Rendra PoV
Setelah gue nitipin mobil di rumahnya salah satu temen akrab gue jaman kuliah, gue pun langsung nyuruh Acha buat naik taksi dan langsung tancap gas ke bandara. Ini udah sore, gue takut kehabisan tiket.
Demi jemput Nadia dan Rena, kali ini gue harus rela nguras tabungan gue lagi. Walau gue belom tau harga tiket pesawat ke Malaysia nanti bakalan mahal atau nggak, gue cuma bisa berharap duit tabungan gue cukup buat beli tiket.Untungnya sore ini, jalanan Jakarta nggak begitu padat hingga memudahkan si supir taksi bisa tancap gas dan kita berdua cepat sampai di bandara.
Waktu turun dari taksi, mendadak kepala gue pusing lagi. Ini pasti efek dari debat sama Reza tadi di rumah. Acha udah khawatir, tapi gue bilang sama dia kalau gue masih kuat. Untungnya gue nggak lupa bawa obat dari klinik.
"Kamu duduk di sana aja, biar saya yang mesen tiketnya," pinta gue sama Acha, dia p
Beberapa jam sebelumnya Pramugari sudah mengumumkan bahwa sebentar lagi, pesawat yang ditumpangi Nadia akan mendarat di bandara Kuala Lumpur,namun Nadia tetap acuh. Sepanjang perjalanan dari Jakarta, yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Rendra. Setelah ini, entah apa yang terjadi, Nadia belum tahu. Perempuan berusia 21 tahun itu baru bisa mengambil keputusan setelah ia mendengar penjelasan dari Syifa. Syifa. Itulah yang menjadi tujuan mengapa Nadia nekat terbang ke Malaysia membawa putrinya. Nadia ingin tahu, mengapa selama ini, Syifa diam dengan apa yang terjadi di masa lalunya bersama Rendra. Tiga hari sebelumnya, ia meminta tolong pada Agung untuk dipertemukan dengan Syifa setelah ia sampai di Malaysia. Syifa yang baru saja pulang berobat dari Singapura, langsung saja menyanggupi permintaan Agung. Mendengar apa yang terjadi antara Rendra dengan Nad
Nadia PoV..."Pesawat Indonesian Airways tujuan Malaysia mengalami kecelakaan. Seluruh penumpang beserta kru pesawat, tewas dalam peristiwa naas itu."Gue menggeleng nggak percaya. Ini pasti salah, berita itu bohong. Mas Rendra bukan ada di pesawat itu. Dia bilang, pagi ini udah sampai, dan pesawat yang ada di televisi itu, baru aja berangkat sepuluh menit yang lalu dari Jakarta.Mas Rendra pasti masih ada di bandara sama si Acha."Berikut daftar-daftar nama penumpang yang resmi dirilis dari pihak maskapai."Gue perhatiin nama-nama yang ada di daftar itu. Hati gue lega karena nggak nemu nama Mas Rendra maupun namanya Acha dari urutan atas.Narendra Tri Hariadi, 36 Tahun, Jakarta.Acha Nuriani, 21 Tahun, Jakarta.Sontak, lutut gue langsung lemes ngeliat nama mereka berdua ada di dua urutan terakhir di daftar itu. Suam
PoV 3 ... Rendra mengalihkan pertanyaan istrinya dengan berkata bahwa ibunya baik-baik saja dan masih di Jakarta. Hanya itu, tak ada penjelasan lain, membuat Nadia enggan untuk bertanya lebih lanjut. "Besok udah harus pulang ya, Mas?" tanya Agung pada Rendra. "Iya, Ren. Cuma dikasih cuti dua hari sama si bos. Ngomong-ngomong, makasih banyak ya, kamu udah nolongin Nadia." "Santai aja, Mas. Nadia udah saya anggep saudara saya sendiri." Jujur, Rendra masih penasaran kenapa hati Nadia bisa mendadak luluh dan mau memaafkannya seperti ini. Pasti ada alasannya dan Rendra sangat ingin tahu sekali. Tapi apa pun itu, Rendra bersyukur sekali ia bisa bersatu lagi dengan istri dan anaknya. Rendra tersenyum bahagia saat melihat wajah Rena yang terlelap dengan damai di pelukannya. Jemarinya mengelus pipi mulus Rena dengan lembut, ingin mencium pip
"Mama nggak akan ngerti kesalahannya selama Mas masih bisa bersikap seolah semuanya baik-baik aja, Nadia. Pokoknya, Mas mau menjauh dulu dari Mama." Hati Nadia perih sebenarnya. Rendra tampaknya benar-benar kecewa dengan Yuni, Nadia paham itu. Tapi, tetap saja apa yang akan dilakukan Rendra itu salah. Tak seharusnya seorang anak tega menjauhi ibu kandungnya sendiri seperti itu. Apalagi, Yuni kini sudah berubah. Nadia mendekati suaminya, mencoba untuk merayu Rendra dengan lemah lembut untuk meluluhkan hatinya. Sungguh, Nadia tak tega jika Rendra memutuskan harus bersikap seperti itu dengan ibu mertuanya. "Mas, jangan begini, ya? Kita bisa selesaikan dengan cara baik-baik." Bukannya setuju, Rendra malah mendengus. "Kamu nggak tau rasanya jadi Mas, Nadia. Ka—" "Aku memang nggak tau rasanya jadi Mas, tapi aku tau gimana rasanya kehilangan seorang ibu." Tak tahan, Nadia memotong kalimat Rendra. Sempat heran kenapa suaminya
"Sekali lagi, maafin Tri, Ma." Kali ini, Rendra baru menyadari kalau apa yang dilakukannya pada Yuni kemarin adalah sebuah kesalahan besar. Sebesar apa pun kesalahan Yuni, sungguh, ia sangat tidak pantas seperti itu pada perempuan yang telah melahirkannya ke dunia. Dan rasanya, sungkem di hadapan Yuni selama puluhan jam pun, tidak bisa menghapus rasa bersalah yang menyeruak di dadanya. "Udahlah, Ren. Daritadi lo minta maaf mulu! Kapan makannya? Gue laper, nih." Rendra memutar bola matanya, Reza terbahak. Bagi Reza, kesedihan dan perasaan bersalah ini tak boleh bertahan terlalu lama. Ia ingin adik dan ibunya kembali ceria seperti dulu dan seolah tak pernah terjadi apa-apa. Itu sebabnya setelah Rendra dan Nadia meminta maaf pada Yuni tadi, ia berinisiatif untuk memesan banyak menu makanan melalui delivery order untuk mencairkan suasana tegang yang sudah hampir seminggu ini mendominasi. Mereka semua pun duduk di meja makan
Rumah besar itu mulai ramai. Sebagai menantu, Nadia menyambut kedatangan orang-orang di pintu rumahnya. Orang-orang itu menyampaikan kalimat yang sama.Turut berduka cita.Ya. Yuni telah meninggalkan mereka semua, sembilan jam yang lalu. Pembuluh darah yang pecah, membuat pihak rumah sakit tak bisa menyelamatkannya. Tak ada yang bisa dilakukan selain menangis dengan hati yang hancur. Seorang perempuan yang telah melahirkan dan membesarkan mereka itu, kini telah meninggalkan dunia ini."Makasih banyak ya, Bu.""Sama-sama. Yang sabar ya, Nadia. Semua cobaan ini, Allah kasih buat nguatin kalian semua. Kematian udah jadi takdirnya Allah."Nadia hanya mengangguk kecil. Memang betul apa yang dinasihati tetangganya itu tapi, tak mudah untuk dilakukannya sekarang. Rasa terkejut, syok karena tiba-tiba dikejutkan oleh kepergian yang mendadak, membuat ketiga anak-anak dan menantu Yuni, belum bisa untuk berpikir jernih.Terutama Rendra
Walau rasanya raga tak lagi kuat untuk sekedar berdiri, namun Rendra tetap menjalankan kewajiban terakhirnya sebagai seorang anak laki-laki dengan ikut masuk ke liang lahat dan memasukkan jenazah Yuni. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari matanya, begitu juga dengan Regi dan Reza. Kini, mereka telah kehilangan cahaya hidup. Tanpa meninggalkan tanda apa pun, Yuni pergi untuk selamanya."Ma, kenapa pergi? Eka baru aja mau resign dari kerjaan dan nemenin Mama di Aceh. Tapi kenapa sekarang Mama malah pergi?"Ketika tubuh kaku Yuni mulai ditimbun tanah, pertanyaan itu terlontar sendiri, menggema di relung hati Regi. Si sulung ini begitu tak percaya bahwa tahun ini ia akan kehilangan ibunya. Padahal, banyak rencana yang ia ingin wujudkan dengan ibunya."Mama, katanya mau liat Dwi nikah. Dwi udah nemu calon menantu Mama dan Dwi udah ada niat buat kenalin dia sama Mama. Tapi, Mama kok udah pergi aja? Hati Dwi hancur, Ma. Rasa sedih karena kehilangan Pap
"Pelan-pelan aja, Mas."Rendra mengangguk ketika Nadia mewanti-wanti dirinya agar melangkah lebih perlahan-lahan. Setiap hari, memang seperti ini rutinitasnya setelah terkena penyakit stroke, satu bulan yang lalu. Melatih otot-otot kakinya dengan berjalan kecil di taman belakang rumah, lumayan membantu proses pemulihan. Syukurnya, Allah masih beri kesempatan Rendra untuk sembuh dan kesempatan hidup setelah ia jatuh tak sadarkan diri di kamar mandi waktu itu. Tak bisa Nadia bayangkan jika ia harus kehilangan suaminya di waktu yang singkat setelah kematian Yuni. "Alhamdulillah, Mas udah mulai lancar jalannya. Udah nggak terlalu keliatan banget pincangnya," ujar Nadia setelah mendudukkan suaminya di kursi. Rendra memang masih belum sanggup untuk lama-lama berjalan. Paling lama hanya sekitar 15 menit saja. "Iya, Sayang. Alhamdulillah. Mudah-mudahan aja bisa lebih cepet lagi biar Mas bisa kerja lagi. Serasa makan gaji buta suamimu ini jadinya."Rasa-rasanya, Rendra harus banyak bersyuku