Yunda menutup keran pancuran kamar mandi, lalu meraih bathrobe putih yang tergantung di balik pintu. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, ia melangkah menuju dapur dan menyalakan mesin pembuat kopi.
Selagi menunggu perasan kopi memenuhi gelas, ia berjalan ke ruang tengah untuk mengambil ponselnya yang ia tinggalkan di atas sofa. Dia mengernyit saat melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Geral. Tidak biasanya lelaki itu menelepon sepagi ini.
Jangan-jangan karena Yunda belum mengirimkan instruksi kepada Bibi Eva. Tapi ia tak mau ambil pusing. Toh, kemarin lelaki itu juga tak mengenakan pakaian sesuai arahannya.
Yunda baru hendak menelepon balik ketika terdengar sandi pintu dimasukkan dari luar. Dia bergegas menghampiri vi
Kebahagiaan tampaknya sedang berpihak pada Rosa. Manajernya baru saja menyampaikan bahwa MAISON sedang mencari wajah baru untuk kampanye koleksi akhir tahun mereka. Dan, kabar baiknya, sebelum manajernya turun tangan mendapatkan proyek itu, pihak MAISON sudah lebih dulu menghubungi agensinya. Mereka meminta agar kerja sama dengan Rosa dipertimbangkan kembali.“Kau memang punya daya tarik yang luar biasa, Rosaline,” puji sang manajer sambil merapikan letak kacamatanya.Sebelah sudut bibir Rosa terangkat, “Anggap saja aku cukup beruntung dalam hal itu.”Dengan anggun, ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi ruang meeting. Sekelebat pikiran melintas, menancap cukup dalam, dan ia memutuskan membaginya dengan wanita di hadapannya.
Kalau bukan karena Geral, Rosa tidak akan repot-repot datang ke kediaman orang tuanya. Beberapa hari lalu, Geral memberi tahu bahwa ayah Rosa mengundang mereka makan malam. Wajar undangan itu tidak disampaikan langsung pada Rosa karena ayahnya tahu ia pasti akan menolak dengan beribu alasan.Dan kini, di sinilah Rosa. Duduk di meja makan panjang berbahan marmer. Di hadapannya, hidangan tersaji dengan mewah, tapi suasananya tetap terasa hambar. Geral duduk di sampingnya, sopan dan tenang seperti biasa.Kakak tertuanya datang bersama suami dan kedua anak mereka yang sejak tadi sibuk dengan gawai. Wanita yang sebentar lagi menginjak usia empat puluh itu berusaha tampil elegan dengan gaun satin berpotongan ramping, rambut disanggul tinggi, dan kalung mutiara yang terlalu mencolok untuk disebut berkelas. Sementara itu, kakak laki-lakinya datang bersama seorang wanit
Yunda menutup keran pancuran kamar mandi, lalu meraih bathrobe putih yang tergantung di balik pintu. Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, ia melangkah menuju dapur dan menyalakan mesin pembuat kopi.Selagi menunggu perasan kopi memenuhi gelas, ia berjalan ke ruang tengah untuk mengambil ponselnya yang ia tinggalkan di atas sofa. Dia mengernyit saat melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Geral. Tidak biasanya lelaki itu menelepon sepagi ini.Jangan-jangan karena Yunda belum mengirimkan instruksi kepada Bibi Eva. Tapi ia tak mau ambil pusing. Toh, kemarin lelaki itu juga tak mengenakan pakaian sesuai arahannya.Yunda baru hendak menelepon balik ketika terdengar sandi pintu dimasukkan dari luar. Dia bergegas menghampiri vi
Langit sore itu berwarna tembaga. Awan-awan bergerak pelan, damai, dan tenang. Di tengah padang rumput yang membentang luas, Geral berdiri dengan kedua tangannya melambai ke udara.“Ayah! Ibu!” serunya riang gembira.Dari kejauhan, sebuah helikopter tampak mendekat. Baling-balingnya berputar cepat, menciptakan embusan angin yang membuat rerumputan di bawahnya menari liar. Suara mesinnya memekakkan telinga, tapi tak mampu menenggelamkan tawa Geral yang bergema penuh kerinduan.Namun, semuanya berubah dalam sekejap.Tanah di tempatnya berpijak bergetar aneh. Suara baling-baling itu tak lagi teratur, berubah seperti jeritan logam yang tergores keras. Helikopter yang tadinya terbang dengan tenang sekaligus gagah tiba-tiba oleng ke kanan, lalu menukik tajam.
Sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras semua tim, malam itu Geral mereservasi sebuah lounge bar eksklusif di puncak salah satu gedung pencakar langit. Suasana remang yang mewah, denting musik jaz yang lembut, dan kerlap-kerlip lampu kota dari balik jendela kaca besar menjadi latar sempurna untuk melepas penat.Berbeda dari rekan-rekannya yang larut dalam tawa dan sorak kegembiraan, Yunda justru memilih duduk di sudut ruangan. Segelas moktail berwarna cerah tergenggam di tangan, tapi aroma jeruk nipis dan potongan daun mint yang segar tidak berhasil menggugah seleranya.Dari sudut matanya, ia melihat Geral dikelilingi para kepala departemen dan manajer yang bergantian menyanjungnya. Namun, ada satu pemandangan yang cukup mengganggu: Rosa, yang sejak awal pesta tak pernah be
Benar yang dikatakan Rosa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kunjungan kali ini. Semuanya berjalan nyaris tanpa cela.Mr. Felix, pria paruh baya berkebangsaan Prancis, tiba di Grand Aurora tepat pukul sebelas siang. Dia datang bersama dua asistennya, dan langsung disambut oleh Geral, Rosa, serta beberapa eksekutif manajemen.“It’s a pleasure to welcome you to Grand Aurora, Mr. Felix,” ujar Geral, menjabat tangan pria berambut kekuningan itu dengan senyum hangat.“Thank you. I’ve heard quite a lot about this place,” sahut Mr. Felix, matanya menelusuri sekeliling lobi utama dengan penuh minat.Tepat