Seorang pria paruh baya melempar beberapa lembar foto tepat di wajah gadis cantik yang sedari tadi diam dan membisu. Foto-foto tersebut berserakan di lantai rumah. Gadis cantik itu melirik sekilas foto-foto tersebut. Sesungguhnya ia sama sekali tak ingin menangis, malah ingin sekali tertawa terbahak-bahak. Namun, segera ia urungkan niat tersebut.
"Hanania Onella!"Pria paruh baya itu membentak gadis cantik tersebut yang duduk di hadapannya. Terlihat kilatan amarah yang sejak tadi berusaha ia pendam. Lengan kanan kekar miliknya dielus perlahan wanita berpenampilan hedon yang duduk di samping kanan."Kenapa kamu diam saja, ha?! Jawab pertanyaan Papa! Kenapa kamu seliar itu, mau jadi apa kamu kedepannya? Percuma disekolahkan jika urakan begitu."Hanan menatap nyalang wanita yang tersenyum remeh padanya. Bermuka dua, berpura-pura menenangkan suasana hati suami hasil rebutan. Dasar wanita ular! Wanita yang sudah merampas semua kebahagiaan miliknya."Lalu apa yang harus kujawab, Pa? Bukankah Papa lebih percaya pada ucapan wanita sialan itu?" Telunjuk Hanan tepat berapa di depan wajah wanita yang berhasil merebut kepercayaan sang papa darinya."Yang sopan kamu sama orang tua! Dia juga ibumu, hormatilah!" Pria yang disebut Papa itu mengangkat tangan kanannya, namun, dicegah wanita yang paling dibenci oleh Hanan."Baiklah, maafkan aku yang kurang sopan ini Ibu. Terima kasih banyak atas fitnah keji yang kau lontarkan pada Papa, Cih! Sebelum kedokmu aku buka di depan Papa, lebih baik jujur saja padaku. Kau sengaja memata-matai aku kemarin saat reunian, lalu dengan sengaja mengambil fotoku saat kami tak sengaja berpelukan. Kau hebat, Amora. Asal kau tau, kami gak saling mengenal dan dia itu waiters cafe yang tak sengaja menolongku ketika hampir jatuh!" Hanan meraih vas bunga yang terletak di atas meja, lalu membantingnya.Sontak sang papa dan Amora, ibu tirinya terkejut. Hanan yang dikenal tak banyak bicara itu akhirnya berani melawan."Papa lebih percaya sama dia kan? Baiklah, Hanan gak masalah untuk hal itu. Tapi asal Papa tau, Hanan bisa jaga diri. Laki-laki yang memeluk Hanan di foto itu memang benar, tapi tidak untuk tuduhan keji Amora. Hanan gak ngelakuin apa pun, bahkan gak mengenal sama sekali sama lelaki itu." Hanan melenggang keluar dari rumah mewah bak neraka tersebut, memilih meninggalkan kekacauan.Entah makian apalagi yang terlontar dari mulut Syahreza, sang papa untuk Hanan. Yang jelas ia sudah tak peduli lagi. Kali ini Amora menang, bermain dengan licik untuk membuat anak dan Ayah tidak akur.***Hanan mengendarai motor sport miliknya menuju rumah sang mama. Ingin sekali ia melempar mini bag yang dibawa ke wajah Amora. Masing terngiang-ngiang bentakan Syahreza, hatinya sangat sakit. Begitu mudah mempercayai ucapan Amora.Karena melamun, tanpa terasa motor sport yang dikendarai sudah tiba di depan rumah milik sang mama. Hanan tersadar, bergegas mematikan mesin motor, lalu melangkah masuk ke dalam rumah."Dari mana saja kamu?" tanya wanita yang memakai dress berwarna silver. Menatap tajam Hanan yang melangkah masuk tanpa menoleh.Hanan menghentikan langkahnya. "Tumben Mama nanya, Hanan jadi curiga. Memangnya ada apa? Sampai-sampai Mama repot-repot maksa Hanan buat pulang ke sini kemarin malam?""Kamu mempermalukan Mama, Hanan!""Mempermalukan?" tanya Hanan."Terus saja kamu melawan, begini hasil didikan Syahreza padamu? Kamu benar-benar sulit diatur. Lebih baik kalau begini kamu harus segera dinikahkan!""A-apa?!" Kedua bola mata Hanan melotot. Terkejut dengan ucapan sang mama."Lihatlah teman-temanmu yang sudah menikah dan hidup bahagia. Apa kamu gak iri?""Apa Mami bisa menjamin hidup Hanan bakal bahagia jika sudah menikah?" sarkas Hanan."Seharusnya kemarin malam pertemuan dua keluarga, kamu dan Naufal harusnya ada. Tapi kamu malah mempermalukan Mama dengan ketidakhadiran. Mama sengaja gak ngasih tau, karena kamu pasti menolak pulang ke sini. Kamu bodoh, Hanan! Naufal itu laki-laki sempurna dan mapan. Hidupmu pasti terjamin bahagia bersamanya."Hanan mencibir. "Iya, Naufal itu sempurna di mata Mama. Padahal wujudnya saja Hanan gak tau.""Ya, sudah, jangan banyak melawan. Mama akan hubungi keluarga Naufal, untuk siap-siap besok lamaran. Kalau perlu langsung akad nikah saja."Hanan berkacak pinggang, tidak terima dengan keputusan tak masuk akal tersebut. Mendebat ucapan sang mama, ia rasa percuma dan sia-sia. Menyesal sudah pulang ke rumah sang mama. Lebih baik pergi menenangkan suasana hati. Queen melangkah keluar rumah dengan terburu-buru dan bruk!"Lain kali hati-hati kalau jalan," tegur cowok yang tak sengaja Hanan tabrak tepat di depan ambang pintu.Hanan mendongak, terkejut melihat sosok yang berdiri di hadapannya."Mau ke mana? Kaget banget jumpa aku, Mama mertua mana?"Hanan terperangah. Drama apa lagi ini?Bersambung...Hanan kikuk, terdiam seribu bahasa hingga memakan waktu satu jam. Ia hanya mampu menundukkan kepalanya. Bingung harus menjawab apa, padahal belum ada satu kalimat pun yang dilontarkan Ayana. Hanan benar-benar seperti tersangka, yang akan diintrogasi habis-habisan oleh penegak hukum. Wajahnya juga sudah pias, menahan rasa takut.Hanan dan Ayana hanya saling sikut sejak tadi. Ayana juga sepertinya sedang menguji kejujuran dari Hanan. Tidak ada niat untuk membuka percakapan lebih dulu. Apalagi Hanan, usai memberikan segelas jus jeruk dan menyajikan beberapa cemilan, Ia langsung terdiam dan duduk di samping Ayana. Hanan benar-benar meruntuki kebodohannya, sangat ceroboh. "Minuman nya gak bakalan abis sendiri, kalau cuman diliatin doang, Mi." Hanan takut-takut saat berusaha mengajak Ayana berbicara.Ya, saat mendengar Hanan marah-marah dan memaki Naufal, lalu ternyata yang menelepon adalah Ayana. Tidak perlu menunggu waktu lama, Ayana sudah berada di ambang pintu rumah. Lalu ke mana Naufa
Kejam, jahat, tega? Julukan apalagi yang akan disematkan untuk Hanan tadi malam? Hm, Hanan rasa ia tak peduli, tidak ambil pusing. Baginya itu masih wajar saja, jika dibandingkan dengan kejamnya mulut Naufal. Rela memakai dan memfitnah istri sendiri, tanpa mau bertanya lebih dulu. Seolah-olah Hanan tersangka yang tidak patut didengar suaranya.Ya, tadi malam Hanan memang sengaja dan tidak akan peduli lagi pada Naufal. Ia mengunci pintu kamar, agar Naufal tidak bisa masuk ke dalam. Hanan juga tidak memberikan selimut pada Naufal. Membiarkan suami yang hanya menyandang status saja itu meringkuk kedinginan. Ia juga berusaha menulikan pendengaran saat Naufal tadi malam memangil namanya."Hari bermalas-malasan!" gumam Hanan.Ya, Hanan memang mengambil cuti kerja untuk hari ini. Setelah menikah ia memang sangat gila kerja. Tidak pernah libur, lebih senang menghabiskan waktu di tempat kerja.Hanan sudah bangun sejak satu jam yang lalu. Namun, ia hanya berguling-guling di atas tempat tidur. P
Hanan tidak takut sama sekali dengan ancaman Naufal. Kalau perlu diingatkan lagi, Hanan tidak pernah lagi hidup damai dan tentram sejak perceraian kedua orang tuanya. Nenek lampir itu merusak kebahagiannya, Syahreza yang lebih percaya dan tidak mau mendengar sedikit saja kejujuran sang putri. Lalu Manda yang selalu egois, semua keinginannya harus dipenuhi.Ingat baik-baik dan camkan! Jadi, ancaman seperti itu sangat tidak berlaku untu Hanan. Ia menghentikan langkahnya bukan karena mengurungkan niat untuk pergi. Hanan sangat membenci, ketika memiliki masalah dengan orang lain, lalu disangkut pautkan pada Syahreza. Ia cukup mandiri sejak sini, mampu menyelesaikan masalah seorang diri."Kamu kira aku takut? Ancamanmu sama sekali gak berlaku buat aku, suami sampah!" cibir Hanan."Apakah kamu terlahir sebagai pembangkang?" tanya Naufal.Hanan mengepalkan tangan, padahal sejak tadi berusaha untuk tidak bertingkah brutal dan mengendalikan emosi. Naufal sepertinya memang sedang benar-benar me
"SUDAH KUBILANG, NANTI DULU JIKA MAU BICARA. BIARKAN AKU MANDI SEBENTAR!" teriak Hanan. Hanan sudah bisa membaca suasana, pasti ada yang tidak beres. Akan ada pertengkaran antara dirinya dengan Naufal. Hati Hanan juga teramat sakit, saat mendengar kalimat sindiran yang diucapkan Naufal. Bukan berarti Hanan sedang berusaha mengelak, Ia juga penasaran. Namun, tubuhnya juga lelah, Ia harus membersihkan diri terlebih dahulu.Setelah dibentak oleh Hanan, Naufal langsung terdiam. Duduk menunggu di ruang keluarga, bersantai di atas sofa. Meskipun Hanan tahu, tatapan Naufal tak lepas dari gerak-gerik nya. Berusaha tenang dan mengontrol emosi, Hanan mandi juga terkesan buru-buru. Ia bahkan membiarkan kepalanya masih dibungkus handuk."Ada apa? Aku sudah siap untuk adu jotos denganmu!" ketus Hanan. Ia berdiri tak jauh dari Hanan duduk."Begitu sikapmu pada suami?" sindir Naufal.Hanan menatap sinis pada Naufal. "Berharap dianggap suami?""Jangan buat kesabaranku habis, Hanania Onella!" bentak
"Kerja saja dulu, gajian 'kan nanti sore kalau mau pulang." Hanan berlalu keluar dari ruangan. Jam kerja sudah dimulai. Efek kalimat dari Lyra ternyata memberikan pengaruh besar juga. Hanan terlihat lebih bersemangat sekali. Bahkan jam kerja yang biasanya terasa cepat sekali usai, kini berubah. Terasa begitu lambat, sesekali Hanan melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, disela-sela kesibukan melayani pengunjung."Kenapa gajian bisa bikin kita bahagia?" tanya Lyra."Karena bakalan dapat duit.""Pinter kamu, Hanan." "Gitu doang masa gak tau, terlalu bego namanya."Saat yang ditunggu akhirnya tiba juga. Dengan wajah sumringah Hanan dan Lyra keluar dari ruangan bos besar. Masing-masing menerima amplop hasil jerih payah selama satu bulan. Jam kerja telah usai. Hanan dan Lyra tentu saja berniat menyenangkan diri terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah."Kita makan bakso dulu, yuk!" ajak Lyra."Aku gak lapar, pulangnya aja gimana?" Lyra mengangguk tanda menyetujui
Ah, benar, hanya mimpi belaka. Bunga tidur yang biasa menemani saat sedang terlelap. Naufal sadar, kini ia bahkan sedang berusaha memeluk tubuh Hanan. Yang tentu saja keheranan dengan sikapnya. Pengaruh mimpi untuknya ternyata cukup besar. Hingga kini ia merasa begitu ketakutan akan kehilangan."Aku gak bisa napas, Naufal! Kamu mau bunuh aku, ha?!" Hanan akhirnya mengigit tangan Naufal yang memeluk erat tubuhnya."Aduh, Kamu ini nyeremin banget. Main gigit-gigit begitu," keluh Naufal. Mengelus tangan kanannya, ada bekas gigi Hanan."Bodo amat, lepasin gak?"Naufal memutuskan melepaskan pelukan, takut juga jika digigit kembali. Ternyata selain galak dan jutek, Hanan juga hobi mengigit.Hanan menendang tubuh Naufal agar menjauh. "Jangan modus, Gak mempan sama aku!""Iya deh, Iya. Makasih udah mau mengkhawatirkan aku."Hanan memilih abai, semenjak bangun tidur, Naufal sepertinya semakin aneh. Ia juga sebenarnya penasaran, mengapa bisa sampai Naufal mengigau menyebut namanya.'Manusia sat