Baskoro menghela napasnya. Ia kasihan melihat Alana yang mengalami masalah yang telah terjadi dalam hidupnya. Pasti sangat sulit menghadapi semua permasalahan yang tak pernah dihadapinya. Pasti gadis tersebut tengah gusar, panik, sedih, dan resah.
“Kamu harus tenang dulu yaa Alana. Saya di sini akan membela kamu,” ucap Baskoro.
“Iya Pak Baskoro. Saya sangat takut, saya benar-benar tidak melakukannya Pak,” ujar Alana dengan yakin menatap Baskoro.
Dari sorot mata Alana terlihat sebuah kejujuran.
“Kamu harus tau situasi yang terjadi. Apa kamu sudah tahu apa dengan situasi yang terjadikan? Saya dengar bukti-bukti pihak kepolisian sudah bisa menjadikanmu sebagai tersangka pelaku kejahatan. Sekarang kamu harus mengatakan semuanya dengan sejujur-jujurnya.”
“Iya Pak. Saya sudah mengatakan yang sejujurnya kalau bukan saya yang menabrak gadis kecil itu. Saya tidak melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan. Saya tidak melakukannya.”
“Apa kamu yakin?”
“Saya sangat yakin Pak.”
“Tapi, bukti mengatakan yang sebaliknya, Alana.”
“Saya memang salah sudah mabuk-mabukkan Pak. Saya terlalu banyak minum sampai tidak terlalu dapat mengingat kejadian malam itu.”
“Jadi kamu tidak mengakui semua yang dituduhkan?”
“Saya tidak akan mengakui semua tuduhan karena bukan saya yang melakukannya.”
“Saya mengerti Alana. Tapi kamu harus tau kalau masalahmu memang sangat pelik dan sudah sampai dikabarkan dimana-mana. Apalagi korbannya keluarga Adiwangsa, tentu kamu tau kan siapa keluarga Adiwangsa. Kamu harus siap mental untuk menghadapi semua tekanan yang ada.”
Alana terdiam. Dia tahu keluarga Adiwangsa, keluarga kaya raya yang memiliki kekuasaan di berbagai aspek. Tidak akan mudah untuknya bisa terlepas dari jeratan hukum.
“Kamu harus tetap konsisten dengan semua pengakuanmu. Jika memang kamu melakukannya akan membuat kasusmu menjadi lebih ringan, tapi jika kamu tidak melakukannya kamu tetap harus berkata yang sama seperti sekarang.” Baskoro mencoba memberikan Alana pengertian.
Alana menatap Baskoro kesal. “Pak Baskoro, anda pengacara saya. Sudah seharusnya anda percaya apa yang saya katakan, saya benar-benar tidak melakukannya.”
“Iya sebagai pengacara Alana tentu akan saya bela sampai akhir di pengadilan, tapi saya harus mengetahui semuanya tanpa terkecuali. Bagaimana saya bisa membela kamu kalau kamu tidak kooperatif.”
Alana terdiam. Ia sudah salah membuat Baskoro kesal. “Iya Pak.”
“Setelah ini kita bicara lagi dengan pihak penyidik.”
Alana menganggukan kepalanya. Ia berharap sang pengacara mampu membuktikan kalau ia tidak bersalah atas kejadian tragis tersebut.
Di balik kaca ruang pemeriksaan Usadani memperhatikan semuanya. Ia melihat raut wajah Alana dan semua kesaksiannya yang tidak berubah dari awal pemeriksaan hingga saat gadis itu berbicara dengan kuasa hukumnya. Namun, ia merasa ada keanehan kasus tabrakan cucu keluarga Adiwangsa. Bagaimana mungkin anak usia 6 tahun bisa berada begitu jauh dari rumahnya pada dini hari.
Usadani akan kembali lagi ke ruang penyidikan. Ia masih penasaran dengan keterangan Alana. Melihat bukti-bukti yang ada Alana keluar mobil dan melihat apa yang telah ditabraknya, tapi atasannya masuk ke dalam.
“Usadani,” panggil Budi Suseno, kepala Direktur Lantas Polda Metro Jaya.
“Siap Komandan.” Usadani menjawab panggilan atasannya.
“Kamu harus berhati-hati dengan kasus ini. Kasus ini sudah melibatkan banyak media dan merupakan keluarga Adiwangsa.”
“Siap Komandan.”
“Harus aku akui, memang berat melawan keluarga Adiwangsa, mereka keluarga yang berkuasa dan sudah bukan berita baru lagi tentang sepak terjang keluarga itu.”
“Siap mengerti.”
““Kamu akan didampingi oleh Yudi untuk menangani kasus ini.”
“Siap Komandan.”
“Tentang para wartawan dan media massa akan ditangani oleh humas. Saya mau melihat apa saja yang terjadi di sana.” Budi memperhatikan dan mengamati interaksi Alana dan pengacaranya, Baskoro.
Budi Suseno meninggalkan Usadani dan datanglah Yudi yang bersemangat untuk menangani kasus tersebut. Usadani mengenal Yudi, polisi yang memiliki sikap tegas terhadap tersangka yang tidak mau mengakui kesalahannya.
“Dan, aku yakin kalau si Alana itu pelakunya,” ucap Yudi.
“Tapi, aku ragu kalau si Alana,” ujar Usadani.
“Loh, gimana sih Dan. Bukti-bukti semua jelas loh. Dari bercak darah yang ada di bumper mobil, cctv. Semua bukti-bukti sudah mengarah ke Alana.”
“Memang semua bukti-bukti mengarah pada Alana. Tapi, ada melihat semua yang dia katakan juga konsisten dari awal sampai akhir. Tidak mengubah pernyataannya dari kita periksa sampai datang kuasa hukumnya."
“Kalau dari pernyataannya Alana, dia kan mabuk berat dan tak bisa menyetir atau bisa saja dia mabuk berat lalu menyetir hingga tidak menyadari kalau ia menabrak korban."
“Awalnya, aku pikir juga begitu Yud. Tapi, bukti mengatakan hal yang sebaliknya. Gadis itu keluar mobil setelah menabrak, melihat korbannya, dan langsung pergi dari lokasi kejadian dengan terburu-buru berarti dia menyadari telah menabrak korban walau beralasan kalau yang menyetir temannya bukan dia.”
"Itu sulit dibuktikan. Karena yang terlihat di cctv hanya ada Alana bukan orang lain."
“Bagaimana kalau kita melihat dari sudut pandang lain.”
“Apa maksudmu, Dan?”
“Begini ada yang aneh dan menurutku mengganjal dalam kasus ini.”
“Mengganjal bagaimana?”
“Keluarga Adiwangsa kan kaya raya tentu tidak sedikit pengawal dan tentu ada banyak kamera pengawas di rumahnya, tapi kenapa anak usia 6 tahun bisa keluar dari rumah tersebut mana tengah malam lagi. Apa ini masuk akal, coba kamu pikirkan.”
Yudi terdiam. Ia baru menyadari sesuatu yang aneh dalam kasus ini jika tidak diberitahukan oleh Usadani. Tidak mungkin keluarga Adiwangsa yang begitu berkuasa membiarkan anggota keluarga mereka berada di luar rumah, terlebih lagi ini anak berusia 6 tahun.
“Kamu merasa ada aneh ‘kan?” tanya Usadani.
“Iya. Kasus ini aneh, pasti ada masalah yang pelik di balik tabrakan ini, tapi sulit untuk dibuktikan. Aku akan meminta keterangan dari keluarga Adiwangsa, mungkin kah kasus ini hanya untuk menutupi kasus yang lain atau bisa dibilang mengalihkan isu yang sebenarnya.”
“Kamu minta ijin dulu ke Pak Budi. Kita tidak bisa sembarangan menanyai keluarga Adiwangsa.”
Di saat Usadani dan Yudi sibuk membahas semua masalah kasus tabrakan yang sepertinya ada unsur lain yang berbeda. Seorang polisi masuk dan memberitahukan kalau di luar gedung polisi ada banyak orang berunjuk rasa atau berdemo meminta keadilan untuk kematian Felicia yang menyebabkan kericuhan.
“Kenapa malah banyak orang berdemo sih. Sudah banyak wartawan saja sudah bikin pusing,” ucap Usadani kesal.
“Iya nih. Aduh memang susah kalau berurusan dengan keluarga kaya raya.” Yudi ikutan pusing juga.
Kabar pihak kepolisian sudah menangkap tersangka kasus tabrak lari cucu keluarga terkaya di Indonesia sudah tersebar. Banyak wartawan atau juri berita dari berbagai media massa yang meliput hal tersebut baik dalam negeri maupun luar negeri dan membuat kericuhan di luar gedung kepolisian.
Tidak jauh dari gedung polisi sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tidak jauh dari sana. Seorang pria melihat ke arah gedung dengan tatapan penuh kebencian. Reynar harus bisa menahan dirinya untuk menghukum langsung Alana. Namun, ia sudah menyuruh Andi untuk membocorkan semua data diri dan identitas Alana di media dan membuat orang-orang berunjuk rasa.
Mungkin Reynar kesulitan untuk membalas semua perbuatan Alana. Keluarga Adiwangsa memang berkuasa, tapi kalau membalas secara langsung akan membuat nama baik keluarganya berdampak buruk. Bagaimanapun, dia harus menjaga semuanya agar terkendali dan juga harus menjaga imagenya di depan semua orang untuk mencari simpatik agar Alana dan keluarganya mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat.
Lelah, letih, stress dirasakan Alana. Ia tidak tahan lagi dengan semua pertanyaan yang dilontarkan kedua polisi yang ada di hadapannya. Ingin rasanya, ia berteriak dan mencaci maki mereka agar sadar kalau bukan dirinya lah yang melakukan tabrak lari tersebut. “Saya sudah mengatakan yang sebenarnya Pak kalau bukan saya pelakunya. Mau ditanya sampai kiamat pun tetap bukan saya!” pekik Alana emosi. “Bu Alana, saya minta Anda berbicara dengan sopan. Kami di sini melakukan tugas kami sebagai penyidik bukan teman Anda,” tukas Yudi terpancing emosinya. “Saya ga bohong Pak polisi.” Suara Alana terdengar parau, “saya tidak melakukan seperti yang dituduhkan, bu–bukan saya pelakunya. Saya mohon tolong dengarkan saya Pak.” Air mata terjatuh di pipi Alana. Menahan rasa sesak di dalam dada. Baskoro juga sudah menjelaskan tentang adanya orang lain bersama Alana malam itu di salah satu klub malam di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Namun, sulit sekali membuktikan keberadaan Sinta. “Pak, saya su
Di dalam perjalanan kehidupan pasti mengalami momen-momen dalam masalah. Pengalaman baik, buruk, dan tidak mengenakan bisa datang kapan saja. Hampir semua orang pernah mengalami berbagai macam cobaan dalam hidup. Hanya yang membedakan bagaimana cara menghadapinya. Budi merasakan permasalahan hidupnya terasa begitu berat dan sangat sulit dihadapinya. Jika ia yang mengalami masalah mungkin akan siap dan kuat menghadapinya, tetapi jika menyangkut putrinya akan berbeda. Ia paling tidak bisa melihat jika air mata menetes di pipi Alana. Terlihat jelas di raut wajah Alana begitu kelelahan, sedih, ketakutan, dan kecewa. Hal tersebut membuat hati Budi begitu sakit. Putri yang selalu dijaganya, dirawatnya, dibesarkannya sekarang harus mengalami masalah yang begitu berat. Alana melihat kedatangan Papanya, ia berharap bisa pulang ke rumahnya. “Papa bagaimana? Apa aku bisa pulang?” tanya Alana. Budi mendekati putrinya membelai lembut surai hitam panjang. Matanya terlihat sendu membuat Alana me
Tiga hari kemudianBudi menunggu dengan gelisah kabar tentang keberadaan Sinta di rumah kontrakan Alana. Ingin sekali ia sendiri pulang ke Semarang dan pergi ke Klaten untuk mencari di mana keberadaan sahabat anaknya tersebut. Namun, ia juga tidak bisa melakukannya, Alana dan Anita, istrinya membutuhkan support darinya. Ia tidak tega meninggalkan mereka sendirian di Jakarta. Telepon genggam Budi berdering. Ia sangat bersemangat saat mengetahui kalau Randy yang meneleponnya. Berita yang ditunggu-tunggunya akhirnya datang juga. Budi mengangkat telepon dan mendengar kabar dari Randy. Namun, kabar dari Randy membuat wajahnya berubah jadi pucat saat mendapatkan kabar tentang di mana keberadaan Sinta di Klaten. “Pakde, pangapunten. Aku sudah berusaha mencari keberadaan Sinta selama 3 hari ini di Klaten, tapi keluarganya di sana sama sekali tidak mengetahui di mana Sinta,” ucap Randy dibalik telepon. -Pakde, maaf.-Budi terdiam. Lidahnya terasa begitu kelu untuk mengucapkan satu patah kat
Seorang pria di kegelapan malam menghembuskan asap rokok dengan santai. Ia menatap keluar jendela lantai 18 melihat lampu-lampu tampak gemerlap. Perasaannya begitu dendam ingin segera menghancurkan hidup wanita yang telah membuat kehidupannya tidak lagi sama seperti dulu. Suara ketukan pintu terdengar membuatnya melirik ke samping saat asistennya, Wildan masuk ke dalam ruangannya. “Ada apa?” tanya Reynar dengan suara datar. “Pak, saya sudah menjalankan perintah anda untuk membuat perusahaan yang bekerjasama dengan percetakan Budi Utama memutuskan kontrak mereka dan harus membayar biaya kompensasi yang cukup besar.” Reynar tersenyum licik saat asistennya, Wildan memberitahukan kalau percetakan orang tua Alana mengalami kebangkrutan bahkan harus membayar kompensasi yang cukup besar. “Jadi sekarang si Budi itu memiliki banyak hutang,” ucap Reynar menyeringai. “Iya Pak Reynar. Tanah dan mobilnya sudah dijual untuk menutupi semua pembayaran dan untuk gaji karyawan,” ucap Wildan. “Ba
3 bulan kemudianTanpa terasa waktu terus berjalan, hari pun berganti, sudah 3 bulan pemeriksaan kasus Alana semua berkas-berkas sudah lengkap dan ia mengalami berbagai macam tekanan baik psikis dan fisik. Ia tak sanggup lagi menahan semua masalah yang ada, walau sudah mengatakan hal yang sebenarnya, tapi tidak ada seorang pun yang mempercayainya ucapannya.Sudah seminggu Budi kembali ke Semarang. Usaha percetakannya mengalami gulung tikar. Akibat berita yang meliput kehidupan pribadi anaknya membuat orang-orang ikut menghujat dan tidak ada yang mau menggunakan jasa percetakan Budi. Budi terpaksa menjual tanahnya untuk membayar gaji karyawan, biaya hidup, dan bia
2 bulan kemudianTanpa terasa persidangan sudah 2 bulan berlalu dan hari ini memasuki putusan. Sekarang saatnya, Alana harus menerima keputusan majelis Hakim, hari yang menentukan berapa tahun ia akan dihukum. Ia kembali duduk di kursi pesakitan, ia melirik ke arah kursi pengunjung sidang mencari keberadaan Anita, Mamanya. Sudah 2 bulan Anita tak terlihat lagi datang di Pengadilan.Saat melihat ke arah pengunjung sidang ia menjadi gugup. Merasa tidak nyaman dengan banyak mata yang menatapnya dengan berbagai pandangan. Tak bisa ia pastikan satu persatu tatapan mereka hanya bisa menundukan kepalanya tidak berani membalas tatapan mereka.
Rini dan Novi mendengarkan kisah Alana dengan takjub. Alana begitu lancarnya menceritakan semuanya dengan begitu menyakinkan sehingga mereka ikutan bersedih.“Maaf, aku membuat kalian ikutan menangis,” ucap Alana tidak enak sendiri sambil mengusap air mata di pipinya.“Aku ga nyangka gadis cantik sepertimu mengalami nasib yang begitu menyedihkan,” ujar Novi yang menangis.“Aku salah. Kalau saja waktu di bisa diputar kembali aku ga akan mau mabuk sampai Papaku harus meninggal.”“Lihat aja Alana d
Alana hanya bisa menghembuskan napasnya dengan berat. Hari ini ia akan dipindahkan ke Rutan Pondok Bambu. Ada perasaan rindu yang menggelayut dalam benaknya. Ia sangat merindukan Anita, Mamanya. Semenjak kematian Budi, Anita tidak pernah sekalipun terlihat mengunjunginya.“Kamu kenapa Lana?” tanya Rini memperhatikan wajah Alana yang tampak sedih.“Kamu memikirkan kalau sebentar lagi masuk Rutan Pondok Bambu ya?” Novi malah ikutan bertanya pada Alana.Alana menatap kedua temannya yang berada dalam satu sel tahanan dengannya. “Bukan. Kalau masalah aku masuk rutan sih mau ga mau, yaa harus aku jalani.&