Share

I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu
I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu
Author: Kanaya Aruna

#1. Under Rain

Author: Kanaya Aruna
last update Last Updated: 2022-12-13 20:09:03

Mata senja dalam langit yang cerah perlahan berubah menjadi merah jambu yang cukup menyita perhatianku dari warna-warni kertas yang berserakan. Di antara cuaca yang ku-suka, aku paling suka petang hari apalagi pelangi datang tanpa harus mengundang hujan belantara. Tetapi sayangnya yang bertandang hari ini bukan bianglala, melainkan air mata dari balik awan yang hitam.

Langit paska sore itu dijatuhi takdir rintik-rintik yang sendu. Tidak terlalu deras, namun atmosfernya cukup menyendukan siapapun yang merasa. Termasuk ketika aku termenung memandangi langkah demi langkah air yang turun dari atap balkon. Tetes demi tetes yang kelihatan nyeri, membuat dadaku menjadi bergemuruh.

Jauh berkelana tentang kehidupan, aku memahami banyak hal tentang kekurangan. Aku bukan manusia sempurna yang selalu orang-orang banggakan dengan privilege ini. Alih-alih merasa tenang karena disanjung, aku khawatir pada diriku sendiri. Tiap kali melakukan sesuatu, aku sering menekan batinku agar berhasil sukses. Padahal kutahu, setiap kegagalan mungkin dibutuhkan sebagai acuan pembenahan. Dan karena pembentukan privilege yang entah darimana munculnya, menimbulkan banyak sekali kontra alih-alih pro. Tidak, bahkan aku tidak bermimpi hidup dalam kegelimangan status. Aku hanya ingin orang-orang menganggapku selayaknya orang biasa. Aku manusia yang tak sempurna, aku manusia yang bisa lelah, kecewa, dan terluka seperti mereka. Tapi mengapa?

Dan tapi mengapa aku sendiri tidak pernah berani mengatakan ini pada dunia? Wahai sukma yang lemah, suarakan... suarakan...

"Kak Lala nggak ikut ya, kak?"

Di sini aku berdiri. Di ruangan putih dan terang ketimbang gelap seperti langit di luar. Dan tanpa kecipratan air sedikitpun, pandanganku seketika berbalik pada seorang wanita.

Dia Ratu. Bukan maksud dia anak bangsawan, melainkan namanya saja Ratu Ginatara. Dia anak bungsu dari silsilah keluarga kekasihku. Mengapa aku berada di sini? Ada begitu banyak hal yang ingin aku jelaskan. Namun tunggu, aku perlu menjawab pertanyaan bocil itu terlebih dulu.

"Emangnya kamu nggak chat dia? Erin juga, kenapa nggak di sini?" ucapku sembari kembali menuliskan sesuatu pada buku di hadapanku.

"Dia kan masih ekskul, kak. Kalau Kak Lala, aku nggak punya kontaknya."

Jawaban itu hanya ku-angguki sebab tak tahu harus berkata apalagi. Ku-pikir Ratu memiliki nomor sahabatku--dan sahabat Orick itu. Toh, Kamala memang kandidat paling dekat di antara kami berdua. Agak aneh juga ketika Ratu tidak memiliki kontaknya, sebab ku-yakin Kamala memperlakukannya sama baiknya seperti aku.

Lalu berbicara Erin--adikku, ternyata masih berada di sekolah. Aku tidak tahu banyak tentangnya, begitupun dia padaku. Kami akan bertukar suara ketika kami saling membutuhkan. Selebihnya, aku dan dia menjalani kehidupan masing-masing. Hiperbolanya, mungkin aku lebih dekat dengan Ratu alih-alih adikku sendiri. Entah bagaimana korelasinya, aku juga tidak tahu. Tapi sepertinya, Orick selalu menjaga Erin dengan baik. Walaupun pemuda itu menyebalkan, dia tak pernah lepas menyikapi Erin begitu baik.

Kesebut aneh. Aku yang bukan kakak kandungnya, namun aku merasa Ratu-lah adik sesungguhnya. Begitu pula Orick. Hubungan silang yang konyol.

"Kak, mau balon angka nolnya dong, maaf." ucapnya dari atas kursi. Aku praktis menyurukan permintaan-nya.

Sudah sekitar 2 jam kurang lebih kami sibuk mendekor ruangan dengan balon sederhana. Aku tidak berpikir ruangan ini akan berubah menjadi mewah, namun setidaknya mengubah suasana menjadi cukup ceria. Sebagaimana orang yang berulang-tahun, Ratu sibuk mereka pernak-pernik sedaritadi, aku sibuk menuliskan pesan pada sebuah diary yang nantinya akan aku tinggalkan untuk Orick.

Jika aku tak pernah bisa mengucapnya lewat lisan, maka ku-persembahkan rancangan kalimat yang indah dengan sejuta maaf ini. Aku hanya gadis kutu buku, yang segala kekuranganku tertuang rusak di atas kertas. Aku tidak bisa mengabulkan seluruh permintaannya, barangkali mencintai sebaik mungkin; aku masih serba kekurangan.

Kalimat demi kalimat yang aku lalui, bait demi bait, dan pencantuman tanggal yang aku tinggalkan adalah bukti sebanyak apa gusarku tentangnya selama ini. Aku tidak seburuk yang dia lihat. Aku tidak se-kecil itu untuk mencintainya. Aku tidak pernah berniat mengkhianatinya. Aku tidak pernah berniat menghancurkannya dengan setiap langkah yang aku ambil. Aku hanya sedang berjuang untuk mendorong impianku. Karena di dalam impian itu, telah aku sertakan namanya begitu besar.

Tetapi, selalu saja yang dia lihat adalah aku yang berada di bayangannya. Aku yang dia sangka tidak pernah tulus menggenggamnya. Padahal selama ini mati-matian aku menyatukan serpihan yang seringkali dia patahkan. Dia pernah bilang, bagaimanapun hebatnya perpisahan yang selalu terjadi, jangan pernah lepaskan tangannya. Tapi kenyataan-nya, dia-lah yang membuang tanganku.

Syair ini aku tinggalkan untuk perpisahan dengan besar hati. Orick, aku akan selalu mencintaimu. Walau harus dalam bungkam; tanpa sepengetahuan Ratu, aku menarik oksigen dalam-dalam. Membiarkan wangi petrikor dari luar bertandang ke dalam paru-paru.

Ini memang bukan yang terbaik untukku, tapi barangkali dia membutuhkan ruang dimana hanya ada dia dan napasnya sendiri. Tanpa bayanganku sekalipun kenangan kami. Maka dengan berat hati akan ku-persilahkan dia menjauh. Sebab, akan terasa percuma ketika dua orang yang terluka saling meminta pengertian.

Mau bagaimanapun aku jelaskan siapa Sadan, siapa Alex, dan masih banyak rekan priaku, baginya itu semua hanya kebohongan. Dia tidak akan mengerti bagaimana sulitnya aku memisahkan mereka. Yang dia lihat hanya bagaimana dirinya terlalu buruk untuk menyandingiku. Sifatnya yang hitam itu sudah kukenali sejak lama.

Dan jikalau dia sendiri tidak pernah memberi ruang pada dirinya sendiri, izinkan kutuang segala kisah yang pernah kita lalui di atas canva kuning sedikit kusam. Jika warna yang dia lihat selalu hitam dan putih, biar ku-perjelas ada segudang warna indah yang lebih baik dipandangi. Pelangi spidol yang kucoret di atas kertas sebagai penghapus kegelapan dan kekosongan lembaran tersebut. Serta, tidak salah jika aku tuang sedikit harapan pada balik lembarnya.

Aku berharap, setelah emosi kami sama-sama mereda, segala yang direnung akan bisa kami perbaiki.

Orick, ini Arin. Katanya, aku yang membuatmu hilang segala percaya diri. Tapi aku tahu, aku adalah perempuan yang paling kamu cintai. Tapi kembali lagi pada dirimu yang seutuhnya. Lihatlah luka-luka di antara kita. Dan maaf, aku baru memahami apa maksud dari putus yang kamu ingin. Aku pergi, ya? Rupanya, aku hanya membebanimu.

"Kak, ini kira-kira kakak pulang jam berapa ya? Aku takut nggak keburu." gumpalan air mataku menyurut ketika mendengar decitan kursi di belakang.

Aku praktis membuang pandang ketika Ratu datang ke sisiku. Tanpa perduli apa yang ada di dalam buku, kubiarkan Ratu melihatnya sendiri. Setelah memastikan air mataku hilang, aku kembali menyambar satu polaroid dan menempelnya pada lembaran.

Setelah berhasil menempelkan foto tersebut, barulah aku berpaling pada handphone untuk menanyakan kabar Orick pada Kamala.

To be continued...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #87. Pertanda Hujan

    Dari belakang rumah pindah ke atas lantai dua, dimana Erin sudah selonjoran di atas kasurnya. Sedangkan aku berdiri di depan teras balkon dan melihat sambaran petir dari kota seberang. Gemuruh yang saling bersahutan di sana menandakan sebentar lagi hujan akan datang. Aku tersenyum kecut melihat panorama tersebut. Terlampau banyak kisah yang perlu kuulas, sampai dimana aku sadar, aku tak bisa mengabulkan seluruhnya.Jika aku diperkenankan membawa satu hal untuk tetap berada di sampingku, aku ingin membawa kenangan itu kekal dalam kepalaku. Sampai nantinya aku bertemu lagi orang-orang baik seperti mereka, lepas kubalas dengan sekotak warna yang lebih indah dan membahagiakan daripada ini. Tapi untuk berdiri, aku juga memiliki aturan yang tak bisa sembarang kusanggah.Meluapnya suhu dari lapisan atmosfer, meningkatkan kadar dingin menjadi campur aduk. Dua tanganku terangkat untuk memeluk diriku dan mengusapnya mandiri. Aku benci ketika bau tanah sudah menyeruak dan rintik-rintik sedu dari

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #86. Biru Langit Menyakitkan

    "ERIN!!""Astagfirullah, dateng-dateng bukannya salam!""YHA, ERIN!!""APAAN SEH BUSET? RAME BENER LU BARU DATENG JUGA!!"Aku tak menggubris bapak dan Ibu yang terkejut-kejut di ruang tamu. Hal pertama ketika kakiku berpijak di dalam rumah yang berbeda, kulaungkan suara itu hingga oknum bernama Erin turun terburu-buru dari lantai dua. Dan setelah oknumnya berdiri tegak di hadapanku, ku lempar kresek pizza padanya."Belikan banget lo udah gede juga." Aku mencebik. Barulah setelah itu pandanganku berkelok pada ibu dan bapak. Kuserahkan kresek polos berisikan martabak dan bubur kacang."Nggak bareng Orick?" Bapak celingukan ke belakangku. Mungkin dia pikir aku datang bersama Orick, padahal tidak."Nggak, dia juga lagi mampir ke rumahnya. Yaudah aku juga kesini, di rumah gaada siapa-siapa." tukasku, kemudian ikut bergabung duduk. Sedangkan di sisi lain, Erin malah kocar-kacir entah kemana, menjauhi kami."HEH, ERIN! MAU KEMANA? MAKAN BARENG-BARENG JANGAN LO HABISIN SENDIRI!""NYENYENYE!"

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #85. Lembayung Terakhir

    Di antara lembayung merah yang muncul pada celah-celah kaca, aku berdiri menghadap lembaran kalender. Menatap angka-angka merah dan hitam yang berderet, sebelum pintas rasa bersalah menenggelamkanku bersama malam datang. Aku tersenyum tipis sembari menghembuskan napas perlahan-lahan. Aku pernah menemukanmu sebagai mata angin yang selalu kuikuti kemana-pun kamu pergi. Tapi di perempatan jalan, aku mulai bingung. Dimana tempat yang seharusnya kita tuju bersama?Pamitan Vanny setengah jam lalu berubah menjadi sedikit sendu untuk hatiku. Padahal sebelumnya memang sudah terbiasa. Tidak mungkin jua dia menginap di sini, dia kan masih memiliki keluarga di rumahnya. Lalu saat Nadya melambai sembari melambai dan mengatakan "terimakasih" dengan dua mata tulusnya. Kali ini, aku tak bisa lagi lari dari sebuah pilihan. Tersakiti atau pulih, keduanya adalah hal yang menyakitkan.Musim dingin akan segera datang. Aku harus menyiapkan kaus kaki dan mantel penghantar panas. Duduk di depan api unggun se

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #84. Blank Compass

    "Benar menurut manusia itu relatif. Kamu nggak akan selalu berada di pihak yang salah, begitupun pada yang benar. Sebenarnya, benar dan salah hanya bagaimana kita memandang. Oke, yuk mulai deh curhatnya. Nadya, jadi... ada hal apa yang pengen kamu keluarkan, sayang?""Kakak bisa baca pikiranku aja nggak? Aku takut kalau aku bilang, aku dianggap terlalu berlebihan." Aku tergelak mendengarnya, namun tak seling itu aku tertawa."Hei, hei. Emangnya aku cenayang? Aneh-aneh aja ih, nih makan dulu permen!" Aku menyurukan box kecil berisikan permen kopiko padanya.Lucu sekali segannya. Dia pelan-pelan membuka permen, dan begitu mengemutnya aku tak kuasa untuk menepuk tangannya yang terjulur di depan meja. Aku hampir saja mengeluarkan kembali kata-kata lapas mataku tak sengaja melihat liontin hijau daun mentereng. Aku praktis mendongak untuk melihat wajahnya, namun wanita itu seakan-akan tak menyadarinya."Aku boleh cerita nih?" ujarnya."Boleh dong. Tenang, aman sentosa. Dua telinga kakak ter

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #83. Mayoritas Selalu Benar

    Jungkat-jungkit mencintai seorang Manuangga Orick tidak jauh-jauh dari kelakuan tebar pesona dan manis mulutnya yang kadang menyama-ratakan aku dengan para jalang di luar sana. Sejujurnya, untuk memahami sifat Orick yang begini memang sudah biasa. Aku memutuskan jatuh hati dengannya, berarti aku harus siap dengan segala yang lahir maupun datang dari dirinya. Entah Orick yang kebiasaannya tebar pesona, Orick yang ramah pada semua orang, tatakrama untuk memperlakukan wanita yang mungkin nyaris sama dengan memperlakukanku. Well, aku mengerti. Bahkan sepertinya, aku tidak harus membesarkan masalah itu. Sebab yang tulus mencintai, akan selalu punya batasan-batasan pada dirinya sendiri. Tapi tunggu ya, namanya juga masalah cemburu, aku kadang tidak kuasa menahan debar api di dada.Aku melihat Erin dan Ratu tengah bercanda gurau di lantai satu. Sementara aku bergegas naik ke lantai atas dengan Orick yang mengudang situasi semakin mencengangkan. Aku tahu, Erin dan Ratu pasti merasa takut. Tap

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #82. Ceo Menyebalkan

    "Awal kali kita bertemu itu di kampus. Saat itu, waktu gue jadi maba dan lo komdis yang buener-buenerrrrrrr... galak! Gue sampai nggak berani tatap mata lo, apalagi waktu gue lupa gue masih pakai gelang. Jujur, gue takut banget gelang itu dirampas dan nggak dibalikin lagi. Masalahnya, itu satu-satunya kenangan yang Abi kasih ke gue. Hanya dari situ gue bisa mengenang dan percaya kalau Abi akan tetap kembali. Gue udah was-was.. tapi lo cuma nasehatin gue. Dari situ gue cengo, apalagi waktu lo senyum. Semacam---anjir? Tadi pagi aja tuh muka asem banget? Kok tiba-tiba baik di belakang? Lo aslinya dua orang, kah?!"Siang menunggu sore tadi, setelah berhasil kualihkan obrolan tentang orang tua, dia berhasil membawa sekotak rindu dari masa lalu yang menggemaskan. Well, sebenci apapun aku pada kehidupan di belakang, pada akhirnya aku tidak berbohong, kalau aku tetap bersyukur bisa berada di jalan ini. Karena, tidak mungkin tanpa mereka, tidak mungkin tanpa luka-luka aku berdiri pada dunia ya

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #81. Kolase Duka

    "Bos, darimana aja?! Ini Zero ngamuk barusan!""Untung gue pergi, kalau nggak kena cakar dah." Aku tertawa kecil saat memasuki pintu rumah.Hal pertama yang aku lihat bagaimana Vanny repot menenangkan Zero yang berada di pangkuannya, sampai kucing itu melompat dan mengibaskan rambutnya di bawah. Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun sepertinya wajah tertekan Vanny bisa menjelaskan bahwa kucing itu berulah hebat."Ada keluhan?" Aku berjalan lebih dalam dan menjatuhkan diri di ruang keluarga. Sedikit meregangkan badan. Cukup pegal berjalan di atas jalanan curam."Ya itu, kucingnya Bos." Dia mengikutiku dan berdiri di sampingku."Selain itu.""Gaada, aman.""Van, kalau lo kena pecat gimana?""Bos?" Dia tersentak. "Bos, saya ngelakuin kesalahan ya? Demi apapun, selama saya diberi kepercayaan oleh Bos saya tak pernah menyia-nyiakannya. Sebuah kehormatan bisa bekerja sama dengan Bos. Tapi Bos, kenapa saya tiba-tiba dipecat? Saya salah apa?""HAHAHA!" Aku tergelak dengan ekspresi wajahnya y

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #80. Ada Begitu Banyak Pilihan Dalam Hidup

    Aku berjalan jauh memunggungi rumah. Melewati hutan dan impian, meninggalkan pesisir kota. Memberi jarak pada kenyataan dan takdir, aku melangkah menyusuri sebuah tebing yang cukup tinggi dari permukaan. Di sini sedang cerah, matahari berada sejajar dengan tubuhku ketika berdiri di atas rerumpunan.Lingkaran pohon yang kulihat dari arah utara, berputar ke timur, ke barat, dan berakhir di selatan. Memeluk dengan tubuhnya yang agung, menjaga sisian daratan ini seperti cekungan. Menahan serangan sewaktu-waktu serangan dari luar lingkaran bisa menghancurkan kehidupan kami. Dari sini, kuperkirakan waktu matahari terbenam dan terbit akan terlihat sangat elok. Atau bianglala dunia yang membentang selepas hujan mendera. Atau barangkali saat inipun kelihatan lebih elok. Sebuah semburat biru yang perlahan-lahan diserang kilau ungu, menyatu dengan warna liontinku.Di sini, aku bisa melihat barisan pemukiman berjajar rapi. Bangunan gedung yang mencakar udara, kemacetan Jakarta, heboh nadanya bahk

  • I. Tulisan Untuk Orick: Dunia Merah Jambu   #79. Cause I'm Your Home

    Dahulu, harta, tahta, dan cintaku adalah sebuah gelar di belakang nama. Sebuah impian yang kupikir akan selalu statis, rupanya berada dalam kendali waktu. Lagi-lagi hanya berpacu pada sekelumit waktu yang akan menuntun pada hukum alam sesungguhnya. Dimanapun aku berada, kapanpun aku menjalankannya, dan tak sampai tak terhingga rasa bahagia ini; aku selalu diingatkan, bahwa dunia bukanlah pelabuhan abadi yang akan selalu harmonis.Lalu apa?Mereka hanya perlu menari dan melukis segala macam bentuk kenang untuk dituang pada kepala. Karena katanya, yang sesungguhnya, kita tak pernah dihadapkan dengan perpisahan. Semua kisah-kisah itu tetap abadi di dalam benak. Orang-orang mungkin berpikir pergi dan datang bukanlah suatu fase yang sulit. Tapi mereka lupa, bahwa kehidupan yang baru selalu mempunyai syarat. Yaitu, hilangnya segala kenangan indah itu.Aku tak perduli bagaimana tanggapan orang-orang setelah ini. Sebuah afirmasi konklusi yang telah mendapat validasi, aku hanya harus duduk sid

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status