"Kau hanya memakai satu anting?" tanya Night dengan posisi yang masih sangat dekat. Namun, hal itu cukup membuat Aruhi lega, sebab sudah salah paham dan apa yang ia pikirkan sepenuhnya salah meski Night masih belum berniat menjauh darinya. Hingga di detik kemudian ketika ia benar-benar sadar dengan apa yang di tanyakan Night barusan.
"A-anting?"
"Ya. Anting. Kau pikir apa?" tanya Night mengetuk dahi Aruhi dengan telunjuknya sebelum kembali dengan posisinya semula.
"Anting?!" Aruhi reflek pegangi kedua telinganya. Dan benar saja, ia tidak mendapatkan satu antingnya di sana. Bahkan mulai panik saat merasa telah menghilangkan benda miliknya yang sangat berharga. "Oh no. Where are my earrings?"
"Hoh? Kau bertanya padaku? Di mana kau meletakkan antingmu? Aku sempat berpikir jika memakai satu anting adalah salah satu trend gadis jaman sekarang ...."
"Kau gila?!" pekik Aruhi keras hingga membuat Night cukup terkejut. Namun, hanya diam saja dengan bibir terkatup dan tidak berani menjawab lagi, "ah, di mana dia?" sambungnya mulai mengutak-atik isi tasnya, karena tidak puas ia sampai mengeluarkan semua isi dalam tasnya, berharap benda yang ia cari ada di sana.
"Kau bisa mencarinya nanti."
"Bagaimana jika aku tidak menemukannya?" tanya Aruhi hampir menangis.
"Kau bisa menggantinya dengan yang baru."
"Aku rasa tidak." Aruhi kembali membongkar isi tasnya untuk yang kedua kali. Bahkan sampai membalikkan tasnya ke atas.
"Kenapa tidak?"
"Karena anting itu pemberian ibuku," balas Aruhi dengan kedua mata yang mulai berkaca.
Night menarik napas panjang sebelum mengeluarkannya dengan perlahan. Kembali mengingat momen di mana Aruhi menerima hadiah spesial. Hadiah berupa sepasang anting indah dari sang ibu di usianya yang saat itu menginjak tujuh belas tahun.
"Di mana dia?"
"Astaga, kenapa kau sangat ceroboh?"
"Aku tidak pernah melepaskan anting itu sekalipun aku bahkan terus memakainya," balas Aruhi kembali meraba telinganya sambil mencoba mengingat sesuatu yang pernah ia lakukan sebelum kehilangan anting itu.
"Baiklah, kau harus tenang sekarang, aku akan membantumu untuk mencarinya nanti," bujuk Night, "sebaiknya kita turun, ada kemungkinan kau menjatuhkannya di restaurant."
"Begitukah? Tapi semalam aku tidak ke restaurant, 'kan?"
"Lalu kau kemana semalam?" tanya Night dengan alis mengernyit dan tatapan yang sangat serius.
Aruhi bahkan lupa jika Night bisa menjadi sangat posesif padannya. Hingga kembali membuatnya mengingat satu kejadian yang sudah di alami semalam. Dan mengapa ia sampai melupakan hal itu.
"Aruhi Morthen, kemana kau semalam?!" tanya Night sekali lagi ketika tidak mendapatkan jawaban apa pun.
"Aku .... " Kalimat Aruhi tertahan di tenggorokan. "Bersama seorang pria asing di dalam hotel. Ah, sungguh membuatku prustasi. Apa aku menjatuhkannya di sana?" sambungnya membatin.
Aruhi yang terus memikirkan anting miliknya yang hilang, hingga lupa satu hal penting jika Night benar-benar akan berubah menjadi seekor anjing gila jika tahu apa yang sudah terjadi dengannya.
"Aku menghabiskan waktu di perpustakaan, sebelum kembali ke rumah," jawab Aruhi dengan nada setenang mungkin, men-skip kejadian yang di alami semalam.
"Apa kau menjatuhkannya di perpustakaan?" tanya Night yang terlihat percaya begitu saja sebab selama ini Aruhi memang tidak pernah berbohong padanya.
"Aku rasa ... yah."
"Okay, bagaimana jika kita masuk dulu. Aku akan membantumu untuk mencarinya, berhenti memasang wajah murung dan tersenyumlah," bujuk Night, berharap hal itu bisa membuat Aruhi jauh lebih tenang.
Ia bahkan harus melakukan itu sepanjang waktu untuk membuat perasaan Aruhi membaik, sebab tahu jika saat ini Aruhi sedang tidak baik-baik saja karena kehilangan benda kesayangannya. Ia pun terus mengusap surai panjang Aruhi, karena tahu jika gadis itu akan merasa lebih baik dengan perlakuannya sekarang, dan hanya ia yang mengetahui itu. Meski kenyataannya, apa yang ia lakukan saat ini tidak cukup menghibur Aruhi yang masih saja memasang wajah muram sepajang hari, dan hal itu cukup membuatnya stres.
Night menarik sebuah kursi dan duduk tepat di hadapan Aruhi yang terus melamun tak seperti biasa. "Masih memikirkan anting itu?"
"Hmm. Aku hanya merasa sedih karena sudah kehilangan anting itu, kau tahu sendiri, 'kan? Jika anting itu adalah hadiah dari Ibu yang harus aku jaga. Tapi aku malah menghilangkannya."
"Yah, yah. Aruhi dan kecerobohannya yang selalu berjalan berdampingan," goda Night tersenyum, mengabaikan wajah cemberut Aruhi yang tengah menatapnya kesal.
"Aku tak berharap kau bisa menghiburku, tapi setidaknya jangan membuatku kesal."
Night melebarkan senyuman. Seolah ucapan Aruhi tidak berpengaruh untuknya. Ia pun tidak keberatan jika gadis itu akan mengumpat bahkan memukulinya, sebab ia juga sudah terbiasa dengan perlakuan gadis itu padanya. "Berhenti menekuk wajahmu seperti itu, kau sudah terlihat sangat jelek sekarang. Dan aku jadi tidak menyukaimu lagi."
"Berhenti menggodaku, Tuan. Kau selalu pandai membuatku kesal setiap waktu!"
"Aku hanya sedang berpikir, apa kau benar-benar tidak sadar jika di kota ini punya puluhan atau bahkan ratusan toko perhiasan, kenapa kau tidak mencarinya saja di sana, mungkin kau akan menemukan yang sama persis dengan antingmu yang hilang," balas Night mencoba memberikan saran, dan ia rasa itu cukup berhasil, sebab ekspresi Aruhi seketika berubah di detik kemudian.
"Baru kali ini otakmu bekerja dengan benar." Aruhi mengangkat tangan dan meletakkannya di atas kepala Night sebelum mengusap pucuk kepala pria itu, seolah lupa jika pria di hadapannya memiliki tinggi 190 cm. Ia bahkan tidak peduli jika harus membuat rambut yang sudah di tata dengan sangat rapi oleh pamode itu menjadi sedikit berantakan.
"Apa sekarang kau sedang mengataiku, Nona muda?"
"Oh, kau tak mendengar? Aku sedang memujimu."
"Tapi itu tidak terdengar seperti pujian."
"Begitukah? Aku hanya suka dengan jalan pikiranmu hari ini. Itu adalah suatu pujian, seharusnya kau senang," balas Aruhi yang masih mempertahankan senyum di wajahnya. Tanpa menyadari jika apa yang ia lakukan sudah membuat Night memikirkan banyak hal di kepalanya.
"Begitukah?"
"Yah, menurutmu?" balas Aruhi lekas beranjak dari duduknya untuk menjauh dari jangkauan Night, sebab tahu jika pria itu pasti akan menangkapnya dan berakhir di bawah ketiaknya.
"Kemari kau!" panggil Night beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Aruhi, ia memiliki kebiasaan yang selalu mengapit leher gadis itu dengan lengan kekarnya. Sungguh suatu kebiasaan yang sudah sejak dulu selalu di lakukannya jika merasa kesal padanya.
"Ahk ... lepaskan tanganmu, berhentilah memperlakukanku seperti anak kecil, apa kau berniat membunuhku?" balas Aruhi sedikit berontak berusaha melepaskan dirinya dari kekapan pria bertubuh tinggi kekar itu.
"Jika memang aku harus berhenti memperlakukanmu seperti anak kecil, jadi mulai sekarang, apa aku harus memperlakukanmu sebagai seorang wanita dewasa?" tanya Night dengan nada serius sambil menatap wajah Aruhi yang tiba-tiba merona.
"Apa yang sedang kau bicarakan? Aku bahkan sudah dewasa sekarang, apa kau lupa?"
"Benarkah? Tapi aku selalu merasa jika kau masih seorang gadis kecil yang manis bagiku," balas Night melepaskan kekapannya.
"Terserah saja, yang jelas aku bukan gadis kecil lagi. Tapi wanita ...."
"Jika kau tidak ingin di perlakukan seperti gadis kecil, maka carilah seorang pria dan mulailah berkencan," potong Night dengan tatapan serius.
Night mulai mengagumi pupil hitam pekat yang di mahkotai iris coklat terang milik gadis itu, juga rahang tirus dan bibir sensual yang membuat gadis remaja itu selalu terlihat cantik di usianya yang bahkan masih sangat muda. Namun, sudah memiliki lekukan feminim proposional dengan suara khasnya. Dan gadis yang selalu terlihat sempurna di mata Night itu adalah gadis yang sejak dulu selalu bersamanya, bahkan saat gadis itu masih berusia dua tahun hingga sekarang yang sudah menginjak dua puluh dua tahun. Yah, mereka sudah bersama sejak kecil, begitu juga dengan kedua orang tua mereka yang juga sudah sangat dekat satu sama lain.
Aruhi menatap wajah Night yang terlihat serius, bahkan lebih serius dari apa yang pernah ia ingat sebelumnya. "Sayangnya aku masih belum ingin melakukannya. Lagi pula dalam mencari pasangan itu bukan perkara yang mudah. Dan mulai dari sekarang berhentilah menyuruhku untuk berkencan."
"Kenapa? Apa kau ingin menungguku untuk melamarmu? Apa aku harus bertemu dengan Paman untuk melamarmu sekarang juga?" Night kembali mengatakan hal yang sama seperti biasa.
"Oh, demi Tuhan. Berhenti menggodaku."
"Aku tidak sedang menggodamu, Aruhi. Kau tahu itu," balas Night.
"Lalu?"
"Kau milikku. Semua orang juga tahu itu, baik Nine, Ayah, Ibu, Paman dan Bibi."
"..."
"Aku serius."
"..."
"Apa kau tidak?"
---
"Apa selama ini kau juga mencemaskanku?""Hah?!""Sepertinya tidak," balas Muren mulai merajuk di hadapan Aruhi yang membuatnya malah terlihat menggemaskan."Tentu saja aku lebih mencemaskan Anda, aku mencemaskan hubungan kita, aku bahkan sangat tersiksa karena sangat merindukan Anda," ungkap Aruhi untuk yang kesekian kalinya, sebab tahu jika pria itu sangat menyukai saat mendengarnya, ia pun mengusap wajah pria itu dengan lembut penuh kasih, betapa ia sangat menyayangi kekasihnya.Hingga pergerakan tangan Aruhi terhenti saat ia menyadari sejak tadi Muren sedang menatapnya dengan tatapan intens, tatapan yang membuat Aruhi seketika merasa gugup, di tambah lagi saat Muren mengusap bibir merah muda itu dengan ibu jarinya.Ada apa ini, kenapa sangat canggung. Aruhi mengedipkan matanya berulang kali saat Muen mulai mendekatkan wajahnya, hingga ia bisa merasakan napas hangat yang keluar dari mulut yang beraroma mint dari pria itu."Tuan Elves ...?!""Apa aku boleh melakukannya lagi?" bisik
"Yah, dan yang membuat Muren tak bisa melakukan apa pun terhadapa Ellena selain memutuskan hubungan sepihak karena, pria yang menjadi kekasih Ellena adalah Nine, yang tak lain adalah kakak dari Aruhi sendiri.""A-pa?""Seperti yang kau dengar.""Jadi yang membuat masalah menjadi semakin rumit, karena itu?""Yah, semuanya jadi serba kebetulan.""Lalu bagaimana mereka bisa berakhir menjadi seorang kekasih?" tanya Lucas yang masih sangat penasaran dengan semua kisah yang sudah terjadi di antara kakaknya dan Aruhi."Mereka kembali bertemu dua tahun kemudian, oleh satu insiden yang sama seperti sebelumnya," balas Gunn yang menceritakannya secara mendetail."Dua tahun kemudian?""Yah, mereka membutuhkan waktu selama itu, sampai hati Muren sepenuhnya pulih dari luka hatinya, dengan terus mengkomsumsi alkohol, sungguh satu cara yang berbeda untuk melupakan semuanya.""Dan aku rasa ia selalu beruntung jika sedang mabuk, apa itu takdir mereka? Sebab selalu Aruhi yang menemukannya," sambung Luca
"Semoga semuanya membaik." Lucas meletakkan beberapa barang yang masih untuh dari atas lantai ketempat semula, dan beruntung hanya beberapa barang yang pecah dan rusak di sana, jadi Lucas tidak begitu kesulitan untuk membereskan semuanya."Sepertinya baru saja terjadi badai di sini," ucap Gunn ikut membalikkan meja yang terbalik di sana. Entah sejak kapan pria itu di sana, Lucas bahkan tak menyadarinya."Yah, seperti yang kau lihat," balas Lucas masih tak habis pikir. Merasa jika tak hanya masalah dirinya dan Aruhi yang ada di dalam kepala Muren. Tapi ada masalah lain yang membuat kakaknya jadi sedikit berubah, entah itu apa. Lucas tak berhenti memikirkannya."Ada apa lagi?" tanya Gunn."Apa Muren tak mengatakannya?""Mengatakan apa?""Semalam ia tak pulang.""Apa?""Semalam Muren tak pulang, bukankah kalian bersama?" tanya Lucas setelah semuanya kembali rapi."Tak pulang? Maksudnya?""Muren pulang dalam keadaan kacau pagi tadi, dengan aroma alkohol yang menyengat, aku rasa ia memn
"Apa maksudmu?""Ada apa? Apa aku salah berbicara sekarang? Kali ini aku masih bisa memaafkanmu. Aku tahu, kau melakukan itu semua karena peduli dengannya. Tapi mulai sekarang berhentilah melakukan hal yang bisa membuatku salah faham, Lucas. Sebab aku tahu apa yang harus aku lakukan untuknya. Dan aku sangat berterima kasih karena kau sudah menjaganya selama ini," balas Muren menatap tajam."Aku rasa kau sudah salah paham denganku, Kak ....""Apa menurutmu begitu? Yah, mungkin kau benar, aku sudah salah paham denganmu, maka dari itu. Jangan pernah melakukan hal yang bisa membuatku salah paham. Aku sudah mengatakan itu sebelumnya," potong Muren masih dengan tatapan tajamnya.Hening.Tak ada satu kalimat yang keluar dari mulut mereka, dan hanya tatapan mata tajam yang saling beradu sejak tadi. Hingga membuat suasana menjadi semakin menegangkan, bagaimana tidak jika saat ini perasaan cemburu kini menguasai hati juga pikiran Muren, hingga membuatnya menjadi sangat marah, dan kesulitan untu
Suara dentuman musik yang menggema di ruangan dengan pencahayaan yang cukup minim mengiringi sebagian para pengunjung untuk menari di atas flanel dengan pasangan masing-masing. Dan di antara sekian banyak pengunjung, terlihat sosok Muren yang sedang duduk seorang diri, seperti biasa sambil menikmati minumannya. Bahkan ia sudah terlihat sangat mabuk hingga tidak menyadari jika ada beberapa jalang yang sedang menggerayanginya, ada pula yang sampai duduk di atas pangkuannya."Ruhi ...." gumam Muren, ketika melihat sosok Aruhi di sampingnya. "Ruhi, jadi dia yang sudah membuatmu seperti ini? Oh sayang sekali, kau pria yang sempurna, jika bersamaku kau tidak akan merasakan kesedihan," balas wanita itu tak berhenti tersenyum. "Bisakah ... kau tak menghindariku? Bisakah kau hanya percaya padaku? Aku mohon, jangan membuatku cemburu." Muren menangkup wajah seorang wanita yang sejak tadi bersamanya.Setidaknya halusinasi tersebut bisa membuat kesedihannya berkurang. Dengan membiarkan sosok yan
"Apa aku terlalu pengecut?" tanya Aruhi yang masih tertunduk. Seolah tak memiliki kekuatan lagi untuk menatap Lucas di hadapannya. Entah mengapa, semua menjadi sangat rumit. Terkadang timbul perasaan dan keinginan yang membuatnya ingin menyerah saja. Namun, perasaan cinta yang di rasakan untuk Muren teramat besar hingga mengalahkan semuanya. "Hmm. Gadis pengecut yang manis, dan sepertinya kita harus pulang sekarang," balas Lucas yang langsung beranjak dari duduknya, meraih tangan Aruhi yang hanya menurut mengikuti langkahnya. Berjalan beriringan dengan hening yang kembali menemani mereka. Sungguh satu pemandangan yang tidak seperti biasa. Normalnya, Lucas akan terus berbicara tanpa henti, terlebih jika itu di samping Aruhi. Tetapi saat ini. Pria itu lebih banyak diam sam hanya terus mengikuti langkah Aruhi sambil mengamati gadis itu. "Kenapa hanya diam saja?" tanya Aruhi tanpa memalingkan pandangan. "Aku hanya bingung harus mengatakan apa." "Kau selalu mengatakan apa sa