Semalaman, aku sibuk bercerita dengan Orick dan keluargaku diperintah pulang oleh kekasihku. Katanya, dia akan yang menjagaku semalaman tanpa harus dikhawatirkan tentang jam tidur, sebab dia sudah tidur tadi pagi hingga sore. Dan benar saja saat dia berkata dia tidak suntuk, dia berbincang denganku sampai pukul 3 dini hari. Dengan tangan yang terus ku-genggam selama bercerita, aku tidak bisa menahan euphoriaku. Kami tertawa dan menangis bersama tanpa siapapun tahu.
Dia yang memohon-mohon ampun untuk tidak ditinggalkan dengan janji akan berubah menjadi lebih baik. Dia yang terus memanggil nama lengkapku dengan mata berkaca-kaca, lapas kemudian mengingatkanku bahwa dia sudah lebih dulu, lebih besar, lebih kuat, dan lebih ingin menjagaku dengan cinta. Dia yang menjanjikan dirinya tidak akan membantah dan akan bersedia untuk belajar memahami. Kala itu, aku hanya mengangguk sembari mengusap poni rambutnya. Aku ingin membalasnya, tapi sudut mulutku terlalu perih untuk berbicara panjang lebar.Aku sedang tidak ingin membahas bagaimana keruhnya hubunganku dahulu. Rusaknya kepercayaan kami hanya karena ego. Beratnya sifat Orick yang harus aku seimbangi, dan seringnya kami berkelahi karena hal itu-itu lagi. Maka dari itu, tadi malam aku katakan padanya, "jangan lagi bandingkan dirimu dengan yang lain. Ketika aku berkata aku mencintaimu, itu artinya aku hanya memilih kamu dari banyak yang baik di luar sana. Aku ingin kamu menjadi yang terbaik."Masalahnya, hatiku ikut merasa nyeri ketika dia mengatai dirinya yang masih kurang. Selalu saja dia caci karena tidak pantas bersanding denganku. Selalu saja yang dia cari kekurangannya alih-alih mempercayai dirinya seperti dahulu dia menyatakan cinta padaku. Bagaimana bisa aku yang melihat dia bersinar, namun dia merasa berdiri dalam kegelapan?Dia sudah lebih dari cukup untukku. Dan sudah terlampau sering aku mengatakan ini padanya. Tetapi, akan ku-ulangi terus-menerus tanpa rasa bosan, bahwa aku menerima dia begini adanya.Hingga pagi tiba, eksistensi cahaya dari balik gorden kelihatan sedang merayap masuk ke balik jendela. Ku-lihat jarum pendek jam berada di angka 7, sementara jarum panjangnya berada di angka 6. Menoleh lebih dekat ke kiri, aku menemukan kepala Orick tergolek di atas tanganku yang dia genggam. Mengingat bagaimana semalaman dia tidur di sisiku, membuat dadaku berangsur-angsur menghangat. Namun di sisi lain, logika-ku angkat bicara. Apakah dia tidak pegal?Anehnya, aku juga tidak merasa keram. Justru merasa nyaman.Berlanjut tiba-tiba pintu ruangan didorong dari luar, lalu muncul tiga perempuan dewasa yang kutebak umurnya tidak jauh dariku. Di waktu yang bersamaan aku menempatkan telunjuk di mulutku, sialnya Jeanne sudah lebih dulu menjerit. Dan sesuai dugaan, Orick terperanjat bangun."KAK AREEEEENNNNN!!""Berisik anjir!" Bella terpantau menampar mulut perempuan itu. Bagus, tindakannya mewakili keinginanku."Sakit bangsat, bibir sexy gue bisa-bisa dower! Iwh, don't touch me!""Bangun Pak, bangun." Kamala menepuk pundak Orick, hingga pria berbadan kekar itu mundur ke belakang dan bersandar pada sofa yang lebih luas di seberang ranjangku."Tau begini lo gausah bawa lonte kesini." bisikan Bella yang terdengar olehku. Bahkan oleh Jeanne yang menjadi misuh-misuh."LO NGATAIN GUE APA?!""BITCH!!""Ya Tuhan..." Aku praktis memijat batang hidung. Tidak dimana-mana kelakuannya sulit dikontrol. Hanya Kamala yang terpantau lebih waras. Ya setidaknya Kamala bisa menempatkan diri disaat sedang serius, agak becus 1%."Woy, kan udah gue wanti-wanti dari awal buat nggak berisik. Kak Arin nih lagi sakit, bukan sembarang rebahan!" Dia menegur, namun aku yang merasa lucu. Hampir saja tertawa."Bu, kalau mau berantem di luar aja Bu. Gue masih ngantuk juga nih!" rupanya Orick kembali menggolek tubuh di seberang. Matanya amat terlihat masih membutuhkan jam tidur."Jean, Bella!" bentakku. Praktis dua wanita yang sedang saling jambak itu terpisah. Lalu saling menunjuk."Dia duluan!""Dia kak! Masa gue dikatain lonte?!" Jeanne memberengut tidak terima."Gue lagi pusing nih, kalau kepala gue pecah kalian mau tanggung jawab?!""Siap, tidak!"Heran. Lagaknya seperti tentara, tapi berisiknya macam emak-emak komplek. Selalu saja mengandalkan amarahku agar suasana terkendali. Apa lambat-laun harus sampai urat nadiku putus untuk melerai pertengkaran tak berbobot itu?"Tanggal berapa sekarang?" Aku menimpali lagi ketika atmosfer sudah mulai menenang."6 Mei." sebut Kamala."Tahun?""2015 anjir! Ini kayaknya Kak Arin ngelindur apa gimana?" Jeanne memandangku dengan wajah tak mengerti."Satu bulan?" tapi aku tidak perduli. Aku menoleh pada Kamala untuk menanyakan itu."Satu bulan apanya?" Dia kelihatan bingung. Lah, aku semakin bingung."Satu bulan gue tidur?""Tuh lihat, dia ngelindur!" Jean membuatku geram."Maksud lo, Jen?" Aku mengangkat alis."Kakak operasi kemarin pagi.""Loh, gue didiemin dulu?""Hah?" sekarang, kami berempat yang sama-sama bingung. "Didiemin apaan buset? Lo di-op!" Bella menepuk kaki-ku.Apa katanya, tadi pagi? Bukankah kejadian yang ku-alami malam hari? Ah tunggu, sepertinya memang kepalaku yang salah. Mungkin maksud yang harus ku-tangkap adalah, pagi itu selesainya aku dalam ruang operasi. Aku praktis nyengir kaku."Yeu, kampret! Kalau nggak sakit udah gue gulung!" Jeanne berdecak padaku."Yang ada lo yang digulung lebih dulu sama Orick!" ungkap Bella. Dan disaat dua rekanku ini sibuk bersenda-gurau yang konyol, aku lihat Kamala tenang-tenang saja. Perasaan tumben yang terjawab dengan senyum kecut itu, menginginkan-ku untuk berbicara empat mata."La?" panggilku langsung tanpa memperdulikan Bella dan Jeanne yang sedang bercengkrama."Kakak bahagia?"Lontaran kalimat yang berat itu mampu menghentikan aktivitas Bella dan Jeanne. Atmosfer mendadak dingin, padahal sinar matahari dari balik gorden sudah berpendar lebih besar terangnya ketimbang lampu ruangan ini. Dan sudah mulai ku-rasakan hangatnya di luar sana yang menyelinap kemari. Tapi kontras sekali dengan suasana yang Kamala bawa dari balik manik obsidiannya.Tapi, aku mengangguk yakin. "Iya.""Sama."Dia menjawab dengan senyum yang kini memampang deretan gigi putihnya. Seumpama dia pikir dia mengelabuiku, aku telah terkelabui lebih awal oleh dunia ini. Seharusnya, dia tidak perlu berbohong. Sebab matanya tak pernah benar-benar bahagia, aku melihat bayangan kami yang transparan.Mungkin bagian kecil jiwaku-pun begitu.Namun, tetap ku-raih jemarinya untuk digenggam."Ayo bahagia." ucapku meyakinkan. Dan dia mengangguk setuju."ORICK, PUTUS AJA PUTUS! SAINGAN LO BUKAN MODELAN SADAN LAGI, TAPI KAMALA! BERAT COY!" Bella... aku sedang tidak ingin mengamuk...To be continued...Dari belakang rumah pindah ke atas lantai dua, dimana Erin sudah selonjoran di atas kasurnya. Sedangkan aku berdiri di depan teras balkon dan melihat sambaran petir dari kota seberang. Gemuruh yang saling bersahutan di sana menandakan sebentar lagi hujan akan datang. Aku tersenyum kecut melihat panorama tersebut. Terlampau banyak kisah yang perlu kuulas, sampai dimana aku sadar, aku tak bisa mengabulkan seluruhnya.Jika aku diperkenankan membawa satu hal untuk tetap berada di sampingku, aku ingin membawa kenangan itu kekal dalam kepalaku. Sampai nantinya aku bertemu lagi orang-orang baik seperti mereka, lepas kubalas dengan sekotak warna yang lebih indah dan membahagiakan daripada ini. Tapi untuk berdiri, aku juga memiliki aturan yang tak bisa sembarang kusanggah.Meluapnya suhu dari lapisan atmosfer, meningkatkan kadar dingin menjadi campur aduk. Dua tanganku terangkat untuk memeluk diriku dan mengusapnya mandiri. Aku benci ketika bau tanah sudah menyeruak dan rintik-rintik sedu dari
"ERIN!!""Astagfirullah, dateng-dateng bukannya salam!""YHA, ERIN!!""APAAN SEH BUSET? RAME BENER LU BARU DATENG JUGA!!"Aku tak menggubris bapak dan Ibu yang terkejut-kejut di ruang tamu. Hal pertama ketika kakiku berpijak di dalam rumah yang berbeda, kulaungkan suara itu hingga oknum bernama Erin turun terburu-buru dari lantai dua. Dan setelah oknumnya berdiri tegak di hadapanku, ku lempar kresek pizza padanya."Belikan banget lo udah gede juga." Aku mencebik. Barulah setelah itu pandanganku berkelok pada ibu dan bapak. Kuserahkan kresek polos berisikan martabak dan bubur kacang."Nggak bareng Orick?" Bapak celingukan ke belakangku. Mungkin dia pikir aku datang bersama Orick, padahal tidak."Nggak, dia juga lagi mampir ke rumahnya. Yaudah aku juga kesini, di rumah gaada siapa-siapa." tukasku, kemudian ikut bergabung duduk. Sedangkan di sisi lain, Erin malah kocar-kacir entah kemana, menjauhi kami."HEH, ERIN! MAU KEMANA? MAKAN BARENG-BARENG JANGAN LO HABISIN SENDIRI!""NYENYENYE!"
Di antara lembayung merah yang muncul pada celah-celah kaca, aku berdiri menghadap lembaran kalender. Menatap angka-angka merah dan hitam yang berderet, sebelum pintas rasa bersalah menenggelamkanku bersama malam datang. Aku tersenyum tipis sembari menghembuskan napas perlahan-lahan. Aku pernah menemukanmu sebagai mata angin yang selalu kuikuti kemana-pun kamu pergi. Tapi di perempatan jalan, aku mulai bingung. Dimana tempat yang seharusnya kita tuju bersama?Pamitan Vanny setengah jam lalu berubah menjadi sedikit sendu untuk hatiku. Padahal sebelumnya memang sudah terbiasa. Tidak mungkin jua dia menginap di sini, dia kan masih memiliki keluarga di rumahnya. Lalu saat Nadya melambai sembari melambai dan mengatakan "terimakasih" dengan dua mata tulusnya. Kali ini, aku tak bisa lagi lari dari sebuah pilihan. Tersakiti atau pulih, keduanya adalah hal yang menyakitkan.Musim dingin akan segera datang. Aku harus menyiapkan kaus kaki dan mantel penghantar panas. Duduk di depan api unggun se
"Benar menurut manusia itu relatif. Kamu nggak akan selalu berada di pihak yang salah, begitupun pada yang benar. Sebenarnya, benar dan salah hanya bagaimana kita memandang. Oke, yuk mulai deh curhatnya. Nadya, jadi... ada hal apa yang pengen kamu keluarkan, sayang?""Kakak bisa baca pikiranku aja nggak? Aku takut kalau aku bilang, aku dianggap terlalu berlebihan." Aku tergelak mendengarnya, namun tak seling itu aku tertawa."Hei, hei. Emangnya aku cenayang? Aneh-aneh aja ih, nih makan dulu permen!" Aku menyurukan box kecil berisikan permen kopiko padanya.Lucu sekali segannya. Dia pelan-pelan membuka permen, dan begitu mengemutnya aku tak kuasa untuk menepuk tangannya yang terjulur di depan meja. Aku hampir saja mengeluarkan kembali kata-kata lapas mataku tak sengaja melihat liontin hijau daun mentereng. Aku praktis mendongak untuk melihat wajahnya, namun wanita itu seakan-akan tak menyadarinya."Aku boleh cerita nih?" ujarnya."Boleh dong. Tenang, aman sentosa. Dua telinga kakak ter
Jungkat-jungkit mencintai seorang Manuangga Orick tidak jauh-jauh dari kelakuan tebar pesona dan manis mulutnya yang kadang menyama-ratakan aku dengan para jalang di luar sana. Sejujurnya, untuk memahami sifat Orick yang begini memang sudah biasa. Aku memutuskan jatuh hati dengannya, berarti aku harus siap dengan segala yang lahir maupun datang dari dirinya. Entah Orick yang kebiasaannya tebar pesona, Orick yang ramah pada semua orang, tatakrama untuk memperlakukan wanita yang mungkin nyaris sama dengan memperlakukanku. Well, aku mengerti. Bahkan sepertinya, aku tidak harus membesarkan masalah itu. Sebab yang tulus mencintai, akan selalu punya batasan-batasan pada dirinya sendiri. Tapi tunggu ya, namanya juga masalah cemburu, aku kadang tidak kuasa menahan debar api di dada.Aku melihat Erin dan Ratu tengah bercanda gurau di lantai satu. Sementara aku bergegas naik ke lantai atas dengan Orick yang mengudang situasi semakin mencengangkan. Aku tahu, Erin dan Ratu pasti merasa takut. Tap
"Awal kali kita bertemu itu di kampus. Saat itu, waktu gue jadi maba dan lo komdis yang buener-buenerrrrrrr... galak! Gue sampai nggak berani tatap mata lo, apalagi waktu gue lupa gue masih pakai gelang. Jujur, gue takut banget gelang itu dirampas dan nggak dibalikin lagi. Masalahnya, itu satu-satunya kenangan yang Abi kasih ke gue. Hanya dari situ gue bisa mengenang dan percaya kalau Abi akan tetap kembali. Gue udah was-was.. tapi lo cuma nasehatin gue. Dari situ gue cengo, apalagi waktu lo senyum. Semacam---anjir? Tadi pagi aja tuh muka asem banget? Kok tiba-tiba baik di belakang? Lo aslinya dua orang, kah?!"Siang menunggu sore tadi, setelah berhasil kualihkan obrolan tentang orang tua, dia berhasil membawa sekotak rindu dari masa lalu yang menggemaskan. Well, sebenci apapun aku pada kehidupan di belakang, pada akhirnya aku tidak berbohong, kalau aku tetap bersyukur bisa berada di jalan ini. Karena, tidak mungkin tanpa mereka, tidak mungkin tanpa luka-luka aku berdiri pada dunia ya