Share

I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu
I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu
Author: Kanaya Aruna

#1. Under Rain

Mata senja dalam langit yang cerah perlahan berubah menjadi merah jambu yang cukup menyita perhatianku dari warna-warni kertas yang berserakan. Di antara cuaca yang ku-suka, aku paling suka petang hari apalagi pelangi datang tanpa harus mengundang hujan belantara. Tetapi sayangnya yang bertandang hari ini bukan bianglala, melainkan air mata dari balik awan yang hitam.

Langit paska sore itu dijatuhi takdir rintik-rintik yang sendu. Tidak terlalu deras, namun atmosfernya cukup menyendukan siapapun yang merasa. Termasuk ketika aku termenung memandangi langkah demi langkah air yang turun dari atap balkon. Tetes demi tetes yang kelihatan nyeri, membuat dadaku menjadi bergemuruh.

Jauh berkelana tentang kehidupan, aku memahami banyak hal tentang kekurangan. Aku bukan manusia sempurna yang selalu orang-orang banggakan dengan privilege ini. Alih-alih merasa tenang karena disanjung, aku khawatir pada diriku sendiri. Tiap kali melakukan sesuatu, aku sering menekan batinku agar berhasil sukses. Padahal kutahu, setiap kegagalan mungkin dibutuhkan sebagai acuan pembenahan. Dan karena pembentukan privilege yang entah darimana munculnya, menimbulkan banyak sekali kontra alih-alih pro. Tidak, bahkan aku tidak bermimpi hidup dalam kegelimangan status. Aku hanya ingin orang-orang menganggapku selayaknya orang biasa. Aku manusia yang tak sempurna, aku manusia yang bisa lelah, kecewa, dan terluka seperti mereka. Tapi mengapa?

Dan tapi mengapa aku sendiri tidak pernah berani mengatakan ini pada dunia? Wahai sukma yang lemah, suarakan... suarakan...

"Kak Lala nggak ikut ya, kak?"

Di sini aku berdiri. Di ruangan putih dan terang ketimbang gelap seperti langit di luar. Dan tanpa kecipratan air sedikitpun, pandanganku seketika berbalik pada seorang wanita.

Dia Ratu. Bukan maksud dia anak bangsawan, melainkan namanya saja Ratu Ginatara. Dia anak bungsu dari silsilah keluarga kekasihku. Mengapa aku berada di sini? Ada begitu banyak hal yang ingin aku jelaskan. Namun tunggu, aku perlu menjawab pertanyaan bocil itu terlebih dulu.

"Emangnya kamu nggak chat dia? Erin juga, kenapa nggak di sini?" ucapku sembari kembali menuliskan sesuatu pada buku di hadapanku.

"Dia kan masih ekskul, kak. Kalau Kak Lala, aku nggak punya kontaknya."

Jawaban itu hanya ku-angguki sebab tak tahu harus berkata apalagi. Ku-pikir Ratu memiliki nomor sahabatku--dan sahabat Orick itu. Toh, Kamala memang kandidat paling dekat di antara kami berdua. Agak aneh juga ketika Ratu tidak memiliki kontaknya, sebab ku-yakin Kamala memperlakukannya sama baiknya seperti aku.

Lalu berbicara Erin--adikku, ternyata masih berada di sekolah. Aku tidak tahu banyak tentangnya, begitupun dia padaku. Kami akan bertukar suara ketika kami saling membutuhkan. Selebihnya, aku dan dia menjalani kehidupan masing-masing. Hiperbolanya, mungkin aku lebih dekat dengan Ratu alih-alih adikku sendiri. Entah bagaimana korelasinya, aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya, Orick selalu menjaga Erin dengan baik. Walaupun pemuda itu menyebalkan, dia tak pernah lepas menyikapi Erin begitu baik.

Kesebut aneh. Aku yang bukan kakak kandungnya, namun aku merasa Ratu-lah adik sesungguhnya. Begitu pula Orick. Hubungan silang yang konyol.

"Kak, mau balon angka nolnya dong, maaf." ucapnya dari atas kursi. Aku praktis menyurukan permintaan-nya.

Sudah sekitar 2 jam kurang lebih kami sibuk mendekor ruangan dengan balon sederhana. Aku tidak berpikir ruangan ini akan berubah menjadi mewah, namun setidaknya mengubah suasana menjadi cukup ceria. Sebagaimana orang yang berulang-tahun, Ratu sibuk mereka pernak-pernik sedaritadi, aku sibuk menuliskan pesan pada sebuah diary yang nantinya akan aku tinggalkan untuk Orick.

Jika aku tak pernah bisa mengucapnya lewat lisan, maka ku-persembahkan rancangan kalimat yang indah dengan sejuta maaf ini. Aku hanya gadis kutu buku, yang segala kekuranganku tertuang rusak di atas kertas. Aku tidak bisa mengabulkan seluruh permintaannya, barangkali mencintai sebaik mungkin; aku masih serba kekurangan.

Kalimat demi kalimat yang aku lalui, bait demi bait, dan pencantuman tanggal yang aku tinggalkan adalah bukti sebanyak apa gusarku tentangnya selama ini. Aku tidak seburuk yang dia lihat. Aku tidak se-kecil itu untuk mencintainya. Aku tidak pernah berniat mengkhianatinya. Aku tidak pernah berniat menghancurkannya dengan setiap langkah yang aku ambil. Aku hanya sedang berjuang untuk mendorong impianku. Karena di dalam impian itu, telah aku sertakan namanya begitu besar.

Tetapi, selalu saja yang dia lihat adalah aku yang berada di bayangannya. Aku yang dia sangka tidak pernah tulus menggenggamnya. Padahal selama ini mati-matian aku menyatukan serpihan yang seringkali dia patahkan. Dia pernah bilang, bagaimanapun hebatnya perpisahan yang selalu terjadi, jangan pernah lepaskan tangannya. Tapi kenyataan-nya, dia-lah yang membuang tanganku.

Syair ini aku tinggalkan untuk perpisahan dengan besar hati. Orick, aku akan selalu mencintaimu. Walau harus dalam bungkam; tanpa sepengetahuan Ratu, aku menarik oksigen dalam-dalam. Membiarkan wangi petrikor dari luar bertandang ke dalam paru-paru.

Ini memang bukan yang terbaik untukku, tapi barangkali dia membutuhkan ruang dimana hanya ada dia dan napasnya sendiri. Tanpa bayanganku sekalipun kenangan kami. Maka dengan berat hati akan ku-persilahkan dia menjauh. Sebab, akan terasa percuma ketika dua orang yang terluka saling meminta pengertian.

Mau bagaimanapun aku jelaskan siapa Sadan, siapa Alex, dan masih banyak rekan priaku, baginya itu semua hanya kebohongan. Dia tidak akan mengerti bagaimana sulitnya aku memisahkan mereka. Yang dia lihat hanya bagaimana dirinya terlalu buruk untuk menyandingiku. Sifatnya yang hitam itu sudah kukenali sejak lama.

Dan jikalau dia sendiri tidak pernah memberi ruang pada dirinya sendiri, izinkan kutuang segala kisah yang pernah kita lalui di atas canva kuning sedikit kusam. Jika warna yang dia lihat selalu hitam dan putih, biar ku-perjelas ada segudang warna indah yang lebih baik dipandangi. Pelangi spidol yang kucoret di atas kertas sebagai penghapus kegelapan dan kekosongan lembaran tersebut. Serta, tidak salah jika aku tuang sedikit harapan pada balik lembarnya.

Aku berharap, setelah emosi kami sama-sama mereda, segala yang direnung akan bisa kami perbaiki.

Orick, ini Arin. Katanya, aku yang membuatmu hilang segala percaya diri. Tapi aku tahu, aku adalah perempuan yang paling kamu cintai. Tapi kembali lagi pada dirimu yang seutuhnya. Lihatlah luka-luka di antara kita. Dan maaf, aku baru memahami apa maksud dari putus yang kamu ingin. Aku pergi, ya? Rupanya, aku hanya membebanimu.

"Kak, ini kira-kira kakak pulang jam berapa ya? Aku takut nggak keburu." gumpalan air mataku menyurut ketika mendengar decitan kursi di belakang.

Aku praktis membuang pandang ketika Ratu datang ke sisiku. Tanpa perduli apa yang ada di dalam buku, kubiarkan Ratu melihatnya sendiri. Setelah memastikan air mataku hilang, aku kembali menyambar satu polaroid dan menempelnya pada lembaran.

Setelah berhasil menempelkan foto tersebut, barulah aku berpaling pada handphone untuk menanyakan kabar Orick pada Kamala.

To be continued...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status