Reynar bersama dengan Yudi secepat mungkin datang ke apartemen Aira. Tadi ia diberi kabar oleh Rendi kalau Venna datang ke apartemen Aira dan Chester juga mengatakan kalau ada orang jahat ke tempat mereka. Reynar mencoba menghubungi telepon genggam Alana, tapi tidak ada jawaban. “Cepetan Wil, aku khawatir sama Mama dan Alana nih,” ucap Reynar gelisah. “Tenang Rey. Jangan terlalu tergesa - gesa,” ujar Yudi mencoba menenangkan Reynar. Tak membutuhkan waktu lama mereka tiba di apartemen Aira yang kebetulan pintunya terbuka dan mereka langsung masuk begitu saja. Reynar hanya dapat melihat Alana yang terlihat begitu tertekan. “Sayang, kamu baik - baik saja?” tanya Reynar langsung membawa Alana ke dalam dekapannya. Alana merasakan sangat lega saat kehadiran Reynar. Sudah sedari tadi ia merasa sangat tertekan pada Aira dan juga Venna. “Rey…” Venna memanggil Reynar. Reynar menoleh mendengar suara Venna. “Mama kenapa Mama di sini?” tanyanya heran. “Kamu ada hubungan apa sama Alana?” tan
Yudi segera kembali ke kantornya untuk mencari tahu tentang Frans dan kebetulan Joe sudah tiba di Jakarta. Selama beberapa hari ini Joe menyelidiki siapa Julia dan sekarang sudah selesai mencari tahu tentang Julia. Joe memberitahukan kalau yang semua Julia katakan adalah kebohongan. Di salah satu desa di Semarang tidak satupun orang mengenal Julia, bahkan tak pernah tahu siapa Julia. “Jadi gadis itu menipuku,” ucap Yudi sangat kesal. “Iya Tuan. Kayaknya Julia bukan gadis biasa deh meskipun penampilannya biasa saja,” ujar Joe. “Apa jangan - jangan ini ulah Benny?” Yudi langsung terikat pada Papanya. “Iya ya Tuan. Kan aneh kalau wanita incaran Tuan Benny ga dicari kalau menghilang. Bukannya Tuan bilang si Julia mau jadi istri kesekiannya Tuan Benny.” “Eh, tumben otakmu encer Joe.” “Hehehe… Tuan inilah yang dinamakan efek dari holiday. Kalau kerja sambil jalan - jalan itu semua terasa santai dan menyenangkan loh, Tuan. Coba deh sekali - sekali healing - healing biar ga spaneng Tuan
Pagi ini Reynar dan Alana datang ke rumah keluarga Adiwangsa. Reynar memperhatikan Alana yang berada di sampingnya yang terlihat jelas istrinya gelisah. “Kamu kenapa?” tanya Reynar. “Aku… aku ga apa - apa kok,” jawab Alana menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. “Kamu gelisah ya.” Alana menatap Reynar. “Aku takut.” “Takut kenapa?” “Takut Papa dan Mamamu ga bisa menerimaku.” “Bukannya kamu sudah bicara di telepon sama Mama.” “Sudah sih, tapi ketemu langsung seperti ini kan beda. Hmm, Mama suka perempuan yang gimana? Apa kalem, lemah lembut, lucu, cerewet, atau apa?” Reynar menggenggam tangan Alana. “Jangan khawatirkan apapun. Kamu jadilah dirimu sendiri bukan orang lain.” “Tapi kalau jadi diri sendiri aku itu judes, cerewet, ga lemah lembut malah kadang bisa bar - bar, dan egois sih.” “Nah, itulah kamu. Kamu memang seperti itu mau gimana lagi. Yang penting bagi aku yaa jadi diri kamu sendiri. Aku aja bisa jatuh cinta sama kamu yang sudah begini.” “Iya Sayang.” Tak lama
1 hari sebelum pernikahan Alana berjalan mondar mandir resah dan gelisah sendiri. Ia akan melaksanakan pesta pernikahan besok, tapi tak ada orang yang paling penting dalam hidupnya yaitu, Anita, Ibunya. Reynar yang mengambil cuti dari segala kepenatan pekerjaan kantornya sedang menikmati waktu santai, tapi istrinya yang bolak - balik di hadapannya membuatnya merasa terganggu. “Kamu kok mondar - mandir begitu. Kamu kenapa Sayang?” tanya Reynar. “Aku gelisah besok kita mau nikah,” ucal Alana. “Loh, kita kan memang sudah menikah Sayang. Besok itu baru pestanya.” “Eh, iya itu maksudku.” “Kamu bohong yaa. Ayo ngomong kamu ada apa?” Alana meremas - remas tangannya. Ia bingung harus mengatakan apa pada suaminya. “Aku kangen sama Mama,” ucapnya sedih. “Sudahlah santai - santai dulu masih siang ini,” ucap Reynar. Alana menatap Reynar tidak percaya. Kenapa suaminya sangat santai saat ia mengatakan rindu pada orang tuanya. Apakah keluarganya memang tidak berarti bagi Reynar sampai suami
Pernikahan yang sudah dinantikan keluarga Adiwangsa pun akan terlaksana. Meskipun, Reynar dan Alana sudah menikah dan sudah tercatat di pemerintah, tapi baru hari inilah pesta pernikahan mereka terlaksana. Alana menatap wajahnya di depan cermin. Gaun putih gading yang dikenakannya dengan kerah sabrina yang memperlihatkan pundaknya semakin membuatnya tampak begitu cantik dan anggun. Make up nya yang bernuansa warm natural dengan polesan warna nude di bibirnya semakin membuatnya tampak mempesona. Sekarang ia bisa menunjukan dirinya di depan semua orang tanpa rasa malu lagi. “Aku harus bahagia demi anak dalam kandunganku,” ucapnya memberikan dirinya sendiri semangat. Venna dan Anita masuk ke dalam ruang make up bersama - sama. Sang mempelai wanita sudah tampil cantik dengan balutan gaun pengantin yang indah melekat di tubuhnya. "Aku sangat senang ternyata anak sahabatku menjadi menantuku," ucap Venna melirik Anita. "Aku juga bahagia, anak kita bisa bersanding di dalam ikatan cinta y
Alana Handoko yang biasa dipanggil Lana bersama dengan sahabatnya, Sinta menikmati waktu mereka bersenang-senang layaknya anak muda lainnya. Berbelanja di pusat perbelanjaan dan berpesta di sebuah club malam. Hari ini Alana menemani Sinta ke salah satu pusat perbelanjaan. “Aku pengen deh beli baju couple gitu buat kita berdua. Seksi dress yang buka sana sini, kekurangan bahan,” ucap Sinta bersemangat. “Aduuh, mentang-mentang uang beasiswanya sudah cair jadi mau berfoya-foya nih,” ejek Alana. “Foya-foya sedikitlah sebagai reward myself gitu, Lan. Kasihan kan otakku kalau digunakan untuk mikir pelajaran terus sekali-sekali memberikan penghargaan untuk diri ini.” “Iya deh. Aku juga baru dapat kiriman nih dari Ayah.”“Ga usah khawatirkan apapun. Hari ini aku yang traktir dan bayarin semuanya.” “Jangan kali Sin. Sayang uangmu.” “Tenang-tenang aku mau jadi crazy rich sementara dulu pura-pura jadi kaya raya dulu walau cuman sehari.” “Hahaha, ga apa-apa lah ya walau cuman sehari setida
Mentari terbit laksana memberikan senyuman yang menarik diri untuk bangun dari keletihan yang memaksa diri untuk bergerak. Alana terbangun dari tidurnya yang nyaman saat merasakan sinar mentari menerpa wajah dan menyilaukan matanya menembus balik tirai. Membuatnya jadi kesal sendiri tak dapat lagi memejamkan matanya. Saat Alana bangun dari tempat tidurnya, ia memegang kepalanya yang terasa sakit. “Aduuh, kepalaku nyeri deh.” Alana turun dari tempat tidurnya merasakan pusing dibagian belakang kepalanya semakin menjadi-jadi. Ia menyesal tadi malam minum-minuman beralkohol terlalu banyak membuat ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi menyebabkannya sakit kepala. Dengan memegang tengkuknya, Alana berjalan menuju ruang tamu sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling ruangan di rumah kontrakannya. Ia melirik kamar Sinta penasaran apakah sahabatnya sudah bangun atau belum. “Sin… Sinta.” Alana mengetuk pintu sambil memanggil nama sahabatnya. Tapi tidak ada jawaban dari Sinta.
Kehilangan seseorang untuk selamanya memang sangat menyakitkan, sedih, dan terpukul. Orang yang paling disayangi dalam hidup kini telah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi. Bayang-bayang menyelimuti dari orang telah ditinggalkan. Bibir bagaikan terkunci hingga tak sanggup untuk berkata-kata yang kehilangan seseorang yang telah pergi untuk selamanya. Jerit tangis terdengar di kamar jenazah rumah sakit Columbus. Reynar berjalan gontai di depan pintu kamar jenazah, ia tak percaya saat diberitahukan oleh Rendi, Ayahnya tentang kabar meninggalnya, Felicia. Semua kenangan tentang Felicia terus berputar di kepalanya. Ia menghampiri Vena, Ibunya yang sedang menangis di sisi jenazah Felicia. Perasaannya sama seperti Vena, hancur kehilangan kedua kalinya orang yang sangat disayanginya. Felicia merupakan anak dari kakaknya, Reina Adiwangsa. Tapi Felicia sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Dari Felicia lahir selalu bersama dia dan Ibunya. Reina meninggal saat mengalami pendarahan ka