LOGINLyra Florency dipaksa menikah demi kepentingan bisnis keluarga. Terjepit tanpa pilihan, Lyra akhirnya menerima tawaran pernikahan kontrak dari Neilson Alexander. Pernikahan itu hanya sebatas status, tanpa cinta, tanpa ikatan, dan harus dirahasiakan dari semua orang. Sehari setelah pernikahan, Lyra mendapati kenyataan mengejutkan. Neilson, suami rahasianya—kini berdiri di hadapannya sebagai dosen barunya.
View More“Nggak, Pa! Lyra gak mau menikah dengan pria itu!”
Plakk! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Lyra setelah melontarkan penolakan. Tubuhnya terdorong jatuh ke lantai, ia memegang pipinya yang terasa perih, pandangan matanya mulai berkunang karena tak menyangka akan mendapatkan pukulan dari ayahnya sendiri. “Kurang ajar!” bentak Johan Fernando, ayahnya, dengan wajah yang sudah merah padam. “Kamu pikir hidupmu ini kamu biayai sendiri? Sejak kecil, aku yang membesarkanmu dengan uangku. Saat ibumu membuangmu ke panti asuhan, siapa yang datang menjemputmu? Aku! Dan sekarang kau menolak membalas budiku?” Lyra berusaha keras menahan air matanya, ia menopang tubuhnya dengan tangan yang mulai gemetar. Kata-kata ayahnya tajam, seperti pisau yang menusuk jantungnya. “Papa, aku gak bisa ... aku gak mengenalnya. Bagaimana bisa aku menikah dengan pria yang bahkan belum kukenal?” suaranya terdengar gemetar, penuh rasa takut. Johan berjongkok kemudian meraih kerah kemeja Lyra. Ia menariknya kasar hingga wajah anaknya yang rapuh berhadapan dengan tatapan tajamnya. “Tidak ada penolakan! Kalau kau menolak, jangan harap tinggal di rumah ini lagi! Keluarlah! Dan kembalikan semua uang yang kugunakan untuk membiayai hidupmu sejak kecil!” Lyra terdiam mendengar ucapan ayahnya. Kata-kata itu justru menghantam hatinya lebih keras daripada tamparan barusan. Padahal, dirinya juga adalah anak kandung Johan. Namun, kenapa perlakuan ayahnya padanya berbeda dengan kakak tirinya, Salsa? Perusahaan Fernando mengalami kebangkrutan, dan Alexander Group bersedia untuk berinvestasi bahkan mendanai perusahaan Fernando asal Johan menikahkan salah satu anaknya dengan anak sulung keluarga Alexander. Tak ada yang tahu bagaimana wajah dari anak sulung tersebut. Ada rumor yang mengatakan bahwa Alexander Group menyerahkan urusan perusahaan pada anak keduanya karena anak sulungnya mengalami kecacatan dan mengidap penyakit menular. Bahkan ada yang menebak bahwa umur anak sulung sudah tua sehingga Alexander berusaha mencari perusahaan yang bersedia untuk menjodohkan anaknya. Alexander banyak menawarkan beberapa perusahaan untuk kerja sama melalui pernikahan, tetapi tak ada yang bersedia menerima tawaran itu. Dan kini, Fernando yang mengalami krisis keuangan satu-satunya yang menerima tawaran. Akan tetapi, dia tak ingin menyerahkan anak kesayangannya, Salsa, dan memilih untuk menyerahkan anak dari istri pertamanya, Lyra. “Papa ...” Suara Lyra bergetar, air matanya perlahan mengalir membasahi pipi yang masih terasa panas akibat tamparan tadi. Ia menggenggam kemejanya erat-erat, mencoba menahan tubuhnya yang ikut gemetar. “Aku ini putrimu, kenapa Papa tega memperlakukanku seperti ini? Aku cuma pengen menikah dengan pria yang kucintai, bukan dengan orang asing yang bahkan gak kukenal, Pa.” Johan bangkit kemudian terkekeh sinis, suara tawanya rendah dan menusuk. “Cinta?” Ia meludah ke samping dengan jijik. “Menikahimu karena cinta tidak akan memberiku uang, tidak akan memberiku saham, apalagi menyelamatkan perusahaan ini dari kehancuran!” Johan menunduk, menatap Lyra yang terduduk di lantai seakan gadis itu hanyalah beban. “Jangan terlalu naif, Lyra. Kau bukan siapa-siapa tanpa bantuanku. Tanpa aku, kau hanyalah anak buangan yang akan hidup di jalanan!” Lyra menggeleng keras, air matanya jatuh semakin deras. Ia mendekat lalu memeluk kaki ayahnya, memohon. “Tidak, aku bukan barang yang bisa Papa tukar sesuka hati. Aku ingin memilih jalanku sendiri. Kenapa Papa gak pernah melihatku sebagai manusia, sebagai anakmu?” Johan menghempaskan kakinya kasar hingga pelukan Lyra terlepas. Ia ingin menampar putrinya lagi, tetapi tangannya terhenti di udara, kemudian beralih menunjuk dahi Lyra sambil mendorongnya kasar. “Kau tidak punya hak untuk menolak. Selama kau masih hidup dengan uangku, kau harus menuruti semua keputusanku. Dan keputusan itu sudah final, kau akan menikah dengan Neilson Alexander, apa pun yang terjadi!” Tubuh Lyra kembali lemas. Rasa sesak memenuhi dadanya. Perkataan ayahnya seperti palu yang menghancurkan setiap harapan kecil yang ia miliki. Bela, ibu tirinya, yang duduk manis di kursi meja makan hanya melirik sekilas, bibirnya menyunggingkan senyum puas. “Sudah kubilang, Sayang,” ujarnya santai sambil menusukkan garpu ke potongan daging, “anak itu memang keras kepala. Dari dulu sudah kubilang tidak ada gunanya membawanya ke sini dan membesarkannya. Pada akhirnya dia tumbuh sama seperti ibunya.” Di sampingnya, Salsa tertawa kecil, pura-pura menutup mulutnya dengan tangan, tetapi terlihat jelas menikmati tontonan itu. Mereka berdua tetap melanjutkan makan malam seolah tidak terjadi apa-apa, bahkan mengabaikan tubuh Lyra yang masih terduduk di lantai. “Berdiri!” bentak Johan dengan suara menggelegar. Tangan kasarnya meraih lengan Lyra, menyeret tubuh rapuh putrinya itu menuju pintu. Lyra berusaha memberontak, tetapi tenaganya tak sebanding dengan kekuatan sang ayah. “Jika kau tetap menolak, jangan harap bisa kembali menginjakkan kaki di rumah ini!” Johan mendorong tubuh Lyra kasar hingga terhempas ke lantai teras rumah. Dorongan itu membuat lutut putrinya tergores. “Dan ingat baik-baik, semua uang yang sudah kukeluarkan untukmu harus kau kembalikan. Bukan dengan jumlah biasa, tapi dua kali lipat!” Lyra menatap ayahnya dengan mata sembab. Dadanya terasa sesak, napasnya tercekat di tenggorokan. Perkataan ayahnya selanjutnya semakin menusuk hatinya. “Pergilah! Temui ibumu yang dulu membuangmu itu! Minta dia membantu membayar semua yang sudah kuhabiskan untukmu. Sekarang, kau akan tahu rasanya hidup tanpa uang dariku!” Pintu rumah berderit keras saat Johan menutupnya dengan kasar, meninggalkan Lyra yang terduduk lemah di luar. Sementara dari balik jendela, Bela dan Salsa tersenyum puas memandangi penderitaan Lyra, seakan mereka melihat akhir dari pertarungan yang sudah lama mereka nantikan. Lyra menangkup wajah dengan kedua tangannya, ia sudah tak bisa menahan rasa sakit hatinya lagi. Padahal, meski dirinya besar di kediaman ini, dia tak pernah dianggap sebagai anak, melainkan selalu dianggap sebagai pembantu. Setiap hari Lyra harus bangun pagi, menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah sebelum berangkat sekolah. Bahkan saat pulang sekolah dia harus tiba tepat waktu untuk menyiapkan makan siang. Lyra harus melayani seisi keluarga dan melakukan semua pekerjaan rumah seorang diri karena Johan tidak pernah menyewa pembantu untuk melakukan pekerjaan itu. Ayahnya merasa enggan mengeluarkan uang saat ada Lyra yang bisa mengerjakan semua pekerjaan. Ayahnya tak ingin Lyra hidup menumpang di rumah tersebut secara gratis. Bahkan uang jajan pun tak pernah ia dapatkan, hanya Salsa yang mendapatkan uang jajan. Namun, Lyra tak pernah mengeluh, karena dia sudah merasa bersyukur Johan mau membiayai sekolahnya. Dirinya hanya membawa bekal dari rumah dan tak pernah membeli makanan di luar. Meski sudah berkorban seperti itu, kini ia diusir seakan tak pernah berguna, ia dianggap beban dan harus mengembalikan uang yang sama sekali tak pernah dirinya gunakan. "Aku harus tidur di mana malam ini ...."Lyra menutup pintu rumahnya dengan sedikit terburu-buru. Ia berlari kecil menuju taksi yang sudah menunggunya di depan gerbang. Hatinya berdebar penuh semangat, masih terbawa oleh kabar bahagia yang disampaikan Wina beberapa menit lalu. “Mr. Neil ... jadi dosen di kampus?” gumamnya, nyaris tak percaya. Senyum kecil merekah di wajah Lyra, matanya berbinar penuh antusiasme. Desainer yang selama ini hanya bisa Lyra kagumi lewat karya-karyanya, kini akan menjadi dosen barunya dan berdiri di depan kelasnya. Hari ini Neil, desainer favoritenya akan mengajar untuk pertama kalinya. Dan Lyra tak ingin melewatkan satu detik pun momen itu. Ia merapatkan tas di pangkuannya, pandangan matanya menatap keluar jendela taksi dengan penuh harap, seolah dunia tiba-tiba menghadiahkannya sebuah keberuntungan besar. Meskipun pikirannya masih melayang pada pernikahan kontrak yang baru saja dijalaninya, kini semangatnya kembali membuncah. Kampusnya menanti, begitu juga sosok yang diam-diam selalu men
Kotak putih itu adalah kotak P3K. Tangan Lyra terhenti, ia menatap kotak itu dengan tatapan kosong. Perlahan, Lyra menurunkan pandangan ke kakinya. Sepatu yang tadi ia kenakan kembali ia lepaskan, dan barulah ia menyadari rasa perih yang sejak tadi ditahannya. Pergelangan kakinya lecet, sementara lututnya memerah dengan sedikit darah kering akibat dorongan keras ayahnya tadi. Jantung Lyra berdegup aneh. Ada rasa hangat yang muncul dalam dadanya. Kotak P3K itu pasti bukanlah kebetulan, Lyra yang sejak tadi tak menyadari luka itu justru Neilson yang lebih menyadarinya. Lelaki yang hampir tidak mengenalnya ternyata cukup jeli untuk memperhatikan luka kecil di tubuhnya. Tangannya gemetar saat membuka kotak itu. Ia mengeluarkan kasa steril, kapas, dan obat antiseptik. “Dia memperhatikan aku?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Mata Lyra terasa panas, tetapi ia buru-buru menggeleng, menahan air mata agar tidak jatuh. Dengan pelan, ia membersihkan lukanya sendiri. Ia mendesis kecil ke
Lyra membalik halaman demi halaman dengan tangan gemetar. Semakin ia membaca, semakin hatinya tak percaya. Di sana tertulis dengan jelas bahwa setelah pernikahan, keduanya diwajibkan tinggal dalam satu rumah. Namun, dilarang melewati batas dan tidak boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing. Bahkan kamar tidur mereka akan terpisah. Lyra menelan ludah, melirik Neilson yang terlihat duduk tenang di hadapannya, wajahnya dingin tanpa sedikitpun senyuman. Neilson kemudian mengeluarkan sebuah kartu hitam dari sakunya dan meletakkannya di atas meja, tepat di hadapan Lyra. “Sebagai imbalannya, kau akan mendapat ini. Kartu tanpa batas. Kau bisa membeli apa saja, tanpa perlu meminta izin.” Lyra menatap kartu itu seperti menatap harta karun langka. Hatinya berdegup kencang, tak menyangka ada tawaran kemewahan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Suara Neilson terdengar lagi. “Pikirkan baik-baik, Lyra Florency. Aku menawarkan kebebasan finansial. Dan aku hanya perlu satu hal darimu,
Langkah Lyra terhuyung di sepanjang trotoar, tanpa arah yang jelas. Malam semakin gelap, lampu jalan menyinari wajahnya yang masih basah oleh air mata. Sepasang sepatu hak yang ia kenakan terasa semakin menyiksa setiap kali dirinya melangkah. Namun, rasa sakit di hatinya jauh lebih perih daripada lecet di kakinya. Hembusan angin malam menusuk kulitnya, membuat tubuh Lyra menggigil meski sudah memakai jaket. Dengan pikiran kacau, ia akhirnya berhenti di sebuah taman kota yang sepi. Ia menjatuhkan dirinya ke bangku kayu, menengadahkan wajahnya ke langit malam yang terlihat buram karena air matanya. Tangannya merogoh saku jaket, mengambil ponsel yang nyaris kehabisan baterai. Jemarinya gemetar saat menekan nama Sally di daftar kontak—ibunya, satu-satunya orang yang masih ia harapkan bisa menjadi tempat pulang. Ponsel menempel di telinga, nada sambung terdengar panjang. Hatinya berdebar penuh harap, seolah hidupnya bergantung pada jawaban di ujung telepon sana. “Hallo?” Suara perempua
“Nggak, Pa! Lyra gak mau menikah dengan pria itu!” Plakk! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Lyra setelah melontarkan penolakan. Tubuhnya terdorong jatuh ke lantai, ia memegang pipinya yang terasa perih, pandangan matanya mulai berkunang karena tak menyangka akan mendapatkan pukulan dari ayahnya sendiri. “Kurang ajar!” bentak Johan Fernando, ayahnya, dengan wajah yang sudah merah padam. “Kamu pikir hidupmu ini kamu biayai sendiri? Sejak kecil, aku yang membesarkanmu dengan uangku. Saat ibumu membuangmu ke panti asuhan, siapa yang datang menjemputmu? Aku! Dan sekarang kau menolak membalas budiku?” Lyra berusaha keras menahan air matanya, ia menopang tubuhnya dengan tangan yang mulai gemetar. Kata-kata ayahnya tajam, seperti pisau yang menusuk jantungnya. “Papa, aku gak bisa ... aku gak mengenalnya. Bagaimana bisa aku menikah dengan pria yang bahkan belum kukenal?” suaranya terdengar gemetar, penuh rasa takut. Johan berjongkok kemudian meraih kerah kemeja Lyra. Ia menar


![Malam Itu, Bos! [Hasrat Yang Tak Terpadamkan]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)



Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments