Alana dibawa ke Laka Lalu Lintas Polda Metro Jaya, tapi setibanya di sana mereka dikejutkan banyaknya wartawan yang sudah berada di depan gedung Lalu Lintas membuat mereka saling berpandangan.
“Siapa yang membocorkan kalau pelaku tabrakan cucu Adiwangsa sudah ditangkap?” tanya Andi pada salah satu rekannya.
“Saya kurang tau juga Pak. Pak Dirlantas dan Kasat Lantas meminta untuk dirahasiakan penangkapan ini,” ucap Arman salah satu polisi Lalu Lintas.
“Saya curiga kalau ada orang dalam yang membocorkannya ke media.
“Pak Andi, kekuasaan keluarga Adiwangsa tidak bisa dipandang sebelah mata. Mudah bagi keluarga tersebut untuk mengetahui semua permasalahan yang ada.”
Andi melihat Alana yang menunduk ketakutan. Air matanya terus mengalir di pipinya.
“Jer, buka jaketmu.” Andi berkata pada salah satu anak buahnya.
“Aduh Pak. Jangan main buka-bukaan di sini dong. Saya malu Pak,” ucap Jerry terkejut.
“Dasar kamu polisi somplak. Saya menyuruh membuka jaketmu bukan buat mesum. Itu jaketmu buat nutupi wajahnya, Bu Alana.”
“Eh, maaf Pak Andi, saya pikir mau berbuat aneh-aneh sama saya.”
“Diam Jerry. Kamu jadi polisi bukannya yang normal dan lurus-lurus aja malah pikirannya aneh-aneh.”
Alana yang ketakutan jadi tersenyum kecil saat mendengar pembicaraan atasan dan bawahannya tersebut. Ia tidak menyangka kalau polisi juga merupakan manusia biasa yang bisa tertawa dan bercanda dengan anggotanya.
“Bu Alana, saya akan tutupi wajah kamu dengan jaketnya si Jerry. Nanti kamu menunduk saja dan jangan sampai wajahmu tersorot kamera,” ucap Andi.
“Iya Pak. Walau saya sebenarnya ingin wajah saya di sorot kamera supaya bisa jadi orang terkenal, tapi bukan terkenal dengan masalah,” ujar Alana dengan mata berkaca-kaca.
“Memang seharusnya terkenal karena prestasi bukan sensasi dan masalah.”
“Iya Pak.”
“Dan kamu, saya harap tidak terpancing untuk menjawab apapun pertanyaan wartawan.”
“Iya Pak.”
Pihak kepolisian turun dari mobil membawa Alana yang wajahnya sudah ditutupi oleh jaket Jerry. Para wartawan yang berada di sana langsung menyerbu kedatangan mereka dengan cepat. Berbagai pertanyaan datang dari awak media.
Pak apa wanita itu pelaku tabrakan cucu Adiwangsa?
Apa wanita ini yang menabrak Felicia Adiwangsa?
Apa dia orang yang melakukan tabrak lari?
Siapa nama wanita ini, Pak?
Pak apa benar wanita ini yang sudah membunuh Felicia Adiwangsa?
Apa wanita itu mabuk pas nabrak Pak?
Apa wanita itu menggunakan obat-obatan terlarang Pak?
Begitu banyak pertanyaan dari wartawan yang datang bertubi-tubi, tapi pihak kepolisian tidak menjawab apapun pertanyaan dari wartawan dan terus memegang lengan Alana yang menunduk dan wajahnya sudah ditutupi jaket kulit berwarna hitam.
Setelah memastikan Alana dibawa masuk ke dalam kantor Laka Lantas. Andi membalikan badannya berbicara di depan awak media yang penasaran dengan identitas wanita yang dibawa polisi.
“Teman-teman awak media terima kasih sudah menunggu di sini, tapi saya belum bisa menjawab semua pertanyaan teman-teman semua. Nanti pihak Humas dari Polda Metro Jaya yang akan menjawab semua pertanyaan awak media,” ucap Andi.
“Tapi apa benar Pak kalau wanita itu pelaku tabrakan Felicia Adiwangsa?” tanya wartawan dari Tv Two.
“Iya Pak. Apa benar wanita itu pelakunya?” tanya wartawan dari Netro Tv.
“Mohon maaf nanti pihak Humas yang akan menjelaskan semuanya. Saya permisi dulu teman-teman media untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Terima kasih.” Andi langsung masuk ke dalam gedung.
Alana sangat ketakutan. Ia terus memegang kukunya dengan gugup dan bingung harus melakukan apa sekarang, dengan pandangan kosong ia melihat ruang pemeriksaan berukuran 2x2 meter.
“Mama,” ucapnya ketakutan dengan air mata mengalir di pipinya.
Ruangan berwarna putih yang dilengkapi dengan meja dan dua buah kursi yang saling berhadapan. Di atas meja terdapat layar komputer dan keyboard, ia kembali melihat ada sebuah kaca besar dipajang di sana. Di sana terdapat pendingin udara, tapi seakan tak mampu membuatnya merasakan sejuknya ruangan pemeriksaan tersebut.
Terdengar suara deritan pintu membuat Alana terkejut. Ia menoleh ke samping melihat siapa yang datang. Pria berpakaian polisi Lalu Lintas menghampirinya.
“Selamat siang Bu Alana Handoko. Perkenalkan saya, Usadani penyidik yang bertugas untuk menanyakan beberapa pertanyaan untuk Anda,” ucap Usadani.
“Iya Pak,” ujar Alana.
“Saya sudah menghubungi orang tua, Anda yang berada di Semarang,” ucap Usadani.
“Pak Usadani sudah menghubungi Ayah dan Ibu saya? Kapan mereka datang Pak?”
“Orang tua Anda mungkin sedang dalam perjalanan menuju Jakarta.”
“Iya Pak.”
Alana hanya bisa terdiam. Ia sudah tidak bisa lagi untuk berpikir. Kejadian hari ini yang dialaminya tidak pernah disangka akan terjadi di dalam hidupnya. Ia masih bingung kenapa bisa ditetapkan menjadi tersangka kasus tabrak lari yang menewaskan Felicia Adiwangsa.
“Bu Alana, apakah Anda mengendarai mobil Honda Brio warna putih dengan plat kendaraan B 711 NDA pukul 3 dini hari di Jalan Simatupang Jakarta Selatan?” tanya Usadani.
“Saya tidak mengendarai mobil saya. Teman saya, Sinta yang menyetir mobil dan bukan saya yang menabrak Felicia Adiwangsa. Saya tidak pernah menabrak siapapun,” ucap Alana.
“Maaf Bu Alana hampir semua orang yang melakukan kejahatan selalu mengatakan hal demikian, tapi kami pihak kepolisian mendakwa seseorang berdasarkan bukti bukan hanya asumsi.”
“Saya tidak pernah melakukannya, Pak.”
“Baiklah. Apakah Bu Alana dalam keadaan sadar mengendarai mobil Anda?”
“Bukan saya yang menyetir mobil Pak dan saya bersama dengan Sinta memang habis berpesta di Klub Venus dan minum-minuman beralkohol.”
“Seberapa banyak Anda minum Bu Alana?”
“Saya tidak tahu berapa banyak. Saya minum sampai benar-benar mabuk parah dan saya tidur di kursi belakang. Yang membawa mobil teman saya, Sinta.”
“Di mana teman Anda yang bernama Sinta?”
“Sinta pulang kampung ke Klaten.”
“Bu Alana sudah terlihat—”
Suara ketukan terdengar dari pintu ruang pemeriksaan membuat Usadani berhenti berbicara. Seorang polisi mendekati Usadani berbicara dengan berbisik dan Usadani menganggukan kepalanya.
“Bu Alana, pengacara Anda sudah berada di sini,” ucap Usadani.
“Saya memiliki pengacara? Apa Ayah dan Ibu saya sudah datang ke sini?” tanya Alana.
“Silahkan Anda berbicara dulu dengan pengacara Anda dan saya akan memeriksa Anda kembali setelah didampingi oleh pengacara Anda.”
Alana menganggukan kepalanya dengan pasrah. Apalagi yang bisa ia lakukan sekarang selain pasrah dan berharap semua kejadian ini hanya mimpi. Seorang pengacara memakai jas hitam dan celana panjang hitam dengan dasi berwarna biru masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Ia tidak mengenal pengacara yang disewa orang tuanya, tapi hanya pria ini yang sekarang akan membantunya.
“Alana Handoko, Baskoro pengacara yang diutus oleh orang tua Anda, Pak Budi Handoko,” ujar Baskoro memperkenalkan dirinya.
“Iya Pak. Tadi pak polisi sudah memberitahukan hal tersebut.”
“Alana jangan mengatakan apapun sampai di dampingi saya. Apa yang sudah polisi lakukan pada Anda? Apakah mereka memaksa Anda untuk mengakui semua yang dituduh kan?”
“Tidak. Mereka hanya menyebutkan tentang kesalahan yang telah saya lakukan.”
“Oh, baiklah berarti pihak kepolisian mematuhi kode etik.”
“Tentu saja Bapak pengacara, kami pihak kepolisian tidak melakukan kekerasan apapun dan tidak menyalahi aturan dan kode etik yang ada. Penangkapan juga dilakukan sesuai prosedur dan mengatakan hak-hak terdakwa,” kata Usadani.
“Jangan tersinggung Pak Usadani, saya hanya mengingatkan. Klien saya juga tidak melakukan perlawanan dan bersikap kooperatif saat dilakukan penangkapan dan pemeriksaan bukan?”
“Iya.”
“Bisa saya minta waktunya sebentar untuk berbicara dengan Alana Handoko. Lagi pula kalian bisa mengawasi kami dari balik kaca tersebutkan?”
“Baiklah saya akan meninggalkan sejenak, setelah itu akan melakukan pemeriksaan kembali dan memberikan bukti-bukti yang sudah kami dapatkan.”
Usadani meninggalkan Baskoro dan Alana di ruang pemeriksaan. Mereka juga bisa mengawasi dari ruangan yang lain.
“Pak Baskoro tolong saya. Saya tidak melakukannya, bukan saya yang menabrak Felicia Adiwangsa. Bukan saya Pak.” Alana menangis sambil menggelengkan kepalanya.
“Saya memang mabuk, tapi bukan saya yang menyetir. Saya jujur Pak, saya ga bohong. Percayalah sama saya Pak kalau bukan saya pelakunya.”
Baskoro tersenyum menatap Alana. Ia tahu gadis tersebut tengah gusar, panik, sedih, dan tidak percaya permasalahan yang telah terjadi dalam hidupnya.
Baskoro menghela napasnya. Ia kasihan melihat Alana yang mengalami masalah yang telah terjadi dalam hidupnya. Pasti sangat sulit menghadapi semua permasalahan yang tak pernah dihadapinya. Pasti gadis tersebut tengah gusar, panik, sedih, dan resah. “Kamu harus tenang dulu yaa Alana. Saya di sini akan membela kamu,” ucap Baskoro. “Iya Pak Baskoro. Saya sangat takut, saya benar-benar tidak melakukannya Pak,” ujar Alana dengan yakin menatap Baskoro. Dari sorot mata Alana terlihat sebuah kejujuran. “Kamu harus tau situasi yang terjadi. Apa kamu sudah tahu apa dengan situasi yang terjadikan? Saya dengar bukti-bukti pihak kepolisian sudah bisa menjadikanmu sebagai tersangka pelaku kejahatan. Sekarang kamu harus mengatakan semuanya dengan sejujur-jujurnya.” “Iya Pak. Saya sudah mengatakan yang sejujurnya kalau bukan saya yang menabrak gadis kecil itu. Saya tidak melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan. Saya tidak melakukannya.” “Apa kamu yakin?” “Saya sangat yakin Pak.” “Ta
Lelah, letih, stress dirasakan Alana. Ia tidak tahan lagi dengan semua pertanyaan yang dilontarkan kedua polisi yang ada di hadapannya. Ingin rasanya, ia berteriak dan mencaci maki mereka agar sadar kalau bukan dirinya lah yang melakukan tabrak lari tersebut. “Saya sudah mengatakan yang sebenarnya Pak kalau bukan saya pelakunya. Mau ditanya sampai kiamat pun tetap bukan saya!” pekik Alana emosi. “Bu Alana, saya minta Anda berbicara dengan sopan. Kami di sini melakukan tugas kami sebagai penyidik bukan teman Anda,” tukas Yudi terpancing emosinya. “Saya ga bohong Pak polisi.” Suara Alana terdengar parau, “saya tidak melakukan seperti yang dituduhkan, bu–bukan saya pelakunya. Saya mohon tolong dengarkan saya Pak.” Air mata terjatuh di pipi Alana. Menahan rasa sesak di dalam dada. Baskoro juga sudah menjelaskan tentang adanya orang lain bersama Alana malam itu di salah satu klub malam di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Namun, sulit sekali membuktikan keberadaan Sinta. “Pak, saya su
Di dalam perjalanan kehidupan pasti mengalami momen-momen dalam masalah. Pengalaman baik, buruk, dan tidak mengenakan bisa datang kapan saja. Hampir semua orang pernah mengalami berbagai macam cobaan dalam hidup. Hanya yang membedakan bagaimana cara menghadapinya. Budi merasakan permasalahan hidupnya terasa begitu berat dan sangat sulit dihadapinya. Jika ia yang mengalami masalah mungkin akan siap dan kuat menghadapinya, tetapi jika menyangkut putrinya akan berbeda. Ia paling tidak bisa melihat jika air mata menetes di pipi Alana. Terlihat jelas di raut wajah Alana begitu kelelahan, sedih, ketakutan, dan kecewa. Hal tersebut membuat hati Budi begitu sakit. Putri yang selalu dijaganya, dirawatnya, dibesarkannya sekarang harus mengalami masalah yang begitu berat. Alana melihat kedatangan Papanya, ia berharap bisa pulang ke rumahnya. “Papa bagaimana? Apa aku bisa pulang?” tanya Alana. Budi mendekati putrinya membelai lembut surai hitam panjang. Matanya terlihat sendu membuat Alana me
Tiga hari kemudianBudi menunggu dengan gelisah kabar tentang keberadaan Sinta di rumah kontrakan Alana. Ingin sekali ia sendiri pulang ke Semarang dan pergi ke Klaten untuk mencari di mana keberadaan sahabat anaknya tersebut. Namun, ia juga tidak bisa melakukannya, Alana dan Anita, istrinya membutuhkan support darinya. Ia tidak tega meninggalkan mereka sendirian di Jakarta. Telepon genggam Budi berdering. Ia sangat bersemangat saat mengetahui kalau Randy yang meneleponnya. Berita yang ditunggu-tunggunya akhirnya datang juga. Budi mengangkat telepon dan mendengar kabar dari Randy. Namun, kabar dari Randy membuat wajahnya berubah jadi pucat saat mendapatkan kabar tentang di mana keberadaan Sinta di Klaten. “Pakde, pangapunten. Aku sudah berusaha mencari keberadaan Sinta selama 3 hari ini di Klaten, tapi keluarganya di sana sama sekali tidak mengetahui di mana Sinta,” ucap Randy dibalik telepon. -Pakde, maaf.-Budi terdiam. Lidahnya terasa begitu kelu untuk mengucapkan satu patah kat
Seorang pria di kegelapan malam menghembuskan asap rokok dengan santai. Ia menatap keluar jendela lantai 18 melihat lampu-lampu tampak gemerlap. Perasaannya begitu dendam ingin segera menghancurkan hidup wanita yang telah membuat kehidupannya tidak lagi sama seperti dulu. Suara ketukan pintu terdengar membuatnya melirik ke samping saat asistennya, Wildan masuk ke dalam ruangannya. “Ada apa?” tanya Reynar dengan suara datar. “Pak, saya sudah menjalankan perintah anda untuk membuat perusahaan yang bekerjasama dengan percetakan Budi Utama memutuskan kontrak mereka dan harus membayar biaya kompensasi yang cukup besar.” Reynar tersenyum licik saat asistennya, Wildan memberitahukan kalau percetakan orang tua Alana mengalami kebangkrutan bahkan harus membayar kompensasi yang cukup besar. “Jadi sekarang si Budi itu memiliki banyak hutang,” ucap Reynar menyeringai. “Iya Pak Reynar. Tanah dan mobilnya sudah dijual untuk menutupi semua pembayaran dan untuk gaji karyawan,” ucap Wildan. “Ba
3 bulan kemudianTanpa terasa waktu terus berjalan, hari pun berganti, sudah 3 bulan pemeriksaan kasus Alana semua berkas-berkas sudah lengkap dan ia mengalami berbagai macam tekanan baik psikis dan fisik. Ia tak sanggup lagi menahan semua masalah yang ada, walau sudah mengatakan hal yang sebenarnya, tapi tidak ada seorang pun yang mempercayainya ucapannya.Sudah seminggu Budi kembali ke Semarang. Usaha percetakannya mengalami gulung tikar. Akibat berita yang meliput kehidupan pribadi anaknya membuat orang-orang ikut menghujat dan tidak ada yang mau menggunakan jasa percetakan Budi. Budi terpaksa menjual tanahnya untuk membayar gaji karyawan, biaya hidup, dan bia
2 bulan kemudianTanpa terasa persidangan sudah 2 bulan berlalu dan hari ini memasuki putusan. Sekarang saatnya, Alana harus menerima keputusan majelis Hakim, hari yang menentukan berapa tahun ia akan dihukum. Ia kembali duduk di kursi pesakitan, ia melirik ke arah kursi pengunjung sidang mencari keberadaan Anita, Mamanya. Sudah 2 bulan Anita tak terlihat lagi datang di Pengadilan.Saat melihat ke arah pengunjung sidang ia menjadi gugup. Merasa tidak nyaman dengan banyak mata yang menatapnya dengan berbagai pandangan. Tak bisa ia pastikan satu persatu tatapan mereka hanya bisa menundukan kepalanya tidak berani membalas tatapan mereka.
Rini dan Novi mendengarkan kisah Alana dengan takjub. Alana begitu lancarnya menceritakan semuanya dengan begitu menyakinkan sehingga mereka ikutan bersedih.“Maaf, aku membuat kalian ikutan menangis,” ucap Alana tidak enak sendiri sambil mengusap air mata di pipinya.“Aku ga nyangka gadis cantik sepertimu mengalami nasib yang begitu menyedihkan,” ujar Novi yang menangis.“Aku salah. Kalau saja waktu di bisa diputar kembali aku ga akan mau mabuk sampai Papaku harus meninggal.”“Lihat aja Alana d