Share

Mogok Makan

Hampir semalaman, Mayzura tidak dapat tidur karena memikirkan banyak hal. Merasa tertekan dengan segala masalah yang menimpanya, Mayzura memutuskan untuk pergi pagi ini. Dia membutuhkan udara segar supaya bisa berpikir lebih jernih. Namun, Mayzura menunggu sampai sang ayah berangkat ke kantor, barulah dia akan keluar dari kamar. Jujur, dia sedang tidak ingin bertemu muka dengan ayahnya itu.

Setelah mendengar deru mobil sang ayah, Mayzura perlahan membuka pintu kamarnya. Melihat kondisi rumah yang lengang, Mayzura bergegas menuju ke dapur untuk mencari Bi Darti.

“Bi Darti, apa Sadewa ada di rumah?” tanya Mayzura.

“Sadewa izin keluar sebentar, katanya mau mengambil baju dan barang-barangnya di kos, Non.”

Wajah Mayzura seketika berubah ceria karena dia punya kesempatan untuk pergi diam-diam.

“Bagus, aku akan pergi sebentar. Di mana kunci mobilku, Bi?”

Bi Darti membasahi bibir bawahnya sebelum menjawab pertanyaan Mayzura. Pelayan setia keluarga Nugraha itu takut bila sang Nona akan marah besar.

“Kun-ci mobil dibawa oleh…Sadewa. Dia memakai mobil Non untuk pergi ke kosnya,” jawab Bi Darti terbata-bata.

Sontak, darah Mayzura serasa terkumpul di ubun-ubun. Andai saja Sadewa ada di hadapannya saat ini, sudah pasti dia akan memaki pria tidak tahu diri itu.

“Apa?! Beraninya dia menggunakan mobilku tanpa izin lebih dulu. Aku akan membuat perhitungan dengannya!” pekik Mayzura dengan emosi yang memuncak.

“Sabar, Non. Sadewa membawa mobil itu atas perintah dari Tuan Agam. Tuan bilang Non Mayzura tidak boleh mengemudikan mobil sendiri tanpa pengawasan,” jelas Bi Darti.

“Papa benar-benar keterlaluan. Kalau begitu aku akan memesan taksi online, yang penting aku bisa keluar dari neraka ini.”

Sambil menghentakkan kakinya, Mayzura berjalan cepat meninggalkan dapur. Namun, Bi Darti berusaha untuk mengerjarnya dari belakang.

“Tunggu, Non, Anda tidak bisa keluar dari rumah. Tuan Agam berpesan supaya pintu depan dan gerbang ditutup. Saya dan Pak Benu tidak boleh membukanya,” seru Bi Darti.

Secara refleks, Mayzura membalikkan punggung lantas memandang Bi Darti dengan tatapan nanar.

“Oh, jadi Papa ingin membuatku jadi tahanan rumah? Baiklah, Bi, aku akan menuruti kemauan Papa. Dia lebih suka melihat putrinya menderita daripada bahagia.”

Untuk kesekian kalinya, rongga dada Mayzura terasa sangat nyeri. Segera dia berlari menuju ke kamar dan membanting pintu dengan keras. Sungguh, gadis itu ingin sekali melakukan sesuatu untuk menyalurkan rasa frustasinya.

Sambil berurai air mata, Mayzura membuang semua peralatan make up di meja riasnya. Toh, tidak ada gunanya ia berdandan cantik selama ini, karena hidupnya akan hancur di tangan sang ayah.

Di kala air matanya sedang menganak-sungai, Mayzura mendengar getaran ponselnya yang terus berulang. Melihat nama Enzio yang tertera di layar, Mayzura pun menyeka air matanya. Dia merasa perlu menyelesaikan urusannya dengan pria pengecut itu sekarang juga.

“Ada urusan apa kamu meneleponku?” tanya Mayzura dengan suara sinis.

“Sayang, kenapa kamu ketus sekali padaku? Kamu marah padaku?” balas Enzio dari balik telepon.

“Jangan memanggilku “Sayang”, karena itu membuatku muak. Kamu masih bertanya apa aku marah? Aku menunggumu di danau sampai dikejar oleh penjahat, tetapi kamu sama sekali tidak muncul,” cecar Mayzura.

“Aku sengaja tidak datang supaya kamu bisa berpikir ulang, May. Sudah kukatakan sejak kemarin, aku tidak setuju jika kita kawin lari. Kita masih bisa mencari jalan keluar lain,” jawab Enzio beralasan.

“Hentikan omong kosongmu, Zio! Kamu hanya seorang pria pengecut yang mementingkan diri sendiri. Mulai detik ini, hubungan kita berakhir. Kita putus! Jangan pernah menelepon atau menemuiku lagi,” tandas Mayzura seraya menahan lara di hatinya.

Enggan mendengarkan suara Enzio, Mayzura mematikan ponselnya. Gadis cantik itu membenamkan wajahnya di bantal, berusaha meredam isak pilunya dalam keheningan.

Lelah mengeluarkan air mata ditambah kurang tidur semalam, membuat Mayzura akhirnya terlelap. Layaknya orang yang pingsan, gadis itu baru tersadar sekitar pukul tiga sore. Itu pun karena dia mendengar bunyi ketukan, diiringi suara perempuan yang memanggil namanya.

“Non, tolong buka pintunya. Non Mayzura harus makan sekarang, ini sudah lewat jam makan siang,” seru Bi Darti.

“Aku tidak lapar, Bi,” jawab Maura dengan suara parau.

“Tetapi dari pagi Non belum makan apa pun, nanti bisa jatuh sakit,” bujuk Bi Darti terdengar khawatir.

“Aku tidak peduli! Tinggalkan kamarku sekarang juga, Bi!”

Dari balik pintu, Mayzura mendengar langkah kaki seseorang yang mendekat.

“Nona Mayzura, buka pintunya! Jangan bersikap seperti anak kecil.”

Suara Sadewa yang terdengar di depan kamarnya, membuat Mayzura semakin meradang. Dia lebih memilih untuk berpuasa seharian penuh daripada harus berinteraksi dengan pria itu.

“Terserah kamu mau bilang apa, aku tidak akan pernah membuka pintu!” teriak Mayzura dengan sisa tenaga yang dia punya.

“Baiklah, Nona, aku hitung sampai tiga. Jika Nona tetap tidak membuka pintu, aku akan mendobraknya.”

“Coba saja kalau bisa. Aku yakin kamu hanya sekadar menggertak. Lenganmu saja belum sembuh, mana mungkin bisa mendobrak pintu,” balas Mayzura meremehkan kemampuan Sadewa.

Diam-diam Sadewa menyunggingkan senyum tipis di bibirnya. Dia akan menunjukkan kepada Mayzura bahwa luka sekecil ini tidak akan menghalangi seorang Sadewa Ranggatama untuk menjalankan aksinya.

“Oke, aku hitung mundur mulai sekarang. Tiga…dua…satu….”

Brakkk!

Mayzura terpekik kaget mendengar pintu kamarnya ditendang dengan keras. Alhasil, dia melihat Sadewa beserta Bi Darti sedang berdiri di ambang pintu.

“Dasar Om-om gila, kamu sudah merusak kamarku!” umpat Mayzura.

Sadewa tidak menanggapi perkataaan Mayzura dan malah meminta nampan yang dibawa oleh Bi Darti.

“Berikan makanannya kepadaku, Bi. Aku akan membuat Nona Mayzura menghabiskan makan siangnya.”

“Iya, Sadewa. Tolong bujuk Nona Mayzura,” ucap Bi Darti lantas berlalu ke dapur. Dia sendiri tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk membujuk sang nona muda.

Sesudah Bi Darti pergi, Sadewa pun masuk ke kamar Mayzura. Melihat pria itu menyambangi ranah pribadinya, Mayzura segera bangkit dari tempat tidur. Dia harus memasang mode waspada bila berhadapan dengan pria menyebalkan yang satu ini.

“Siapa yang mengizinkanmu masuk ke kamarku?”

“Aku sendiri, karena ini keadaan darurat. Papamu sudah memberikan mandat kepadaku untuk mengurusmu. Gadis yang masih kekanak-kanakan sepertimu harus ditangani dengan tegas,” kata Sadewa sembari meletakkan nampan di tangannya.

Tanpa pikir panjang, Mayzura mendorong tubuh Sadewa agar keluar dari kamarnya. Namun usahanya terasa sia-sia, karena Sadewa sama sekali tidak bergeming.

“Pergi sana! Aku benci melihat wajahmu,” usir Mayzura.

“Aku tidak akan keluar sebelum kamu makan. Bila perlu aku akan memaksamu untuk membuka mulut dengan caraku, Nona Kecil,” pungkas Sadewa dengan tatapan tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status