로그인Bagi Binar Gendhis Rarasita, hidup itu sederhana— kuliah, nongkrong, dan sesekali bikin drama kecil biar nggak bosan. Sampai suatu hari, tanpa rasa malu, dia berdiri di depan seorang pria mapan yang usianya jauh diatasnya dan dengan percaya diri berkata, "Hai Om, aku calon istrimu!" Om yang dimaksud? Bukan sembarang om. Dialah Kais Arfan Zaydan, pria dingin berusia tiga puluh dua tahun, pemilik perusahaan besar sekaligus sahabat baik ayah Binar! Kais jelas menolak mentah-mentah ide gila itu. Baginya, Binar hanya gadis manja yang doyan cari perhatian. Tapi siapa sangka, keadaan justru membuat mereka terjebak dalam situasi yang memaksa Kais mempertimbangkan ulang kata-katanya. Antara perbedaan usia, ego, dan perang mulut yang tiada henti, Binar justru semakin yakin— dialah takdir Kais. Pertanyaannya, apakah Kais bisa bertahan dari gempuran rayuan absurd sekaligus manis seorang “calon istri” yang nekat ini?
더 보기“Hai, Om! Aku calon istrimu!”
Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutku, aku tahu sudah tidak ada jalan untuk mundur. Suaraku sendiri terdengar nyaring di telinga, bahkan lebih keras dari suara blender yang barusan nyala di counter. Semua orang di cafe mendadak berhenti gerak. Ada yang pegang sendok, terus diam di udara. Ada juga yang pura-pura nunduk tapi jelas-jelas nguping. Dan di tengah semua itu—Om Kais cuma bengong. Matanya sedikit membulat, bibirnya terbuka tipis, seolah sedang berusaha memastikan apa telinganya masih berfungsi dengan benar. Lucu banget. Aku nyaris ngakak kalau nggak ingat ini momen penting dalam sejarah hidupku. Jadi aku tahan tawa dan cuma berdiri tegak di depan meja, menatapnya dengan senyum paling manis yang kupunya. “Kataku, Om, aku calon istrimu,” ulangku tenang, sambil menepuk dada pelan. “Jadi mulai hari ini, tolong biasakan diri sama wajah ini, ya.” Sumpah, ekspresi kaku di wajahnya tuh priceless banget. Kayak patung lilin yang kehilangan instruksi buat ngedip. “BINAR!” Tuh kan, suara Mama langsung melengking dari arah kasir. Aku bisa merasakan tatapan mautnya dari jarak sepuluh meter. Tapi ya— sudah terlambat. Aku sudah melangkah sejauh ini. Aku menoleh sedikit, tersenyum manis ke Mama. “Mama, tenang aja. Aku serius, kok.” Om Kais langsung berdehem. Tangannya masih memegang cangkir kopi, tapi agak gemetaran. “Ehem… Binar, kamu ini… bercanda, kan?” Aku menggeleng cepat. “Enggak.” Terus aku menatapnya lekat, biar dia yakin aku tidak sedang bercanda. “Aku udah pikirin dari semalam. Om baik, sopan, wangi, dan... cocok dijadiin suami.” Beberapa pengunjung di pojokan langsung terbatuk. Duh, mereka pasti dapat hiburan gratis. Mama mulai jalan ke arahku sambil menepuk jidatnya sendiri. Tapi aku tetap fokus ke Om Kais. “Binar, kamu tahu nggak, Om itu—” “Teman Papa? Iya, tahu,” potongku cepat. “Tapi cinta kan nggak kenal umur, Ma.” Aku tahu itu kalimat klise, tapi ekspresi shock Mama bener-bener worth it. Om Kais menarik napas panjang, kayak lagi menghitung kesabaran. “Binar, kamu masih kecil.” “Dua puluh satu tahun bukan kecil, Om,” balasku cepat. “Dan aku udah bisa bikin kopi yang enak. Itu artinya Om bakal betah hidup sama aku.” Wajahnya merah. Sumpah, aku nggak tahu karena malu, marah, atau tersipu? Hehe. Mama akhirnya nyamperin, mencubit lenganku pelan. “Sini, Dek. Jangan ganggu pelanggan cafe. Maaf ya, Nak Kais, anak Tante lagi kumat dramanya.” Aku mengambil cangkir kopi Om Kais, meniup pelan permukaannya. “Om, minum dulu, nanti keburu dingin. Calon istri yang baik harus jagain kopi suaminya.” Ya Tuhan, lihat deh mukanya sekarang! Campuran antara bingung, panik, dan… manis banget. “Binar,” katanya akhirnya, nada suaranya setengah pasrah. “Kamu benar-benar bikin semua orang di cafe ini lupa cara bernafas.” Aku tersenyum lebar, menatapnya tanpa berkedip. “Berarti aku sukses dong, Om.” Dan ya—mungkin aku sedikit gila. Tapi kalau cinta bikin aku berani ngelakuin hal segila ini, aku nggak keberatan. Karena sejak pertama kali Om Kais duduk di cafe Mama, dengan kemeja putih dan senyum tenangnya itu… aku tahu, dia bukan cuma pelanggan tetap. Dia bakal jadi takdirku. Mama menarik lenganku cukup kuat sampai aku hampir tersandung tangga. “Ke atas. Sekarang.” Nada suaranya datar, tapi berbahaya. Aku menatap Om Kais sekilas sebelum akhirnya menurut, menyeret langkah menuju tangga kayu menuju lantai dua. Di atas sana, ada ruangan kecil berdinding kaca—ruang kerja Mama, tempat beliau biasanya mengurus stok bahan, pembukuan, dan kalau lagi bete, ngopi sendirian sambil dengerin lagu lawas. Begitu pintu tertutup klik, hawa di ruangan itu langsung berubah. Aku duduk manis di kursi depan mejanya, sementara Mama—Mama Retha, si pemilik cafe sekaligus Ratu Drama versi dunia nyata—berdiri dengan tangan di pinggang, napasnya naik-turun kayak baru abis sprint keliling blok. “Binar Gendhis Rarasita!” Waduh, nama lengkapku keluar. Fix, ini udah masuk level krisis. “Ma, tahan amarah, dengerin aku dulu ya—” “Dengerin kamu?!” Mama menatapku tajam. “Dek, kamu baru saja bilang di depan pengunjung cafe, bahwa kamu calon istri KAIS!” Aku menunduk, pura-pura melihat kuku biar nggak kena tatapan maut. “Tapi ‘kan aku berusaha jujur, Ma.” “JUJUR?!” suara Mama naik satu oktaf. “Dek, Kais itu rekan bisnis Papa! Umurnya tiga puluh dua tahun! Dan kamu baru dua puluh satu tahun! Kamu sadar nggak kalau tadi kamu hampir bikin jantungnya copot?” Aku pura-pura berpikir serius. “Hmm, kayaknya gak copot, Ma. Soalnya tadi dia masih sempet ngomong.” “BINAR!” Aku langsung menegakkan badan. “Oke, oke! Aku salah gaya ngomongnya, gitu aja, kan?” Mama menghela napas panjang, lalu duduk di kursi seberangku. Wajahnya masih tegang tapi matanya mulai lembut sedikit. “Sayang, Mama ngerti kamu mungkin kagum sama Kais. Dia pria yang baik, memang. Tapi kamu nggak bisa sembarangan ngomong hal kayak gitu di depan umum. Orang bisa salah paham.” Aku menggembungkan pipi. “Tapi aku nggak main-main, Ma. Aku suka Om Kais. Sejak pertama kali dia datang ke cafe ini, tiap sore duduk di pojok jendela, pesen kopi susu tanpa gula, terus baca buku. Aku nggak cuma kagum. Aku jatuh cinta.” Mama menatapku lama. Tatapan campuran antara khawatir, bingung, dan sedikit iba. “Binar, kamu tuh masih muda. Kadang perasaan kagum bisa kelihatan kayak cinta, padahal cuma fase. Nanti juga hilang.” Aku menggeleng cepat. “Enggak, Ma. Ini bukan fase. Aku udah coba lupain, tapi tiap kali dia datang, aku malah senyum sendiri. Dan tiap kali dia pamit pulang, dada aku rasanya kayak diremas.” Mama mengusap wajahnya, lalu bergumam, “Astaga, anak siapa sih ini.” Aku tersenyum. “Anak Mama Retha, pemilik cafe paling hits di kota Solo.” “Bukan waktu bercanda, Binar.” “Tapi aku serius, Ma.” Mama menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. “Ya ampun, Dek. Cinta itu bukan cuma soal berani ngomong. Kadang juga soal tahu kapan harus diam.” Aku menatap meja, menelan ludah. Ruangan jadi hening beberapa detik sebelum Mama berdiri lagi dan menepuk pundakku. “Sekarang kamu istirahat dulu. Mama nggak mau kamu turun ke bawah sampai semua pengunjung pulang. Dan jangan berani-berani ngomong begitu lagi, apalagi kalau Kais masih di sana.” “Berarti aku nunggu dia pulang, baru boleh turun?” “BINAR.” “Oke, oke! Nggak turun, janji.” Begitu Mama keluar, aku bersandar di kursi, memeluk bantal kecil di sofa. Di luar jendela, dari celah kaca, aku bisa lihat Om Kais masih duduk di tempatnya. Wajahnya datar, tapi sesekali matanya melirik ke arah tangga. Aku nyengir sendiri. Oke, mungkin tadi caraku salah. Tapi aku tidak menyesal. Karena kalau aku nggak berani ngomong hari ini, mungkin Om Kais nggak akan pernah tahu… kalau ada satu gadis yang benar-benar niat jadi “calon istri”-nya.Lampu merah masih menyala. Mas Danish masih berdiri di luar jendela mobil dengan senyum sumringah ala sales kejar target.Aku akhirnya menghembuskan napas pasrah. “Oke, sini deh satu,” ujarku sambil membuka kaca lebih lebar.Dia mengambil satu styrofoam dari kotak besar yang dibawanya, lalu menyerahkannya padaku.“Nih, Bee,” Mas Danish menyodorkan satu kotak styrofoam dengan senyum sumringah. “Kalau tahu bakal ketemu kamu, tadi aku bawain yang spesial.”Aku cepat-cepat mengangkat tangan, menolak halus. “Gak usah, Mas. Ini aja udah alhamdulillah banget—dapet nasi box gratis.”Mas Danish terkekeh. “Kamu mau ke mana? Dandan rapi banget.”“Ke rumah Oma Wening,” jawabku singkat.“Oh—”Belum sempat dia melanjutkan kalimat, krek!Kaca mobil di sisiku langsung naik otomatis dengan kecepatan yang tidak manusiawi.Aku langsung menoleh cepat ke samping.Om Kais duduk santai, satu tangan di setir dan satu lagi menekan tombol kaca. Wajahnya terlihat tenang, tapi sorot matanya jelas menunjukkan kes
Aku berdiri di depan cermin full body, memicingkan mata menilai pantulan diriku sendiri. Rasanya seperti mau sidang skripsi, bukan dijemput calon suami.“Hmm, baju oke,” gumamku sambil merapikan kerah blouse yang kupakai. “Celana juga oke. Wangi oke. Hidung gak begitu mancung tapi nggak apa-apa, aman.”Aku mendekat ke cermin, memeriksa eyeliner. “Sayap kiri sempurna. Sayap kanan—” Aku mendesah. “Yah, miring dikit, tapi biarin. Om Kais nggak akan nge-zoom sampai pori-pori juga.”Lalu aku cek rambut. Kubolak-balik ke kanan dan kiri.“Rambut rapi, volumenya lumayan. Ah! Jepit kupu-kupu!” Aku buru-buru mengambil jepit favoritku dan menyelipkannya di sisi rambut. “Perfect. Imut—tapi elegan. Calon istriable.”Aku berputar sekali, memastikan semuanya aman dari segala sudut pandang.Terakhir, aku cek parfum. Dua semprot lagi. “Biar kalau dia peluk langsung auto amnesia sama semua deadline kantornya,” bisikku nakal.Handphone-ku bergetar.Satu pesan dari Om Kais—📩Kais: “Lima menit lagi sampa
“Aku nggak bisa bukanya,” ujarku sambil menyodorkan toples ke Om Kais. “Kemarin tanganku kena pisau waktu masak.”Om Kais langsung terlihat panik. Dia memegang tanganku, memeriksanya dengan seksama.Padahal lukanya cuma segores kecil—yang sengaja kubesar-besarkan.Sampai Papa yang duduk di sofa single bergidik ngeri melihat tingkahku.“Jangan masak lagi! Biar sembuh dulu lukanya,” kata Om Kais sambil mengusap lembut area yang sudah mulai kering itu.Aku mengerjap manja.“Terus aku makan apa nanti?” tanyaku dengan tatapan memelas, seolah-olah lukaku parah sekali.Papa mendengkus. “Memangnya selama ini yang masak siapa, Dek?”“Kadang Mama sama Bibi… kadang cuma Bibi,” jawabku polos.Papa mengangkat alis, tatapannya datar sekali.Astaga. Lempeng banget hidupnya Papa. Padahal jelas-jelas aku lagi bermanja-manja sama calon menantunya.Om Kais menahan tawa melihat ekspresi Papa yang clueless.“Gapapa, Pa,” ujar Om Kais lembut sambil menepuk punggung tanganku.Aku langsung mengangguk, semaki
Tempat nongkrong terasik selain gazebo depan rumah itu ya gazebo taman komplek. Apalagi kalau waktunya pas—ada ibu-ibu komplek lagi senam sore.Sengaja aku bawa bantal leher biar bisa rebahan, plus cemilan dan es kopi. Paket healing ekonomis.Dari posisiku yang selonjoran, aku melihat Mama sedang menggerakkan badannya mengikuti instruktur senam, bersama para tetangga lain. Musiknya kenceng, penuh semangat, tapi tetap anggun ala Mama.“Binar, kamu kenapa? Tumben kalem. Pantesan matahari sejak pagi redup,” suara seseorang terdengar dari belakang.Aku menoleh.Mas Zaka—tetanggaku, teman kecilnya Mas Pandu, seorang notaris yang wajahnya mirip aktor China. Di tangan kirinya ada dua tali leash untuk kedua anak anjingnya.“Aku lagi galau tapi nggak merana, Mas,” jawabku sambil mengibaskan bantal leher.“Kenapa?” tanyanya sambil duduk di pinggir gazebo.“Kangen tunanganku. Hah! Katanya mau cepat pulang, tapi dua minggu nggak balik-balik dari Jepang.”Mas Zaka cekikikan. “Sekarang LDR nggak be
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
리뷰더 하기