadi ibunya itu berjongkok di sampingnya. “A-aku mohon… jangan sakiti aku… aku ingin pulang…” “Na, hey! Sayang, tenanglah. Sayang, dengar, ini mama. Sadarlah. Ini dokter Sven, bukan ‘dia’. Kau tidak perlu takut, dokter Sven tidak akan menyakitimu. Dia aka
Elina membuka kedua matanya perlahan. Hal pertama yang dilihatnya ketika membuka mata adalah langit-langit kamar tempat Alvin dirawat. Elina terdiam untuk sesaat sambil berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya. Tak lama, dia mengalihkan perhatiannya pada hal lain, mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja kemudian mengecek jam yang muncul di sana. “Ternyata sudah pagi, padahal rasanya aku baru saja memejamkan kedua mataku.” Elina bangkit dan bersandar pada sofa. Lagi-lagi dia terdiam sambil menatap ke sekeliling kamar yang masih dalam keadaan gelap. Sejak semalam, hanya ada lampu tidur dengan cahaya remang-remang yang menerangi kamar mereka. Di tengah berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya, Elina tiba-tiba teringat akan mimpi yang baru saja dia alami. Aku jadi kepikiran tentang mimpi yang aku alami. Ini adalah pertama kalinya aku tidak bermimpi buruk tentang anak perempuan dan pria dewasa itu. Tidak, tunggu… mungkin ini yang kedua kalinya? Kalau diingat-ingat lagi, kemarin
“Ka-kau sudah bangun?” “Memangnya ucapanku kurang jelas? Aku sudah membuka mata, lihat? Atau kau berharap aku masih tidur? Kalau begitu, kau harus menemaniku tidur seperti malam itu.” Alvin tersenyum sambil mengeratkan pelukannya hingga membuat Elina semakin sesak akibat pelukan kuat dari tangan berototnya. Sementara itu, kedua matanya mulai terpejam. Elina yang sadar akan hal itu semakin panik, dia segera memberontak dan meminta Alvin untuk melepaskan tubuhnya. “Al, lepaskan aku. Aku tidak memintamu untuk tidur lagi.” “Aku tidak mau. Tidur sambil memelukmu begini lebih nyaman. Coba saja kalau semalam kau menuruti ucapanku untuk tidur bersamaku, aku kan bisa memelukmu, jadi aku bisa tidur lebih nyenyak,” gumam Alvin. Lelaki itu sengaja mengeratkan pelukannya agar Elina tidak bisa memberontak. “Kau benar-benar pria mesum. Lepaskan aku! Biarkan aku pergi.” Elina mulai kesal. Terlebih ketika dia mulai sadar bahwa jantungnya berdebar kencang. Sial. Dia benar-benar selalu mengambil kes
“Memangnya kau tidak memiliki niat untuk memberikan ciuman selamat pagi atau ciuman perpisahan pada suamimu ini?” Alvin tersenyum menggodanya. “Kau sungguh banyak maunya, ya?” komentar Elina sambil memutar matanya; kesal. “Haha…, aku hanya bercanda. Jangan marah seperti itu. Pokoknya jangan sampai lupa membuatkan makanan kesukaanku.” Alvin melepaskan genggaman tangannya dan membiarkan Elina pergi. Wanita itu lantas beranjak meninggalkan Alvin sendirian di dalam kamarnya. Sepeninggalan Elina, Alvin terdiam sambil memandang ke arah pintu keluar. Senyuman terukir di wajah tampannya. Dia sungguh senang karena Elina mau membuatkan makanan kesukaannya. “Pasti hasil masakannya akan sangat enak.” Alvin bergumam pelan. Dia bisa membayangkan bagaimana hasil masakan Elina nanti. Pasti nanti masakannya akan terasa sangat enak, bahkan Alvin merasa hasil masakan Elina semalam lebih enak daripada hasil masakan koki pribadi di rumah keluarganya. Walau sangat senang, Alvin tetap merasa penasaran d