LOGINTidak pernah terbayangkan oleh Raisha bahwa dia akan menjalani pernikahan paling melelahkan dalam hidupnya. Kematian yang dia pikir menjadi akhir dari perjalanan hidupnya, justru menjadi awal kehancuran mentalnya. Raisha terjebak di tubuh gadis lain yang sudah memiliki suami, hubungan mereka tidak pernah harmonis bahkan cenderung di penuhi kebencian. Raisha pikir bisa bertahan dalam pernikahan itu, tapi perlahan keyakinan itu runtuh setiap kali melihat perlakuan suaminya padanya. "Mengapa Tuhan memberiku kehidupan kedua? kalo pada akhirnya hanya luka yang aku terima."
View More"Raisha!"
Suara menggelegar itu membuat gadis berambut panjang yang di kuncir ekor kuda menoleh. Bibirnya melengkung, memperlihatkan deretan gigi putih ke arah cowok yang sedang berlari menghampirinya. "Hai, Fal." Raisha menyapa dengan ramah. "Mau pulang bareng nggak?" Fallo bertanya sambil menarik napas panjang. Raisha mengangguk cepat. "Mau." "Ayo, ke parkiran. Motorku di sana," ajak Fallo sambil meraih pergelangan tangan gadis itu. Mereka berjalan menyusuri lorong sekolah menuju parkiran. Saat mereka tiba, ponsel Raisha bergetar di saku roknya. "Bentar dulu, ponsel aku bunyi." Raisha menghentikan langkah, mengeluarkan ponselnya, dan melihat nama ayahnya tertera di layar. Gadis itu melepas pegangan tangan Fallo, lalu bergeser menjauh sebelum mengangkat panggilan itu. "Halo, Pa." "Kamu di mana, Sayang? Papa sudah di depan gerbang sekolah." Raisha tampak terkejut. Dia tidak pernah meminta ayahnya menjemput hari ini. "Aku ke sana sekarang, Pa," jawabnya cepat, lalu mematikan panggilan secara sepihak. Dia berlari ke arah Fallo yang masih menunggu. Setibanya di depan cowok itu, Raisha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, merasa tak enak menolak ajakan cowok itu padahal tadi dia sudah setuju untuk pulang bersama. "Fal, maaf." Raisha tersenyum kikuk. "Aku tidak jadi pulang bareng kamu, Papa sudah menjemputku di depan gerbang." Paham maksud gadis itu, Fallo akhirnya mengangguk. "Tidak apa-apa. Kita bisa pulang bareng lain kali. Sana cepetan, kasihan Papa kamu nunggu lama." "Makasih, Fal. Besok aku traktir, deh," ujar Raisha senang. Tangan kanan Fallo terangkat, dan mengusap pucuk kepala Raisha lembut. "Oke, aku tunggu." Raisha tersenyum sebelum berbalik dan berlari menuju gerbang. Namun, saat melewati lapangan outdoor, tiba-tiba sebuah vas bunga di lantai dua bergeser akibat dorongan beberapa siswa yang berlarian. Tepat ketika Raisha melintas di bawahnya, pot dari tanah liat itu jatuh dari ketinggian dan menghantam kepalanya dengan keras. Brak! Suara pecahan vas menggema di seluruh lapangan, menarik perhatian siswa yang masih berada di sekitar sana. Tubuh Raisha langsung ambruk tanpa sempat mengeluarkan suara. Darah mengalir dari kepalanya, membentuk genangan merah di sela-sela ubin lapangan. Beberapa siswa menjerit panik, sementara yang lain terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Seorang guru yang kebetulan melintas segera berlari menghampiri. Saat dia memeriksa denyut nadi gadis itu, ekspresinya berubah tegang. Tak ada tanda kehidupan lagi dari Raisha. Fallo yang masih berdiri di tempatnya tiba-tiba merasakan firasat buruk. Dia bergegas menuju lapangan dan, begitu melihat Raisha tergeletak tak bergerak, jantungnya seolah berhenti berdetak. "Raisha?" suaranya bergetar saat dia berlutut di samping tubuh gadis itu. Matanya terpaku pada wajah Raisha yang kini pucat pasi, dengan mata setengah terbuka seolah masih menyimpan sisa kejut dari insiden tadi. Salah satu siswa berusaha menelepon ambulans, sementara guru yang tadi memeriksa tubuh Raisha menggeleng pelan. "Dia sudah ti..." "Tidak!" Dion langsung meraih bahu Raisha, mengguncangnya pelan. "Ra, bangun! Ini tidak lucu!" Namun, tubuh gadis itu tetap dingin. Tak ada respons, tak ada tarikan napas. Fallo merasakan dadanya sesak, seolah seseorang baru saja merampas sebagian jiwanya. Kerumunan semakin ramai, beberapa siswa menitikkan air mata. Tak ada yang menyangka hari itu akan berakhir dengan tragedi mengerikan. Fallo menggigit bibirnya, menahan isakan yang mengancam pecah. Baru beberapa menit yang lalu, mereka masih berbicara. Dia bahkan belum sempat mengungkapkan perasaannya. Tapi sekarang... dia kehilangan sosok gadis imut yang diam-diam telah lama dia kagumi. "Kenapa kamu ninggalin aku, Ra?" Tanya Fallo serak. "Kita ... Kita bahkan belum menghabiskan banyak waktu bersama." Beberapa saat kemudian, ayah Raisha datang. Wajahnya yang tegas seketika berubah pucat, genangan darah yang mengelilingi kepala Raisha menyentuh sepatu kulit milik ayahnya yang baru saja tiba di samping gadis itu. "Sayang," suara pria itu terdengar berat. "Bangun, jangan bikin takut dong." Para guru yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menahan tangis, beberapa menit kemudian ambulance datang dan langsung membawa tubuh Raisha yang sudah tak bernyawa menuju rumah sakit. Hari itu, sekolah yang biasanya ramai berubah menjadi hening. Mereka turut berdua atas meninggalnya sosok lugu yang selama ini di kenal baik hati oleh teman-temannya.Hari telah berganti dan malam telah menjadi pagi, di parkiran sekolah terlihat para sahabat Stevano tengah bermain teka-teki sambil menunggu kedatangan pemuda itu. "Coba tebak, apa yang ada tapi tidak dianggap?" tanya Ryker pada Axel. "Apaan? Aku malas mikir." "Kamu, haha!" Ryker tertawa mengejek. "Sialan!" Axel menimpuk kepala Ryker cukup keras. Ryker terkekeh, menyisir rambutnya dengan jari saat melihat beberapa siswi lewat di depan mereka. Tapi tiba-tiba, tatapan mereka tertuju pada sosok Nathan dan Vera yang datang berboncengan. Begitu Vera turun dari motor Nathan, keduanya bergandengan tangan menghampiri Axel dan Ryker. Raut wajah keduanya menunjukan kebahagiaan, seakan baru saja mendapat jackpot hadiah. "Halo, sayangku!" seru Ryker pada Nathan, hampir saja membuat pemuda itu meninju kepalanya. "Cari pacar sana, biar motormu tidak kosong terus," ejek Nathan sambil merangkul Vera. "Enak aja! Kamu pikir cari pacar semudah cari kerupuk?" dengus Ryker. "Banyak, kok. Cari aj
Jantung Raisha berdebar cepat, terlebih saat Stevano melingkarkan sebelah tangannya di pinggangnya yang sedikit berisi. Tidak dipungkiri, Raisha merasa senang. Ia tersenyum malu-malu lalu menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya itu, kemudian mendongak menatap jakun Stevano yang naik turun setiap kali bernapas. Tanpa malu, Raisha mengangkat tangannya, mengelus lembut jakun Stevano. Dari jarak sedekat itu, baru kali ini ia menyadari betapa tegas dan seksinya wajah pria itu. Ia bahkan tidak pernah memikirkan bahwa tindakan cerobohnya tersebut bisa membuat Stevano bertindak seperti serigala yang lapar. Namun beberapa menit berlalu, Stevano masih terlihat tak terusik oleh gerakan tangan Raisha. Tanpa sadar, gadis itu mendekatkan wajahnya, mencium jakun Stevano, lalu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher pria itu. Stevano tetap diam. Tak ada reaksi berarti seolah sentuhan lembut itu tidak menggugahnya sedikit pun. Ekspresinya tetap datar, matanya menatap lurus ke depan tanpa e
Hening sejenak di antara mereka berdua. Raya menatap malas ke arah Raisha yang tampak bingung dengan ucapannya tadi. Raya berdecak, menunjuk ke arah Raisha. "Tadi siang, kamu sudah mengadu tentang kelakuan ibuku. Dan kamu pasti tahu kalau ibuku jadi kena amukan suamimu itu. Sekarang, kamu sudah menerima balasannya, kan?" Raisha yang muak dengan sikap Raya langsung mendekat. "Kamu sendiri, apa kamu nggak malu numpang di rumah suamiku?" Tatapan Raya yang semula diwarnai rasa puas langsung berubah sengit. Ia tersinggung oleh ucapan Raisha. "Bukan aku yang numpang, tapi kamu!" Raya menoyor kening Raisha kasar. "Dasar murahan! kamu rela naik ke ranjang Stevano lalu pura-pura hamil biar dia mau tanggung jawab. Dasar jalang nggak tahu diri--" Plak! Tanpa sempat diduga, Raisha menampar pipinya hingga sudut bibir Raya berdarah. Raya menyentuh pipinya yang berdenyut nyeri, masih terkejut dengan tamparan itu. Perasaan Raisha sangat sensitif hingga emosinya meledak begitu mendengar Raya m
Raisha meraih tangan Stevano, lalu menggenggamnya saat mereka keluar dari dalam kamar. Dia bersenandung kecil sambil menggoyang-goyangkan tautan tangan mereka. Rasa canggung yang sempat dia rasakan kini sudah hilang. Raisha mulai merasa nyaman berada di dekat Stevano, bahkan perasaan itu lebih dalam dari yang bisa dia ungkapkan. Terlebih sekarang, Stevano tidak terlihat terganggu dengan semua tingkahnya yang bisa di bilang kekanakan. Saat mereka tiba di lantai satu, mereka langsung disambut oleh Kenzo dan Helena yang sudah duduk manis di meja makan. Namun ekspresi wajah mereka terlihat aneh yang membuat Raisha sedikit heran. Awalnya Stevano menolak untuk makan malam bersama, tapi ayahnya terus memaksa dan mengatakan ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan mereka berdua. Stevano menarik kasar kursi meja makan, lalu duduk bersebelahan dengan Raisha. Tatapan dinginnya tertuju pada ayahnya, yang kini juga sedang menatapnya. "Mau bicara apa sama aku?" tanya Stevano tanpa be
Stevano memarkir motor sportnya di depan rumah Axel, lalu cowok itu berjalan memutari rumah menuju gasebo tempat ketiga sahabatnya sudah berkumpul. Sedangkan Raisha sudah di seret ke dalam kamar Vera begitu mereka tiba di rumah tersebut.Kedatangan Stevano langsung di sambut antusias oleh mereka bertiga, terutama Ryker yang langsung melambaikan tangannya tinggi-tinggi seperti mereka berada di tengah kerumunan banyak orang."Tumben jam segini wajahmu udah cemberut aja, Stev." Seru Nathan heran."Biasa abis banyak drama di rumah," jawab Stevano singkat, dia mengambil tempat duduk di samping Axel.Ryker terkekeh, "Kenapa nggak kamu lelang aja itu tante girang, Stev?""Benar, atau paketin aja ke sungai amazon biar di makan anaconda," imbuh Nathan."Atau jual aja di pasar gelap," sahut Ryker."Atau kamu kawinin aja sekalian, Ste-"Bugh.Detik itu juga Stevano menimpuk belakang kepala Axel yang berbicara ngawur, cowok itu membuang puntung rokoknya ke rumput. "Sana kamu aja yang kawin sama d
"Mau ke mana kamu hah?" Raisha yang tengah menuruni anak tangga langsung berhenti, lalu menoleh ke arah ruang keluarga di mana ada sosok Helena, ibu mertuanya itu sedang membaca majalah sambil melemparkan tatapan tak suka padanya. "Mau ke dapur, Ma. Ambil buah." Jawab Raisha sopan, dia tidak ingin membuat keributan di rumah suaminya. "Eh, enak banget kamu makan makanan orang. Kalau mau buah, beli sendiri dong. Jangan karena kamu istrinya Stevano, kamu bisa seenaknya di rumah ini!" sinis Helena. Seketika wajah Raisha berubah cengo, dia baru paham maksud ucapan Evelyn dan Stevano padanya. Rupanya ibu tiri suaminya itu benar-benar rubah yang licik, harus Raisha akui bahwa akting wanita paruh baya itu sangat profesional sampai-sampai membuatnya hampir percaya bahwa dia wanita baik. Raisha merasa marah dan ingin menangis, dia tahu sejak dia berpindah tubuh dan hamil dia menjadi sangat cengeng, tidak di pungkiri semua itu karena hormon ibu hamil yang tinggi. Mata Raisha langsung berka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments