Share

#2. Pulang Lagi Kesini, ya.

Penulis: Kanaya Aruna
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-13 20:09:09

"Kakak tanya dulu ya."

"Ih fotonya lucu. Ini waktu kapan, kak?" Aku menoleh hanya untuk menemukan raut antusias Ratu menunjuk polaroid.

"Itu di Subang, tahun lalu. Kakakmu itu ngebet banget pengen nyari penangkaran kuda, terus anehnya malah ngebelokin motornya ke arah curug. Jadilah kita pulangnya basah-basahan karena lupa bawa salin." ungkapku ikut melihat foto tersebut. Tersenyum hampa jika mengingatnya.

Dahulu sekali, sebelum ego masing-masing menyerang hubungan kami, segalanya terasa amat bahagia. Dia pernah menjadi pria yang paling cukup untuk ku-pertahankan. Dia yang lucu, dia yang selalu tebar pesona, dia yang selalu melakukan sesuatu sebelum ku-perintah. Orick yang usil, Orick yang pengertian, Orick yang menjadi penasehat. Pokoknya, segala yang dia lakukan tak lepas dari tawa recehku.

"AHAHAHA! OH, YANG TIBA-TIBA PULANGNYA KALIAN BAWA DODOL? KATA KAKAK OLEH-OLEH DARI SUBANG ITU DODOL, AKU LAGI MALAH PERCAYA!" gelak tawa Ratu memenuhi seisi ruangan. Perempuan itu menepuk jidatnya, seakan merasa bodoh.

Aku ikut bergeleng-geleng. Masih tidak menyangka jika mengingat cerita satu tahun silam. Pasti ada saja hal yang cocok untuk ditertawakan. Entah Orick yang ngebet ke pegunungan, main di sungai, atau belanja oleh-oleh dari daerah yang telah kami kunjungi. Kala itu, segala hal dapat terjadi. Walau aku harus misuh-misuh terlebih dahulu karena Orick memintanya selalu mendadak.

"Padahal kakak nyaranin tuh bawa buah tangan yang biasa aja, semisal donat atau roti bakar kesukaan kamu. Dia aja yang ngide bawa dodol, mana sampe kakak disuruh pegangin dus yang isinya durian. Tapi gapapa sih, soalnya kakak suka durian hahaha!" Aku ikut tergelak.

"HAHAHAHA!!"

Tak luput dari aktivitasku yang menempelkan polaroid, kami tertawa bersama di antara derasnya gelagar hujan yang turun. Disambil mengulas apa cerita dari foto yang aku taruh, aku membaca lamat-lamat judul diary ini.

"Kak Arin sukanya main ke alam-alam gitu, ya?" tukasnya kembali.

"Heem." Aku praktis mengangguk. Aku melihat dia yang terus mengamati foto-foto kami berdua.

"Lucu ih, cakep banget kakak nih aaaargh, mau cubit dong!" Dia mendadak memandangku dengan rasa gemas. Ku-surungkan saja wajah ini agar dia cubit sepuasnya.

"Ya ampun, ya ampun, ya ampun, pokoknya kakak ipar paling best sih ini! Langgeng-langgeng ya kak, pokoknya Kak Orick cuman boleh pacaran sama kakak! Kalau ada apa-apa bilang aja sama aku, biar tak marahin Si puppy!" racaunya dengan mulut moncong-moncong. Aku hanya bisa tersenyum.

"Memangnya kenapa kalau nggak sama kakak?" Aku penasaran dengan jawabannya.

"Heh!" gubrahnya membuatku mengerjap. "Gabisa! Pokoknya aku gaakan terima cewek manapun kecuali kakak! Cuman kakak yang bisa ngatur Kak Orick jadi nurut! Kalau pas sama Si Archel tuh ya---anjir sumpah rasanya pen gue ulek. Masa tiap aku samperin mereka di kamar, tuh mukanya asem gitu kek gapengen diganggu. Padahal aku cuman mau naro cemilan, goblok lah!"

Aku jelas tahu siapa Archel, hanya masa lalu bagi Orick. Tapi aku tidak tahu bagaimana kelakuannya sampai membuat Ratu tidak terima begini. Karena aku dan Ratu memiliki hubungan baik, tanpa ku-rencanakan untuk imbalan semacam perizinan. Tidak, aku melakukannya karena--ya memang ini alur kejadian yang harus ku-lakukan.

Dan seumpama aku masih bisa tertawa, aku mungkin akan meledakannya dimari. Memang kisahnya tidak ada yang belul jika didengar. Entah terobsesi-lah, tidak ber-etika lah, atau segala hal yang selalu membuat Ratu misuh-misuh ketika menceritakannya.

Langgeng, katanya. Lalu ku-aminkan dalam suar batin.

"Semoga ya." napasku berhembus dengan berat secara sendirian. Untuk kemudian suara dering telepon masuk menghentikan perbincangan kami.

Jeffran is calling you...

Keningku praktis menyatu. Ku-kira ini panggilan dari Kamala. Ditambah suara hujan yang semakin riuh di luar balkon, seperti sedang berkejaran dengan sesuatu.

"Iya, Jef?" sembari bersuara, aku menutup diary.

"Kak, Orick mabuk parah. Lo bisa bantu kita di sini nggak?"

Tanpa sempat menjawab, aku jelas beranjak terburu-buru. Menyisikan buku ke dekat kue bolu, lalu menyambar kunci mobil. Yang kusadari Ratu ikut beranjak karena panik.

"Gue kesitu."

"Mau kemana kak?" bebarengan dengan sambungan yang kumatikan, Ratu bertanya.

"Kakak jemput dulu Kak Lala, ya." Aku mendekat pada Ratu hanya untuk menepuk pucuk kepalanya.

"Hujannya besar loh kak?" wajahnya terlihat khawatir. Tapi, sebetulnya tidak perlu ada yang dikhawatirkan.

"Kakak naik mobil, gaakan kehujanan. Mending beres-beres dulu, soalnya Kak Orick bentar lagi dateng." Aku terpaksa mengutamakan kebohongan alih-alih kejujuran yang pastinya akan mengejutkan Ratu. Pasalnya, ini jua pertama kalinya Orick berani menyentuh minuman keras.

Membuat darahku mengepal sebal. Tapi sebisa mungkin aku menyembunyikan rautku dari Ratu. Untuk segera bergegas aku melangkah mundur.

"Hati-hati kak, pulang lagi kesini ya."

"Iya." Aku mengangguk.

》》》》》▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎▪︎《《《《《

Ternyata benar apa kata Ibu dan Ratu. Tadi di rumah, sebelum aku memutuskan menerobos langit jingga untuk sampai ke rumah adik Orick, Ibu sempat memperingati untuk tidak berkeliaran sebab hujannya pasti membesar. Dan kini, malam yang menggelapkan suasana, di jalanan yang sepi aku diguyur hujan yang begitu hebat. Bukannya semakin mengecil, tapi massa-nya semakin melebar hingga aku harus menghidupkan wiper kaca serta lampu.

Tidak ada suara lain kecuali hujan dan dering telepon yang aku pacu bersama kecepatan mobil ini. Andai saja aku becus mengendarai sepeda motor, mungkin aku akan menerjang jalanan ini tanpa takut derunya memberisiki. Sayangnya, aku terlalu cemen untuk mengendarai roda dua. Bisa-bisa aku berakhir di rumah sakit alih-alih sampai ke tujuan.

Hujan turun dengan deras. Seakan dia memberi sinyal kalau semua orang tidak perlu menangis sebab sudah terwakilkan. Jalanan yang kugereyangi betulan kosong. Barangkali hanya ada satu kendaraan motor yang membuntut di sisiku, itupun baru muncul. Tapi tidak lama kemudian supir yang memakai mantel itu menyalip, berakhir aku kembali sendiri.

Toko-toko di sisi jalanan yang sepi. Halaman depannya hanya dihiasi lampu-lampu remang dengan pintu bertuliskan open masih tertera. Well, ini memang bukan tengah malam. Ini baru pukul 8, namun suasananya seperti pukul 2 subuh.

Untuk sejenak sebelah tangan kuturunkan dari telinga. Aku melihat dering telepon yang semula memanggil, kini balik pada kanca kontak. Mataku berubah sayu dengan dada mencelos kecewa. Apa yang baru saja dia lakukan adalah hal bodoh. Ah, ralat. Apa yang baru saja kami putuskan adalah sebuah hal yang bodoh. Rupanya, bukan membaik, tapi membabi buta.

Sekali lagi, aku mencoba memanggilnya. Lalu ku-simpan handphone itu dalam capitan kepala yang mematah ke samping. Kedua tanganku kini bertopang pada kemudi, lalu menginjak pedal lebih cepat. Masa bodo embun hujan menyilaukan.

10 detik setelahnya, aku refleks mengumpat sembari menekan pedal rem ketika sebuah truck berbelok dari arah belokan. Bukan karena aku terhantam, melainkan mobil itu berjalan menghantam tihang listrik sampai terjatuh, menimbulkan denging nyaring bagai bom di aspal jalanan ini.

To be continued...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #87. Pertanda Hujan

    Dari belakang rumah pindah ke atas lantai dua, dimana Erin sudah selonjoran di atas kasurnya. Sedangkan aku berdiri di depan teras balkon dan melihat sambaran petir dari kota seberang. Gemuruh yang saling bersahutan di sana menandakan sebentar lagi hujan akan datang. Aku tersenyum kecut melihat panorama tersebut. Terlampau banyak kisah yang perlu kuulas, sampai dimana aku sadar, aku tak bisa mengabulkan seluruhnya.Jika aku diperkenankan membawa satu hal untuk tetap berada di sampingku, aku ingin membawa kenangan itu kekal dalam kepalaku. Sampai nantinya aku bertemu lagi orang-orang baik seperti mereka, lepas kubalas dengan sekotak warna yang lebih indah dan membahagiakan daripada ini. Tapi untuk berdiri, aku juga memiliki aturan yang tak bisa sembarang kusanggah.Meluapnya suhu dari lapisan atmosfer, meningkatkan kadar dingin menjadi campur aduk. Dua tanganku terangkat untuk memeluk diriku dan mengusapnya mandiri. Aku benci ketika bau tanah sudah menyeruak dan rintik-rintik sedu dari

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #86. Biru Langit Menyakitkan

    "ERIN!!""Astagfirullah, dateng-dateng bukannya salam!""YHA, ERIN!!""APAAN SEH BUSET? RAME BENER LU BARU DATENG JUGA!!"Aku tak menggubris bapak dan Ibu yang terkejut-kejut di ruang tamu. Hal pertama ketika kakiku berpijak di dalam rumah yang berbeda, kulaungkan suara itu hingga oknum bernama Erin turun terburu-buru dari lantai dua. Dan setelah oknumnya berdiri tegak di hadapanku, ku lempar kresek pizza padanya."Belikan banget lo udah gede juga." Aku mencebik. Barulah setelah itu pandanganku berkelok pada ibu dan bapak. Kuserahkan kresek polos berisikan martabak dan bubur kacang."Nggak bareng Orick?" Bapak celingukan ke belakangku. Mungkin dia pikir aku datang bersama Orick, padahal tidak."Nggak, dia juga lagi mampir ke rumahnya. Yaudah aku juga kesini, di rumah gaada siapa-siapa." tukasku, kemudian ikut bergabung duduk. Sedangkan di sisi lain, Erin malah kocar-kacir entah kemana, menjauhi kami."HEH, ERIN! MAU KEMANA? MAKAN BARENG-BARENG JANGAN LO HABISIN SENDIRI!""NYENYENYE!"

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #85. Lembayung Terakhir

    Di antara lembayung merah yang muncul pada celah-celah kaca, aku berdiri menghadap lembaran kalender. Menatap angka-angka merah dan hitam yang berderet, sebelum pintas rasa bersalah menenggelamkanku bersama malam datang. Aku tersenyum tipis sembari menghembuskan napas perlahan-lahan. Aku pernah menemukanmu sebagai mata angin yang selalu kuikuti kemana-pun kamu pergi. Tapi di perempatan jalan, aku mulai bingung. Dimana tempat yang seharusnya kita tuju bersama?Pamitan Vanny setengah jam lalu berubah menjadi sedikit sendu untuk hatiku. Padahal sebelumnya memang sudah terbiasa. Tidak mungkin jua dia menginap di sini, dia kan masih memiliki keluarga di rumahnya. Lalu saat Nadya melambai sembari melambai dan mengatakan "terimakasih" dengan dua mata tulusnya. Kali ini, aku tak bisa lagi lari dari sebuah pilihan. Tersakiti atau pulih, keduanya adalah hal yang menyakitkan.Musim dingin akan segera datang. Aku harus menyiapkan kaus kaki dan mantel penghantar panas. Duduk di depan api unggun se

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #84. Blank Compass

    "Benar menurut manusia itu relatif. Kamu nggak akan selalu berada di pihak yang salah, begitupun pada yang benar. Sebenarnya, benar dan salah hanya bagaimana kita memandang. Oke, yuk mulai deh curhatnya. Nadya, jadi... ada hal apa yang pengen kamu keluarkan, sayang?""Kakak bisa baca pikiranku aja nggak? Aku takut kalau aku bilang, aku dianggap terlalu berlebihan." Aku tergelak mendengarnya, namun tak seling itu aku tertawa."Hei, hei. Emangnya aku cenayang? Aneh-aneh aja ih, nih makan dulu permen!" Aku menyurukan box kecil berisikan permen kopiko padanya.Lucu sekali segannya. Dia pelan-pelan membuka permen, dan begitu mengemutnya aku tak kuasa untuk menepuk tangannya yang terjulur di depan meja. Aku hampir saja mengeluarkan kembali kata-kata lapas mataku tak sengaja melihat liontin hijau daun mentereng. Aku praktis mendongak untuk melihat wajahnya, namun wanita itu seakan-akan tak menyadarinya."Aku boleh cerita nih?" ujarnya."Boleh dong. Tenang, aman sentosa. Dua telinga kakak ter

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #83. Mayoritas Selalu Benar

    Jungkat-jungkit mencintai seorang Manuangga Orick tidak jauh-jauh dari kelakuan tebar pesona dan manis mulutnya yang kadang menyama-ratakan aku dengan para jalang di luar sana. Sejujurnya, untuk memahami sifat Orick yang begini memang sudah biasa. Aku memutuskan jatuh hati dengannya, berarti aku harus siap dengan segala yang lahir maupun datang dari dirinya. Entah Orick yang kebiasaannya tebar pesona, Orick yang ramah pada semua orang, tatakrama untuk memperlakukan wanita yang mungkin nyaris sama dengan memperlakukanku. Well, aku mengerti. Bahkan sepertinya, aku tidak harus membesarkan masalah itu. Sebab yang tulus mencintai, akan selalu punya batasan-batasan pada dirinya sendiri. Tapi tunggu ya, namanya juga masalah cemburu, aku kadang tidak kuasa menahan debar api di dada.Aku melihat Erin dan Ratu tengah bercanda gurau di lantai satu. Sementara aku bergegas naik ke lantai atas dengan Orick yang mengudang situasi semakin mencengangkan. Aku tahu, Erin dan Ratu pasti merasa takut. Tap

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #82. Ceo Menyebalkan

    "Awal kali kita bertemu itu di kampus. Saat itu, waktu gue jadi maba dan lo komdis yang buener-buenerrrrrrr... galak! Gue sampai nggak berani tatap mata lo, apalagi waktu gue lupa gue masih pakai gelang. Jujur, gue takut banget gelang itu dirampas dan nggak dibalikin lagi. Masalahnya, itu satu-satunya kenangan yang Abi kasih ke gue. Hanya dari situ gue bisa mengenang dan percaya kalau Abi akan tetap kembali. Gue udah was-was.. tapi lo cuma nasehatin gue. Dari situ gue cengo, apalagi waktu lo senyum. Semacam---anjir? Tadi pagi aja tuh muka asem banget? Kok tiba-tiba baik di belakang? Lo aslinya dua orang, kah?!"Siang menunggu sore tadi, setelah berhasil kualihkan obrolan tentang orang tua, dia berhasil membawa sekotak rindu dari masa lalu yang menggemaskan. Well, sebenci apapun aku pada kehidupan di belakang, pada akhirnya aku tidak berbohong, kalau aku tetap bersyukur bisa berada di jalan ini. Karena, tidak mungkin tanpa mereka, tidak mungkin tanpa luka-luka aku berdiri pada dunia ya

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #81. Kolase Duka

    "Bos, darimana aja?! Ini Zero ngamuk barusan!""Untung gue pergi, kalau nggak kena cakar dah." Aku tertawa kecil saat memasuki pintu rumah.Hal pertama yang aku lihat bagaimana Vanny repot menenangkan Zero yang berada di pangkuannya, sampai kucing itu melompat dan mengibaskan rambutnya di bawah. Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun sepertinya wajah tertekan Vanny bisa menjelaskan bahwa kucing itu berulah hebat."Ada keluhan?" Aku berjalan lebih dalam dan menjatuhkan diri di ruang keluarga. Sedikit meregangkan badan. Cukup pegal berjalan di atas jalanan curam."Ya itu, kucingnya Bos." Dia mengikutiku dan berdiri di sampingku."Selain itu.""Gaada, aman.""Van, kalau lo kena pecat gimana?""Bos?" Dia tersentak. "Bos, saya ngelakuin kesalahan ya? Demi apapun, selama saya diberi kepercayaan oleh Bos saya tak pernah menyia-nyiakannya. Sebuah kehormatan bisa bekerja sama dengan Bos. Tapi Bos, kenapa saya tiba-tiba dipecat? Saya salah apa?""HAHAHA!" Aku tergelak dengan ekspresi wajahnya y

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #80. Ada Begitu Banyak Pilihan Dalam Hidup

    Aku berjalan jauh memunggungi rumah. Melewati hutan dan impian, meninggalkan pesisir kota. Memberi jarak pada kenyataan dan takdir, aku melangkah menyusuri sebuah tebing yang cukup tinggi dari permukaan. Di sini sedang cerah, matahari berada sejajar dengan tubuhku ketika berdiri di atas rerumpunan.Lingkaran pohon yang kulihat dari arah utara, berputar ke timur, ke barat, dan berakhir di selatan. Memeluk dengan tubuhnya yang agung, menjaga sisian daratan ini seperti cekungan. Menahan serangan sewaktu-waktu serangan dari luar lingkaran bisa menghancurkan kehidupan kami. Dari sini, kuperkirakan waktu matahari terbenam dan terbit akan terlihat sangat elok. Atau bianglala dunia yang membentang selepas hujan mendera. Atau barangkali saat inipun kelihatan lebih elok. Sebuah semburat biru yang perlahan-lahan diserang kilau ungu, menyatu dengan warna liontinku.Di sini, aku bisa melihat barisan pemukiman berjajar rapi. Bangunan gedung yang mencakar udara, kemacetan Jakarta, heboh nadanya bahk

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #79. Cause I'm Your Home

    Dahulu, harta, tahta, dan cintaku adalah sebuah gelar di belakang nama. Sebuah impian yang kupikir akan selalu statis, rupanya berada dalam kendali waktu. Lagi-lagi hanya berpacu pada sekelumit waktu yang akan menuntun pada hukum alam sesungguhnya. Dimanapun aku berada, kapanpun aku menjalankannya, dan tak sampai tak terhingga rasa bahagia ini; aku selalu diingatkan, bahwa dunia bukanlah pelabuhan abadi yang akan selalu harmonis.Lalu apa?Mereka hanya perlu menari dan melukis segala macam bentuk kenang untuk dituang pada kepala. Karena katanya, yang sesungguhnya, kita tak pernah dihadapkan dengan perpisahan. Semua kisah-kisah itu tetap abadi di dalam benak. Orang-orang mungkin berpikir pergi dan datang bukanlah suatu fase yang sulit. Tapi mereka lupa, bahwa kehidupan yang baru selalu mempunyai syarat. Yaitu, hilangnya segala kenangan indah itu.Aku tak perduli bagaimana tanggapan orang-orang setelah ini. Sebuah afirmasi konklusi yang telah mendapat validasi, aku hanya harus duduk sid

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status