"Tak perduli berulang kali kita bertengkar, aku harap kamu tahu jika aku akan selalu mencintai kamu. Terlepas bagaimanapun luka yang kita rasa, aku ingin kamu tetap bersamaku. Aku ingin terluka dan bahagia hanya karena kamu, Nara."Aku terbangun dengan napas terengah-engah. Dengan keadaan ruangan yang bersih putih, tanpa siapapun di dalamnya, aku seorang diri tergolek di atas ranjang. Tanpa alasan yang jelas, aku menemukan diriku dengan pakaian yang berbeda. Ruas ruangan yang cukup lega ini seperti ruang keluarga. Sebab desain meja dan telivisi berada nyata di depan mataku. Lalu rak-rak buku yang rapi di sisian sudut berwarna krem membuat aku termenung lebih hebat.Seingat kepalaku, terakhir kali aku berjalan di sebuah malam yang panjang dengan hujan deras. Di sana, aku sedang mengendarai mobil dan mencegah truck melindas warga dengan mengorbankan diri ini. Bahkan sisa-sisa ingatan sebelum aku tertidur, kusadari tubuhku nyeri dan penuh darah. Tapi saat ini, kulihat tubuhku sudah bersih
Semalaman, aku sibuk bercerita dengan Orick dan keluargaku diperintah pulang oleh kekasihku. Katanya, dia akan yang menjagaku semalaman tanpa harus dikhawatirkan tentang jam tidur, sebab dia sudah tidur tadi pagi hingga sore. Dan benar saja saat dia berkata dia tidak suntuk, dia berbincang denganku sampai pukul 3 dini hari. Dengan tangan yang terus ku-genggam selama bercerita, aku tidak bisa menahan euphoriaku. Kami tertawa dan menangis bersama tanpa siapapun tahu.Dia yang memohon-mohon ampun untuk tidak ditinggalkan dengan janji akan berubah menjadi lebih baik. Dia yang terus memanggil nama lengkapku dengan mata berkaca-kaca, lapas kemudian mengingatkanku bahwa dia sudah lebih dulu, lebih besar, lebih kuat, dan lebih ingin menjagaku dengan cinta. Dia yang menjanjikan dirinya tidak akan membantah dan akan bersedia untuk belajar memahami. Kala itu, aku hanya mengangguk sembari mengusap poni rambutnya. Aku ingin membalasnya, tapi sudut mulutku terlalu perih untuk berbicara panjang lebar
Bujur derajat matahari berputar 110° derajat dari titik pusat sampai ke barat. Dimana setelah aku bertemu langit yang biru, aku menemukan hamparan merah jambu seperti kalung yang melilit di leherku. Entah sejak kapan dan siapa yang memasangnya, indah permatanya lebih hebat daripada ruby. Berbentuk taring gigi sepanjang kelingking, namun materialnya bukan emas maupun berlian. Aku tidak tahu siapa yang mendesainnya, yakni jika ku-temukan orangnya, akan kulunasi sebab ini begitu cantik.Seperti cahaya matahari yang menyembul di balik kelompak awan cumulus, secantik garis-garis aurora yang menyentrik. Burung-burung bersenda tawa sembari berlarian melanglang buana. Seandainya aku menyisi di kehidupan selanjutnya, aku ingin menjadi bagian dari rekan merpati. Setiap harinya tanpa lelah memutari buana, melihat pemandangan laut dan gunung setiap matahari terbit dan terbenam. Tanpa takut dia kedinginan, tanpa repot mengurusi bagaimana alur kehidupan, dan tidak harus takut pulang kemana. Sebab se
Sore berganti malam. Panas berganti dingin. Matahari berganti rembulan. Aku berdiri dengan tubuhku di depan jendela yang ku-sengaja buka untuk meratapi gemintang dari ketinggian lantai 3. Ku-pikir aku membutuhkan waktu lama untuk menjalankan kesembuhan. Ternyata, aku hanya harus makan dan beristirahat dengan cukup. Aku tidak divonis memiliki luka yang berat. Dua kaki yang kupikir akan dibalut bidai, memakai tongkat, atau paling parahnya duduk di atas kursi roda karena patahnya tulang dan beradanya alat pen untuk menyambungkan yang rusak. Tidak, bahkan kepalaku baik-baik saja. Tidak ada perban yang rumit. Di atas ranjang, aku hanya ditusuk selang infus.5 menit yang lalu Orick baru saja mengabariku bahwa dia akan datang esok pagi. Kalau malam ini, dia harus mengerjakan tugas power point untuk presentasi di kelas. Dan tidak hanya Orick, melainkan Kamala mengirimkan pesan satu konteks yang sama. Aku jelas mengiyakan. Toh, aku tahu mereka punya kesibukan masing-masing. Mungkin minggu depan
"Good morning, sayang.""Gid mirning siying." timpal Bella di sisinya.Pagi pukul 7, aku baru saja bangun dan bertepatan pintu tiba-tiba terbuka. Mataku yang semula lemah langsung melebar dengan sendirinya. Terpantau Ibu tersenyum di seberang, namun yang ku-rasakan seperti digelitik kemoceng. Suasana macam apa ini? Orick datang sembari menampilkan gigi vampirnya, lalu Bella mengaduh-aduh di sampingnya. MALU, SUMPAH!"Jawab dong.""Pagi.""Sayangnya mana?""Bella, mending kamu temenin Ibu cari makanan yuk. Di sini juga jadi kambing budek." Aku praktis melotot dan memandangi keduanya dengan sengak. Maksudnya apa-apaan toh?"Yuk Bu, kebetulan Bella belum makan. Bisa-bisa di sini perut Bella pecah." celetuknya sembari melirikku dengan sinis. Tak kalah sinis, aku mengawasi kepergiannya dengan peringatan.Dengan suara pintu yang kembali tertutup, napasku berhembus gusar apalagi setelah mencium bau parfum kopi dari jaket Orick. Tunggu, sangat aneh mengapa aku harus dugun-dugun? Bukannya dahul
Satu bulan berlalu, aku sudah diperkenankan pulang dan bahkan aku memaksa diri pergi ke kampus yakni untuk beraktivitas berat kembali. Bukan apa-apa, aku ini anak semester akhir yang harus menyusul ini dan itu. Satu hari tertinggal, sepertinya aku harus mengganti dengan sejuta hari. Dan bayangkan saja aku loyo-loyo selama satu bulan di rumah sakit, segalanya aku tertinggal jauh. Satu bulan penuh itu jua sebelum aku keluar dari rumah sakit, tak pernah luput dari kunjungan insentif Orick. Pria itu yang datang hanya sekadar memohon agar aku kembali menerimanya. Pria itu yang datang hanya untuk mengadu karena mata kuliah di kampus begitu sulit. Pria itu yang datang untuk mengadu karena dijahili rekan sebayanya. Dan segalanya hal-hal random yang Orick curahkan.Sengaja aku biarkan permintaan kembalinya selama 3 minggu. Belakangan ini hobi baruku melihat wajah murung Orick yang seperti anak anjing kehujanan. Mulutnya selalu mengerucut, matanya mengerut jadi lebih kecil, lalu tingkahnya yang
Ini bukan hari pertama aku berada di desa terpencil dan melakukan pekerjaan sungguhan yang mungkin akan menjadi patokan bagaimana nanti aku keluar universitas. Kuliah kerja nyata yang aku ambil hanya berkisar 2 bulan, dan sudah satu bulan aku menekuni diri berada jauh dari kota Jakarta yang riuh.Hari-hari yang biasa disiapkan sarapan oleh Ibu, diberi bekal oleh Bapak, atau bersapaan dengan Erin, tidak lagi terasa manja. Aku yang entah mengapa lagi-lagi diperlakukan seperti babu, alias segalanya ku-urusi layaknya seorang Ibu di sini. Aku memang terbiasa bangun pagi, dan karena hal itu aku menjadi alarm konsisten sampai pernah beberapa kali aku harus mengamuk karena mereka sulit bangun. Serta walaupun dua teman dekatku bisa membantu, tetap saja kawanan yang lain hanya turut mengandalkanku dalam urusan dapur.Bukan aku tidak mau diandalkan, tetapi masalahnya---berada di samping Sadan dan Fattah seperti ini---aku sering merasa lebih buruk daripada Orick. Ada batasan-batasan diriku yang me
Satu kali, dua kali, mungkin aku merasakan khilaf yang harus semua orang sebut itu hal wajar. Ya, tentu saja aku ingin dipahami balik. Bukankah hal semacam lupa-melupa terjadi karena runtunan ingatan dalam benak kita terlalu banyak? Oleh sebab itu, saking bertumpuknya apa yang sedang kita pikirkan, membuat hal-hal yang semula tersemat terjuntai begitu saja.Ini masih tentang lupanya aku untuk bertukar informasi pada kekasihku di seberang. Ini masih tentang kami, yang mungkin sebagian orang bisa menyebutnya hal lumrah. Namun aku, tidak ingin hal lumrah itu kembali berlanjut yang bisa memicu perseteruan di antara kami muncul. Tenang, aku tidak lupa bagaimana kesepakatan kami di awal. Untuk menjaga hubungan, memang keduanya harus saling berkorban. Hingga, mau sesibuk apapun yang ku-lalui, alur komunikasi dengan Orick tidak boleh lepas.Kemarin, hal pertama ketika aku bangun tidur, yang ku-ingat adalah mengirim pesan singkat barang hanya mengucapkan selamat pagi dan menyemangatinya. Setela